Kamis, November 21, 2019

Melihat Sisi Politik Pengritik Ahok


Setelah Rizal Ramli, ada lagi kini mantan menteri berkomentar sumir terhadap Ahok. Namanya Dahlan Iskan, yang adalah juga pernah sebagai Menteri BUMN jaman SBY. Dengan segala hormat atas suksesnya memimpin Jawa Pos, DI rasanya tidak proporsional menilai Ahok. Lepas dari apapun kepentingannya.

Dalam tulisan di blog pribadinya, disway, DI menulis, "Apakah BTP itu orang berprestasi? Sehingga akan ditempatkan di salah satu BUMN?" tulis Dahlan (16/11). Menurut mantan CEO Jawa Pos ini, orang berprestasi cenderung sukses ditempatkan di mana pun. Kesimpulan itu datang dari pengalaman 30 tahun menggeluti dunia manajemen.

Setelah muter-muter definisi sukses dan  prestasi, DI sampai pada penilaian, meski dalam wujud pertanyaan, "Bagaimana kalau ada penilaian BTP itu hanya berprestasi dalam membuat kehebohan? Terserah yang menilai dan yang diberi nilai." Sinisme khas DI.

DI mewanti-wanti ada prinsip yang harus dipegang, bahwa perusahaan perlu ketenangan. Ia mengatakan suatu perusahaan tak bisa maju kalau hebohnya lebih besar ketimbang kerjanya.

Wanti-wanti DI soal ketenangan bagi perusahaan, normative benar. Namun tanpa mengetahui alasan di balik penunjukan itu (baik dilakukan Erick Thohir maupun Jokowi yang menyetujui), menjadikan penilaian DI tak representative. Asumsinya sumir, dan kontra produktif.

Mestinya, sekelas DI, juga RR jika mau disebut, tahu bagaimana kinerja dan situasi beberapa BUMN di Indonesia. Demikian juga prestasinya serta capaian-capaian, serta apa sebab dan akibatnya karena hal itu. Kita, rakyat, yang ingin tahu dan belajar, jadi tak mendapatkan apa-apa kecuali komentar sama gilanya dengan Arie Gumilar, Presiden Serikat Pekerja Pertamina, yang kini banyak diam kena serangan Cilacap-13!

FSPPB di Jakarta maupun Cilacap, tak memiliki alasan logis menolak Ahok menjadi Dirut atau Komut Pertamina. Apalagi penolakan yang dilakukan PA-212, yang lebih politis lagi karena tudingan yang rasialis dan diskriminatif. Persoalan karakter Ahok selalu diangkat untuk mempengaruhi publik. Katanya rakyat tak menghendaki. Rakyat yang mana? Bagaimana juga, pemerintahan Jokowi terbentuk karena menang Pilpres, ada lebih banyak yang memilih Jokowi.

Memang, saat menjabat Gubernur DKI Jakarta, Ahok kerap marah-marah. Tapi karena apa? Karena birokratnya tak memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Juga banyaknya koruptor dan predator di aparatnya. Bahasa yang keras adalah cara Ahok melawan mereka yang korup, bermain-main anggaran daerah. Pada masyarakat, yang baik dan taat hukum, Ahok tak kalah baik. Menurut penilaian Imam Besar Masjid Istiqlal, Ahok menjalankan kepemimpinan yang islami. Selama kepemimpinan Ahok di DKI Jakarta, pasar tak menunjukkan respons negative. Hanya dari pengusaha hitam yang suka pat-gulipat, Ahok tentu tak disuka.

Jika ditempatkan di dalam korporat pemerintah, benarkah Ahok akan membuat onar? Membuat onar dalam sisi membersihkan perusahaan dari koruptor dan predator, sangat dinanti rakyat, dan dunia usaha yang makin membutuhkan trust dari publik. Di situ Ahok diharap sangat paham di mana akan diam dan kapan bicara lantang.

Ketika terkait masalah korporasi dan strategi bisnis, Ahok telah menunjukkan sebagai pejabat pemerintahan yang proper, jangan sampai strategi bisnisnya diketahui lawan bisnis. Namun sebagai pucuk pimpinan dalam perusahaan, ia pasti akan lantang dan tegas untuk menggebug tikus-tikus brengsek. Keriuhan, keonaran, atau kehebohan dalam konteks ini, justeru diharapkan oleh dunia usaha yang ukurannya kini adalah trust dengan standar presisi secara internasional.

