Senin, Desember 18, 2023

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO


Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan salah mikir, akan berkibat luas dan luar biasa. Dalam keadaan normal maupun darurat.

Jokowi yang menjadi penguasa sekarang ini, contoh yang baik untuk kasus ini. Baik dalam konteks relevan; Tentang bagaimana akibat-akibat dari semua keputusan politiknya, yang mempengaruhi hajat hidup banyak orang, atau segelintir ordal. Juga contoh baik tentang hal-hal yang perlu dikritisi dan disembunyikannya. Apalagi ketika Pratikno sebagai Mensesneg mengatakan lupa, dan stafsus Presiden dengan naif mengatakan “tidak ada dalam catatan agenda kepresidenan”. Politik kekuasaan, tak senaif itu.
 
Satu-satunya penggambaran ideal mengenai seorang pemimpin, mungkin secara kritis dan terbuka, justeru bisa kita dapatkan dalam pidato sambutan Ketua Panitia Haul ke-14 Gus Dur, yakni Inayah Wahid (17/12/23). Dibandingkan Cak Lontong, yang disebut komedian cerdas, Inayah adalah seorang komedian genuine. Bisa jadi karena mentornya adalah Gus Dur. Ia bisa menjadi lebih independen dan otentik. Barangkali karena tanpa pretensi. 
 
Jokowi sendiri dalam pidato pelantikan di parlemen, menyatakan prihatin dengan persoalan cara kita berdemokrasi. Yang dinilainya mulai menjauh dari nilai-nilai etika, kesopan-santunan dan adab sebagai bangsa sebuah negara berdasarkan Pancasila. Tetapi bagaimana dalam praksis kekuasaannya? Kita justeru bisa melihatnya dari apa yang menggonjang-ganjingkan situasi politik kita hari ini.
 
Mengutip pikiran Gus Dur ketika mendirikan Fordem (Forum Demokrasi) di tahun 1990, Inayah juga mempertanyakan tentang seolah-olah demokrasi pada hari-hari ini. Yang semuanya itu menggambarkan persoalan fundamental kita, mengenai etika atau adab itu, justeru masih menjadi masalah di kalangan elite politik. Bahkan pada mereka yang sedang mempunyai kekuasaan dan/atau yang ingin melanjutkannya. 
 
Sementara yang disebut pesta demokrasi, berkait Pemilu –Pileg maupun Pilpres, lebih ribut soal elektoral, angka-angka, menang-kalah. Kalaupun ngomongin benar-salah, konteksnya penuh bias karena didominasi masing-masing kepentingan. Apalagi kini, dalam kaitan menang dan kalah itu, pesta demokrasi kita sampai pada taruhan Alphard, justeru dilakukan pada level mereka yang menjadi jubir, timses, bahkan analis politik. Betapa mahalnya demokrasi kita, di hadapan rakyat jelantah, yang selama ini dijadikan objek permainan kekuasaan bernama demokrasi.
 
Sementara kian hari kian memperlihatkan, bagaimana (utamanya) Pilpres 2024 ini. Terakhir-terakhir, makin terasa menjelaskan, pertarungan apa yang terjadi. Munculnya istilah ‘badak vs banteng’, menjelaskan hal itu. Ada dua pertarungan besar, yang diwakili koalisi Jokowi di satu sisi, dan koalisi yang berseberangan dengan kepentingan koalisi itu. 
 
Jika melihat isu utamanya, koalisi Jokowi jika dicermati justeru berkecenderungan mengebiri spirit Jokowisme. Bukan akan melakukan keberlanjutan sebagaimana yang sering dikatakan secara verbal, tetapi ke pengikisan perlahan. Untuk kemudian ketika kekuasaan penuh di tangan, Jokowisme akan tersingkirkan dengan sendirinya. 
 
Pada perjalanan pemerintahan Jokowi periode ke-dua, all the president’s men dipenuhi para teknokrat dan orang-orang dengan orientasi pembangunanisme. Jokowi sedang melakukan kapitalisasi dan investasi politiknya. Namun, birokrasi tampak bersih di dalam, banyak masalah di lapangan. Dari persoalan tambang, pertanahan, BUMN, muncul berbagai konflik of interest. Tidak ada visi menteri, yang ada visi presiden. Tapi beberapa anggota kabinetnya terjebak korupsi, menunjukkan anomali itu. Tak ada pengawasan atau kontrol Presiden, sebagai pemilik visi yang konon sangat detail --dan punya sumber informasi canggih, atau pembiaran? 
 
Menariknya, Indonesia yang terikat dengan konvensi perjanjian international, berkait perlindungan pada hal-hal tertentu, bertabrakan dengan ‘pembangunanisme’ yang berpotensi konflik. Kasus di Kendeng, Wadas, contoh soal seperti itu, dan pemerintah pusat bisa gampang cuci tangan untuk mencari siapa bisa dikorbankan. Kawasan pertanahan yang masuk dalam ‘lanskap kebudayaan’ yang proyek-proyeknya didanai Unesco, bertabrakan dengan orang-orang dekat kekuasaan, yang acap memaksakan kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok. 
 
Kini bergabungnya Prabowo dan Luhut Binsar Panjaitan, dalam satu barisan, dengan para pendukung yang menyadari posisi lemah mereka --seperti SBY, apalagi Wiranto, Agum Gumelar, hanya menunjukkan apa yang terjadi. Bahkan, Titiek Prabowo dari kubu Cendana, kini adalah ditahbiskan sebagai dewan pembina partai Gerindra. Prabowo dan Luhut bukan sekedar prototype militer, tetapi militer bekas di Indonesia yang sejarahnya lahir dari Orde Baru Soeharto.
 
Dalam survey Litbang Kompas terbaru, yang tak banyak dibicarakan, elektabilitas Gerindra menjadi tertinggi. PDIP kedua, tetapi Golkar sebagai ke-tiga, selisihnya dua kali lipatnya. Gerindra mencapai 21%, PDIP 18%, Golkar 10%. Bagaimana bisa? Karena Golkar bisa jadi sudah tak bergigi, atau setidaknya kepemimpinan sektor pewaris Orde Baru itu, berpindah dari Airlangga Hartarto yang lemah ke Prabowo, yang dianggap lebih strong.
 
Bersatunya oligarki dan kekuasaan itu menjadi nyata. Jokowi adalah tunggangan yang baik. Pragmatisme kepemimpinannya --karena itu nir ideologi, memposisikan dirinya butuh pendukung, bukan pengarah. Perpisahan Jokowi dengan Megawati, bisa dilihat dalam perspektif ini.
 
Di mana rakyat jelantah? Itu cukup dengan bansos, blt, impor beras, dan seterusnya. Ditanyai terus soal jenis-jenis ikan, tetapi tak pernah diberikan pancing. Kapan bangsa ini mau mandiri? Tentu saja kelak kalau pendekatan kebangsaan dan kenegaraan ini, sesuai sesanti Bung Karno, jika sudah ‘rakyat kuat negara kuat’. A hungry man is not a free man. Mereka tak butuh ideologi. Never argue at the dinner table, for the one who is not hungry gets the best of the argumen, ujar Richard Whately, ahli logika, teolog dan ekonom abad 18 dari Inggris. 
 
Mangkanya, jangan berdebat di meja makan. Bagi orang yang tidak lapar, dia selalu mendapat posisi yang terbaik dari argumen ini. Dan Jokowi, dari pelajaran pertama yang didapatnya di Solo, memakai meja makan sebagai tempat diplomasi politiknya. Termasuk ketika mengundang makan artis dan para pelawak pun. Waktu itu, mungkinuntuk menertawakan Prabowo, sebagai lawan politiknya. Kini bisa sebaliknya. |@sunardianwirodono

Minggu, Desember 17, 2023

Kelemahan PDIP dalam Pilpres 2024

 Kekuatan PDI Perjuangan dibanding partai politik lain, karena ideologinya. Kelemahan PDI Perjuangan dibanding partai politik lain, karena ideologinya pula.

