Sabtu, Juli 19, 2014

Rakyat Adalah Kita, Mereka Hanya Presiden Kita

Dengan sesungguh-sungguhnya, kita, rakyat Republik Indonesia, sudah menggunakan hak konstitusional kita, memilih Presiden Republik Indonesia 2014-2019 pada 9 Juli lalu. Tapi kita tahu apa yang terjadi? Ngitung kertas suara yang tak lebih dari 200 juta pun ternyata ribet. Dan itu mengecewakan.
Siapa yang jadi korban para pemuja suara-suara itu, jika bukan kita semuanya yang telah menggunakan hak pilih? Kita yang sebagian besar belum siap dan tidak dididik para elite abal-abal kita untuk berbeda, menjadi seperti api dalam sekam. Dan persaudaraan kita tercabik-cabik. Kita jadi mudah terluka karena kalah dan menang. Kita butuh waktu menyembuhkan luka hati melihat kekalahan Brazil, dan ada yang masih juga tak percaya Jerman main jujur hingga jadi juara Piala Dunia 2014. Kita marah dan sakit hati ketika kesenangan kita tak terpenuhi, ketika boneka Panda kita terlepas dari pelukan, dan bertekad bulat merebutnya habis-habisan. Kita kemudian merekayasa, kasak-kusuk, mengancam-ancam, dan tega memfitnah saudara sendiri.
Demokrasi ini benar-benar memerihkan, dan mencapekkan. Sampai ada teman atau saudara kita yang mau-maunya dijadikan alat provokasi, diprovokasi atau terprovokasi dan kemudian memprovokasi, dan terpaksa berbenturan pendapat dengan kita. Hingga kata-katanya berdarah-darah, penuh caci-maki, hilang akal, gelap mata, gelap hati.
Itu semua tentu bagian dari demokrasi yang buruk di masa lalu, yang membuat kita apolitis tapi kurang mampu bernegosiasi dan berdiskusi. Sehingga wacananya asal debat dan babat karena beda pilihan, padahal belum tentu mereka tahu yang dikatakan dan diyakininya. Dan golongan yang demikian ini, adalah makanan empuk politikus busuk, yang jalan kekuasaannya hanya melalui intrik dan adu-domba. Dan kita seperti keramik yang indah, enak dilihat, halus diraba, namun mudah retak, dan tak mudah merekatkannya kembali.
 

Politik kekuasaan memang kejam. Juga remeh. Mereka yang tidak siap kalah, sesungguhnya ialah mereka yang tidak siap menang. Dan apa yang kita dapatkan?
Namun, mereka yang kaya, mereka yang cerdas, mereka yang beruntung, mereka yang terberkati, ialah mereka yang mampu mengambil segala hikmah dari perjalanan yang meletihkan ini. Hanya dengan demikian, kita mampu mengolah keburukan menjadi ilmu, untuk kebaikan masa depan.
Dengan massifnya pemberitaan, dan makin mudahnya akses informasi sehingga muncul pressure group yang gegap-gempita, kita optimis semuanya berjalan normal. Kita semuanya sudah tahu apa hasil akhirnya, sekiranya semua berjalan normal di KPU pada 22 Juli 2014. Dan sebagaimana pemilu yang sudah-sudah, riak-riak itu toh bisa teratasi. Indonesia tetap tegak, dan kita bukan bangsa yang bodoh untuk mengorbankannya bagi sesuatu yang tidak pada tempatnya.
Rakyat selalu punya kontrol, untuk kembali ke jalan yang benar, sekali pun dengan banyak kompromi. Tapi, itu cara lebih genuine menuju kesempurnaan kelak. Walaupun tentu membutuhkan ketekunan dan kesabaran luar biasa.
Rakyat adalah kita, jutaan tangan yang mengayun dalam kerja, di bumi di tanah tercinta, kata sang penyair Hartojo Andangdjaja (1930 - 1991). Rakyat adalah jutaan tangan mengayun bersama, membuka hutan-hutan lalang jadi ladang-ladang berbunga, mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik di kota, menaikkan layar menebar jala, meraba kelam di tambang logam dan batubara. Rakyat ialah tangan yang bekerja. Rakyat ialah suara beraneka. Rakyat ialah kita, puisi kaya makna di wajah semesta. Darah di tubuh bangsa. Debar sepanjang masa. 



Hidup adalah puisi kaya makna. Rakyat, seperti biasanya sabar, karena itu, jangan hilang kesabaran untuk menjadi bagian dari perubahan, dan mendorong perubahan itu sendiri terjadi. Karena hanya rakyat yang berdaulat yang akhirnya menentukan merah-putihnya negeri ini, bukan siapa presidennya.
Salam jutaan jari. Jika pun berbeda kita tetap bersaudara. Kalau pun sensi, pastilah itu hanya sementara. Meski kadang agak menjengkelkan. Tapi pasti karena kita kurang latihan. Dan ini latihan yang menarik bukan? Lima tahun lagi, semoga lebih baik. Selamat, dan teruslah, berlatih!

22 Juli 2014, Hari Gerakan di Rumah Saja


Add caption
Sebanyak 245.000 polisi diturunkan oleh Polri untuk pengamanan penghitungan suara di KPU pada 22 Juli 2014. Demikian juga, TNI bakal gelar pasukan dengan alat beratnya. Sementara itu, dari kubu Prabowo-Hatta, akan menurunkan ribuan relawannya ke gedung KPU. Organisasi buruh pendukung Prabowo, juga akan menurunkan puluhan ribu pendukungnya. Mereka semua beralasan dan bertujuan: Agar KPU tidak diintervensi, merasa aman dan nyaman dari kerusuhan.
So? Bagi pendukung Jokowi-JK, bermainlah cantik dan cerdas. Jika semua pendukung Jokowi-JK tetap tinggal di rumah, atau yang bekerja tetap tinggal di kantor atau di tempat kerjanya, tidak turun ke jalan, kalian akan memenangkan teori perang jebakan Batman ini. Biarkan siapapun yang ingin bertarung dengan bayangannya sendiri melawan angin sampai ndeprok.
Usahakan tanggal 22 Juli 2014 sama sekali tidak keluar rumah. Cukupkan kebutuhan logistik pada tanggal itu. Kita tinggal nonton televisi, dan siapkan senjata di tangan, yaitu handphone untuk terus berkorespondensi saling berkabar. Saling kirim foto selfi juga boleh.
Itu juga cara untuk menjaga keamanan. Kalau pro Jokowi tak satu pun di jalan, dan tempat-tempat publik steril dari kita, maka jika “ada apa-apa” bukan kita yang membuatnya. Dan dengan gampang kita tahu, siapa yang inginkan itu semua. Hayo, patahkan strategi perang kota itu dengan perang foto selfi dari rumah masing-masing.
Tentu meluapkan kegembiraan asyik-asyik saja. Tapi, turun ke jalan dengan pawai rakyat, kenduri rakyat, memakai atribut pilpres, dan sebagainya, nanti deh dipikir ulang. Bersabar, jangan model Orba yang suka mutlak-mutlakan. Kalau kita norak, di mana perbedaannya? Kemenangan Jokowi, karena perbedaannya.
Jadilah masyarakat warga yang cerdas dan terdidik. Jangan mudah terpancing dan terprovokasi. Percayakan pada para profesionalnya. Kalau sudah ada biang kerusuhan profesionalnya, percayakan pada mereka. Dan percayakan juga pada tim pengamanan profesionalnya juga. Kita tinggal menikmati di rumah, nonton TV dari sajian para professional di lapangan.
Kita masyarakat sipil cinta damai, bisa belajar demokrasi yang lebih cantik dan bermartabat. Setelah berjuang dan berupaya, selebihnya berpasrah pada Sang Seru Sekalian Alam, Allah subhanahu wa ta’alla.

