Senin, Desember 18, 2023

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO


Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan salah mikir, akan berkibat luas dan luar biasa. Dalam keadaan normal maupun darurat.

Jokowi yang menjadi penguasa sekarang ini, contoh yang baik untuk kasus ini. Baik dalam konteks relevan; Tentang bagaimana akibat-akibat dari semua keputusan politiknya, yang mempengaruhi hajat hidup banyak orang, atau segelintir ordal. Juga contoh baik tentang hal-hal yang perlu dikritisi dan disembunyikannya. Apalagi ketika Pratikno sebagai Mensesneg mengatakan lupa, dan stafsus Presiden dengan naif mengatakan “tidak ada dalam catatan agenda kepresidenan”. Politik kekuasaan, tak senaif itu.
 
Satu-satunya penggambaran ideal mengenai seorang pemimpin, mungkin secara kritis dan terbuka, justeru bisa kita dapatkan dalam pidato sambutan Ketua Panitia Haul ke-14 Gus Dur, yakni Inayah Wahid (17/12/23). Dibandingkan Cak Lontong, yang disebut komedian cerdas, Inayah adalah seorang komedian genuine. Bisa jadi karena mentornya adalah Gus Dur. Ia bisa menjadi lebih independen dan otentik. Barangkali karena tanpa pretensi. 
 
Jokowi sendiri dalam pidato pelantikan di parlemen, menyatakan prihatin dengan persoalan cara kita berdemokrasi. Yang dinilainya mulai menjauh dari nilai-nilai etika, kesopan-santunan dan adab sebagai bangsa sebuah negara berdasarkan Pancasila. Tetapi bagaimana dalam praksis kekuasaannya? Kita justeru bisa melihatnya dari apa yang menggonjang-ganjingkan situasi politik kita hari ini.
 
Mengutip pikiran Gus Dur ketika mendirikan Fordem (Forum Demokrasi) di tahun 1990, Inayah juga mempertanyakan tentang seolah-olah demokrasi pada hari-hari ini. Yang semuanya itu menggambarkan persoalan fundamental kita, mengenai etika atau adab itu, justeru masih menjadi masalah di kalangan elite politik. Bahkan pada mereka yang sedang mempunyai kekuasaan dan/atau yang ingin melanjutkannya. 
 
Sementara yang disebut pesta demokrasi, berkait Pemilu –Pileg maupun Pilpres, lebih ribut soal elektoral, angka-angka, menang-kalah. Kalaupun ngomongin benar-salah, konteksnya penuh bias karena didominasi masing-masing kepentingan. Apalagi kini, dalam kaitan menang dan kalah itu, pesta demokrasi kita sampai pada taruhan Alphard, justeru dilakukan pada level mereka yang menjadi jubir, timses, bahkan analis politik. Betapa mahalnya demokrasi kita, di hadapan rakyat jelantah, yang selama ini dijadikan objek permainan kekuasaan bernama demokrasi.
 
Sementara kian hari kian memperlihatkan, bagaimana (utamanya) Pilpres 2024 ini. Terakhir-terakhir, makin terasa menjelaskan, pertarungan apa yang terjadi. Munculnya istilah ‘badak vs banteng’, menjelaskan hal itu. Ada dua pertarungan besar, yang diwakili koalisi Jokowi di satu sisi, dan koalisi yang berseberangan dengan kepentingan koalisi itu. 
 
Jika melihat isu utamanya, koalisi Jokowi jika dicermati justeru berkecenderungan mengebiri spirit Jokowisme. Bukan akan melakukan keberlanjutan sebagaimana yang sering dikatakan secara verbal, tetapi ke pengikisan perlahan. Untuk kemudian ketika kekuasaan penuh di tangan, Jokowisme akan tersingkirkan dengan sendirinya. 
 
Pada perjalanan pemerintahan Jokowi periode ke-dua, all the president’s men dipenuhi para teknokrat dan orang-orang dengan orientasi pembangunanisme. Jokowi sedang melakukan kapitalisasi dan investasi politiknya. Namun, birokrasi tampak bersih di dalam, banyak masalah di lapangan. Dari persoalan tambang, pertanahan, BUMN, muncul berbagai konflik of interest. Tidak ada visi menteri, yang ada visi presiden. Tapi beberapa anggota kabinetnya terjebak korupsi, menunjukkan anomali itu. Tak ada pengawasan atau kontrol Presiden, sebagai pemilik visi yang konon sangat detail --dan punya sumber informasi canggih, atau pembiaran? 
 
Menariknya, Indonesia yang terikat dengan konvensi perjanjian international, berkait perlindungan pada hal-hal tertentu, bertabrakan dengan ‘pembangunanisme’ yang berpotensi konflik. Kasus di Kendeng, Wadas, contoh soal seperti itu, dan pemerintah pusat bisa gampang cuci tangan untuk mencari siapa bisa dikorbankan. Kawasan pertanahan yang masuk dalam ‘lanskap kebudayaan’ yang proyek-proyeknya didanai Unesco, bertabrakan dengan orang-orang dekat kekuasaan, yang acap memaksakan kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok. 
 
Kini bergabungnya Prabowo dan Luhut Binsar Panjaitan, dalam satu barisan, dengan para pendukung yang menyadari posisi lemah mereka --seperti SBY, apalagi Wiranto, Agum Gumelar, hanya menunjukkan apa yang terjadi. Bahkan, Titiek Prabowo dari kubu Cendana, kini adalah ditahbiskan sebagai dewan pembina partai Gerindra. Prabowo dan Luhut bukan sekedar prototype militer, tetapi militer bekas di Indonesia yang sejarahnya lahir dari Orde Baru Soeharto.
 
Dalam survey Litbang Kompas terbaru, yang tak banyak dibicarakan, elektabilitas Gerindra menjadi tertinggi. PDIP kedua, tetapi Golkar sebagai ke-tiga, selisihnya dua kali lipatnya. Gerindra mencapai 21%, PDIP 18%, Golkar 10%. Bagaimana bisa? Karena Golkar bisa jadi sudah tak bergigi, atau setidaknya kepemimpinan sektor pewaris Orde Baru itu, berpindah dari Airlangga Hartarto yang lemah ke Prabowo, yang dianggap lebih strong.
 
Bersatunya oligarki dan kekuasaan itu menjadi nyata. Jokowi adalah tunggangan yang baik. Pragmatisme kepemimpinannya --karena itu nir ideologi, memposisikan dirinya butuh pendukung, bukan pengarah. Perpisahan Jokowi dengan Megawati, bisa dilihat dalam perspektif ini.
 
Di mana rakyat jelantah? Itu cukup dengan bansos, blt, impor beras, dan seterusnya. Ditanyai terus soal jenis-jenis ikan, tetapi tak pernah diberikan pancing. Kapan bangsa ini mau mandiri? Tentu saja kelak kalau pendekatan kebangsaan dan kenegaraan ini, sesuai sesanti Bung Karno, jika sudah ‘rakyat kuat negara kuat’. A hungry man is not a free man. Mereka tak butuh ideologi. Never argue at the dinner table, for the one who is not hungry gets the best of the argumen, ujar Richard Whately, ahli logika, teolog dan ekonom abad 18 dari Inggris. 
 
Mangkanya, jangan berdebat di meja makan. Bagi orang yang tidak lapar, dia selalu mendapat posisi yang terbaik dari argumen ini. Dan Jokowi, dari pelajaran pertama yang didapatnya di Solo, memakai meja makan sebagai tempat diplomasi politiknya. Termasuk ketika mengundang makan artis dan para pelawak pun. Waktu itu, mungkinuntuk menertawakan Prabowo, sebagai lawan politiknya. Kini bisa sebaliknya. |@sunardianwirodono

Minggu, Desember 17, 2023

Kelemahan PDIP dalam Pilpres 2024

 Kekuatan PDI Perjuangan dibanding partai politik lain, karena ideologinya. Kelemahan PDI Perjuangan dibanding partai politik lain, karena ideologinya pula.

Namun, sisi kelemahan itu bisa diatasi. Sekiranya elite dan kader PDIP, para petugas partai itu, mampu menemukan cara mengkomunikasikan ideologi dengan cara ‘tak ideologis-ideologis’ banget. 
 
Cara-cara yang ideologis banget itu, seperti gaya Mbak Mega kalau pidato dengan tensi mulai meninggi. Atau mendengar gaya ngomong Hasto, sekjennya, yang doktor ilmu politik itu. Melihat mereka pidato, selalu mengingatkan gaya pidato Bung Karno, Mbah Tardjo, atau orang-orang PNI jaman doeloe kala. Tapi sekarang jadi saltum dan salpos.
 
Bagus sih, tapi kalau tak dibarengi dengan kharisma kuat, kasihan tenggorokan. Pernah lihat gimana Jokowi pidato memekik-mekik? Karena dia bukan orator dan tak bisa menyembunyikan emosinya. Jokowi itu, kalau marah atau jengkel, kelihatan. Yang ngomong Jokowi pinter nyembunyiin emosi, hanya yang kalah tatapan mata saja. Kayak rakyat jelantah jaman sahandap sampeyan dalem.
 

Saya nggak ngerti, entah karena bergaul dengan Boedi dan Arie dari Total Politik atau gimana, Bambang Patjoel, politisi senior PDIP, kini gaya bicaranya tidak sangat ‘korea-korea’ banget. Nggak kayak Pak FX Rudi lagi. Kalau pun ada baunya Korea, sekarang mazhab dia adalah K-Pop.
 
Ganjar Pranowo juga gitu. Jika tak hati-hati, gaya slenge’annya bisa jadi bumerang. Atau dipotong-potong untuk alat membully-nya. Tapi saya sendiri juga tidak tahu, kalau diminta merumuskan, ngomong yang serius namun enteng berisi itu gimana. Karena menjadi diri sendiri, di jaman generasi asuhan rembulan ini, dasarnya Cuma soal suka tidak suka.
 
Dunia gagasan, atau gagasan yang memimpin, sudah menyusut di belantara medsos. Apalagi dalam disrupsi era post-truth. Semua bisa dibolak-balik. Bukan hanya ideologi bisa dikalahkan joget gembusy, tetapi kebenaran pun bisa disalahkan. Kesalahan bisa jadi kebenaran. Coba tanyakan kepada para aktivis ’98, yang kemarin dikumpulin Nusron Wahid, untuk bikin testimoni yang filosofis dan humanis tentang Prabowo Subianto.
 
Kalau soal penyebutan ‘petugas partai’, tidak usah merasa salah. Karena itu aturan internal partai. Mau gitu, nggak mau keluar. Gitu doang. Tapi kalau keluar, ya, pamit kek. Untuk menjelaskan bahwa dirinya punya fatsun politik. Jangan sampai seperti kacang lupa kemelaratannya.
 
Dengan ideologinya yang jelas, jadi aneh kalau sikap politiknya nggak jelas kepada Jokowi. Katanya kader terbaik, tetapi kedisiplinan dalam partai tidak baik. Dan PDIP tak bisa bersikap tegas. Ini partai politik dengan ideologi jelas atau tidak jelas, sih? Seperti kata Anies semalam, hukum tajam ke bawah tumpul ke atas. Katanya partai egaliter, kok diskriminatif? Dilematis ya, mangkanya Puan Maharani perlu ke Singapura nemuin Luhut Binsar Panjaitan?
 
Kalau persoalannya bukan kalah-menang capres-cawapres lagi, terus ngapain terpecah-belah dengan urusan sing-masing? Sekarang cukup mikirin kursi dapil masing-masing saja? Katanya partai wong cilik? Partai ideologis? Partai kader? Anggota partai adalah petugas partai? Tugasnya apa’an? Karena duit nggak lancar? Mampetnya di mana? Kenapa? Ada sabotase? Nggak kompak? Nggak satu agenda? Musuh dalam selimut? Agen ganda?
 
Teoritis perlu. Ideologis perlu. Tapi bagaimana menjadi sesuatu yang menggerakkan. Gitu lho, Om Irsjad, Om Andi, Mas Seno, Tante Puan, Tante Dani,… Ngapain juga bikin slogan Jokowi 3.0? Takut melawan Jokowi? Dulu Soeharto aja dilawan kok. Lagian, waktu Rakernas IV, pidato Bu Mega soal kedaulatan pangan bagus banget. Tapi mana turunannya? Rakyat hanya butuh gimana antara upaya kerja mereka memadai dengan penghasilan. Anak-anak mereka dapat makan, berangkat sekolah. Yang muda lulus sekolah bisa kerja atau nerusin pendidikannya. Tidak jadi korban pinjol. Bisa beribadah --atau tidak, tapi dengan bebas dan damai.
 
Atau semua itu karena nggak pede dengan Ganjar dan Mahfud? Karena nggak ada duitnya? Katanya nggak ada urusan duit? Katanya banteng ketaton? Atau masih ada dusta di antara banteng? Mau menang satu putaran dari Hong Kong? Mau ngalahin Prabowo dan Anies, tapi nggak ndukung Ganjar? Kalau nggak ndukung Ganjar, ‘kan bisa nyoblos Mahfud? 
 
PDIP ini absurd! Absurd atau putus asa?

BAGAIMANA CARA MEMBACA SURVEY?

 

Survey paling sahih, berkait Pileg atau Pilpres 2024, tentunya yang diadakan KPU pada tanggal 14 Febrauri 2024. Karena hanya hasil darinyalah yang mempunyai kekuatan hukum, konstitusional, dan berakibat pada terpilihnya anggota parlemen dan presiden-wakil presiden Republik Indonesia.
 
Sementara itu, rilis berbagai lembaga survey, baik yang baik maupun baik yang buruk, yang dirujuk untuk tingkat elektabilitas kandidat Pemilu 2024, adalah ‘capture’, ‘snapshot’, ‘potret’, atau jepretan pada suatu waktu dan suatu tempat. Sementara ‘suara’ yang di-capture tersebut, tentu dengan sendiri tak akan terfrozen membeku, tak bergerak sebagaimana hasil capture-an yang terjadi.
 
Sehabis dipotret, para subjek, responden, sebagai pemilik hak suara adalah manusia hidup. Mereka berinteraksi, bersosialisasi, bergerak, bertemu dengan berbagai hal, pikiran, ide, usulan, kemarahan, renungan, temuan, proses, intimidasi, sogokan, dan lain sebagainya. Yang karena hal itu, apa yang dipikirkan dan dikatakan ketika dipotret lembaga survey, bisa berubah. Bahkan, ketika lembaga survey merilis hasil jepretan mereka, kondisi lapangan sudah berbeda lagi.
 
Seperti halnya omongan Fahri Hamzah dan Luhut Binsar Panjaitan, yang tak berbeda dengan pejabat Orde Baru dulu. Bahwa hasil Pemilu sudah diketahui jauh sebelum Pemilu dilaksanakan. Termasuk omongan Hendropriyono, yang mengatakan kemenangan salah satu paslon. Tetapi semua omongan itu hanya akan akan sangkil dan mangkus terjadi dalam masyarakat hampa udara. 
 
Dalam masyarakat yang bergerak, apalagi bergolak, bisa berbeda hasilnya. Apakah dalam masyarakat yang capek, apatis, dan membiarkan operasi intelijen yang bergerak. Atau pada masyarakat yang bereaksi terhadap pelanggaran konstitusi, dan menolak penistaan demokrasi? Karenanya, berbagai lembaga survey atau pollster sering mendahului rilisnya dengan disclaimer; Jika Pemilu dilaksanakan hari ini. Jadi, kalau meleset mereka bisa berkilah. 
 
Disamping pergerakan masyarakat, bagaimana pula survey sebagai hasil reportase sikap publik disikapi para pihak berkepentingan. Apakah akan menolak, membantah dan marah-marah? Atau memakainya sebagai masukan, bahan evaluasi? Sehingga dari sana lahir antisipasi atau adaptasi. Jika suaranya turun, karena apa dan bagaimana mengatasi. Jika suara naik, karena apa dan bagaimana mempertahankan atau melipatgandakannya. 
 
Dari sana bisa terjadi lagi pergeseran atau konfigurasi suara. Sampai titik finalnya, pada ‘official survey’ yang diselenggarakan KPU pada 14 Februari 2024. Itu pun sekiranya satu putaran. Jika tidak, Pilpres akan dipepanjang hingga Juni 2024.
 
Terbayang bagaimana melelahkannya. Karena syarat menang satu putaran, bukan sekedar mendapat 51% suara dari 204 juta suara, tetapi plus minimal raihan 20% suara dari setiap provinsi pada separoh total jumlah provinsi di Indonesia (UU Pemilu 2017).
 
Memang, tampaknya hanya keajaiban yang bisa menjanjikan. Setidaknya, seperti dikatakan kubu Anies, jika tuhan menghendaki. Masalahnya, tuhan menghendaki atau tidak? Itu yang harus ditanyakan kepada tuhan.
 
*
 
Kalau ada lembaga survey abal-abal, pesanan dari para kandidat, itu sama saja bunuh diri. Hanya kontestan bodoh melakukan hal itu. Walau pun belum tentu lembaga survey dipesan karena kebodohan.
Ada juga lembaga survey dipesan karena strategi. Bikin survey tipu-tipu, untuk sebuah rencana ke depan. Jika pemilu dimenangi dengan curang, lembaga survey abal-abal bisa dipakai melegitimasi bahwa mereka layak menang. 
 
Meski pun juga, tentu, lembaga survey tipu-tipu bisa dipakai untuk membangun opini publik. Mempengaruhi pikiran publik, bahwa si calon ini unggul dan layak pilih. Senyampang itu bukan hanya untuk membuat lawan jiper, tetapi membuat rakyat jelantah terombang-ambing. Berpindah atau makin mantab dengan pilihannya. 
 

Dari temen-temen yang punya grup whatsapp –karena saya tidak menjadi anggota wag manapun, saya sering dikirimi hasil-hasil survey yang menunjukkan kekalahan survey jagoannya. Di situ saya bertakon-takon, mau-maunya menjadi distributor informasi gratisan dari lembaga survey yang mencemaskannya itu. Mau menularkan kecemasan? 
 
Survey atau pun polling, dibangun dengan metode ilmiah, dan bisa dipertanggungjawabkan. Tapi kalau hasil lembaga ini tak bisa dipertanggungjawabkan, biasanya lahir dari yang ingin mengecoh kesadaran publik. Mereka yang hanya ingin mengeksploitasi ketidaktahuan untuk keuntungan sebesar-besarnya elite politik client mereka. Tentunya, sekaligus keuntungan sebesar-besarnya bagi mereka sendiri.
Apalagi ketika perubahan demokrasi lebih mengarah semata soal kontestasi kalah dan menang. Angka-angka dalam sektor apapun yang meningkat, tetapi nilai dan substansinya menurun. Apalagi ketika konsultan atau analis politik, juga lembaga poollster hanya ngomongin bagaimana cara menenangkan para kandidat. 
 
Tanpa seupritpun pendidikan kesadaran politik, maka akan makin banyak manipulasi dilakukan. Termasuk ajakan politik kegembiraan untuk menggeser politik kemuliaan. Yang terjadi adalah sekedar mobilisasi, bukannya partisipasi. Contoh nyatanya, menyatakan rakyat yang menentukan. Padal, sebelum rakyat menentukan, elitenya sudah menentukan terlebih dulu, apa yang harus ditentukan rakyat itu. Bahkan harus dengan mengubah bunyi aturan permainan yang bernama konstitusi pun. 
 
Di situ mangkanya, jangankan jadi konsultan politik. Jadi relawan saja, di era Jokowi, bisa diangkat jadi menteri. Bukan lagi sekedar komisaris BUMN. Demokrasi perlahan dibawah ke ranah private dengan ukuran private. Bukan lagi ranah publik dengan ukuran publik. Setelah elitisme politik, lahirlah personalisasi demokrasi, hingga kultus individu. Di situ pendekatan politik beralih ke soal angka-angka --bukannya nilai-nilai. 
 
Sementara dalam rupiah, angka dan nilai itu biasa berkelit dalam kelindan dialektika. Haiyah, ngemeng epeh! Albert Camus pun bisa keliyengan mikirin penyinyiran Voltaire soal uang. Apalagi sekelas Noel dan Gus M cum suis.
 
*
 
 
Dibanding lembaga survey lainnya, lembaga survey dari Litbang Kompas, sepertinya mendapat kepercayaan paling tinggi dari netijen. Apalagi netijen pendukung yang diuntungkan oleh hasil survey itu. 
 
Dan biasa, yang diuntungkan akan joget-joget mengejek-ejek yang galau. Selalu begitu dari kubu mana saja. Manusiawi. Jokowi juga demikian responsnya. Bedanya, Jokowi galau kenapa Paslon 01 bisa menyalip 03, itu di luar ekspektasi.
 
Baiklah. Dengan rujukan litbang Kompas, seolah Pemilu, terutama Pilpres 2024, sudah berakhir. Persis seperti yang diyakini Fahri Hamzah dan Luhut Binsar Panjaitan. Padal hasil survey itu sesungguhnya tidak sangat memuaskan. Kenapa Litbang Kompas hanya ‘menetapkan’ angka di bawah 40% bagi paslon 02? Jika dikaitkan perolehan Pilpres 2019, ketika suara Prabowo digabung suara Jokowi, mestinya bisa di atas 80%, seiring dengan approval rating Jokowi yang hingga sebelum keputusan MK nomor 90 di atas 80%.
 
Kalau melihat hasil survey Litbang Kompas yang memposisikan suara PDIP dalam Pemilu 2024 sebesar 18,3%, disalip Gerindra yang naik 3% menjadi 21,9% --sementara PDIP turun 6,1%, terjadi missing link di situ, karena terlihat tak ada pengaruh signifikan pemilih Jokowi beralih (sepenuhnya) ke Prabowo, sekalipun ada Gibran di situ, dan sekalipun angka paslon 02 naik.
 
Tambah agak mengherankan, membicarakan hasil lembaga survey lainnya, yang memposisikan perolehan Paslon 02 di atas 40%, bahkan mencapai 45% sekalipun, yang artinya sama sekali belum juga mencapai 50%, kecuali hasil survey New Indonesia yang menempatkan Prabowo tembus 50,5%.
Menjadi membagongkan, dengan temuan Pollmark yang diawaki Eep Saefulloh Fatah. Dari sebagian angka yang dibocorkan, sehari setelah rilis Litbang Kompas. Pollmark dengan responden 1.200 X 32 propinsi. Sementara Litbang Kompas dll, rerata responden mereka di bawah 1.500. Di Pollmark ditemui undecided voters di atas 40% --dan bukannya di bawah 20% dibanding lainnya. Hasil survey Pollmark belum dirilis secara resmi –tapi mungkin setelah dibocorkan di Bandung, kemudian malah ilang termasuk surveyor-nya.
 
Lepas dari apapun hasil survey, itu adalah capture atau snapshot pada waktu itu. Bagi yang tidak bisa membaca dan menganalisis survey, menganggap hasil survey adalah final. Padal, akan sangat tergantung dari respons masing-masing kontestan. Bisa lebih naik bisa lebih turun, tergantung apa yang dilakukan kemudian (berdasar masukan survey tadi). Hingga hari coblosan 14 Februari 2024. Baik untuk survey yang bersih atau pun tak bersih. 
 
Karena konon ada model baru, seperti desas-desus yang muncul dalam proses pengambilan sampling suara. Bagaimana area-area responden sudah ‘dibasahi’ dengan berbagai guyuran sebelum tim survey tiba. Apalagi, konon demi keamanan, ke mana surveyor melangkah ditemani aparat dari level mana pun, sebagaimana kini untuk melakukan survey harus mendapatkan ijin dari aparatus setempat, yang harus menyertakan area dan jadwal survey. Apalagi jika soal jendral bintang 7 yang menelpon Kepala Litbang Kompas seperti dikatakan Ketum DPP-NCW, Hanifa Sutrisna, bisa dibuktikan. 
 
Saya menulis ini tak berkepentingan siapa diuntungkan dan dirugikan hasil survey. Tetapi saya hanya ingin ingatkan, hasil survey tak selalu linier dengan hasil kontestasi. Jokowi sendiri pernah mengalami hal itu. Dan banyak lainnya di level bawahnya. Apalagi kalau misalnya pemilih Indonesia patuh pada ajaran Prabowo, yang pernah mengatakan soal money politics; Terima duitnya jangan pilih orangnya!
Itu dikatakan 21 Juni 2018, ketika membuat video penggalangan dana publik untuk Pilpres 2019. Jika nasihat itu dipatuhi, oleh siapapun, bisa menjungkir-balikkan kalkulasi yang telah menghabiskan puluhan trilyun rupiah. Apalagi, masih menurut Prabowo lagi (4/5/2018), survey itu tergantung siapa yang bayar.
 
Saya tidak tahu, pihak mana yang dalam pilpres kali ini, menghabiskan dana sebesar itu. Prabowo mungkin tidak tahu, karena menang atau kalah, sama-sama menghabiskan banyak duit. Jokowi pun saya kira juga tidak tahu, kecuali yang ditandatangani Menkeu Sri Mulyani sebesar Rp71,3trilyun.
Namun pasti, duit yang berputar di atas itu, jika masing-masing kontestan harus membayar Rp100ribu saja untuk seorang relawan, yang harus ditempatkan di 820.161 TPS se Indonesia Raya. Belum biaya-biaya APK. Namanya juga pesta demokrasi. Bener-bener pesta. 
 
Makanya rilis hasil survey selalu menjadi bahan claiming and bullying masing-masing pihak. Karena selain untuk analisis para pihak, rilis hasil survey juga bisa untuk menggiring opini publik. Apalagi jika surveyor-nya merangkap konsultan politik, atau separoh dukun, yang memastikan client-nya bakal menang satu putaran. Namanya juga orang jualan, di tengah rakyat jelantah yang entah-berantah.
 
@SUNARDIAN WIRODONO 
 

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...