Namun, sisi kelemahan itu bisa diatasi. Sekiranya elite dan kader PDIP, para petugas partai itu, mampu menemukan cara mengkomunikasikan ideologi dengan cara ‘tak ideologis-ideologis’ banget. 
 
Cara-cara yang ideologis banget itu, seperti gaya Mbak Mega kalau pidato dengan tensi mulai meninggi. Atau mendengar gaya ngomong Hasto, sekjennya, yang doktor ilmu politik itu. Melihat mereka pidato, selalu mengingatkan gaya pidato Bung Karno, Mbah Tardjo, atau orang-orang PNI jaman doeloe kala. Tapi sekarang jadi saltum dan salpos.
 
Bagus sih, tapi kalau tak dibarengi dengan kharisma kuat, kasihan tenggorokan. Pernah lihat gimana Jokowi pidato memekik-mekik? Karena dia bukan orator dan tak bisa menyembunyikan emosinya. Jokowi itu, kalau marah atau jengkel, kelihatan. Yang ngomong Jokowi pinter nyembunyiin emosi, hanya yang kalah tatapan mata saja. Kayak rakyat jelantah jaman sahandap sampeyan dalem.
 

Saya nggak ngerti, entah karena bergaul dengan Boedi dan Arie dari Total Politik atau gimana, Bambang Patjoel, politisi senior PDIP, kini gaya bicaranya tidak sangat ‘korea-korea’ banget. Nggak kayak Pak FX Rudi lagi. Kalau pun ada baunya Korea, sekarang mazhab dia adalah K-Pop.
 
Ganjar Pranowo juga gitu. Jika tak hati-hati, gaya slenge’annya bisa jadi bumerang. Atau dipotong-potong untuk alat membully-nya. Tapi saya sendiri juga tidak tahu, kalau diminta merumuskan, ngomong yang serius namun enteng berisi itu gimana. Karena menjadi diri sendiri, di jaman generasi asuhan rembulan ini, dasarnya Cuma soal suka tidak suka.
 
Dunia gagasan, atau gagasan yang memimpin, sudah menyusut di belantara medsos. Apalagi dalam disrupsi era post-truth. Semua bisa dibolak-balik. Bukan hanya ideologi bisa dikalahkan joget gembusy, tetapi kebenaran pun bisa disalahkan. Kesalahan bisa jadi kebenaran. Coba tanyakan kepada para aktivis ’98, yang kemarin dikumpulin Nusron Wahid, untuk bikin testimoni yang filosofis dan humanis tentang Prabowo Subianto.
 
Kalau soal penyebutan ‘petugas partai’, tidak usah merasa salah. Karena itu aturan internal partai. Mau gitu, nggak mau keluar. Gitu doang. Tapi kalau keluar, ya, pamit kek. Untuk menjelaskan bahwa dirinya punya fatsun politik. Jangan sampai seperti kacang lupa kemelaratannya.
 
Dengan ideologinya yang jelas, jadi aneh kalau sikap politiknya nggak jelas kepada Jokowi. Katanya kader terbaik, tetapi kedisiplinan dalam partai tidak baik. Dan PDIP tak bisa bersikap tegas. Ini partai politik dengan ideologi jelas atau tidak jelas, sih? Seperti kata Anies semalam, hukum tajam ke bawah tumpul ke atas. Katanya partai egaliter, kok diskriminatif? Dilematis ya, mangkanya Puan Maharani perlu ke Singapura nemuin Luhut Binsar Panjaitan?
 
Kalau persoalannya bukan kalah-menang capres-cawapres lagi, terus ngapain terpecah-belah dengan urusan sing-masing? Sekarang cukup mikirin kursi dapil masing-masing saja? Katanya partai wong cilik? Partai ideologis? Partai kader? Anggota partai adalah petugas partai? Tugasnya apa’an? Karena duit nggak lancar? Mampetnya di mana? Kenapa? Ada sabotase? Nggak kompak? Nggak satu agenda? Musuh dalam selimut? Agen ganda?
 
Teoritis perlu. Ideologis perlu. Tapi bagaimana menjadi sesuatu yang menggerakkan. Gitu lho, Om Irsjad, Om Andi, Mas Seno, Tante Puan, Tante Dani,… Ngapain juga bikin slogan Jokowi 3.0? Takut melawan Jokowi? Dulu Soeharto aja dilawan kok. Lagian, waktu Rakernas IV, pidato Bu Mega soal kedaulatan pangan bagus banget. Tapi mana turunannya? Rakyat hanya butuh gimana antara upaya kerja mereka memadai dengan penghasilan. Anak-anak mereka dapat makan, berangkat sekolah. Yang muda lulus sekolah bisa kerja atau nerusin pendidikannya. Tidak jadi korban pinjol. Bisa beribadah --atau tidak, tapi dengan bebas dan damai.
 
Atau semua itu karena nggak pede dengan Ganjar dan Mahfud? Karena nggak ada duitnya? Katanya nggak ada urusan duit? Katanya banteng ketaton? Atau masih ada dusta di antara banteng? Mau menang satu putaran dari Hong Kong? Mau ngalahin Prabowo dan Anies, tapi nggak ndukung Ganjar? Kalau nggak ndukung Ganjar, ‘kan bisa nyoblos Mahfud? 
 
PDIP ini absurd! Absurd atau putus asa?

BAGAIMANA CARA MEMBACA SURVEY?

 

Survey paling sahih, berkait Pileg atau Pilpres 2024, tentunya yang diadakan KPU pada tanggal 14 Febrauri 2024. Karena hanya hasil darinyalah yang mempunyai kekuatan hukum, konstitusional, dan berakibat pada terpilihnya anggota parlemen dan presiden-wakil presiden Republik Indonesia.
 
Sementara itu, rilis berbagai lembaga survey, baik yang baik maupun baik yang buruk, yang dirujuk untuk tingkat elektabilitas kandidat Pemilu 2024, adalah ‘capture’, ‘snapshot’, ‘potret’, atau jepretan pada suatu waktu dan suatu tempat. Sementara ‘suara’ yang di-capture tersebut, tentu dengan sendiri tak akan terfrozen membeku, tak bergerak sebagaimana hasil capture-an yang terjadi.
 
Sehabis dipotret, para subjek, responden, sebagai pemilik hak suara adalah manusia hidup. Mereka berinteraksi, bersosialisasi, bergerak, bertemu dengan berbagai hal, pikiran, ide, usulan, kemarahan, renungan, temuan, proses, intimidasi, sogokan, dan lain sebagainya. Yang karena hal itu, apa yang dipikirkan dan dikatakan ketika dipotret lembaga survey, bisa berubah. Bahkan, ketika lembaga survey merilis hasil jepretan mereka, kondisi lapangan sudah berbeda lagi.
 
Seperti halnya omongan Fahri Hamzah dan Luhut Binsar Panjaitan, yang tak berbeda dengan pejabat Orde Baru dulu. Bahwa hasil Pemilu sudah diketahui jauh sebelum Pemilu dilaksanakan. Termasuk omongan Hendropriyono, yang mengatakan kemenangan salah satu paslon. Tetapi semua omongan itu hanya akan akan sangkil dan mangkus terjadi dalam masyarakat hampa udara. 
 
Dalam masyarakat yang bergerak, apalagi bergolak, bisa berbeda hasilnya. Apakah dalam masyarakat yang capek, apatis, dan membiarkan operasi intelijen yang bergerak. Atau pada masyarakat yang bereaksi terhadap pelanggaran konstitusi, dan menolak penistaan demokrasi? Karenanya, berbagai lembaga survey atau pollster sering mendahului rilisnya dengan disclaimer; Jika Pemilu dilaksanakan hari ini. Jadi, kalau meleset mereka bisa berkilah. 
 