Minggu, Juli 13, 2014

Pilpres 2014: Buruk Muka Quickcount Dibelah



PURA-PURA TAHU DEMOKRASI | Pura-pura tahu demokrasi, sejatinya adalah tidak tahu demokrasi. Demokrasi adalah demokrasi, tidak dengan pura-pura. Siapa yang berpura-pura, bisa dipastikan tidak tahu demokrasi, atau setidaknya demokrasinya tidak tulus, tidak jujur, tidak transparan. Bagaimana rasa demokrasi seperti itu?
Tentu saja tidak enak. Pilpres Indonesia 2014 sebenarnya sudah selesai. Sudah diketahui siapa pemenangnya. Tetapi kita semua pura-pura tidak mengetahuinya, atau pura-pura sabar, agar terlihat konstitusional menunggu 22 Juli 2014. Dan tiba-tiba Ketua KPU sendiri ngomong aneh, bahwa keputusan (penghitungan suara di) KPU belum tentu berarti final. Apa pula maksudnya? Itulah demokrasi pura-pura, demokrasi semu.
Kalau demikian, ngapain kita mengadakan komisi Negara bernama KPU, penyenggara sah pemilihan umum? Apa takut karena digertak oleh Burhanuddin Muhtadi?
Sampai kapan kita berpura-pura menghabiskan energi untuk ini semua? Dan menjadi aneh, ketika komisi Negara yang bernama KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) melarang televisi menayangkan hasil quickcount beberapa lembaga survey. Kurang kerjaan, atau kurang cerdas? Apakah mereka bisa menghentikan kehendak publik untuk terus memproduksi hasil quickcount itu? Kenapa tiba-tiba sumber kesalahan, dan kekalahan mungkin, justru ditimpakan pada lembaga survey?
Apa yang dilakukan oleh KPI, sama dengan yang dilakukan oleh teman-teman kita yang bijak-bestari: Jangan ngomong politik terus deh, hidup kita bukan hanya untuk itu. Apa kalau jagoanmu terpilih, hidupmu akan nikmat? Berhentilah ngoceh politik, dan uruslah dirimu sendiri. Dst. Dst.
Abaikan himbauan semacam itu, dan kita bebas mengekspresikan diri kita. Negara juga tak bisa melarang hadirnya media social seperti fesbuk ini. Himbauan itu biasanya disampaikan oleh mereka yang sudah tahu, bahwa jagoannya kalah. Mereka berusaha netral dan sok bijaksana. Kadang juga, orang seperti itu sebelum hasil pilpres muncul, biasanya juga pura-pura netral, golput alim, menunggu wangsit, tetapi terus mencermati status orang lain, dan memunculkan nasehat-nasehat bijak bagaimana berdemokrasi itu. Tak mau ikut arus, dan mau bikin arus sendiri, tetapi jadinya persis seperti orangtua yang kesepian.
Inilah demokrasi semu kita. Setelah kemarin 9 Juli suara rakyat sudah diberikan dan lagi-lagi kini dikhianati para elite, upaya-upaya untuk menjaga dan mendorong demokrasi yang sehat dan terkontrol juga coba diciderai. Lembaga survey dilarang berpartisipasi, dan itu artinya memutus akses public untuk turut mengontrol jalannya demokrasi itu sendiri.
Seolah pilpres itu sesuatu yang wingit, seperti jaman baheula orang mencari seorang raja. Karena tak punya ukuran jelas, kemudian pakai legitimasi langit yang misterius. Bahwa harus dapat wahyu-makutharama, bisikan ghaib, dan hal-hal mistik lainnya. Sampai kita hidup di jaman teknologi gadeget ini, preferensinya masih satria piningit. Padahal, pilpres ya peristiwa biasa saja, regulasi kepemimpinan dalam alam demokrasi. Intinya, siapa yang dapat suara lebih banyak itu yang menang.
Jika lembaga survey salah, atau bohong atau apalah dengan quickcount-nya, adakan penghakiman dan penghukuman untuk itu, dengan menyuruh mereka mempertanggungjawabkan pekerjaannya, bukan dengan menyingkirkannya.
Bahwa Burhanuddin Muhtadi terlihat jumawa, tegur dia sesuai standar etika kalian, tetapi jangan kemudian menisbikan lembaga survey sebagai pengganggu demokrasi (padahal yang terganggu sebenarnya siapa? Demokrasi atau kepentinganmu?).
Tentu saja kita tahu, KPU adalah official-count (bukan real-count) untuk hasil pemilu. Sebagaimana dikatakan ketua KPU sendiri, hasil penghitungan KPU tidak bersifat final. Tetapi  karena ia yang memiliki otoritas sebagai penyelenggara Pemilu, maka dialah yang berhak memutuskan hasil penghitungan suara.
Sementara coba saja lihat, banyak postingan di media menyebut-nyebut real-count (apapun metodenya), benarkah real? Yang hendak mereka bangun berdasar persepsi masing-masing, yang semuanya juga belum tentu benar-benar real. Bahkan ada yang realitas imaginer atau realitas sotoshop. Itulah demokrasi yang kebanyakan daging sapi, maunya nyotoshop terus.
Negeri yang aneh. Yang rumors, klenik, nyotoshop (bahkan situs yang dikelola oleh yang mengaku sebagai Nabi Muhammad Baru –seperti voaislam--) dipercaya, tetapi yang bisa dinalar dengan logika biasa malah tidak dipercaya. Bener-bener tidak logis.
Banyak orang tidak tahu apa itu quickcount, tetapi sok tahu, menyalah-nyalahkan, dan menghakimi. Bahkan berupaya menyingkirkan lembaga survey untuk terlibat dalam proses demokrasi ini. Ketika kekuatan sipil menggeliat dalam proses demokratisasi, justeru ancamannya adalah ketidakpahaman kita tentang demokrasi. Atau, karena ketidakdewasaan kita dalam berpolitik?
Pura-pura demokrasi adalah sama arti dengan tidak tahu. Dan kemudian jadinya sok tahu. Dan pandangannya menghakimi.  Padahal demokrasi itu yang mendengarkan, kehendak untuk terus belajar.



PENGANTAR | Quickcount, pada tujuan dan sejarah, dilakukan untuk menekan manipulasi suara yang dimungkinkan dilakukan oleh elite kekuasaan dalam setiap penyelenggaraan pemilu. Elite kekuasaan, biasanya tidak percaya pada quickcount, terutama jika hasilnya mengganggu kepentingan dan mereduksi posisinya.

Baru dalam 10 tahun kita mengenal adanya quickcount, elite politik kita sudah menyingkirkannya. Ketika mayoritas lembaga survey dalam Pilpres 2014 memenangkan Jokowi-JK, pasangan Prabowo-Hatta dalam waktu tak lama kemudian, mengklaim bahwa dirinya juga meyakini bahwa kemenangan ada pada kubunya, karena ada beberapa lembaga survey yang memenangkannya.

Sontak, dengan cepat, legitimasi lembaga survey rontok. Kemenangan Jokowi-JK pun tertunda. Dan ruang diskusi, dibuka kembali, sembari menunggu perhitungan manual oleh KPU, sebagai penyelenggara pemilihan umum. Namun tak urung, persoalan deligitimasi ini tak hanya meruyak pada lembaga survey, melainkan juga pada KPU.

Situasi ini membuka ruang chaostic yang seolah disengaja dilakukan oleh mereka-mereka yang tidak siap untuk kalah, dan bahkan mungkin juga tidak siap untuk menang.

Dan sayangnya, bangsa Indonesia bangsa yang mudah diombang-ambingkan oleh kekuasaan.

Partisipasi Publik Menekan Elit. Pemilihan presiden secara langsung pada 2004, berjalan dalam situasi yang relatif lebih demokratis dibanding masa-masa Orde Baru. Pada saat itu pula, demokrasi Indonesia mengenal apa yang disebut sebagai ‘quickcount’ atau penghitungan cepat.
Kegiatan hitung cepat merupakan sistem pemantauan hasil pemilu, yang dapat mendorong hasil pemilu yang jujur dan relatif bersih. Dengan metode ini, hasil pemilu dapat dilihat pada hari itu juga setelah penghitungan suara di TPS usai.
Untuk melakukan semua itu, tentu diperlukan ilmu pengetahuan yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademis. Bukan sekedar perkiraan atau dugaan, melainkan membutuhkan pengamatan lapangan yang tidak mudah.
Kita mengetahui dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia, sebuah Negara kepulauan yang satu-sama lain bukan hanya dipisahkan lautan, melainkan juga kondisi geografis serta infrastruktur sangat beragam.
Litbang Kompas misalnya, yang terlibat dalam quickcount Pilpres 2014, mengerahkan lebih dari 2.500 orang sebagai surveyor, interviewer, dan sukarelawan. Tersebar pada hampir separoh jumlah seluruh TPS di seluruh Indonesia. Dalam menjalankan tugasnya, mereka kadang harus melintasi kampung-kampung, hutan, menyeberangi sungai, naik-turun hamparan bukit-bukit savanna, untuk mencapai TPS desa terpencil. Perjalanan berjam-jam yang tidak mudah, medan berat, dan terkadang berbahaya, harus mereka jalani.
Hambatan tak hanya di perjalanan. Sampai di TPS tujuan, mereka pun harus mendapatkan izin dari kelurahan hingga RT, mencari akomodasi, dan tentu saja mencari spot sinyal telepon genggam yang terkuat. Karena memang "jantung" proses hitung cepat adalah kecepatan pengiriman data hasil pemungutan suara di TPS, yang dikirim surveyor di lapangan kepada pusat data. Data yang terkirim itu, kemudian dikonfirmasi validitasnya melalui proses cek dan ricek ke petugas atau surveyor, yang bertugas di TPS.
Survei quickcount Puslitbang RRI, menjadi salah satu yang paling kredibel pada Pileg dan Pilpres 2014 kali ini. Bahkan Presiden SBY mengumbar pujian keakuratan hasil quickcount Puslitbang RRI ini.
Apa yang mereka lakukan, tak jauh beda engan para relawan Litbang Kompas. Beberapa sukarelawan yang tergabung dalam survey RRI ini, juga mesti menembus desa terpencil di Papua, Nias, NTT, Cianjur, hingga di Banjarnegara, Entikong, Aceh, dan lain sebagainya.
Jika Litbang Kompas banyak menggunakan tenaga mahasiswa, sukarelawan RRI jauh lebih beragam karena juga menyertakan pelajar SMA, karyawan swasta, dan bahkan ibu rumah tangga. Quickcount Puslitbang RRI dilakukan secara mandiri oleh RRI, mengerahkan 73 korlap dan 2.000 relawan.
Para petugas lapangan itu tidak hanya mencatat hasil perolehan suara di TPS, dan kemudian melaporkan atau meng-sms-kan begitu saja. Tetapi mereka juga harus melakukan aktivitas sebagai surveyor dan interviewer. 
Pendataan pemilih dan pilihannya, akan menjadi bahan analisi dalam sistem tabulasi dan metodologi yang diterapkan dengan kaidah-kaidah ilmu statistika (selengkapnya baca: “APA BENAR KITA HARUS MENUNGGU KPU SAJA? Menyoal Real Count, Official Count, dan Quick Count”, oleh Merlyna Lim., dan tulisan Burhanuddin Muhtadi di kolom Majalah TEMPO tentang 'Hitung Cepat dan Tepat' pada bagian bawah artikel ini).
Untuk apa semua itu dilakukan? Ialah untuk mereduksi kemungkinan manipulasi data yang akan diolah KPU. Rentang waktu dan jarak tempu kartu suara, dari dicoblos hingga di rekapitulasi KPU di Jakarta, rentan dengan berbagai pelanggaran dan manipulasi. Quickcount adalah bentuk partisipasi public untuk mereduksi, atau bahkan mengunci agar manipulasi suara tidak terjadi.