Pada sisi lain, jika Ahok mendapat pembelaan atau dukungan dari rakyat secara luas, hal ini juga harus dilihat untuk menilai posisi Ahok. Tidak adil melihat Ahok dalam framing dan labeling mereka yang tak setuju atas penunjukkan itu. Biar adil, suara lain juga harus didengar, dengan berbagai alasan yang bisa diukur, dan dibuktikan. Ahok mempunyai track-record yang positif dan produktif. Soal ia pernah menjadi narapidana, harus dilihat secara jujur dan adil, karena kasus apa. Ahok menjadi bagian dari apa yang diimpikan rakyat mengenai bagaimana kriteria seorang pejabat negara atau pemerintah.

Pada sisi lain, RR setelah mengatakan Ahok sekelas Glodok, menyebutkan yang lebih tepat dibanding Ahok, adalah Ignatius Jonan atau Tommy Lembong. Wah, ternyata kelasnya karena ini dan itu. Jika demikian, kenapa RR tak menjadi Menteri BUMN saja? Tentu karena tak ditunjuk Jokowi, meski dulu pernah jadi Kabinet Kerja Jokowi tapi kemudian dicopot. 

Tudingan lain pada Ahok, dalam asumsi hukum, sebagaimana digembar-gemborkan Addie Massardi berkait KPK atau pun BPK, sayangnya hanya berhenti pada asumsi, kecurigaan, tuduhan tak berdasar, kekhawatiran, bahkan fitnah, yang sudah barang tentu tak pasti ukurannya. Addie Massardi, dan kelompoknya, tampak memiliki agenda tersendiri mengenai hal itu.

Kita tahu karakter Jokowi. Ia akan memakai rekan atau tim kerja jika cocok. Seperti misal, Budi Hartono dari sejak Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta, hingga kini. Atau Basuki Hadimulyono, Mentri PUPR. Kenapa Jonan (juga Archandra) tak dipakai lagi? Karena ada kasus tertentu. Demikian juga Susi Pudjiastuti tak dipakai lagi, yang penggantinya ternyata tak lebih bagus? Jika membandingkan SP dengan Ahok, akan makin jelas, Jokowi sangat percaya Ahok orang yang proper untuk penugasan khusus. Di sini kita menunggu, bagian dari janji tanpa kompromi Jokowi.

Dalam hal ini, Jokowi dan Erick Thohir yang ngerti persis, mengapa menunjuk ini dan itu. Bukan menunjuk RR dan DI. Jika RR dan DI menginginkan orang lain, bukannya Ahok, seyogyanya mereka berjuang jadi Menteri BUMN. Atau Presiden sekalian, meski syaratnya maju dalam Pilpres 2024 mendatang. Siapa tahu, pasangan RR dan DI bisa menjadi presiden dan wapres yang mumpuni. Mungkin Demokrat, PKS dan Partai Berkarya mau mendukung mereka.

Bukankah dalam konvensi presiden  Partai Demokrat, 2014, DI mengungguli capres lainnya? Sayangya, Pardem sebagai parpol defisit dukungan rakyat. Hingga DI tak bisa dimajukan sebagai capres oleh Pardem. Hingga Jokowi muncul sebagai pemenang Pilpres 2014, mengalahkan Prabowo Subianto. Kadang, politik sesuatu yang sederhana. Soal kalah menang. Dan kalah itu memang perih, Jenderal! Apalagi jika tak ikhlas menerima takdir. | @sunardianwirodono

Senin, November 18, 2019

Mangir, Antara Masa Lalu dan Masa Depan

Lagi-lagi Bantul, ini sebuah kalimat yang tak sedap. Memberi citra buruk pada Kabupaten Bantul, utamanya dalam isu atau pun kasus intoleransi.

Sudah banyak ditulis di medsos, kita tak perlu mengulangi. Hingga yang terakhir, apa yang terjadi di dusun Mangir Lor, ketika konon masyarakat sekitar menolak acara piodalan di salah satu rumah penduduk beragama Hindu. Siapa yang menolak? Yang beragama. Jangan percaya jika MUI mencapnya sebagai tidak beragama. Memangnya boleh di KTP ditulis keterangan 'tidak beragama'?