Disamping pergerakan masyarakat, bagaimana pula survey sebagai hasil reportase sikap publik disikapi para pihak berkepentingan. Apakah akan menolak, membantah dan marah-marah? Atau memakainya sebagai masukan, bahan evaluasi? Sehingga dari sana lahir antisipasi atau adaptasi. Jika suaranya turun, karena apa dan bagaimana mengatasi. Jika suara naik, karena apa dan bagaimana mempertahankan atau melipatgandakannya. 
 
Dari sana bisa terjadi lagi pergeseran atau konfigurasi suara. Sampai titik finalnya, pada ‘official survey’ yang diselenggarakan KPU pada 14 Februari 2024. Itu pun sekiranya satu putaran. Jika tidak, Pilpres akan dipepanjang hingga Juni 2024.
 
Terbayang bagaimana melelahkannya. Karena syarat menang satu putaran, bukan sekedar mendapat 51% suara dari 204 juta suara, tetapi plus minimal raihan 20% suara dari setiap provinsi pada separoh total jumlah provinsi di Indonesia (UU Pemilu 2017).
 
Memang, tampaknya hanya keajaiban yang bisa menjanjikan. Setidaknya, seperti dikatakan kubu Anies, jika tuhan menghendaki. Masalahnya, tuhan menghendaki atau tidak? Itu yang harus ditanyakan kepada tuhan.
 
*
 
Kalau ada lembaga survey abal-abal, pesanan dari para kandidat, itu sama saja bunuh diri. Hanya kontestan bodoh melakukan hal itu. Walau pun belum tentu lembaga survey dipesan karena kebodohan.
Ada juga lembaga survey dipesan karena strategi. Bikin survey tipu-tipu, untuk sebuah rencana ke depan. Jika pemilu dimenangi dengan curang, lembaga survey abal-abal bisa dipakai melegitimasi bahwa mereka layak menang. 
 
Meski pun juga, tentu, lembaga survey tipu-tipu bisa dipakai untuk membangun opini publik. Mempengaruhi pikiran publik, bahwa si calon ini unggul dan layak pilih. Senyampang itu bukan hanya untuk membuat lawan jiper, tetapi membuat rakyat jelantah terombang-ambing. Berpindah atau makin mantab dengan pilihannya. 
 

Dari temen-temen yang punya grup whatsapp –karena saya tidak menjadi anggota wag manapun, saya sering dikirimi hasil-hasil survey yang menunjukkan kekalahan survey jagoannya. Di situ saya bertakon-takon, mau-maunya menjadi distributor informasi gratisan dari lembaga survey yang mencemaskannya itu. Mau menularkan kecemasan? 
 
Survey atau pun polling, dibangun dengan metode ilmiah, dan bisa dipertanggungjawabkan. Tapi kalau hasil lembaga ini tak bisa dipertanggungjawabkan, biasanya lahir dari yang ingin mengecoh kesadaran publik. Mereka yang hanya ingin mengeksploitasi ketidaktahuan untuk keuntungan sebesar-besarnya elite politik client mereka. Tentunya, sekaligus keuntungan sebesar-besarnya bagi mereka sendiri.
Apalagi ketika perubahan demokrasi lebih mengarah semata soal kontestasi kalah dan menang. Angka-angka dalam sektor apapun yang meningkat, tetapi nilai dan substansinya menurun. Apalagi ketika konsultan atau analis politik, juga lembaga poollster hanya ngomongin bagaimana cara menenangkan para kandidat. 
 
Tanpa seupritpun pendidikan kesadaran politik, maka akan makin banyak manipulasi dilakukan. Termasuk ajakan politik kegembiraan untuk menggeser politik kemuliaan. Yang terjadi adalah sekedar mobilisasi, bukannya partisipasi. Contoh nyatanya, menyatakan rakyat yang menentukan. Padal, sebelum rakyat menentukan, elitenya sudah menentukan terlebih dulu, apa yang harus ditentukan rakyat itu. Bahkan harus dengan mengubah bunyi aturan permainan yang bernama konstitusi pun. 
 
Di situ mangkanya, jangankan jadi konsultan politik. Jadi relawan saja, di era Jokowi, bisa diangkat jadi menteri. Bukan lagi sekedar komisaris BUMN. Demokrasi perlahan dibawah ke ranah private dengan ukuran private. Bukan lagi ranah publik dengan ukuran publik. Setelah elitisme politik, lahirlah personalisasi demokrasi, hingga kultus individu. Di situ pendekatan politik beralih ke soal angka-angka --bukannya nilai-nilai. 
 
Sementara dalam rupiah, angka dan nilai itu biasa berkelit dalam kelindan dialektika. Haiyah, ngemeng epeh! Albert Camus pun bisa keliyengan mikirin penyinyiran Voltaire soal uang. Apalagi sekelas Noel dan Gus M cum suis.
 
*
 
 
Dibanding lembaga survey lainnya, lembaga survey dari Litbang Kompas, sepertinya mendapat kepercayaan paling tinggi dari netijen. Apalagi netijen pendukung yang diuntungkan oleh hasil survey itu. 
 
Dan biasa, yang diuntungkan akan joget-joget mengejek-ejek yang galau. Selalu begitu dari kubu mana saja. Manusiawi. Jokowi juga demikian responsnya. Bedanya, Jokowi galau kenapa Paslon 01 bisa menyalip 03, itu di luar ekspektasi.
 
Baiklah. Dengan rujukan litbang Kompas, seolah Pemilu, terutama Pilpres 2024, sudah berakhir. Persis seperti yang diyakini Fahri Hamzah dan Luhut Binsar Panjaitan. Padal hasil survey itu sesungguhnya tidak sangat memuaskan. Kenapa Litbang Kompas hanya ‘menetapkan’ angka di bawah 40% bagi paslon 02? Jika dikaitkan perolehan Pilpres 2019, ketika suara Prabowo digabung suara Jokowi, mestinya bisa di atas 80%, seiring dengan approval rating Jokowi yang hingga sebelum keputusan MK nomor 90 di atas 80%.
 
Kalau melihat hasil survey Litbang Kompas yang memposisikan suara PDIP dalam Pemilu 2024 sebesar 18,3%, disalip Gerindra yang naik 3% menjadi 21,9% --sementara PDIP turun 6,1%, terjadi missing link di situ, karena terlihat tak ada pengaruh signifikan pemilih Jokowi beralih (sepenuhnya) ke Prabowo, sekalipun ada Gibran di situ, dan sekalipun angka paslon 02 naik.
 
Tambah agak mengherankan, membicarakan hasil lembaga survey lainnya, yang memposisikan perolehan Paslon 02 di atas 40%, bahkan mencapai 45% sekalipun, yang artinya sama sekali belum juga mencapai 50%, kecuali hasil survey New Indonesia yang menempatkan Prabowo tembus 50,5%.
Menjadi membagongkan, dengan temuan Pollmark yang diawaki Eep Saefulloh Fatah. Dari sebagian angka yang dibocorkan, sehari setelah rilis Litbang Kompas. Pollmark dengan responden 1.200 X 32 propinsi. Sementara Litbang Kompas dll, rerata responden mereka di bawah 1.500. Di Pollmark ditemui undecided voters di atas 40% --dan bukannya di bawah 20% dibanding lainnya. Hasil survey Pollmark belum dirilis secara resmi –tapi mungkin setelah dibocorkan di Bandung, kemudian malah ilang termasuk surveyor-nya.
 
Lepas dari apapun hasil survey, itu adalah capture atau snapshot pada waktu itu. Bagi yang tidak bisa membaca dan menganalisis survey, menganggap hasil survey adalah final. Padal, akan sangat tergantung dari respons masing-masing kontestan. Bisa lebih naik bisa lebih turun, tergantung apa yang dilakukan kemudian (berdasar masukan survey tadi). Hingga hari coblosan 14 Februari 2024. Baik untuk survey yang bersih atau pun tak bersih. 
 