Elite Politik Dirugikan. Maka, jika tiba-tiba para elite politik menafikan hasil quickcount, harap dilihat seberapa kepentingannya dirugikan. Semakin dirugikan kepentingannya, semakin tinggi ketidakpercayaannya pada quickcount.
Dan kita melihat, bagaimana ada elite politik, yang sebelumnya juga akademisi, menganggap bahwa RRI telah melanggar aturan dan tidak kredible dalam survey pilpres ini. Tanpa tahu bahwa RRI mempunyai litbang yang secara sah terdaftar di KPU untuk ikut dalam quickcount Pemilu 2014 ini.
Demikian juga Prabowo Subianto misalnya, mengaku bahwa 16 lembaga survey kredible memenangkannya, namun senyampang dengan itu juga ia menyatakan banyak lembaga survey bayaran yang hanya menyenangkan pemesannya. Tapi, sayangnya, penilaian itu tidak disertai penjelasan, lembaga survey mana yang dimaksudkan. Kredibilitas, bagi elite politik, lebih tergantung pada dirinya berkenan atau tidak.
Padahal quickcount semula diadakan adalah upaya untuk mendorong demokratisasi dalam pemilu bisa dijalankan lebih jujur, menekan angka kecurangan, dan melibatkan masyarakat dalam pengawasan. Hal itu perlu dilakukan karena jangka waktu antara saat pencoblosan, penghitungan suara, dan terutama pengesahan perolehan suara secara terpusat membutuhkan rentang yang panjang dan rawan manipulasi. Apalagi mengingat kondisi geografis masing-masing daerah.
Sementara dari sejak pertama penyelenggaraan quickcount di Indonesia, selama ini bisa dipertanggungjawabkan dan memiliki reputasi baik. Penghitungan cepat dalam Pemilu 2004 dan 2009 tidak pernah meleset jauh dari penghitungan manual. Berbagai lembaga survey melangsungkan pekerjaannya dengan tanpa pretensi, dan bisa dipertanggungjawabkan secara akademis sebagai sebuah kerja scientific, keilmuan.
Tapi, kenapa Pemilu 2014 ini ihwal quickcount dipermasalahkan? Karena tiba-tiba, ada dua kelompok survey yang menghasilkan angka berbeda. Sekelompok lembaga survey “memenangkan” capres yang satu, sementara sekelompok lembaga survey lainnya menunjukkan hasil sebaliknya. Dan kedua belah pihak capres, sama-sama mengklaim kemenangan mereka.
Sudah barang tentu hal itu memunculkan kebingungan. Dan tentu saja tidak logis, benarkah ada dua kebenaran yang ditunjukkan, dengan munculnya dua presiden dalam sebuah kompetisi demokrasi?
Pada sisi itu, kita akan sampai pada persoalan esensi kontestasi, yang satu dan lainnya saling meniadakan. Dan ketika politik dilupakan esensinya sebagai tiap usaha, ikhtiar, dan aksi perjuangan untuk mengusahakan kesejahteraan bersama (dalam sebuah tata sosial agar hidup bersama sesama warga negara menjadi lebih baik), dia berubah menjadi pertikaian. Rebut kekuasaan, dan adu kepentingan, untuk memenangkan hasrat berkuasa. Baik bagi individu atau pun kelompoknya, dengan menghalalkan semua cara.
Homo homini lupus, dalam istilah Thomas Hobbes, manusia merupakan serigala bagi sesama manusia yang lainnya, sudah dilampaui. Insting atau hasrat mempertahankan hidup, sudah dinalarkan dan dikuasai dengan tata konsensus untuk hidup bersama sebagai warga beradab.
Ranah etika menjadi medan dan wilayah diskresi. Keputusan untuk memilih hidup atau mati, sikap mau memilih nilai-nilai atau yang menopang dan merawat kehidupan atau penghancuran, adalah pemilihan etis.

Revolusi Teknologi Komunikasi. Di sinilah teori-teori sosial dan etika bernegara mensyaratkan harus ada komunikasi terbuka untuk dua hal. Pertama, agar tiap orang tulus menyatakan kepentingannya pribadi dan nilainya. Kedua, dibuat konsensus untuk menyatukan perbedaan kepentingan dengan menaruh ke nomor dua lebih dahulu kepentingan diri sendiri dan menyepakati kepentingan bersama (common interest) untuk mulai menata dan mengatur hidup bersama itu.
Etos kebersamaan  dalam budaya dan  tradisi pertanian, perlahan tergeser, dalam budaya bahari yang lebih egaliter, hingga kemudian ketika berada dalam tahapan membangun komunitas-komunitas di kampung atau tempat mukim kota kecil atau polis, harkat manusia dihormati dan dijaga melalui musyawarah dan mufakat . Namun semuanya itu mengalami pergeseran penting dan genting, ketika politik tanpa etika menjadi gejala tajam dalam beberapa fenomena ini. Revolusi teknologi informasi yang sadar ataupun bawah sadar dipersepsi, mengacaukan dunia riil nyata indrawi dan dunia maya konstruksi IT yang serba digitalisasi.
Kesadaran distingtif rasional yang awalnya mampu membedakan antara yang pribadi dan yang publik, menjadi tiada dan dilanggar. Kita masuk dalam ruang publik yang ditonton semua orang tanpa membedakan lagi mana yang rahasia dan mana yang konfidensial.
Karakter media interaksi manusia modern, sebagaimana sosial media memberikan ruang yang leluasa untuk meluncaskan tabiat turunan bernama dendam itu.  Gejala saling menghancurkan ini menghalalkan semua cara. Semua hasrat death culture dalam bumi hangus di sejarah kelam bangsa ini memberi bukti fakta pada kita.
Dan kini modal-modal kultural dan sosial ini dihantam lebih telak dengan perilaku berpolitik tanpa etika. Apakah bisa keluar mengatasinya dengan seruan moralitas? Apakah jalan keluarnya bisa hanya dengan instruksi-instruksi? Apakah jalan keluarnya cukup dengan menyampaikan etika kenegarawanan secara normatif, seperti dipidatokan SBY pada dua capres itu?
Situasi kritis itu bukan lagi masalah structural atau pun kultural, melainkan telah merambah ke krisis karakter. Politik kemudian menjadi hanya persoalan kekuasaan. Ia bukan lagi dipakai sebagai alat kekuasaan untuk bekerja, melainkan politik bekerja untuk kekuasaan.
Dalam situasi itu, kekuasaan cenderung tidak mau dikontrol, dan akan melepaskan diri dari berbagai aksesoris yang menjebaknya. Demokrasi kemudian coba dicopot dan dipisahkan dari public. Partisipasi dinilai menjadi kontra-produktif dan membelenggu politik elite yang cenderung absolut. Kekuasaan adalah kekuasaan, bersifat mutlak. Oleh karena itu, jika kekuasaan diawasi, maka itu bukan kekuasaan.
Dan Soeharto dengan Orde Baru mengajari kepolitikan Indonesia hanya menjadi milik kaum elite dan oligarki partai. Rakyat dijauhkan dari persoalan politik. Hingga ketika tiba-tiba dicemplungkan dalam situasi kebebasan, mereka pun menjadi binatang liar politik. Karena memang tidak tahu, apa itu politik ketika berhadapan dengan orang atau pihak lain. Dalam bangsa terbelakang, politik hanya dimengerti sebagai bagian kepentingan diri-sendiri, tetapi bukan untuk orang lain sebagai pihak lain.
Yang dinamakan kebenaran dan ketidakbenaran, sangat ditentukan oleh sudut pandang dan kepentingan. Orde Baru telah dengan akutnya mendidik anak bangsa ini dengan pandangan-pandangan kemutlakannya. Padahal, kebenaran adalah kebenaran. Penentunya bukan yang berkuasa atau dikuasai, namun pemerintahan otoritarian selalu mendaku penguasalah pemilik tunggal kebenaran.

