Kerinduan kita yang paling naif, sering
menyeret-nyeret cinta yang daif, “Tuhan, bicaralah padaku. Bicaralah
padaku Tuhan. Kita bermuka-muka, begitu saja!”
Dan tak pernah
terdengar suara Tuhan bicara, apalagi rupa. Dan hanya mimpi para sufi
yang menceriterakan mengobrol dengan Tuhan sembari menyeruput kopi dan
roti bantat yang lezatos.
Alangkah indahnya andai, kita
bisa mendengar langung suara Tuhan. Jika kita bilang penyanyi idola
kita bersuara keren dan sexy, bagaimana pula dengan suara Tuhan? Hingga
kita kemudian abai, ketika mendengar burung kutilang, suara gemericik
air dari bebatuan kali dan gunung.
Maka, kerinduan atas Tuhan,
membuat kita berteriak-teriak, “Tuhan, bicaralah padaku! Bicaralah,
please,...! Ayo tampakkan dirimu, dan jatuhkan segepok uang di depanku,
plok!”
Segala macam guntur, petir, dan sejuta topan badai mengguruh,
tiada harga untuk kita dengar. Manusia hanya melihat sekelilingnya, dan
bersungut, “Tuhan, biarkan aku melihat Engkau. Biarkan kutatap wajahmu,
wahai!”
Keterpesonaan akan nafsu, membuat kita tak lagi melihat
keindangan bulan dan bintang, meski pun bersinar terang. Manusia tidak
melihatnya, karena gitu inginnya melihat pesona wajah Tuhan.
Dan,
kita terus, terus, dan terus berteriak lagi, “Tuhan, tunjukkan aku
keajaibanmu, mu dengan M besar, karena alangkah kurangajarnya jika aku
menuliskan mu dengan m kecil!”
Segala pernik huruf saja bisa membuat orang dihukum sebagai kafir.
Terus dan terus kita berseru, dalam keputusasaan, “Tuhan, jamahlah aku,
Tuhan! Raihlah! Sentuhlah! Eluslah! Belailah! Touch me now, my Lord!”
Tapi, kita mengusir kupu-kupu yang terbang mengitari putik bunga. Kita
melenguh-lenguh melihat keringat berleleran di tubuh, dan kita buru-buru
menggantinya dengan bergalon-galon air masuk ke tubuh kita. Membasahi
kerongkongan kering kerontang.
Kita memalingkan wajah dari
wajah-wajah nelangsa di jalanan terik. Sembari membiarkan matahari terus
bergulir, tenggelam dalam kelam malam, dan muncul kembali di ufuk fajar
keindahan.
Tuhan belum nampak jua. Dan kita berkeluh-kesah, bahwa Tuhan diam belaka, tak hendak sejenak pun menjenguk kita.
Di mana Tuhan, di mana Tuhan!
Hingga pita suara kita lecet dan serak, “Tuhan, aku membutuhkan pertolonganmu! Cash and carry! Please, come on,...”
Namun lagi-lagi, beribu sms, beratus email, berjuta status di fesbuk,
milyaran huruf-huruf para ikhwan dan akhwat,lewat gitu saja dari mata
kita.
Kita selalu ingin mengekstrak Tuhan, menjadi material beku,
yang bisa kita sentuh setiap waktu, bagaikan patung-patung batu dari
sejarah peradaban kita, bagaikan liontin pada kalung keimanan kita.
Namun, bersamaan itu pula, semakin kita kehilangan kepekaan, bahwa Tuhan
senantiasa hadir, menyusup dalam ruang dan waktu, denyut nafas dan
aliran darah kita. Kita, sering terlalu bermewah-mewah, bahkan dalam
mencintai Tuhan pun, kita kehilangan kesahajaan, kesederhanaan,
kerendah-hatian.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar