Kamis, Desember 26, 2013

Sebatik dan Dongeng Kecil tentang Iwan


Namanya Iwan, 21, anak Pare-pare (Makassar) yang sejak remaja tinggal di desa Binalawan, Kecamatan Sebatik Barat, Kabupaten Nunukan.
"Iwan siapa?"
"Iwan saja," kata bapak dari dua anak ini. Anak sulungnya sudah kelas 1 SD.
"Bagaimana kalau Iwan Fals saja?"
Iwan doang ketawa.
Sehari-harinya, ia seorang pengemudi perahu bermotor, dengan route dermaga Nunukan ke dermaga Binalawan. Waktu tempuh antar keduanya hanya sekitar 15 menit saja.

Arus lalu-lintas yang menghubungkan pulau Nunukan (ibukota kabupaten Nunukan, Propinsi Kalimantan Utara) dengan pulau Sebatik agaknya cukup tinggi. Setidaknya setiap hari 50-100 orang mondar-mandir di sini. Ada 40 perahu motor yang siap melayani mobilitas penduduk (dengan ongkos Rp 18.000 sekali jalan per-orang, atau kalau mencharter khusus bertarif Rp 100 ribu - Rp 500 ribu berdasar muatan), entah mereka yang PNS, karyawan, turis lokal, atau para pedagang yang memburu hasil bumi dan laut pulau Sebatik; seperti padi, pisang, kopi, ikan teri, udang, rumput laut, dan terutama kakao (cokelat) dan sawit. Kakao dan sawit ibarat menambang biji emas, jika sudah panen tiada henti dan harga bagus, karena Malaysia adalah "penadah" terbesar. Itu sebabnya tingkat ekonomi penduduk Sebatik tidaklah buruk. Dilihat dari perkakas dapur, perkakas elektronik dan kendaraan mereka. Cukuplah berada.
Pulau Sebatik, sebenarnya lebih besar dari pulau Nunukan, tetapi pulau itu hampir separoh persis dibagi dua, Indonesia dan Malaysia. Daerah perbatasan yang paling kritis, meski sesungguhnya bagi penduduk setempat, mereka biasa saja, bersaudara. Karena memang banyak di antara mereka masih bertalian darah dan berasal dari puak yang sama. Meski untuk wilayah ini, mayoritas dari suku Makassar (Bone, Sope, Wajo), yang berjarak tempuh dua hari dua malam Makassar-Nunukan. Suku Dayak (Lundaye) agaknya terpinggirkan oleh pendatang ke Long Bawan berbatasan gunung dengan Sabah. Tapi disinilah lumbung padi dan penghasil garam yang menjanjikan.
Kehidupan sosial-ekonomi dibilang biasa saja, karena ke-dua wilayah itu saling membutuhkan. Apalagi, hampir para pekerja di pabrik dan industri di Tawau (Sabah, Malaysia Timur) adalah orang-orang Indonesia juga, dan mereka juga sangat tergantung pada hasil bumi dan laut Sebatik. Segera tampak di sini, memang, bahwa Indonesia selalu kalah dalam mengelola, karenanya rule of the game dalam pertumbuhan ekonomi dipegang Malaysia. Kita hanya menyediakan bahan baku dan buruh, tak mampu mengelolanya, apalagi ketika situasinya berkembang ke ranah politik. Dalam hukum internasional, beberapa pulau wilayah Indonesia masuk ke Malaysia, seperti Sipadan dan Ligitan dengan Blok Amabalat.
Pulau Sebatik terletak di sebelah timur laut Kalimantan, kini masuk ke Propinsi Kalimantan Utara (pemekaran dari Kalimantan Timur). Sesuatu yang khas Indonesia. Diyakini itu pemekaran, padahal maknanya penyempitan. Kalimantan Utara mestinya adalah wilayah Malaysia dan Brunei yang ada di pulau Kalimantan itu, bukannya mempersempit wilayah Kaltim yang kaya. Yang begini ini, biasanya kerjaan orang politik.
Pulau Sebatik pada sejarahnya, adalah salah satu tempat terjadinya pertempuran hebat antara pasukan Indonesia dan Malaysia saat terjadinya 'konfrontasi' jaman Bung Karno. Dan hasilnya kini? Sebatik dibelah menjadi dua, Indonesia-Malaysia.
Wilayah Sebatik Indonesia dibagi menjadi empat kecamatan; Sebatik Barat, Tengah, Timur dan Utara. Pulau ini secara umum beriklim panas dengan suhu udara rata-rata 27,8°C, suhu terendah 22,9°C pada bulan agustus dan tertinggi 33,0°C pada bulan April. Pulau ini merupakan salah satu pulau terluar yang menjadi prioritas utama pembangunan, karena perbatasan langsung dengan negara tetangga. 


Di sini warga terbiasa memegang dua mata uang, rupiah dan ringgit (Malaysia, dengan nilai tukar 1 ringgit = Rp 3.600). Demikian pula penduduk beberapa memiliki IC (identity card ganda) dari kedua negara. Lalu lintas barang, sembako produk Malaysia banyak menguasai kebutuhan penduduk Indonesia, seolah bebas melalui jalan-jalan tikus, sungai-sungai kecil yang menerobos batas negara. Di desa Aji Kuning, bongkar-muat barang dari Malaysia berlangsung terbuka, meski Pamtas (Pengamanan Perbatasan) hanya berjarak kurang dari 50 meter. Belum lama lalu, tertangkap penyelundup sabu-sabu bernilai Rp 150 milyar, masuk ke Indonesia dari Malaysia, yang dibawa oleh orang Indonesia atas suruhan (katanya) orang Malaysia.
Barang-barang dari Indonesia (yang dikirim dari Surabaya misalnya), menjadi jauh lebih mahal, padahal 'kualitas'-nya lebih jelek kata yang minded made in Malaysia.
"Kamu simpen ringgit Malaysia pula?" saya bertanya pada Iwan sesampai di dermaga Binalawan.
"Iyalah, Bang, untuk tabungan,..." katanya. Kadang ia bisa berlagak seperti pedagang valas, tapi tidak di bursa saham, melainkan di area perjudian antarnelayan, dengan kartu remi. Mereka taruhan rupiah-ringgit.
Iwan si manusia perahu itu, dalam sebulan bisa mendapat Rp 10 juta, dibagi dua dengan pemilik perahu. Ia yang hanya bersekolah sampai SD, karena orangtua tak mampu membiayai pendidikannya lebih lanjut, namun kini dengan penghasilan perbulan Rp 5 juta bersih, tidaklah sangat buruk.
"Tapi, pernah sial juga, Bang, pernah sebulan cuma dapat Rp 200.000,..." kata penggemar 'bukak sithik joss' ini sambil nyengir.
"Bagaimana bisa?"
"Pas saya sakit, tak bisa turun,..."
"Ohh,...!"


2 komentar:

  1. Kalau bisa nelayannya juga diliput. Biar larangan untuk melaut ditiadakan. Terima Kasih...

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...