Fungsi Quickcount. Elite politik dan penguasa, selalu mencoba melakukan mistifikasi politik dalam rekrutmen kepemimpinan. Di situ informasi dan disinformasi menjadi tidak jelas, karena demokrasi dicoba dilepas dari akal sehat, dan bahkan tanpa nalar. Pemilihan presiden yang merupakan regulasi pergantian kepemimpinan biasa, dilebih-lebihkan dengan mitologisasi dan mistifikasi, seolah seperti memilih nabi atau manusia suci, yang hanya Tuhan yang tahu.
Padahal pemilihan umum, seperti pemilihan legislative dan pemilihan presiden, adalah aktivitas duniawi mengenai orang memilih yang disukai dan tidak disukainya. Siapa yang mendapat suara lebih banyak, itulah yang menang atau terpilih. Esensi demokrasi pada suara terbanyak itu (yang kemudian diasumsikan sebagai ‘suara rakyat suara tuhan’), pada sisi lain yang hendak dimanipulasi. Proses penghitungan menjadi pertaruhan dan karenanya rawan kecurangan, apalagi jika hanya menjadi urusan mereka semata.
Fungsi quickcount dalam kaitan ini adalah untuk menekan sudut pandang penguasa, yang sering bias karena factor kepentingan kekuasaan yang tidak mau diganggu. Quiccount pada dasarnya memberikan legitimasi, bahwa penghitungan suara berlangsung jurdil, atau menjadi control, sekiranya proses penghitungan manual di KPU berlangsung curang.
Pada sisi itu akan terbuka ruang dialog.
Jika hasil KPU dan quickcount tidak berbeda signifikan, dapat dipastikan bahwa penghitungan suara KPU sudah berlangsung dengan jujur. Tapi jika hasil KPU berbeda dengan hasil quickcount, menjadi wajar mempersoalkan hasil KPU, mengapa hasilnya bisa berbeda.
Kaum intelektual dan aktivis, yang ‘pernah’ hidup di masa Orde Baru, tentu faham betul bahwa yang resmi belum tentu benar. Sementara itu, justeru pada saat ini, terjadi upaya yang sadar, untuk sengaja mendelegitimasi lembaga survei maupun hasil quickcount. Dan dengan bijaknya kemudian menyilakan kita menunggu hasil perhitungan resmi KPU pada 22 Juli.
Pada kenyataannya, belum pernah ada perbedaan significan, hasil quickcount dengan hitung manual KPU. Setidaknya, itu yang terjadi sejawak awal pilpres langsung oleh rakyat pada Pemilu 2004.
Sementara ini, dengan adanya hasil suara yang berbeda antara satu dan lain lembaga survey, dengan sendirinya mendelegitimasi lembaga survey. Hasilnya, salah seorang capres bisa menunda kemenangan pihak lain, dan pihak yang kalah bisa membuka ruang perjuangan ketika perolehan suara itu dihitung secara manual.
Di situ pendelegitimasian bukan soal percaya atau tidak percaya, namun lebih upaya menyingkirkan lembaga survey untuk terlibat melakukan partisipasi dan kontroling. Kekuasaan biarlah tetap hanya menjadi urusan orang penting semata.
Padahal penyingkirkan partitipasi dan pengawasan publik itu, apalagi  hanya untuk membenarkan seseorang jadi Presiden, hanya akan merusak perkembangan demokrasi Indonesia. Menghilangkan kepercayaan rakyat kepada lembaga quickcount, yang menyumbang sejarah perkembangan demokrasi Indonesia, membuat demokrasi kita berjalan mundur.
Semestinya, terutama kaum cerdik-pandai, janganlah sampai loyalitas politik membuat kita menolak kebenaran dan obyektivitas ilmiah. Termasuk bagaimana KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) tiba-tiba merasa sok pahlawan, untuk menyelamatkan bangsa dan Negara, agar tayangan hasil quickcount dihentikan dari media publik. Kenapa KPI sangat sensitive soal ini, tapi tidak untuk siaran-siaran seperti YKS, OVJ, Bukan Empat Mata atau Fesbuker (yang kalau pun ada tindakan karena public sudah menekannya begitu rupa)?
Padahal penayangan hasil quickcount itu sesungguhnya menjadi penting, karena bisa menjadi alat control dan perbandingan.

Politik Tanpa Perbandingan. Ketidakpercayaan publik, yang dibangun oleh sentiment elite politiknya kepada lembaga survey (penyelenggara quickcount), adalah gambaran betapa biasnya nafsu kuasa mereka.
Mereka tidak tahu bagaimana angka-angka presentase dalam quickcount itu dihasilkan dari sebuah proses kerja yang luar biasa? Bahkan, berpuluh tahun lamanya para ilmuwan bekerja dengan statistik. Dokter, akuntan, sosiolog, crime scientist, ekonom, dan lain-lain, semua bekerja dengan statistik. Hingga akhirnya lahir teori mengenai pengambilan sampel, yaitu agar sampel yang diambil bisa mewakili populasinya.
Sampling dasar bagi science amat penting. Setiap kali ada penemuan ilmu baru, para ahli selalu menguji kebenaran. Selain menguji hasil, yang diuji adalah metodologinya. Bahkan boleh direplikasi untuk melihat konsistensinya pada sampel yang berbeda.  Para ahli juga menguji metode pengajuan pertanyaan, pengumpulan data, pengolahan data dan seterusnya.
Statistik, termasuk quickcount basisnya adalah science. Tentu saja kecuali yang abal-abal, dan sesungguhnya bisa segera ketahuan.  Dalam statistik kita juga melakukan uji reliabilitas dan validitas, sehingga dijauhkan dari hasil yang bias. Kenapa bukan itu yang dimasalahkan, secara kritis, melainkan malah ditiadakan saja quickcount itu karena dianggap bisa memicu konflik horizontal? Omong kosong politik kita yang tak mau adanya perbandingan.
Penghitungan cepat atau pun penghitungan manual, semuanya sama punya potensi bias. Bahkan upaya menamakan hitung manual sebagai ‘real count’ adalah upaya pengelabuan. Karena apakah real count itu memberikan kenyataan? Tidak selalu.
Di tangan orang bias, statistik bisa dimanipulasi. Disitu ada kepentingan, baik karena sikap tidak ilmiah, tidak objectif, dan mungkin faktor uang. Maka menguji sistem adalah penting, memeriksa sikap etis adalah mutlak. Namun bagaimana mengukur sikap etis itu? Sebagaimana memeriksa niat juga sangat penting, tapi bagaimana caranya? Sangat tidak mudah. Tapi kita bukan orang bodoh.
Inilah sikap kritis dan scientific yang harus dibangun bangsa ini, dalam dunia kepolitikan. Agar tak menjadi bangsa yang bodoh, rasis, dan  mudah dimanipulasi kaum elite, kelompok kepentingan, kaum oligarki partai, yang selalu mengatakan politik itu sesuatu yang suci mulia namun mereka praktikkan dengan cara-cara kotor.
Pada sisi itu, semakin banyak lembaga survey melakukan quickcount, akan lebih baik. Justru sangat berbahaya kalau hanya ada satu hasil quickcount. Beberapa hasil quickcount itu akan melatih kita jadi kritis, sekaligus untuk mengontrol penguasa agar tak memanipulasi "suara Tuhan". Jika ada suara yang berbeda, tinggal diuji bagaimana kesahihannya dalam metodologi surveynya. Karena siapa yang berbohong dan memanipulasi data, sama saja menghancurkan keberadaannya. Lembaga survey yang kehilangan kredibilitasnya, tentu kehilangan kepercayaan public, dan pasti ia akan tersingkir.
Statistik adalah metode ilmiah untuk mencari kebenaran. Dan bagi anda yang mengatakan "tunggu saja hasil real count" berhati-hatilah. Justru di tangan orang bias, realcount itu bisa dimanipulasi. Statistik sebaliknya, kalau dilakukan dengan metode yang benar justru bisa dipakai untuk memeriksa sebuah kebenaran.
Bahkan dengan itu pula lembaga survey bisa beradu nalar, untuk mementahkan seorang capres yang bermain-main dengan lembaga survey dengan tujuan mementahkannya. Karena bukan tidak mungkin, dalam persaingan ketat, seorang capres melakukan scenario "muddy the statistical waters' atau kacaukan statistik dengan mekakai pollsters yang tidak kredibel. Quickcounts dari beberapa lembaga survei yang sangat kredibel (yang dalam kasus ini semuanya memenangkan Jokowi), dikacaukan oleh 'temuan' abal-abal dan kemudian dikampanyekan lewat TV, yang bukan kebetulan dikuasai Aburizal Bakrie dan Hari Tanoe, para sekutu dari capres Prabowo.
Pada saat public, mungkin juga pemerintah, pelaku bisnis dikacaukan preferensiya, dan menjadi tidak percaya pada lembaga survey, maka agenda yang didesakkan adalah “kita tunggu saja hasil penghitungan KPU’. Padahal diadakannya quickcount memang untuk mendelegitimasi KPU, bukan sebaliknya. Delegitimasi dalam hal itu bukan dalam konteks meniadakan atau tidak mempercayai, melainkan untuk mereduksi kecurangan dan menuntut pada KPU untuk bertindak jujur dan adil.
Karena ketika harapan ditunjukan pada KPU, maka upaya kedua melakukan 'steal the results" atau mencuri hasil pilpres ini, bisa dilakukan dalam ruang-ruang yang terbuka antara capres satu dan lainnya dengan KPU.
Pengacauan hasil quick counts itu pada awalnya, memang bertujuan untuk memunculkan kebingungan di kalangan pemilih. Yang dalam hal itu, juga akan memberikan mereka waktu untuk menggoreng hasil pemilihan versi mereka.
Mereka akan mengumumkan realcount versi mereka, sehingga ketika KPU mengumumkan hasil resminya, mereka sudah punya 'opini' yang terbentuk di masyarakat. Dengan kata lain, tujuan mereka mengumumkan hasil real count versi mereka adalah mendelegitimasi hasil yang akan diumumkan oleh KPU. Dan kita jadi tidak mempercayai semua.
Tapi, itulah, rakyat yang sok demokratis adalah rakyat yang tidak demokratis. Apalagi rakyat yang sok politis tapi a-politis, tidak tahu apa itu politik, hanya karena merasa terganggu kepentingannya. Dan karena ketidaktahuannya itu, alat untuk mengukur politik (seperti quickcount) pun justeru mereka emohi, karena dinilai mengganggu. Dan kita membiarkan kaum elite penguasa kembali menguasai panggungnya sendiri, tanpa kita bisa mengontrolnya.






APA BENAR KITA HARUS MENUNGGU KPU SAJA?
Menyoal Real Count, Official Count, dan Quick Count

Oleh Merlyna Lim (Princeton)

Kenapa sih ngga tunggu real count KPU saja?  Banyak pihak, termasuk akademisi, mengimbau kita semua untuk tidak mengindahkan hasil2 Quick Count (QC) dan menunggu "Real Count" dari KPU pada tanggal 22 Juli nanti. Apakah imbauan ini tepat dan bijak? Ini tanggapan saya. 
Tentang "Real Count" (RC).  Sebetulnya tak ada yang namanya real count jika real dianggap sebagai hitungan yang benar-benar BENAR yang merujuk pada keabsolutan kebenaran empiris. Walaupun data bisa diambil dari semua TPS (yang jumlahnya setengah juta), tak ada pihak yang bisa memastikan bahwa hitungan2 yang mengklaim "real count" tak luput dari kesalahan.
Nah, kalau ada yang bilang melakukan "real count" tapi ternyata tak mencakup seluruh TPS dan penghitungannya dilakukan dengan % tanpa bobot populasi, itu mungkin lebih tepat dinamakan "Surreal Count" (apalagi jika dilakukan sebelum pemilu itu berlangsung).

Apakah perhitungan KPU adalah RC?
Hasil KPU adalah "Official Count" (OC), yakni hasil hitung resmi. Tentunya kita semua mengharapkan bahwa OC dari KPU akan sangat dekat dengan realita empiris. Namun, dengan perjalanan panjang sebuah suara dari TPS ke kantor KPU yang dihitung manual dengan rantai penghitungan yang cukup panjang (TPS, Kelurahan, Kecamatan, dst.), OC ini sangat rentan terhadap masalah dan kesalahan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja. 
Dalam sejarah2 pemilu di dunia, terbukti bahwa OC bisa merupakan keputusan politis. Proses penghitungan bisa dibebani muatan politis sehingga OC bisa bergeser (sedikit atau banyak) dari kebenaran empiris. Maraknya kasus2 Pilkada di Indonesia merupakan bukti bahwa OC seringkali merupakan keputusan politis. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di jaman Orde Baru, hasil Pemilu bukanlah cerminan kebenaran empiris yang terjadi di TPS-TPS. Patut diakui bahwa sejak Pemilu tahun 1999, KPU sudah lebih baik dalam menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara pesta demokrasi. Kita berharap bahwa OC kali ini netral, bebas dari kepentingan politis, dan lebih-lebih, bebas dari permasalahan teknis perhitungan. 
Namun berharap saja tidak cukup. Jadi bagaimana caranya agar OC ini mendekati kebenaran empiris?  Tak ada jalan lain selain memonitor dan mengawal perhitungan tersebut. 
Penerbitan formulir C1 di http://pilpres2014.kpu.go.id/c1.php dan pengecekan massa terhadap formulir2 tsb n di merupakan salah satu upaya tersebut. Terbukti ada kesalahan2 'teknis' seperti C1 yg kosong, pengunggahan C1 yang salah, dan hitungan yang bermasalah. Belum lagi jika dibandingkan dengan C1 asli yang diambil relawan2 di TPS, ternyata banyak formulir yang sudah berubah angka2nya ketika tiba di website KPU. 

Contoh2 C1 bermasalah: http://c1yanganeh.tumblr.com/ dan http://on.fb.me/VUx2E9 

Selain mass monitoring seperti itu, ada hal lain yang bisa dilakukan secara ilmiah. Di sinilah guna Quick Count (QC). 

Apakah Quick Count (QC) itu?
QC adalah metoda ilmiah untuk memverifikasi hasil pemilihan dengan memprojeksikan dari sampel yang diambil dari TPS-TPS. Menggunakan azas random sampling dari ilmu statistik, metoda ini terukur dan teruji secara ilmiah, dapat memberikan perkiraan hasil akhir yang terpercaya (reliable).
Random sampling ini ibarat mencicipi sop sepanci, kan cukup 1-2 sendok saja. Kalau mencicip sampe 2 mangkok namanya doyan. Kalau sampe sepanci, namanya rewog!
QC biasanya menggunakan Stratified Random Sampling yakni cara mengambil sampel dengan memperhatikan strata di dalam populasi. Data dari seluruh populasi dikelompokkan ke dalam tingkat-tingkatan tertentu, seperti: tingkatan tinggi, rendah, sedang, jenjang pendidikan, dll, dan kemudian sampel diambil dari tiap tingkatan tersebut. Maka dari itu, 2000 TPS bisa menjadi acuan dalam pengambilan sampling
Hasil QC tentunya bukan RC. QC menyodorkan range dimana RC akan jatuh. Untuk menjadi alat yang efektif, harus lebih dari 1 QC (beberapa) yang dijadikan acuan. Jika dilakukan dengan metoda yang benar, hasil2 QC akan berada pada range yang mirip. Jika berada jauh dari range ini, ada indikasi permasalahan metoda. 

Tentang QC Pilpres 2014 -- bagaimana membaca hasilnya? 
Di Pilpres 2014, ada 12 pollsters yang terlacak melakukan QC.  Margin of Error (MoE) atau tingkat kesalahan dari QC seharusnya tidak lebih dari 1%. 
Nilai % yg dicantumkan di QC bukan perkiraan absolut. Toleransi kesalahan atau margin of error (MOE) mengukur seberapa jauh hasil QC mungkin meleset, dengan tingkat kepercayaan (confidence level) tertentu (misal 95%). 

Description: https://scontent-b.xx.fbcdn.net/hphotos-xfp1/t1.0-9/10487598_10152477828755865_2589790150174017803_n.jpg
catatan: MoE yang tidak diketahui (n/a) dihitung 1%

Ambil contoh hasil QC RRI. Dengan angka2 47.48% (Prabowo-Hatta) vs 52.52% (Jokowi-JK), bukan berarti angka real prosentase suara Jokowi-JK adalah 52.52%, tapi dalam selang 52.52% +/- 1%, yakni antara 51.52% - 53.52%. Jadi, menurut QC RRI, Jokowi-JK menang.

Jadi apa kesimpulan 12 hasil QC yang ada?
Apakah benar 8 pollsters memenangkan Jokowi-JK dan 4 memenangkan Prabowo-Hatta? Tidak benar! 

Description: https://scontent-a.xx.fbcdn.net/hphotos-xpa1/t1.0-9/q71/s720x720/10483858_10152477801595865_7213432921572806808_n.jpg

Dari chart di atas bisa kelihatan bahwa setelah MoE diperhitungkan, bisa disimpulkan bahwa:
7 QC yang menunjukkan kemenangan Jokowi-JK dengan perolehan suara Jokowi-JK lebih dari 50% (bisa dilihat bahwa bar biru melebihi 50%) -- overlapped bandwidth 51-53%
4 QC yang memberikan peluang 50%-50% pada Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta, dan
1 QC yang memenangkan Prabowo-Hatta (Puskaptis saja)
Nah, seperti sudah diungkap di atas, QC hanya akan berguna jika ada beberapa hasil yang dilakukan oleh pelbagai pihak. QC-QC yang selaras dengan kaidah ilmiah akan berada pada range prosentase yang mirip dan bertumpang-tindih (overlapped). QC yang dimanipulasi sesuai dengan kehendak tertentu tentunya (misalnya dengan sengaja memilih sampling yang berpihak, tidak stratified dan random) tentunya bisa menghasilkan range yang berbeda. 
Kembali ke masalah monitoring OC, jadi apa fungsi QC? QC adalah metoda yang sangat powerful untuk memonitor proses pemilihan dan penghitungan suara. QC bisa dipakai untuk mengevaluasi kualitas sebuah pemilihan, dan memproyeksikan dan memverifikasi OC (Official Count). Tujuan QC adalah untuk menghalangi penipuan, mendeteksi kecurangan, menawarkan perkiraan hasil yang tepat, menanamkan kepercayaan dalam proses pemilihan dan OC, serta mengukur kualitas proses. Dengan kata lain, QC adalah kontribusi keilmuan terhadap penyelenggaraan negara agar pesta demokrasi dapat dilakukan dengan jujur, adil, dan bertanggungjawab. 
Jika dilakukan dengan benar dan bertanggung jawab, QC bisa: 
a. memberdayakan masyarakat: karena lewat QC masyarakat bisa mengkritisi jalannya sebuah prosedur demokrasi dan mengecek akuntabilitas para penyelenggara negara.
b. membangun kapasitas masyarakat lokal lewat partisipasi masyarakat secara aktif dalam proses demokratisasi.
c. memberi informasi yang terpercaya: masyarakat berhak memiliki akses terhadap informasi yang akurat

Ada banyak bukti kegunaan QC. Tahun 1986 di Filipina, "Operation Quick Count" dari NAMFREL (the National Citizens Movement for Free Elections) berhasil mengungkap kecurangan besar (massive fraud) yang dilakukan oleh Presiden Marcos dan pendukung2nya. QC juga menolong masyarakat Chili untuk melawan kecurangan Pinochet di tahun 1988 dan masyarakat Peru di putaran pertama pemilu tahun 2000. Dan banyak contoh kecurangan pemilu2 lain di banyak negara yang bisa diungkap dan diperangi karena adanya QC. 
Dalam kasus2 tersebut OC ternyata jatuh di luar range mayoritas hasil2 QC. Jadi bisa disimpulkan jika OC lembaga penyelenggara pemilu (misal KPU) jatuh di luar range yang diperkirakan mayoritas QC, OC tersebut terindikasi bermasalah.
Jadi, jika dilakukan dengan mengindahkan kaidah ilmiah, QC adalah alat yang netral, terpercaya, dan diperlukan untuk mengawal suara rakyat, supaya satu suara dihitung satu suara. One vote one count! 

Jadi kembali ke pertanyaan awal: Kenapa sih ngga tunggu real count KPU saja?  Sudah tahu toh jawabannya?
Kita memang tak punya pilihan selain menunggu. Tapi bukan berarti QC tidak kita indahkan, justru bisa dan harus kita manfaatkan dengan bertanggung-jawab. Dan jangan lupa, hitungan KPU bukan real count tapi official count, dan harus ketat dikawal supaya hampir sama dengan real count. Semoga! 



KOLOM
Majalah TEMPO, Edisi 14 Juli 2014

Hitung Cepat dan Tepat 
Burhanuddin Muhtadi

SEJAK diperkenalkan dalam pemilihan presiden 2004 hingga pemilihan legislatif 2014, hitung cepat (quick count) yang dilakukan lembaga-lembaga survei belum pernah sekali pun hasilnya berbeda dengan hasil penghitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum. Baru pada hitung cepat pemilihan presiden 2014 ini terjadi split decision.

Tujuh lembaga (SMRC, Indikator, CSIS-Cyrus, Poltracking, Lingkaran Survei Indonesia, RRI, dan Litbang Kompas) menemukan keunggulan Joko Widodo-Jusuf Kalla di atas margin of error plus-minus 1 persen. Adapun empat lembaga lain (LSN, JSI, IRC, dan Puskaptis) memenangkan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa meski dalam selisih yang sangat tipis.

Setidaknya ada dua penjelasan mengapa terjadi perbedaan hasil hitung cepat. Pertama, argumen teknis-metodologis. Argumen teknis terkait dengan metodologi yang digunakan, proses penarikan sampel, margin of error (toleransi simpangan antara prediksi dan hasil sebenarnya, dalam confidence interval tertentu), dan analisis hasil. Argumen teknis-metodologis jauh lebih mudah dideteksi karena setiap tahapan hitung cepat pasti meninggalkan jejak. Inilah kaveling dewan etik asosiasi pollsters untuk melakukan audit metodologi kepada semua penyelenggara hitung cepat yang menjadi anggotanya.

Sebelum melakukan investigasi, dicek dulu apakah penyelenggara hitung cepat terdaftar di KPU atau tidak. Baru kemudian ditelaah jejak kerjanya di lapangan. Hitung cepat Indikator, misalnya, mewajibkan enumerator mendapatkan tanda tangan dari KelompokPenyelenggara Pemungutan Suara setempat dalam lembar catat yang harus dikembalikan ke koordinator. Selain itu, perlu daftar nama enumerator berikut nomor telepon seluler yang digunakan untuk mengirim hasil penghitungan di tempat dia bertugas ke pusat data. Lembaga survei yang memanipulasi hitung cepat akan sulit berkelit dari prosedur audit metodologi dan investigasi seperti ini.

Kedua, argumen nonteknis, baik yang bersifat afiliasi politik, bisnis, maupun kepentingan tertentu. Seorang peneliti bisa salah, tapi tidak boleh berbohong. Salah atau benar itu berkaitan dengan kompetensi dan kapabilitas, latar belakang pendidikan, serta pengalaman. Sedangkan bohong atau jujur terkait dengan integritas. Periset bisa saja tak sempurna melakukan tahapan-tahapan hitung cepat yang rumit. Tapi, selama dia tidak merekayasa hasil, masih bisa dimaklumi. Yang mengkhawatirkan adalah adanya indikasi lembaga yang melakukan hitung cepat telah melakukan kebohongan sistematis untuk menyenangkan klien atau pemilik. Untuk itu, publik berhak tahu apakah penyelenggara hitung cepat bagian dari tim konsultan calon presiden tertentu atau tidak.

Penyelenggara hitung cepat juga diwajibkan menyebutkan siapa penyandang dananya. Hitung cepat adalah kegiatan akademis yang membutuhkan sumber daya dan dana yang besar. Kecil kemungkinan lembaga survei bekerja tanpa sponsor. Dalam kode etik asosiasi lembaga survei dibolehkan bekerja sama dengan sponsor tertentu asalkan tidak mengganggu independensi akademis. Ketika hasil hitung cepat dirilis, publik berhak tahu siapa penyandang dananya.
Adalah hak publik untuk kemudian mengaitkan atau memisahkan antara hasil hitung cepat dan sponsornya. Di samping itu, bisa saja seorang peneliti memiliki pilihan etis-politis tertentu. Namun peneliti yang baik pasti bisa memisahkan opini dan sikap pribadi dengan fakta dan data yang hendak dicari. Ketika prosedur dan metodologi sudah dilakukan secara benar, apa pun temuan hitung cepat harus disampaikan, meskipun berbeda dengan afiliasi politik si peneliti.

Banyak pihak yang tidak tahu bahwa tujuan hitung cepat pertama kali diadakan justru sebagai alat kontrol untuk mencegah atau mendeteksi potensi kecurangan dalam pemilu. Hitung cepat, yang juga disebut parallel vote tabulation, digunakan sebagai mekanisme pengumpulan data perolehan suara dalam pemilu dengan pengamatan secara langsung di tempat pemungutan suara terpilih agar pemilu jujur dan adil bisa ditegakkan. Bahwa kemudian hitung cepat juga mampu memprediksi pemenang pemilu lebih cepat, itu sekadar bonus. Adalah ironis jika hitung cepat yang ditujukan untuk memberikan data pembanding kepada KPU dan mencegah terjadinya kecurangan justru malah menjadi alat buat memanipulasi hasil pemilu.

Sejarah hitung cepat bermula ketika hasil pemilu yang disampaikan Presiden Filipina Ferdinand Marcos pada 1984 mendapat penolakan banyak pihak. Ketika Marcos menggelar pemilihan presiden yang dipercepat pada 1986, gerakan civil society yang menamakan diri National Citizens Movements for Free Elections (Namfrel) melakukan kegiatan quick count. Saat itu Namfrel menggelar hitung cepat di 90 ribu TPS dengan melibatkan setengah juta relawan di seluruh Filipina. Presiden Marcos mendeklarasikan diri sebagai pemenang berdasarkan penghitungan Komisi Pemilihan Filipina, tapi prediksi hitung cepat Namfrel justru menahbiskan kemenangan Corazon Aquino. Rakyat lebih percaya quick count Namfrel sehingga memantik Revolusi EDSA, yang menumbangkan Marcos dari singgasananya.

Hitung cepat juga berhasil membongkar kecurangan secara sistematis, terstruktur, dan masif dalam pemilu di Yugoslavia pada 2000. Hitung cepat yang digelar Committee for Free Elections (CEL) juga sukses mencegah praktek curang dalam pemilihan langsung di Cile pada 1988 dan pemilihan putaran pertama di Peru pada 2000 (Estok, Nevitte and Cowan, 2002). Proses hitung cepat menjaga kedaulatan rakyat agar tidak dirampok oleh penyelenggara pemilu yang nakal. Terlebih jika hitung cepat juga diikuti dengan pemantauan pemilu yang sistematis untuk mendeteksi praktek kecurangan sehingga bisa dibongkar sebelum hasil perolehan suara dibawa ke proses rekapitulasi berikutnya. Setiap keganjilan dalam proses penghitungan suara dan praktek money politics di sekitar TPS bisa diungkap melalui kegiatan hitung cepat dan pemantauan.

Dalam sistem proporsional, potensi kecurangan jauh lebih masif ketimbang dalam sistem distrik ketika proses penghitungan langsung diselesaikan di distrik yang bersangkutan. Dalam sistem proporsional, hasil penghitungan suara di tingkat TPS harus dibawa ke tingkat desa/kelurahan, kemudian direkapitulasi di tingkat kecamatan, kabupaten/kota, hingga provinsi dan berakhir di tingkat pusat. Setiap jenjang rekapitulasi suara potensial menimbulkan kecurangan, dari penggunaan kertas suara sisa, perampokan suara, hingga hilangnya dukungan bagi calon tertentu. Terlebih jika integritas penyelenggara pemilu di tingkat lokal lemah. Absennya saksi dari partai atau calon presiden turut memperparah kondisi yang menunjang bagi praktek kecurangan.

Populasi dalam quick count adalah semua suara pemilih dalam pemilu. Sampel adalah sebagian dari anggota populasi sebagai landasan dalam membuat kesimpulan untuk mewakili populasi. Seberapa besar ukuran sampel yang harus diambil? Tergantung seberapa presisi yang kita inginkan dan tergantung seberapa dana yang kita punya. Presisi hasil hitung cepat dilihat dari margin of error, dan tugas kita: meminimumkan error. Bagaimana agar sampling error minimum? Tergantung ukuran sampel. Prinsipnya adalah semakin besar ukuran sampel hasilnya akan semakin presisi. Di samping itu, error juga terkait dengan teknik sampling yang kita gunakan. Dalam kasus Indonesia, sampel dari 2.000 TPS cukup mewakili jutaan pemilih dengan metode kombinasi stratified-cluster sampling.

Keunggulan quick count jika dilakukan dengan prosedur ilmiah yang ketat, sampel dari 2.000 TPS akan mampu merepresentasikan secara nasional. Bukan hanya itu, proses hitung cepat yang didasarkan pada pengumpulan data di tingkat TPS juga akan menjaga kemurnian dan otentisitas perolehan suara sebelum dibawa ke tingkat yang lebih tinggi. Karena itu, metode hitung cepat jika dilakukan sesuai dengan standar akademik yang tinggi akan menghasilkan prediksi yang kurang-lebih sama, meski dilakukan oleh berbagai macam lembaga survei. Kalaupun ada perbedaan, tidak akan melampaui margin of error.

Pada titik ini, saya cukup yakin untuk mengatakan hasil hitung cepat yang dilakukan lembaga-lembaga survei yang kredibel lebih bisa saya percaya karena sumber datanya diambil langsung dari tangan pertama, yaitu TPS. Tentu saya tidak sedang mendelegitimasi KPU, yang memiliki kewenangan untuk menetapkan hasil resmi penghitungan suara. Justru dengan kehadiran penyelenggara hitung cepat yang kredibel, potensi kecurangan dalam rekapitulasi suara yang berjenjang-jenjang bisa dicegah. Hasil hitung cepat lembaga-lembaga tepercaya bisa menjadi data pembanding hasil real count KPU. Dan, sejauh pengalaman hitung cepat sejak 2004 hingga pemilihan legislatif 2014, belum pernah sekali pun ada perbedaan hasil secara signifikan antara prediksi quick count dan real count KPU.

