Sabtu, Oktober 26, 2019

Kau Pikir Nadiem Akan Berdiri di Depan Kelas?



Para pendekar pendidikan dan kebudayaan, bisa dipastikan menyebut Nadiem Makarim sosok tak layak di posisi Kemendikbud. Bayangkan, pendidikan dan kebudayaan. Dua hal yang dibangga-banggakan oleh yang membanggakan. Karena yang tak membanggakan pastilah tidak bangga!

Biasanya para senior, memuja-muja pendidikan dan kebudayaan sebagai sesuatu yang sangat mulia. Karena itu disangar-sangarkan. Apalagi mereka yang berada dalam zona nyaman. Lebih-lebih mereka yang penggiat ‘proyek pendidikan’ dan ‘proyek kebudayaan’ yang akrab dengan ‘proposal pendidikan’ dan ‘proposal kebudayaan’.

Orang-orang itu, mungkin sebagian besarnya, bukan karena cemas betapa pendidikan dan kebudayaan akan hancur, karena dipegang anak bau kencur. Siapa sih Nadiem ini? Hanya karena sukses bikin aplikasi Go Jek? Itu sebagian kecil kekhawatiran. Kekhawatiran terbesar sesungguhnya, karena para pendekar pendidikan dan kebudayaan takut kehilangan lahan kosong yang selama ini dikuasainya.

Apa sih pemahaman kita tentang pendidikan? Menjadi pinter? Kemudian lulus sekolah dapat pekerjaan? Nggak juga. Bahkan sejak pendidikan dirumuskan Ki Hadjar Dewantara dan kawan-kawan. Atau oleh Kartini dan adik-adiknya, untuk para gadis-gadis kampung di sekitar istana. Tidak juga sebagaimana Bung Karno mengadakan ‘kursus politik’ bagi para perempuan, di beranda belakang Gedung Agung Yogyakarta, ketika Ibukota Republik berada di kota itu.

Yang ingin dilahirkan adalah manusia independent, merdeka dan berkarakter. Berdaya nalar, berpikir merdeka, mandiri, yang antara lain menjadikannya kreatif, inovatif, inisiatif. Tapi sejak kapan pendidikan, juga kebudayaan, justeru membelenggu manusia menjadi dependen? Tergantung pada sistem? Dari dulu demikian.

Ketika pendidikan dan kebudayaan disatukan dalam satu lembaga kementriaan, kita tak pernah melihat negara mengelola pendidikan dan kebudayaan dengan benar. Karena pendidikan dan kebudayaan, sama halnya agama, adalah sesuatu yang hidup di masyarakat suatu bangsa itu sendiri. Tak ada urusan dengan negara sesungguhnya. Karena bukti juga sudah nyata, ketika negara menguasai kurikulum, dan berbagai aturan yang dikendalikan, kualitas pendidikan (senyampang itu kebudayaan) kita, yang terasa adalah bangsa yang mengalami involusi pendidikan dan kebudayaan. Di mana kesalahannya?

Pendidikan hanya dimaknai dengan ‘sekolah’. Padahal, lembaga sekolah hanya terlihat bermanfaat ketika ia mengajarkan ilmu, bukan sekedar pengetahuan. Maka konsep link and match hanya cocok untuk sekolah khusus seperti SMK (Sekolah Menengah Khusus), bukan SMU (Sekolah Menengah Umum), atau ke lembaga perguruan tinggi, yang dibagi menjadi fakultas-fakultas, jurusan, atau program studi. Di situ seorang siswa, atau mahasiswa, ditempa dengan ilmu tertentu. Untuk kemudian masuk ke dunia kerja.

Sementara yang sekolah umum, atau drop out, apakah tidak bisa hidup? Atau tidak bisa pinter? Tetap bisa. Bahkan tak sedikit yang sukses, meski yang gagal juga banyak. Apakah karena berkait sekolah formalnya? Tak ada hubungan. Kesuksesan dan kegagalan ditentukan mentalitasnya, karakter pribadinya. Sama seperti lulusan SMK dan perguruan tinggi, juga belum tentu sukses hidupnya, meski jadi bintang pelajar dan punya keterampilan.

Lantas apa yang akan dilakukan Nadiem Makarim? Ada sisi lain yang selama ini kita abai. Membangun sistem pendidikan dan kebudayaan kita (sekiranya kebudayaan mengenal sistem). Yakni dari sisi manajemen atau pengelolaan. Nadiem saya kira oleh Jokowi akan lebih ditempatkan dalam konteks membangun infrastruktur pendidikan yang selama ini abai. Infrastruktur dalam konteks ekosistem. Sementara soal content, soal pendidikan dan kebudayaan, para pakar tak perlu kehilangan pekerjaan atau keahliannya. Tapi juga jangan suka mencak-mencak. Apalagi tak mau kompromi karena merasa paling pinter dan bener. Wong yang disebut guru pun, belum tentu ngerti apa perbedaan ilmu dan pengetahuan.

Sepandai-pandai Mendikbud kita, dari sejak Ki Hadjar Dewantara, Daoed Joesoef, Fuad Hassan, apakah kita puas dengan sistem pendidikan dan kebudayaan kita? Jujur sajalah! Kenapa? Banyak soal di situ. Sampai ketika kementrian itu kemarin dipisah, satunya adalah Kemenristek dan Dikti. Dengan anggaran puluhan trilyun setiap tahun, apa hasilnya? Menguap dalam spirit korupsi’isme. Hanya melahirkan kertas-kertas kerja, paper akademik. Tapi kagak ada hasil yang nyata. Contoh lain, kurang ahli pendidikan apa Anies Baswedan, yang dulu menginisiasi ‘Indonesia Mengajar’? Tapi kenapa dia sebagai Mendiknas kemudian dicopot oleh Jokowi? Karena apa? Dari catatan Sri Mulyani sebagai Menkeu waktu itu, lebih pada soal penggunaan anggaran yang tak proporsional.

Dalam praksisnya, dunia pendidikan dan kebudayaan di Indonesia, ketika menjadi lembaga, tak luput dari spirit korupsi. Dulu Chairil Anwar pernah berkata, hidup hanyalah menunda kekalahan dari cinta sekolah rendah. Sekolah hanya sekedar agar kita punya status. Tetapi lulus sekolah, dan nggak bisa apa-apa, tetap jadi benalu, meneketehek. Yudhistira ANM Massardi, yang juga penyair, bahkan pernah menyodorkan pikiran keluar dari sekolah. Ngapain sekolah?

Di Jepang dengan kualitas SDM lebih bagus dari kita, beban pelajaran untuk para siswanya tak seberat anak-anak sekolah di Indonesia. Sampai kelas 3, anak-anak Jepang tak dapat banyak pelajaran. Mereka difokuskan untuk pendidikan etika dan karakter. Pada sisi lain, di Findlandia, yang konon mencontoh pola Ki Hadjar Dewantara, mereka belajar tentang kehidupan, TbL (Think by Logic). Sama sekali tak ada mata pelajaran agama di sekolah. Agama adalah urusan privat. Dan kalian, hai para ahli pendidikan dan kebudayaan, bisakah melawan absolutisme pandangan yang mencokok kepala kita selama ini? Bahkan sebagian kenyataannya, tak hanya takut dituding kafir, tapi malahan ikut nuding-nuding kafir pada yang tak sejalan. Bagaimana mungkin sekolah formal jadi sumber mekarnya radikalisme (atau puritanisme) agama?

Orang terdidik adalah yang siap berubah. Tapi meski ngomong soal nilai pendidikan dan kebudayaan, jika merasa paling bener sendiri dan suka melecehkan liyan, itu contoh orang tak berpendidikan dan berkebudayaan. Sekarang ini, mending negara mau mengakui sistem pendidikan out-schooling atau home schooling (meski jika memerlukan sertifikasi negara dimungkinkan mengikuti sistem Ujian  Akhir Nasional yang diselenggarakan negara).

Kini banyak persekolahan alternative, dalam berbagai bentuk, yang diadakan di luar sekolah formal negara. Mengapa kita tak mempertanyakan? Apa yang terjadi dengan dunia pendidikan kita? Karena apa? Apalagi pada kenyataanya, guru yang brengsek juga ada. Sebagaimana siswa sebuah sekolah formal, juga bisa menusuk gurunya hingga tewas.

Terus kita sangka, Nadiem Makarim akan berdiri di depan kelas, mengajari murid-murid untuk membuat aplikasi? Atau membuat meme tentang kebudayaan, sebagaimana di medsos kini banyak yang menghina-dina mantan CEO Go Jek ini? Pantes saja pendidikan dan kebudayaan tak menjadi basic nilai, lha wong para stakeholder-nya juga tak memperlihatkan sebagai manusia terdidik dan berbudaya.

Ki Hadjar Dewantara bersesanti untuk para pendidik, dengan budaya 'ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangunkarsa, tut wuri handayani'. Memahami artinya? Nadiem Anwar Makariem justeru telah dengan bagus menerapkannya, dengan apa yang sudah dilakukannya. Ini soal mindset, dan kalian pura-pura nggak ngerti soal revolusi mental itu kayak apa. | @sunardianwirodono


Senin, Oktober 14, 2019

Pasangan Cinta Iriana-Jokowi



Iriana dan Jokowi adalah sepasang kesederhanaan. Cinta yang sederhana. Tidak neka-neka. Keduanya rakyat jelata. Bahkan mungkin dulu dalam kriteria sudra. Apalagi Jokowi, yang rumah orangtuanya pernah digusur lebih dari satu kali. Di pinggiran kali. Jaman Orde Baru.

Bahwa ia kini Presiden, untuk periode 2014 – 2019, dan ndilalahnya, langsam periode berikut, 2019 – 2024, jika boleh dibilang kesalahan, kesalahan siapa? Adakah kesalahan 87-an juta pemilihnya? Hingga menyingkirkan pesaingnya, bernama Prabowo Subianto, anak Begawan Ekonomi Soemitro dan bekas mantu Soeharto?

Mungkin saja salah Megawati Soekarnoputri. Meski ia memiliki mandat penuh, dengan kekuasaan absolut, bisa saja mencalonkan diri sebagai Capres 2014 dulu. Tapi kenapa tidak dilakukan? Jiper? Bagaimana PDI Perjuangan kemudian dalam Pemilu 2014 kembali menjadi pemenang, dengan ‘hanya’ iming-iming bakal mencalonkan Jokowi?

Siapa Jokowi coba? Dari Solo ditarik ke Jakarta. Mengkanvaskan pertahana cagub Fauzi Bowo. Siapa Jokowi, yang ketika muncul dari Solo, bahkan dengan dukungan PKS, dalam periode keduanya bisa menang mutlak di atas 90% dalam Pilwalkot Solo 2010 itu?

Padahal. Padahal. Padahal. Ada banyak padahal dikemukakan. Baik oleh yang terpana, maupun yang sebel  atas kemenangan itu. Apalagi ketika dengan menggetarkan, Jokowi menyingkirkan Prabowo dalam Pilpres 2014. Padahal, siapa tak kenal Hashim Djojohadikusumo, adik Prabowo Subianto?

Keajaiban apa? Atau justeru sebaliknya? Biasa-biasa saja? Ketika elitisme politik kita, sejak 1967 hingga 1998, dari 1998 hingga 2014, memang benar membuat kita muak. Karena tak memberikan apa-apa. Justeru dipenuhi kisah perampokan dan penipuan. Hingga Jokowi menjadi bagian dari kita. Rakyat jelata. Yang bahkan kini, sebagiannya dituding Tempo sebagai buzzer (bayaran) Istana. Bukti? Indikasi? Atau cuma asumsi? Dan Tempo terkena tulahnya. Kehilangan kesempatan meraup Rp 200 milyar yang dibutuhkan. Gegara netizen memiliki cara dan mekanisme baru. Membuat korporasi raksasa tak bisa mengotak-atik kertas belaka. Apalagi hanya dengan kata-kata.

Atas jasa siapa semuanya itu? Hingga Jokowi bisa muncul di luar mainstream pemikiran dan idealitas kita tentang kepemimpinan? Kita dijungkirbalikkan. Dan pusing karena kebanyakan geleng-geleng kepala. Bagaimana mungkin si cungkring, anak bajang menggiring angin itu, bisa menjadi fenomena dunia? Bahkan menjadi patron yang diidolakan Justin Trudeau maupun Emmanuelle Macron?

Iriana bisa dipastikan memiliki jasa luar biasa. Bukan hanya dari sana lahir anak-anak baik bernama Gibran, Kahiyang, dan Kaesang. Bahkan kemudian Jan Ethes, Sedah Mirah. Sementara Iriana bukan perempuan yang ribet. Dulu waktu Jokowi Gubernur DKI, ada dua perempuan yang akhirnya tak pernah didekati pedagang berlian, yakni Iriana dan Veronika Tan. Keduanya lebih suka mojok. Nyingkir dari selebrasi pejabat. Ia bahkan bisa kabur sendirian dari Istana Kepresidenan, ke Solo. Naik pesawat ekonomi. Giliran paspampres yang pusing.

Ini memang gen yang beda dalam trah kepemimpinan nasional kita. Sementara kita tidak siap dengan semua perubahan. Apalagi mereka yang mendaku priyayi. Para ningrat keluaran kraton atas angin, atau atas menara gading. Tak mudah menerima Sukrasana yang bersesanti dengan diksi aneh; Kerja-kerja-kerja! Infrastruktur-infrastruktur-infrastruktur! Karena selama ini kita hanya dipenuhi cerita-cerita bombas. Dan politik yang penuh kajian, tetapi lamis.

Kita tak bisa nerima perubahan. Masih mimpi. Merindukan Presiden kayak Sukarno, kayak Soeharto, kayak SBY. Dan mungkin kayak Prabowo, meski tentara pecatan. Beberapa kali maju nyapres kalah mulu. Lha, kok, mak bedundug kita-kita ini disodori sesosok Joko Widodo. Dengan langkah kaki semi lembeng. Dengan gaya bicara yang bisa jadi kurang sexy dibanding Karni Ilyas. Meski struktur kepalanya sungguh sangat keras. Tahan banting. Anti pecah.

Kita tidak bisa nerima, bagaimana kepemimpinan berubah. Karena akan sampai pada waktunya, tak semua pemimpin lahir dari gejolak sejarah. Bahkan negeri ini sudah harus menjalani sirkulasi kepemimpinan dalam situasi biasa-biasa saja. Bisa jadi membosankan. Tidak heroik. Mengecewakan banyak kakak Pembina.

Kita tengah memasuki sebuah era di mana seseorang yang tak terlalu hebat, bisa terpilih secara demokratis. Bahkan oleh penyebab yang sangat sepele. Simpatik misalnya. Atau ia personifikasi kita, di luar mainstream. Warna baru, tetapi menjanjikan kejernihan, kebersihan, dan ketulusan. Apalagi mampu mendengar, setelah era pemimpin masa lalu yang ngomdo mulu pencitraan.

Tak ada lagi pahit getir, tragedi yang harus diperangi. Tak ada tirani yang harus dilawan. Maka kita harus menerima kenyataan, bahwa pemimpin adalah seorang biasa. Yang dipilih karena sistem. Bukan orang yang diciptakan menjadi pahlawan, di tengah gejolak dan krisis. Meski kehadiran Jokowi sesungguhnya kritik yang lugas dari rakyat. Dikarenakan politik elitis, kedaulatan parpol, tetapi sekaligus involution tends to corrupt itu.

Dengan hadirnya para buta-cakil seperti Amien Rais, Eggy Sudjana, Rocky Gerung, Rizieq Shihab, Sri Bintang Pamungkas, juga majalah Tempo misalnya, sebagian besar rakyat masih lebih percaya dan berharap pada Jokowi. Karena itu, Kuda Troya mereka, yang bernama Prabowo, dua kali dikalahkan Jokowi. Tak usah baper.

Sementara Iriana, juga anak-anaknya, sama sekali tak mau ikut campur. Sekalipun mereka menjadi korban adu-domba dan fitnah. Dengan sangat cerdas, Gibran serta Kaesang bahkan menjadikannya kick balik. Menjadi alat promosi gratis yang efektif. Hingga yang mau membully keduanya, pusing tujuh celana.

Di bumi Pertiwi ini, Iriana mungkin bukan Dewi atau Bidadari. Iriana manusia biasa. Apalagi ketika kosakata Sanskerta harus diganti Arab. Bumi Pertiwi harus disebut Bumi Allah, karena Pertiwi tak lagi mengolah bumi pijaknya. Mungkin jadi TKW di Arab Saudi. Tapi karena ia manusia biasa, ia tak ingin seperti Hawa, atau Eva. Terbujuk kutbah seekor ular yang beraliran radikal atau wahabi. Agar memakan buah hoax. Mempostingnya di medsos. Kemudian suaminya, eh, Adam ding, dicopot dari sorga. Dan diturunkan ke bumi.

Betapa mengerikan, ketika muncul pengangguran terselubung. Berupa kaum ibu-ibu, atau emak-emak, yang manyun tak punya kerjaan. Piknik ke sana-kemari. Ikut pengajian ini-itu. Membuat mereka bisa berganti-ganti model hijab dan gamisnya. Yang selalu feminin dan wangi.

Alangkah indah mengenang cinta Iriana dan Jokowi. Bukan cinta yang mengantarkan ke Istana Presiden. Namun cinta yang menjadikan mereka satu keterpaduan. Menyadari posisi serta peran masing-masing. Secara proporsional. Antara yang di depan dan belakang. Saling bersinergi. Karena cinta. Perahabatan.

Banyak perkawinan ribet bukan karena kurangnya cinta. Tapi kurangnya persahabatan. Bagi Anda semuanya, apalagi yang nggak milih atau dulu milih kini kecewa, Jokowi tentu punya cacat. Bahkan bagi Iriana pun, Jokowi juga punya cacat. Bedanya, Iriana mencintainya. Dan tak pernah nyacat pasangannya. Itu kesempurnaan keduanya. Di dalam cinta. Yang mungkin ndhesit. Tapi kamu bisa?

Dan kita meributkan hal-hal yang bersifat teknis. Tidak urgent. Tidak proporsional. Dan the winter is coming pun perlahan lewat. Begitu saja. Bonus demografi anak-anak muda pun, hangus di aspal jalanan. Dalam serak teriakan nada-nada dasar nan fals. 

Sunardian Wirodono, penulis
Yogyakarta, 12 Oktober 2019



KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...