Karena konon ada model baru, seperti desas-desus yang muncul dalam proses pengambilan sampling suara. Bagaimana area-area responden sudah ‘dibasahi’ dengan berbagai guyuran sebelum tim survey tiba. Apalagi, konon demi keamanan, ke mana surveyor melangkah ditemani aparat dari level mana pun, sebagaimana kini untuk melakukan survey harus mendapatkan ijin dari aparatus setempat, yang harus menyertakan area dan jadwal survey. Apalagi jika soal jendral bintang 7 yang menelpon Kepala Litbang Kompas seperti dikatakan Ketum DPP-NCW, Hanifa Sutrisna, bisa dibuktikan. 
 
Saya menulis ini tak berkepentingan siapa diuntungkan dan dirugikan hasil survey. Tetapi saya hanya ingin ingatkan, hasil survey tak selalu linier dengan hasil kontestasi. Jokowi sendiri pernah mengalami hal itu. Dan banyak lainnya di level bawahnya. Apalagi kalau misalnya pemilih Indonesia patuh pada ajaran Prabowo, yang pernah mengatakan soal money politics; Terima duitnya jangan pilih orangnya!
Itu dikatakan 21 Juni 2018, ketika membuat video penggalangan dana publik untuk Pilpres 2019. Jika nasihat itu dipatuhi, oleh siapapun, bisa menjungkir-balikkan kalkulasi yang telah menghabiskan puluhan trilyun rupiah. Apalagi, masih menurut Prabowo lagi (4/5/2018), survey itu tergantung siapa yang bayar.
 
Saya tidak tahu, pihak mana yang dalam pilpres kali ini, menghabiskan dana sebesar itu. Prabowo mungkin tidak tahu, karena menang atau kalah, sama-sama menghabiskan banyak duit. Jokowi pun saya kira juga tidak tahu, kecuali yang ditandatangani Menkeu Sri Mulyani sebesar Rp71,3trilyun.
Namun pasti, duit yang berputar di atas itu, jika masing-masing kontestan harus membayar Rp100ribu saja untuk seorang relawan, yang harus ditempatkan di 820.161 TPS se Indonesia Raya. Belum biaya-biaya APK. Namanya juga pesta demokrasi. Bener-bener pesta. 
 
Makanya rilis hasil survey selalu menjadi bahan claiming and bullying masing-masing pihak. Karena selain untuk analisis para pihak, rilis hasil survey juga bisa untuk menggiring opini publik. Apalagi jika surveyor-nya merangkap konsultan politik, atau separoh dukun, yang memastikan client-nya bakal menang satu putaran. Namanya juga orang jualan, di tengah rakyat jelantah yang entah-berantah.
 
@SUNARDIAN WIRODONO 
 

Minggu, Februari 14, 2021

Bubarkan Saja Dewan Pers

 Oleh : Sunardian Wirodono

Kalau saya menuliskan judul ‘Bubarkan Saja Dewan Pers’, tak lebih menanggapi seruan orang Dewan Pers, yang menyatakan bahwa ‘kehadiran buzzer mengganggu kebebasan pers.’. Lebih lanjut dikatakan oleh anggota Dewan Pers Asep Setiawan, sebaiknya buzzer ditiadakan. 
 
Alasannya, sudah ada pejabat humas pemerintah yang menjawab jika kritik pers perlu direspons. Haduh, ini logika cemana? Dewan adalah ke-dewa-an, ia mewakili pemikiran yang substansial, tinggi dan mulia. Tapi lha ini kok picik bener?
 
Menyandingkan buzzer dengan pejabat humas di pemerintahan, adalah pemikiran kadrun banget. Nggak usah baper, kadrun hanyalah penyamaan oknum yang suka memandang segala sesuatu dari sudut politis. Namun ketika mereka sendiri memakai frame itu, ngelesnya selalu soal hak demokrasi untuk menyampaikan pendapat. Kebebasan berekspresi. Terus kemudian merembet ke hak azasi manusia dan seterusnya.
 
Lebih-lebih pendapat yang mengatakan buzzer ditiadakan itu, menopang pernyataan sebelumnya; bahwa kehadiran buzzer membahayakan pers. Hal itu disampaikan oleh Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers.
Framing yang ingin dimunculkan adalah; buzzer ‘peliharaan’ pemerintah. Bahkan ada sebutan ‘BuzzerRp’. Dalam salah satu sidang parlemen, ada anggota DPR-RI menanyakan mengenai anggaran negara bagi biaya buzzer itu. 
 
Biyingkin. Kehadiran buzzer membahayakan pers. Dan senyampang itu, Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers di Dewan Pers, kebetulan ‘orang’ Tempo. Kita tahu cover-cover majalah Tempo, selalu menjadi kontroversi dalam perdebatan mengenai persoalan etis dalam etika pers. Media sering terlihat kritis, tetapi ketika dikritisi ternyata sami-mawon. Tipis kuping dan tebal muka. 
 
Karena punya kuasa-nilai, Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers ngomong buzzer membahayakan pers. Buzzer bukan mengritik berita yang disiarkan pers, tapi ‘kerap’ melancarkan serangan kepada pers itu sendiri.’ Kalimat yang agak susah dipahami, mangsudnya apah? Ya, jangan berlayar jika takut ombak. Bahwa ada buzzer yang menjengkelkan dan bajingan, hal yang sama juga ada pada anggota pers. Bukan persoalan medianya. Mari adil melihat masalah. 
 
Apa sih buzzer itu? Mendefinisikan buzzer sebagai peliharaan pemerintah (bahkan menyamakan fungsi dengan pejabat humas pemerintah), sungguh naif. Kalau buzzer ditiadakan, maukah misal Dewan Pers juga menghilangkan buzzer bagi Dewan Pers, buzzer bagi Tempo, buzzer FPI, buzzer kadrun, buzzer SJW (social joker warrior)? 
 
Buzzer lahir karena teknologi komunikasi memungkinkan. Sesuatu yang gagal dilakukan oleh pers dalam mendorong keberanian rakyat menyuarakan hak-haknya. Buzzer sesuai sejarah kemunculannya, adalah ‘akibat dari’ situasi demokratisasi yang tidak berjalan normal. Proses amplifying adalah hal wajar dalam masyarakat terbelah. Tentu saja bising dan memekakkan telinga. Tapi itu resiko ketika elite gagal mengedukasi masyarakat. Dan jangan bandingkan ketika alat komunikasi dan informasi kita masih memakai kenthongan di pos ronda. 
 
Kalau Dewan Pers maunya menjaga dan melindungi, pers macam apa yang mau dilindunginya di abad digital? Kini dengan teknologi komunikasi dan informasi kiwari, semua anggota masyarakat adalah tokoh masyarakat. Apalagi jika benar sinyalemen JA Prasetyo (Stanley), mantan ketua Dewan Pers, terdapat lebih dari 300 juta telepon genggam di Indonesia yang berpenduduk 270-an juta. Jumlah yang agak fantastis, karena Kemenkominfo menuliskan data 160 juta, dan di atas 80% pengguna aktif. 
 
Dengan jumlah seperti itu, hampir menyamai pemilik hak suara ketika Indonesia menentukan nasib demokrasinya dalam Pemilu. Padal, hak bersuara mereka, yang diampu bebas oleh perkembangan teknologi, berada dalam ancaman sistem hukum yang ketat. Tanpa perlindungan dan sistem peradilan yang fair, ketika UU-ITE acap dijalankan dengan tebang pilih. 
 
Orang kecil bisa dipenjara, tapi yang punya temen elite atau politikus bisa diselamatkan. Padal, ancaman penjara tak main-main. Bisa 5-6 tahun untuk kasus sumir ‘perlakuan tidak menyenangkan’. Sementara jika ada anggota pers melakukan ‘kesalahan’, Dewan Pers bisa melindungi dengan pasal karet kebebasan pers. Cukup memberikan ruang ‘hak jawab’. Hak bertanyanya diberikan tidak?
Sekali lagi, kayak MUI, lembaga Dewan Pers juga bakalan sirna tanpa harus dibubarkan paksa. Apalagi kalau kita lihat, lembaga ini juga tak mampu menjaga marwah media pers di jaman berubah ini. Merespons hadirnya media online saja, Dewan Pers tak punya rumusan memadai. Apalagi dengan pemahaman definisi buzzer yang naif dan reaktif. 
 