Lembaga survei yang menyelenggarakan hitung cepat seharusnya lebih akurat dalam memprediksi hasil pemilu karena datanya sudah tersedia di TPS. Hitung cepat berbeda dengan survei opini publik, yang bersifat dinamis. Dalam proses quick count, sumber datanya sudah tersedia dan pasti, yakni hasil penghitungan suara yang tinggal dikirim ke pusat data lewat pesan pendek (SMS) melalui telepon seluler yang sudah terverifikasi. Selama ini tak ada lembaga survei yang berani memanipulasi hasil hitung cepat karena mudah sekali terdeteksi. Lembaga survei yang berani merekayasa hasil quick count pada dasarnya sedang menggali lubang kuburnya sendiri. l

*) Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia dan Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Jakarta


Selasa, Juli 08, 2014

Pilpres 2014: Pertaruhan Suara Rakyat Kedaulatan Rakyat



Pemilu 2014 adalah pemilu yang paling mengembirakan sekaligus menyedihkan. Mengembirakan karena antusiasme rakyat sangat luar biasa. Tapi senyampang itu, pemilu kali ini juga menyedihkan, apalagi berkait pilpres, karena dipenuhi dengan fitnah keji berkait SARA. Itu jelas sebuah kemunduran, meski bukan tanpa alasan, walau pun alasan itu sangat remeh, yakni karena nafsu atas kekuasaan.
Ketika KPU sudah menetapkan dua capres, semua sudah menempuh prosedur, dan sah memenuhi secara konstitusional, formal-prosedural, dan sesuai hukum yang diatur dalam undang-undang.
Namun kenyataannya, black-campaign yang memojokkan salah satu calon (Jokowi), berkait agama, suku, ras, terjadi begitu massif. Bahkan, di beberapa daerah (berdasar korespondensi dengan teman-teman di seluruh Nusantara, dan juga monitoring media) upaya black-campaign itu sampai pada insinuasi karakter, pembunuhan karakter, dengan fitnah-fitnah tak terperi.
Padahal jika kita mau adil, fitnah itu sangat menggelikan. Jokowi yang Islam, justru menjadi bulan-bulanan dan bahkan kubunya dituding sebagai PKI. Sementara pada kompetitornya, ibarat kata “semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak”.
Fakta-fakta terbolak-balik itu, di masyarakat yang bisa dengan mudah mengakses informasi, mungkin tak begitu mengkhawatirkan. Informasi dan dis-informasi bisa diundang serentak dan di-crosscheck.  Tapi menurut laporan teman-teman, di pelosok dan wilayah terpencil se Nusantara ini, pembunuhan karakter itu berlangsung massif.
Yang menonjol di sana, Jokowi itu non-muslim, Yahudi, merugikan Islam, dan komunis. Informasi ini sangat merata, tanpa mendapatkan counter. Apalagi hal tersebut kadang disertai dengan intimidasi melalui berbagai jalur formal.
Yang menarik, kenapa capres kompetitor Jokowi tidak mendapatkan perlakuan serupa? Benarkah dia Islam dan lebih Islam? Kalau seseorang yang di media mengaku tidak tertib dalam beribadah, dan sebagai lelaki meminta seorang perempuan menjadi imam shalat, apakah itu bukan cacat (ini kalau kita mau ribet ‘ngomongin’ agama capres)?
Pendukung Jokowi, misalnya, juga sering dikritik memperlakukan capresnya sebagai ‘nabi’. Tapi kenapa ketika di masjid Sunda Kelapa, Jakarta, ada kutbah Jumat yang menyamakan capres nomor satu dengan Rasulullah, tak diprotes beramai-ramai? Menurut istilah pelawak Wisben; timbul pertanyaan.

Islam Garis Keras. Dalam sebuah acara Pengajian Politik Indonesia (PPI) di Masjid Agung Al Azhar, Jakarta (23/2/14), Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab mengatakan bahwa Pemilu 2014 sudah di pelupuk mata. Maka sebaiknya umat Islam lebih fokus pada pemenangan Pemilu, agar bisa meraih kekuasaan. Habib Rizieq menganjurkan umat Islam merapatkan barisan dan berperan dalam Pemilu 2014. Jika umat tidak segera mengambil alih, maka pihak lainnya yang justru tidak ingin syariat Islam ditegakkan, yang berkuasa. PDIP-lah yang diintrodusir dalam hal ini.
“Rebut ini kekuasaan! Umat Islam wajib untuk berkuasa di Republik ini,” katanya berapi-api.
“Ini Pemilu sudah dekat, ini negeri harus kita direbut. Kekuasaan harus ada ditangan umat Islam. Maka itu saudara, jangan sia-siakan kesempatan! Besok, di dalam Pemilu, baik pemilihan calon legislatif maupun calon presiden yang akan datang, umat Islam hanya boleh pilih yang siap menangkan syariat Islam, saudara. Takbiir! Siap menangkan Islam? Siap menangkan Syariat?”
Apa hubungan kutbah Habib Rizieq ini? Seperti kita tahu, FPI akhirnya mendukung Prabowo sebagai presiden, sebagaimana kita tahu demikian pula PKS, PPP, PBB, dan tentunya jangan dilupakan faktor Amien Rais, yang menggoreng isyu lama ‘poros tengah’ dalam bentuk baru bersama PAN, PPP, PKS, PBB, dan pada pada akhirnya juga Golkar dan Demokrat, disamping ormas-ormas seperti FBR dan GRIB.
Kata kunci yang mesti dicermati dalam pidato Habib Rizieq adalah “rebut dulu baru ribut nanti”, dan bukan sebaliknya. Karena itu ia tak mau ribut di depan. Bahwa koalisi PPP, PAN, PKS, PBB tentu bukan tanpa masalah nantinya jika berkuasa, menurut Rizieq itu soal belakangan. Baru setelah berkuasa (Prabowo menang), bolehlah ribut kemudian.
Baru setelah ‘kerebut’, itu logika kalimatnya, barulah kita ribut soal bagi-bagi hadiah atau malah Prabowo disingkirkan (ingat modus Poros Tengah ketika Amien Rais menaikkan Gus Dur, dan kemudian menyingkirkannya).
Pada pilpres kali ini, skenario ‘poros tengah’ juga tak bisa ditutupi sebagai modus. Dalam realitas politiknya, hanya ada Prabowo yang (dalam elektabilitas survey) mampu menyaingi Jokowi. Sementara itu, perolehan angka suara ‘partai-partai Islam’, sama sekali sulit untuk menjadi kendaraan menuju kursi pilpres, kecuali memajang Prabowo. Sementara dengan memancangkan bendera “Perang Badar”, isyu-isyu yang dimainkan untuk menghantam Jokowi semuanya adalah soal SARA. Dari berbagai penjuru, capres Jokowi dihantam habis dengan isyu ini. Sampai soal teknik fotoshop pun berperanan penting dalam munculnya berbagai berita hoax Jokowi.

Prabowo dan Islam. Sementara sama sekali data mengenai Prabowo tidak muncul ke permukaan. Meski pada faktanya Prabowo dari ibu yang benar-benar Kristen, dan bahkan Hashim Djojohadikusumo memimpin organisasi sayap Kristen Gerindra. Itu semua, anehnya, dinafikan oleh pendukung Prabowo yang cenderung ke Islam garis keras dengan diakomodasinya FPI di sana.
Manifesto Perjuangan Gerindra, menunjukkan kebijaksanaan yang sama antara PKS dan FPI, yang dinilai intoleran dengan agama minoritas. Tapi mereka tutup mata mengenai hal itu.  “Saya bukan orang yang terlalu taat menjalankan ritual,” kata Prabowo pada Tempo Oktober 2013. Ia yang dulunya malas salat dan puasa, kini mulai terlihat sering salat berjamaah. Kabarnya kewajiban umat islam ini baru dijalankan kembali setelah berhasil merayu partai-partai Islam mengusung dirinya menjadi calon presiden.
Saksi lain yang mengetahui keseharian Prabowo, selama di militer juga, menyebut anak pemberontak PPRI (Pemerintah Revolusioner 1958) ini jarang menjalankan ibadah puasa di Bulan Ramadhan. “Saya tahu itu, tapi wajar aja, kan semua keluarganya Kristen. Cuma dia yang Islam,” kata salah seorang rekan sejawat di militer.
Selain itu, kehajian Prabowo bersama rombongan Soeharto kala itu, juga karena terpaksa. Ia masuk Islam setelah menikah dengan Titiek Soeharto. Setelah itu dia tak pernah lagi naik haji. Sebagai orang yang sangat mampu, dan punya kekayaan triliunan rupiah (capres terkaya), jika memang berniat dan tak punya pertentangan batin, pastinya dia terpanggil untuk pergi haji lagi. Paling tidak umrah.
Ihwal keyakinan Prabowo juga sempat ditanyakan Partai Keadilan Sejahtera, ketika Prabowo meminta Partai Dakwah itu untuk bergabung ke dalam koalisi. Anggota Majelis Syuro PKS, Refrizal, membenarkan pertanyaan soal agama ini. Refrizal menjelaskan jawaban Prabowo, tetapi meminta tak dikutip kepada Tempo.
Fakta lainnya seperti disampaikan Putra tokoh NU, KH Salahuddin Wahid, Irfan Asyari Sudirman, menulis di Twitter dan membuat heboh. Gus Ipang biasa disapa menuliskan bahwa ada capres yang berkunjung ke PBNU dan diminta jadi imam shalat. Tetapi capres itu meminta Yenny Wahid jadi imam shalat dengan alasan anak kiai. Gus Ipang mengutarakan di Twitter, berdasarkan mazhab Syafi‘i dan kesepakatan ulama, tidak ada imam shalat seorang wanita.
Tapi apakah hal itu pernah dipersoalkan kubu Jokowi, segencar orang menyalahkan cara wudhu, atau bahkan cara memakai kain ihram-nya saat umrah, di mana yang terakhir itu hasil editan photoshop? Sampai Fahrie Hamzah pun ketipu dan berkomentar ngawur soal foto editan itu?

Capres dan Antek Asing. Sementara itu soal isu antek asing, antek Yahudi, Zionis dan sebagainya, adalah ciri tudingan kelompok kalap yang tak bisa lagi mendapatkan dalil pembenaran. Dan itu juga menjadi aneh. Karena dari sisi track record, sebagai pejabat pemerintah, Jokowi terbukti tegas dari tekanan asing. Ia berani menolak Bank Dunia, dan tidak mau diatur oleh kedutaan AS dalam kebijakan publiknya, adalah bukti tak terbantah. Bahkan dengan ketegasannya itu, ia dihormati di mata internasional.
Sementara sebaliknya, kita bisa melihat pernyataan Hashim Djojohadikusumo soal Prabowo yang pro-Amerika yang beredar di media sosial. Video itu merupakan rekaman pidato Hashim di acara Usindo Washington Special Open Forum Luncheon, yang berlangsung di Washington DC pada 17 Juli 2013. Usindo akronim dari The United States–Indonesia Society, forum lobi kalangan pengusaha, yayasan, dan individu dalam mengembangkan hubungan Indonesia-Amerika Serikat, berkantor pusat di Washington DC, Amerika Serikat.
Dalam video tersebut, Hashim tampak berbicara dalam bahasa Inggris: "Bapak dan ibu sekalian, Prabowo Subianto lulus, mungkin hanya satu-satunya kandidat, mungkin juga Gita, yang lulus dari sekolah di Amerika. Oke, jadi Gita, yang juga akan mencalonkan diri menjadi presiden, Prabowo adalah kandidat lain yang lulus sekolah di Amerika. Jadi, Prabowo adalah seseorang yang sangat pro-Amerika, dia sekolah SMA di Amerika, sekolah sebelum SMA juga Amerika. Dia mengambil sekolah komando pasukan khusus di Fort Benning, Fort Bragg. Saya juga pro-Amerika. Sampai beberapa saat yang lalu, saya seorang investor di California, investor besar, bisnis minyak. Jadi, ya, Amerika Serikat akan menjadi partner yang mendapat perlakuan khusus di dalam pemerintahan yang dipimpin oleh Partai Gerindra,…"

Inkonsistensi Pemimpin. Bagaimana kita melihat hal ini? Mengapa dulu alasan Prabowo mendirikan Partai Gerindra adalah untuk kritik total pada pemerintahan SBY, tetapi akhirnya ia selalu mengatakan mendukung kebijakan, dan akan melanjutkan konsep pembangunan SBY? Bagaimana kita melihat seorang pemimpin jika pandangan-pandangan politiknya inkonsisten seperti ini?
Akan sangat berbahaya, karena oportunisme dan pragmatism sebagai garis kebijaksanaan politik akan menyeret berbagai persoalan serius ke depannya. Termasuk bagaimana nanti, misalnya Prabowo menang, akan berhadapan dengan tarik-menarik kepentingan, seperti diisyaratkan oleh Habib Rizieq.
Mengapa perlu muncul kekhawatiran semacam ini? Alasan paling logis mendukung Jokowi, karena kalau hanya Prabowo versus Jokowi, jelas menang Jokowi. Dari track record dan karakterisasi, Jokowi ‘seng ada lawan’. Tapi NKRI akan berada dalam ancaman, jika niatan Habieb Riziq (atau juga Amien Rais) jadi kenyataan, melalui kuda troya Prabowo.
Adalah Amien Rais yang membuat jelas yang dirasakan oleh garis keras itu: Ia secara eksplisit menempatkan Prabowo – Jokowi dalam konteks perang Badar, perang suci Nabi Muhammad melawan kaum Quraisy kafir, dan menyerang ke Madinah untuk menghancurkan umat Islam yang masih kecil. Ini bukan slip of the tongue Amien Rais, tetapi memang itulah bagaimana mereka melihat pemilihan presiden kali ini.
Mereka melihat Prabowo sebagai panglima dalam perang melawan kafir. Entah Prabowo sendiri menghendakinya atau tidak. Ada sekelompok ulama dan masjid-masjid di mana dikhotbahkan bahwa coblos Jokowi adalah haram. Mengapa sampai sedemikian?
Kalau Prabowo nanti menjadi presiden, karena dukungan pihak-pihak garis keras itu: Bukankah akan tiba pay-back-time? Bukankah akan tiba saatnya di mana ia harus bayar kembali hutang itu? Bukankah rangkulan itu berarti bahwa Prabowo sudah tersandera oleh kelompok-kelompok garis keras itu?
Sesudah Manifesto Perjuangan Gerindra diprotes Dr. Andreas Yewangoe, Ketua PGI, Hashim, yang seorang new born Christian mengaku, bahwa kalimat itu memang keliru. Bahwa Prabowo 2009 sudah mengatakan harus diperbaiki, dan sekarang sudah dihilangkan. Namun fakta sampai akhir Juni 2014 lalu, kalimat itu tetap ada di Manifesto itu di website resmi Gerindra.
Garis pemikiran Prabowo terasa begitu eklektik. Apa yang bermanfaat untuk mendapat dukungan ia ambil begitu saja. Sementara kita tahu, karier kemiliterannya kandas dalam surat DKP (Dewan Kehormatan Perwira), yang tentu mempunyai pertimbangan-pertimbangan khusus. Berbagai tudingan pelanggaran hukum dan HAM, memang belum mendapat keputusan hukum, namun berbagai rekomendasi Komnas HAM sudah berusia 17 tahun dan belum ditindaklanjuti oleh pemerintahan SBY.

Keutuhan NKRI. Mempertahankan keutuhan NKRI terasa jauh lebih penting, daripada mengembangkan oportunisme Prabowo. Bahwa tak ada capres sempurna, memang. Di kubu Jokowi juga ada AM Hendropriyono, Wiranto, dan mungkin Sutiyoso yang bermasalah. Tetapi, dibanding Prabowo (capres itu sendiri yang terkena masalah), Jokowi lebih bisa diharap menyelesaikan sengkarut masalah warisan pemerintahan Orba. Demikian juga pada kasus-kasus permafiaan di Indonesia, dan kasus-kasus korupsi yang meruyak ke seluruh sendi birokrasi pemerintahan.
Pandangan Jokowi sama persis dengan pandangan rakyat kecil mayoritas. Apa sih yang kurang di Indonesia? Orang pinter ada, UU dan aturan pemerintah ada. Tetapi kenapa masalah KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) tidak selesai-selesai, dan bahkan makin akut? Karena tidak ada niatan untuk mengubah semua itu. Karena banyaknya mafia dan pelaku ekonomi rente di negeri ini. Dan tak ada pemimpin yang mau, serta berani, membebaskan dari jeratan semuanya itu.
Figur Jokowi menghadirkan wajah kekuasaan dan pemerintahan yang sama sekali berbeda dibanding sebelumnya. Untuk pertamakalinya, sejak Bung Karno dulu, kekuasaan yang selalu berjarak jauh kini justru terasa akrab. Langsung menyapa dan menyentuh masyarakat. Ia sudah melakukannya di Solo, lalu di Jakarta, lewat gaya blusukan yang menjadi trade marknya dan kemampuannya mendengarkan.
Dalam kampanye Pilpres, gagasan itu berulang kali digarisbawahi. Demokrasi bagi Jokowi, seperti ditandaskan sejak debat pertama Capres, adalah “mendengar suara rakyat dan melaksanakannya”. Tema ini diulangi dalam debat terakhir, maupun saat ia membacakan "Manifesto Jokowi-JK" di hadapan puluhan ribu pendukung yang memadati stadion Gelora Bung Karno saat Konser Salam 2 Jari; “Kami berdemokrasi untuk mendengar. Kami datang untuk ikut menyelesaikan masalah, bukan menambah masalah. Kami hadir untuk ikut memberi rasa damai, bukan jadi pemicu konflik.”
Prinsip sederhana itu, “berdemokrasi untuk mendengar”, rupanya bergema kuat dalam kesadaran public, dan mampu mengundang simpati. Setelah sekian lama “rakyat” hanya jadi pembicaraan lima tahunan, wajah kekuasaan terasa dingin dan berjarak, hanya digenggam segelintir elite, figur Jokowi menyodorkan alternatif segar.
Demokrasi yang ditawarkan adalah “demokrasi partisipatoris”. Seluruh komponen masyarakat ikut serta menentukan masa depan. Dan itu prinsip kedaulatan rakyat yang mesti digenggam oleh Negara demokrasi yang berpaham republik ini. Kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
Kini saatnya, elitisme kita kritik dan sudahi. Oligarki partai mesti diwaspadai, agar kekuasaan bisa dikontrol lebih baik lagi. Rakyat yang berdaulat itu kuncinya. Para elite dari berbagai kelompok masyarakat dan agama, tak bisa lagi menjadi judgment, karena mereka sendiri sebagai elite juga mempunyai kepentingan tersembunyi.
Itu sebabnya, demokrasi kali ini menggairahkan, karena kedaulatan rakyat akan kita ujikan, untuk menyudahi absolutisme kaum elite, yang korup dan manipulatif.
Tinggal pilihan kita, mau melawan atau tunduk. Ini pertaruhan rakyat versus yang ingin mempertahankan kekuasaan usang.


KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...