Karena gagal atau gagap menanggapi perubahan, kekuatan ke-4 demokrasi ini (di Indonesia), ternyata hanya mitos. Demokrasi di Indonesia, mungkin saja dipelopori oleh pers. Namun di jaman ini, revolusi teknologi komunikasi dengan hadirnya berbagai platform medsos, adalah sebuah keniscayaan, tak terbendung. Dengan tingkat literasi yang rendah, tak bisa menyalahkan pada satu sisi.
 
Jangan pula lupa, dengan penduduk 270 juta, oplah tertinggi yang pernah dicapai koran di Indonesia, hanya diraih oleh Kompas dengan 600 ribu eksemplar. Itu pun dulu. Sekarang sudah turun drastis dengan adanya android di tangan masyarakat Indonesia. 
 
Apalagi ketika Dewan Pers senyatanya, juga tak bisa membasmi adanya wartawan amplop (baik amplop gede maupun kecil), atau media yang jadi ‘buzzer’ bagi lawan kepentingannya. Ini proses disrupsi yang menyakitkan. Tapi jika karena itu kemudian yang menulis opini seperti ini terus disebut ‘BuzzerRp’? Atau hanya akan dipuji mereka kalau mengritik Jokowi? Adillah sebelum kentut. Tabik! | @sunardianwirodono
Begini Cara Kerja Buzzer dan Kisaran Gajinya Kompas.com - 12/02/2021, 15:30 WIB Bagikan: Komentar 1 Ilustrasi. Lihat Foto Ilustrasi.(SHUTTERSTOCK) Penulis Muhammad Choirul Anwar | Editor Bambang P. Jatmiko KOMPAS.com – Penggunaan buzzer untuk tujuan tertentu semakin marak dan kerap mengundang perdebatan. Ternyata, ada riset khusus mengenai buzzer yang pernah diterbitkan University of Oxford pada tahun 2019 lalu. Penelitian ini berjudul “The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation”. Dalam penelitian itu, buzzer disebut sebagai pasukan siber, yakni instrumen pemerintah atau aktor partai politik yang bertugas memanipulasi opini publik secara online. Penelitian ini secara komparatif memeriksa organisasi formal pasukan siber di seluruh dunia dan bagaimana para aktor ini menggunakan propaganda komputasi untuk tujuan politik. Dalam laporan tersebut, pihaknya memeriksa aktivitas pasukan dunia maya di 70 negara, termasuk Indonesia. Baca juga: Beli Mobil Baru Bebas Pajak, Ini Respons Pengusaha Temuan dari penelitian ini menunjukkan adanya variasi di berbagai negara mengenai skala dan rentang waktu pemanfaatan tim buzzer. Di beberapa negara, tim muncul untuk sementara waktu di sekitar pemilihan atau untuk membentuk sikap publik seputar acara politik penting lainnya. Lakukan Kontrol Di sisi lain, ada buzzer yang diintegrasikan ke dalam lanskap media dan komunikasi dengan staf bekerja penuh waktu. Mereka bekerja untuk mengontrol, menyensor, dan membentuk percakapan dan informasi online. Beberapa tim terdiri dari beberapa orang yang mengelola ratusan akun palsu. “Di negara lain - seperti China, Vietnam, atau Venezuela - tim besar orang dipekerjakan oleh negara untuk secara aktif membentuk opini publik,” tulis laporan ini dikutip Jumat (12/2/2021). Buzzer ini menggunakan berbagai strategi komunikasi. Penelitian ini mengkategorikan kegiatan buzzer ke dalam empat kategori. Pertama, penciptaan disinformasi atau media yang dimanipulasi. Kedua, pelaporan konten atau akun secara massal. Ketiga, strategi berbasis data. Keempat, trolling, doxing atau gangguan. Kelima, memperkuat konten dan media online. Penciptaan disinformasi atau media yang dimanipulasi adalah strategi komunikasi yang paling umum. Di 52 dari 70 negara yang diperiksa, pasukan siber secara aktif membuat konten seperti meme, video, situs web berita palsu, atau media yang dimanipulasi untuk menyesatkan pengguna. “Terkadang, konten yang dibuat oleh pasukan siber ditargetkan pada komunitas atau segmen pengguna tertentu. Dengan menggunakan sumber data online dan offline tentang pengguna, dan membayar iklan di platform media sosial populer, beberapa pasukan siber menargetkan komunitas tertentu dengan disinformasi atau media yang dimanipulasi,” lanjutnya. Adapun, penggunaan trolling, doxing, atau pelecehan merupakan tantangan dan ancaman global yang berkembang terhadap hak asasi manusia. Terdapat 47 negara telah menggunakan trolling sebagai bagian dari senjata digital mereka. Baca juga: BEI: 3 Perusahaan Teknologi Bakal IPO di Kuartal I “ Pasukan dunia maya juga menyensor ucapan dan ekspresi melalui pelaporan konten atau akun secara massal. Kiriman dari aktivis, pembangkang politik, atau jurnalis sering kali dilaporkan oleh jaringan terkoordinasi dari akun pasukan siber untuk mempermainkan sistem otomatis yang digunakan perusahaan media sosial untuk menghapus konten yang tidak pantas,” jelasnya. Trolling dan penghapusan akun atau postingan bahkan dapat terjadi bersamaan dengan kekerasan dunia nyata, yang dapat memiliki efek yang dalam dan mengerikan pada ekspresi hak asasi manusia. Strategi Adapun mengenai tipologi perpesanan dan strategi valensi yang digunakan, pasukan siber saat terlibat dalam percakapan dengan pengguna online untuk beberapa tujuan. Pertama, menyebarkan propaganda pro-pemerintah atau pro-partai. Kedua, menyerang oposisi atau melancarkan kampanye kotor. Ketiga, mengalihkan percakapan atau kritik dari masalah penting. Keempat, memotori pembagian dan polarisasi. Kelima, menekan partisipasi melalui serangan atau pelecehan pribadi. Dalam laporan ini disebutkan pula harga yang dibanderol para buzzer. Di Indonesia, penggunaan buzzer bersifat kontrak temporer, dengan nilai antara Rp 1 juta-Rp 50 juta. Kebanyakan buzzer di Indonesia menggunakan cara-cara disinformasi dan media yang dimanipulasi, serta memperkuat konten. Dalam laporan ini dijelaskan bahwa Indonesia termasuk dalam kategori pemanfaatan tim buzzer berapasitas rendah. Artinya, praktik ini melibatkan tim kecil yang mungkin aktif selama pemilihan atau referendum, tetapi menghentikan aktivitas sampai siklus pemilihan berikutnya. “Tim berkapasitas rendah cenderung bereksperimen hanya dengan beberapa strategi, seperti menggunakan bot untuk memperkuat disinformasi. Tim-tim ini beroperasi di dalam negeri, tanpa operasi di luar negeri,” tulis penelitian tersebut.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Begini Cara Kerja Buzzer dan Kisaran Gajinya", Klik untuk baca: https://money.kompas.com/read/2021/02/12/153000626/begini-cara-kerja-buzzer-dan-kisaran-gajinya?page=all#page3.
Penulis : Muhammad Choirul Anwar
Editor : Bambang P. Jatmiko

Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:
Android: https://bit.ly/3g85pkA
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L

Jumat, Januari 01, 2021

PARA BAJINGAN POLITIK 2020

Elitisme Politik Memposisikan Rakyat sebagai Kambing Congek

 

Oleh Sunardian Wirodono

 

Panggung politik Indonesia, adalah panggung paling menyebalkan, juga menjijikkan. Tetapi untuk dibiarkan lewat begitu saja, akan menyenangkan mereka. Khususnya para bajingan politik, yang akan jauh  lebih leluasa. Apalagi ketika media massa (baik cetak, elektronik, maupun online), mulai menjadi bagian dari permainan politik dan kepentingan praktis.  


Anda bisa bayangkan, seorang anggota parlemen, dari partai Gerindra (yang konon koalisi Pemerintah), memosting foto dirinya, dengan ekspresi menahan senyum kayak orang mau BAB, memamerkan kaos yang dikenakannya bertuliskan; JUBIR FPI. Orang seperti itu mengatakan bahwa pembubaran FPI adalah lonceng kematian demokrasi. Di mana otaknya coba?

 

Kalau demokrasi mati, bagaimana ia sebagai anggota parlemen bisa berkata bebas seperti itu, di media massa maupun media sosial? Dia menikmati bayaran demokrasi (gaji sebagai anggota legislatif), dan mempraktikkan demokrasi, tapi dia berbohong atas nama demokrasi. 

 

Selama tahun 2020, Indonesia memang lebih menonjol dalam dua persoalan yang dimunculkan oleh dua faktor pemicu masalah. Ialah soal politik dan agama. Sesuatu yang sangat mungkin terjadi, karena dua hal fundamental itu masih menjadi bagian dari persoalan bangsa dan negara kita. 

 

*

 

Setelah berhasil melewati proses politik Reformasi 1998, justeru permasalahan baru muncul. Kehidupan politik dikuasai kaum oligarkis. Lebih buruk dari Aukarno dan Soeharto. Sesuatu yang wajar terjadi karena sistem politik kita yang elitis. Peran mereka sebagai pusat rekrutmen kepemimpinan sipil, sama sekali tak berfungsi. Tak ada pendidikan politik untuk rakyat. 

 

Hingga akhirnya sistem politik itu mengalami kemacetan, dan melahirkan Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia. Bagaimana tidak, Megawati ketua umum partai pemenang pemilu, mempunyi kekuasaan mutlak berdasar keputusan kongres, akhirnya mencapreskan Jokowi, orang luar partai. Mengabaikan kader-kader internalnya. 

 

Dan Jokowi dua periode, mengalahkan lawan yang sama, yakni perwakilan wajah kepolitikan yang sudah menjadi mummy. Tapi dicobahidupkan terus-menerus. Hingga kini, berkelindan dengan ghirah agama yang palsu. 

 

Dalam masa pandemi saja, mereka mingkem. Dan baru kelicutan ketika salah satu dari oligarki itu ketangkap KPK, dalam urusan bansos pandemi. Benarkah hanya Kemensos? Bagaimana dengan Kemendes, Kemenaker, atau kementrian yang dijabat orang partai?

 

*

 

Agama, menjadi persoalan kedua, karena ia bagian dari dinamika politik. Bukan sejak Rizieq Shihab, melainkan sejak awal berdiri republik ini. Ketika Sukarno berdebat panjang, jauh sebelum merdeka. Juga bahkan di depan sidang PPKI, hingga pidato 1 Juni 1945, yang tetap saja bermasalah. Perdebatan kaum nasionalis dan kaum agamais (khususnya Islam), dikompromikan sebagai api dalam sekam. 

 

Hingga sentimen yang tak terselesaikan itu kemudian justeru dipakai, dieskploitasi atau dimanfaatkan untuk keuntungan sepihak. Bukannya dieksplorasi dalam pengertian dibongkar akar permasalahannya. Dicari perbedaan-perbedaannya untuk didapatkan titik pertemuannya sebagai rumusan Gus Dur. 

 

Para elite politik justeru memanfaatkannya. Mengkapitalisasi sebagai strategi mengalahkan lawan, dengan menonjolkan politik identitas. Apalagi ketika kelompok ini, termasuk para donaturnya, berhasil menjungkalkan Ahok, menaikkan Anies. 

 

Tentu saja hal itu bisa jadi akan terus-menerus dimanfaatkan, hingga 2024 kelak, dalam Pemilu maupun Pilpres. Akan sangat tergantung seberapa besar penghargaan bangsa dan negara ini pada sistem hukum yang sudah disepakati bersama. 

 

Selama demokrasi hanya bertumpu pada kebebasan berpendapat dan berserikat semata, tanpa ditopang oleh kedisiplinan dalam menegakkan sistem hukum, proses demokratisasi akan berjalan lamban. Bahkan mungkin menjadi faktor pengganggu. Karena tiap hari bukan saja menjadi peristiwa politik, melainkan persoalan politik yang tidak menyelesaikan. Lantas kapan percepatan pertumbuhan ekonomi menjadi prioritas, ketika perimbangan anggaran kita masih sangat timpang antara belanja dan pendapatan?

 

*

 

Lemahnya konstitusionalisasi konflik, karena perilaku para praktisi perpolitikan kita yang memang tidak bermutu. Demokrasi menangnya sendiri, mutlak-mutlakan, dan tak sudi mendengarkan apalagi mengapresiasi liyan. Pelanggar hukum yang sedang diproses hukum, oleh para elite politik diminta ditangguhkan, dan mereka rela menjadi penjaminnya. Ini soal kemanusiaan? Bukan. Karena mereka juga tahu, jika pun permintaan tak dikabulkan, mereka telah sukses mempromosi dirinya, untuk menangguk simpati konstituen sebagai investasi dalam masa kontestasi kelak. 

 

Semasa hidupnya, sebelum jadi Presiden, Gus Dur pernah berujar FPI adalah organisasi bajingan yang harus dibubarkan. Gus Dur bahkan menyebut Rizieq Shihab sebagai teroris lokal. Gus Dur bahkan bertekad hendak membubarkan FPI, meski ketika menjadi Presiden pun, tekad itu tak terlaksana. Hingga Rizieq bisa mengejek Gus Dur, sebagai orang buata mata dan buta hati, hingga bukannya FPI bubar melainkan Gus Dur yang longsor dari kursi kepresidenan.

 

Pada waktu itu, ketika Gus Dur mengatakan hendak membubarkan FPI, beberapa teman Gus Dur banyak yang diam saja. Tak berkomentar. Namun ketika mereka mengetahui pemerintahan Jokowi menyatakan FPI sebagai organisasi terlarang, juga sedang memproses pelanggaran hukum Rizieq, mereka ini pada bekoar atas nama demokrasi, hukum, keadilan, dan HAM. Itulah sebabnya, SJW itu lebih tepat disebut Social Joker Warrior. Para Sulayan Jokowi Waton, sebagai penganut waham salawi. 

 

*

 

Jika dulu ada gerakan ‘Semut Merah’ untuk menjatuhkan Gu Dur, kini juga ada gerakan serupa, untuk menjatuhkan Jokowi. Beberapa adalah orang yang sama. Apakah tahun 2021 situasi akan tetap? 

 

Akan sangat tergantung pada Jokowi, apakah ia sesuai janjinya akan tanpa kompromi, menurunkan kadar toleransinya pada para bajingan politik (di dalam maupun di luar Istana). Akan pula sangat tergantung pada kekeraskepalaan Jokowi, dalam memerintahkan para pembantunya, untuk bekerja keras demi bangsa dan negara. Bukannya demi partainya semata. 

 

Karena politik di Indonesia masih saja hanya dipandang sebagai alat berkuasa. Untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Bukan sebagai alat perjuangan mensejahterakan bangsa dan negara. Dalam ungkapan orang Jawa, untung dalam dua periode di masa transisi generasi ini, Jokowi kita menangkan. Dalam sangking riuhnya kepolitikan, kita pura-pura merem, bagaimana performance Republik Indonesia ini (di masa pandemi dunia), lebih mencorong di mata negara luar.

 

Politik itu mulia. Benarkah? Jika diperlakukan secara mulia. Jika tidak tentu saja menjijikkan. Dan  kalau didiamkan, para bajingan politik tentu akan berpesta pora. Apalagi ketika kita dalam, turbulensi itu, turut serta menuding-nuding Jokowi. Secara tak sadar para jelata dihipnotis kata-kata oleh para demagog, menjadi bagian dari kaum elite politik. Walau hanya sebagai kambing congek. Dan hanya selalu puas dengan permainan kata-kata. | @sunardianwirodono

 

Senin, Desember 14, 2020

Antara Ilmu Colong-Jipuk dan Encoding


 

Di Mana Matinya Kepakaran Makin Nyata

 

Oleh : Sunardian Wirodono


Bahasa bukan hanya sekedar alat komunikasi, demikian pengantar Dr. Haryatmoko, dalam bukunya yang bagus, ‘Critical Discourse Analysis’ (Analisis Wacana Kritis, Rajawali Pers, Jakarta, cetakan ke-III, 2019). Bahasa juga digunakan sebagai instrumen untuk melakukan sesuatu, atau sarana menerapkan strategi (kekuasaan).

 

Melalui bahasa, orang memproduksi makna dalam kehidupan sosial. Karena pada kenyataannya, bahasa digunakan untuk berbagai fungsi, yang konsekuensinya bisa sangat beragam. Maka, bagi kita, jika tak hati-hati, bisa menjadi bagian dari objektifikasi sesiapa untuk mengapa dan bagaimana. Dan bahasa bisa menjadi sangat liquid, yang secara induktif, tanpa disadari, menyeret keterlibatan orang-perorang dalam kepentingan demi kepentingan.

 

Dalam masyarakat dengan daya literasi pas-pasan, kemampuan dalam memahami fungsi bahasa, bisa menjadi pintu masuk dan pintu terkunci. Bisa membuatnya lebih jeli atau makin membabi-buta, dengan konsekuensi masing-masing.  

 

Ada status (sebutlah tulisan di fesbuk, 15/12/20) dari doktor sosiologi sastra Faruk Tripoli; “Bahwa sejak zaman Belanda, ilmu yang paling populer adalah ilmu untuk berkuasa. Bukan ilmu untuk menjadi bijak, cerdas, menjadi kritis, bahkan bukan juga untuk jadi kaya.” Dalam konklusi pendeknya itu, jangan heran jika bahkan di universitas terkemuka sekalipun, puncak karir akademik yang menjadi idaman, adalah menjadi rektor, dekan, atau kaprodi. Lebih jauh dituliskannya; maka jangan heran juga, kalau orang yang sudah kaya pun ingin jadi pejabat. Bersedia membayar mahal, dan hal itu kemudian terakomodasi oleh sistem pemilihan langsung.

 

Mengenai pernyataan itu, Willy Pramudya, aktivis (menurut beliau terjemahannya ialah penggiat) bahasa, dari paparan di atas, dalam rezim spesialis, jaman kini disebutnya pula berkembang ilmu colong-jipuk. Mencuri atau tinggal nyomot, sana-sini-situ.

 

Di fesbuk, platform medsos yang terbesar dipakai masyarakat Indonesia, acap kita dapati impuls pemikiran yang menarik. Di luar komunikasi keseharian yang penuh kadar humor, kadar benci (culture hate) dan sinisme, medsos sering menyodorkan percik pemikiran, sodokan alternatif atas kebuntuan yang terjadi di jalur formal.

 

Karena fesbuk adalah media tulis (juga pandang dan dengar), menulis menjadi lebih mudah. Apalagi sebagaimana mantra Arswendo Atmowiloto; mengarang itu gampang. Jika itu dan jika hanya, merupakan segugusan fantasi, susunan tafsir, atau apalagi permainan pikiran sendiri, atas sebuah peristiwa atau fakta yang penuh dengan teori konflik atau teori konspirasi.

 

Sehingga tulisan sederhana bisa tampak begitu dahsyat dalam eksposisinya. Bisa melihat isi ceruk planet bumi. Sehingga bisa tahu dengan detail, warna dan ukuran celana dalem seseorang tanpa melihat apalagi mencopotnya. Lebih tuhan dari tuhan, seolah tak ada rahasia. Padal cuma sudut pandang bernama tafsir. Apalagi jika yang dimaksud seseorang, atau apa atau bagaimana itu mengenai politikus. Dan lebih-lebih politikus di Indonesia.

 

Namun ketika tak bisa meyakinkan kredibilitas dan kapabelitasnya, darimana bisa menulis semua itu? Jika tak bisa menjelaskan mendapat data dari mana, dengan cara apa dan bagaimana? Dari situ tidak perlu lagi ditanyakan, apa tujuan menulis dan di mana posisinya. Selain bagian dari permainan silang-sengkarut itu. Apalagi ketika dipenuhi dengan claiming (pendakuan). Itu mah pembiasan, apalagi di ranah medsos. Bukan pencerahan, melainkan pengerahan.

 

Dalam fenomena yang sama, menurut Fairclough, bisa dideskripsikan dengan beragam cara. Ada variasi laporan atau cerita. Bisa harafiah, fiktif, representatif atau virtual. Yang di mana berbagai cara mendeskripsikan realitas itu menyiratkan adanya kepentingan, maksud dan tujuan tertentu. Apalagi dengan sudut pandang satu sisi. Yang kita dapati hanyalah eksploitasi. Bukan eksplorasi.

 

Pada sisi yang lain, bagaimana dengan fenomena itu bagi Indonesia ke depan, bersama generasi milenial? Dengan teknologi 4.1? Apalagi dengan Artifisial Intelegence? Ada kesenjangan metodologis di situ. Bagaimana pemikiran yang penuh dengan analogi, terasa makin tidak presisi, dan sama koruptipnya. Mungkin untuk situasi dan masa transisi, bolah-boleh saja. Tapi, ya, cukup sampai di sini. Cukup sekian dan terimakasih. Karena kita akan berhadapan dengan perubahan yang tak terpermanai, tak terpahamkan.

 

Secara analog, kita juga hanya bisa berdoa secara analog, semoga nilai-nilai Pancasila yang bhineka tunggal ika dari Empu Tantular, dan kemudian diformulasikan oleh Ir. Sukarno, bisa dijadikan code-code dalam sistem aplikasi generasi digital Nusantara dan dunia. Bukan dengan ilmu colong-jipuk, tetapi dengan apa yang mereka istilahkan sebagai ‘encoding’. Di mana matinya kepakaran semakin nyata, terang-trewaca. | @sunardianwirodono

 

Senin, November 23, 2020

BARISAN PEMBELA RIZIEQ

KAUM BALIHOERS, JURUS NGELES KAUM KEFEFET 

 

Oleh : Sunardian Wirodono

 

 

Jika kepepet, karena tak punya dasar argumen yang kuat, maka ngeles (atau membiaskan masalah), adalah jurus yang acap dipakai para penumpang gelap. Mungkin ada yang menyebut mereka sebagai oportunis. Atau dalam bahasa agak religius, disebutnya kaum munafikun.

 

Beberapa waktu lalu, kita pernah mendengar adanya kaum salawi. Kelompok kepentingan yang selalu, dan melulu, hanya melihat semua karena salah Jokowi. Mereka pintar dalam kata-kata. Artinya juga pintar mengkorupsi fakta dan data dengan kata-kata. Agar yang muncul adalah kesan dirinya atau kelompoknya benar.

 

Kelompok ini, kini juga bisa disebut kelompok balihoers. Kelompok yang hanya melihat, atau menyembah kemuliaan baliho. Apa yang dilakukan pengamat, SJW, akademisi, politikus, dari kelompok ini, sama dan sebangun dengan laskar FPI yang melakukan hormat pada baliho Riziek, sampai harus memblokir jalan. Tak peduli bahwa akibat omongan Pak Dudung, dipicu oleh cuitan Nikita Mirzani, kini gerakan pencopotan baliho provokatif, intoleran, bernada rasis, bernada isu SARA, massif di mana-mana. Baik dilakukan masyarakat maupun Satpol PP.

 

Kelompok balihoers sama sekali tak menyinggung isi baliho. Mereka tak peduli soal baliho yang jika berisi iklan obat atau consumers good ilegal, Satpol PP paling galak mencopot. Mereka hanya melihat TNI salah jika masuk ke wilayah sipil. Kelompok balihoers ini, agaknya termasuk golongan yang tak suka gerakan intoleran dan pengujar kebencian terhambat penyebarannya ke seluruh Nusantara. Cara mereka menegasi, mengulas tupoksi tentara, tapi mingkem dan merem soal konten baliho yang dipermasalahkan. Padal jelas, sumber masalahnya di manusia bernama Rizieq Shihab. Di situ pembiasannya.  

 

*

 

Gaya retorika Rizieq Shihab, dalam acara Maulid Nabi di Petamburan beberapa waktu lalu, menunjukkan dengan jelas. Jika verbatim kita kutip pernyataan-pernyataannya, tafsir apalagi jika bukan ujaran kebencian? Ia menghina Kepolisian dalam kaitan penjagaan di rumah Nikita Mirzani. Hingga Rizieq mengatakan Polisi dapat jatah (dari Nikita, yang disebut Rizieq sebagai lonte). Tapi Rizieq tidak akan ngomong, bagaimana polisi mengantisipasi ancaman seseorang, yang mengaku ustad, yang akan mengirim 800 laskar FPI jika dalam 2X24 jam Nikita tidak meminta maaf.

 

Itu contoh korupsi data dan fakta. Rizieq juga menghina TNI dalam kaitan anggota TNI yang dihukum, karena menyanyikan lagu pujian pada Rizieq. Retorikanya yang selalu meminta pengiyaan dari pengikutnya, menunjukkan dia sedang mengindoktrinasi massa. Untuk membenarkan semua pernyataannya yang menghasut itu. Cara bertuturnya, bukan ciri ulama atau guru. Tetapi lebih tepat provokator dengan segala demagoginya.

 

Dalam gaya komunikasi retorik, memang tak diperlukan konfirmasi. Data dan fakta cenderung diabaikan. Hanya mengambil teks yang mendukung konteks yang hendak dibangun. Sama persis dalam kampanye politik, ketika seorang kandidat bertujuan menjatuhkan kompetitor.

 

Itu pula yang dipakai kaum kepepet, yang di Indonesia didominasi kelompok Salawi. Mereka yang berdiri di sisi berbeda (oposite) dengan Jokowi, akan cenderung berpihak atau mendukung ‘lawan politik’ Jokowi. Maka jika pernyataan Fadli Zon dan Haris Azhar bisa sama dan sebangun, bisa dimengerti. Juga omongan dari para kambrat mereka, yang sebetulnya belum tentu sepemahaman. Meskipun Din Symasuddin mungkin hari-hari ini lagi nangis bombay, karena kalah pamor dengan Rizieq. Dan tidak mendapat pembelaan dari kaum balihoers.

 

Tentara kok sampai mesti turun tangan menurunkan baliho? Itu kan tugas Satpol PP, atau Kepolisian dalam Kamtibmas? Dan bla-bla-bla segala teori hukum serta demokrasi disampaikan. Meski ada yang gayanya prihatin, seperti disampaikan Haris Azhar. Ia sebenarnya tidak rela, tentara kok nurunin baliho!

 

Apakah ketika TNI, Tentara Nasional Indonesia, turun ke kali kotor Jakarta, membersihkan sampah menggunung penyebab air kali meluap, ada yang menyayangkan? Kenapa tak ada yang sinis menyindir; Kasihan amir tentara jadi tukang bersih-bersih sampah? Terus tidak bikin meme Bang Rendy pamit pada gacoannya yang lagi mengandung, dan menasihati sang gacoan agar tidak lebay? Toh ia tidak sedang ke medan perang, melainkan mau mbersihin got?

 

Apalagi pengertian kita tentang medan perang hanyalah area dar-der-dor. Tidak tahu bahasa simbolik, bahwa medan perang dalam kehiduan luas adanya. Sebagaimana kegagalan membaca tentara mbersihin sampah baliho, sebagai simbol perang melawan sampah masyarakat? Yakni, seseorang yang ngaku cucu nabi, tapi perilakunya miskin tata-krama? Padal doktrin agama Islam sendiri, lebih menekankan nilai manusia karena amal perbuatannya sendiri. Bukan karena sejarah leluhur, pangkat, kekayaan, atau wajah secakep apapun. Mau keturunan kucing, kalau jahat mah jahat saja. Karena yang ayahnya copet, ibunya lonte, si anak tak tertutup nasibnya menjadi manusia mulia, baik hati, dan tidak sombong.

 

Namun memang, mereka yang disebut kaum balihoers ini, memiliki ciri suka mengedepankan teks dengan menghilangkan konteks. Hingga perdebatan kita jarang menjadi sesuatu yang produktif. Yang terjadi hanyalah debat semantik. Adu pintar menjeplak. Di situ kita tahu bukan kepandaian Jokowi. Jokowi seorang pekerja. Tak membutuhkan mimbar dengan sorotan kamera. Yang kadang menggemaskan, dan melahirkan para juru-tafsir dengan kadar ‘disproportionate’ pula.  

 

*

 

Perdebatan tidak esensial itu, hanya untuk kepentingan pencitraan. Baik sebagai bisnis ekonomi maupun tujuan politis. Dari setting awalnya, sudah tidak relevan. Coba cermati, ketika perdebatan soalTNI nurunin baliho. Persoalan politik tetapi di-framing dalam konteks hukum. Maka apa yang menjadikan alasan atau tindakan tentara, tak akan digubris. Karena akan masuk dalam esensi debat. Mereka menghindari elaborasi masalah sebagai bagian dari esensi sebuah debat. Maka Hamdan Zoelva pun, hanya bisa bilang masalahnya sesepele itu, mengenai sistem atau cara. Padal sebagai bekas ketua MK, apakah dia tidak tahu yang namanya teori kausalitas, yang perlu diklarifikasi?

 

Begitu sebaliknya, kelompok Salawi dalam konteks hukum, maka yang dimunculkan adalah framing politik. Misal, ketika jelas pernyataan dan tindakan Rizieq melanggar PSBB (tak usah melihat kasus yang berat-berat), yang dikedepankan adalah kriminalisasi ulama, penistaan agama, negara mulai otoriter dan anti kritik.

 

Kaum oportunis memang penganut filsafat pragmatisme paling akut. Pragmatisme adalah paham yang menganut segala sesuatu yang bermanfaat. Yang tak bermanfaat tak dianggep. Pragmatisme dalam istilah lain kadang disebut pula sebagai penyakit soehartoisme.

 

Di situ sebabnya, politik hanya dipakai dari sisi politicking belaka. Wajar jika masyarakat awam menjadi apolitik. Bukan hanya skeptis pada politik, tetapi muak dengan siapapun yang bermain politik. Entah itu ormas berbaju agama, ulama ‘berbaju’ daster, filsuf kedunguan, pengamat politik yang berpolitik. Sementara mereka yang menyebut diri politikus, alih-alih berpolitik, karena mereka kini lagi sibuk nyari duit dari Pilkada. Karena bagi mereka demokrasi = dengan money krasa sekali.

 

Maka tak aneh jika Jusuf Kalla bisa enteng menyebut Rizieq Shihab sebagai pemimpin kharismatik.Tak jauh beda dengan omongan Fadli Zon, yang mengatakan kharisma Rizieq mengalahkan Sukarno dan Bung Hatta. Itukah buku yang dibaca Anies Baswedan, di minggu pagi yang cerah, berjudul How Democracies Die? Inikah orkestrasi yang sedang dimainkan secara virtual menuju 2024? | @sunardianwirodono

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...