Masalah sepele? Hingga para pejabat Pemda Bantul meminta tak dibesar-besarkan? Para pihak, termasuk Kepolisian Bantul, juga tak perlu berkilah tak ada pelarangan ritual piodalan. Atau bahkan pihak Kemenkominfo memberitakan klarifikasi, bahwa pelarangan peribadatan Hindu di dusun Mangir itu hoax! Hoax matamu! 

Wisata Religi. Beberapa tahun lalu, Pemda Bantul ingin mengembangkan ‘wisata religi’, di samping desa kerajinan. Sementara untuk pantai, Bantul mesti ‘bersaing’ dengan Kulon Progo dan Gunung Kidul. Wisata religi memang paling relevan, karena teritori pegunungan dan pantai, membuat Bantul memiliki monumen dan dokumen masa lalu yang bisa jadi bahan baku objek wisata itu.

Apa itu wisata religi? Belum jelas definisinya. Untuk sementara, masih berupa wisata ziarah, umumnya ziarah kubur ke tokoh-tokoh sejarah, yang bisa jadi dulu bergiat dalam lapangan keagamaan. Itu sebabnya jika menyebut wisata religi Bantul hanya bisa menyebut; Makam Raja-raja di Imogiri, Makam Syekh Maulana Maghribi, Syekh Bela-belu, Sunan Geseng. Bagaimana dengan situs-situs seperti Goa Langse, Batu Gilang Parangkusuma, Goa Selarong Pangeran Dipanegara, atau bahkan situs Mangir?

Namun jika ngotot mengembangkan wisata religi, kasus yang terjadi di dusun Mangir Lor (di Desa Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta), perlu dituntaskan secara jujur dan terbuka.

Aparat pemerintahan Bantul, mesti berani melakukan perubahan besar-besaran; dalam misi-visinya, orientasi dan sikap mentalnya dalam akselerasi jaman. Tanpa revolusi mental, upaya akan sia-sia. Apalagi jika masih toleran pada intoleransi, yang intinya jiper alias takut pada tekanan majoritas. Itu semua hanya akan membuat Bantul sebagai medan pertempuran empuk bagi golongan khilafiyah, dengan anak-pinaknya seperti maraknya intoleransi, formalisme dalam beragama, dan friksi sosial-politik lainnya.

“Negeri ini sungguh-sungguh membutuhkan pemberani-pemberani yang gila, asal cerdas,” kata Rama Mangun. Bukan yang tahu adat, yang berkepribadian pribumi, yang suka harmoni, yang saleh alim, yang nurut model kuli dan babu, tapi munafik, menutup-nutupi masalah. Menimbun kebohongan demi kebohongan atas nama harmoni. 

Ideologi Konflik. Meski bisa jadi semua ini, adalah warisan ideologi konflik turun-temurun. Sementara pembacaan kita akan sejarah, belum begitu khatam. Masih terbata-bata. Menanggapi lakon Mangir tulisan Pramoedya Ananta Toer saja, yang berdasar riset berbagai sumber, lebih memunculkan penolakan daripada duduk bersama berdialog. Padahal, dari semua masa lalu yang ditinggalkan dalam rahasia (dengan bahasa pasemon, sanepan, atau simbolik), semuanya sama-sama berangkat dari tafsir. Sementara kini, tafsir sering ditumpangi kepentingan.

Pada titik tertentu, apa yang terjadi pada kasus piodalan Mangir, juga soal tafsir masing-masing. Tak bisa didamaikan secara normatif atau gampangan. Jika merujuk sejarah yang lebih jauh lagi, dari sejak bangkrutnya Majapahit, maka tanah Jawa selebihnya adalah tumbuh dari konflik ke konflik. Kekuasaan yang tersebar di seluruh daerah Jawa (tidak berpusat), memunculkan situasi chaostic.

Perang terjadi, berebut kekuasaan tunggal. Dan itu yang menjadikan tanah Jawa bermandi darah. Bahkan mungkin bisa jadi sampai kini. Ketika Soeharto pada akhir kuasanya membutuhkan legitimasi Islam, dan kini semangat khilafiyah muncul kembali, berhadapan secara diametral dengan konsep negara kesatuan.

Antara Panembahan Senapati dan Mangir (Wanabaya III), masih sama-sama keturunan Prabu Brawijaya V, yang beristeri 117 (sic)! Munculnya daerah-daerah kecil (desa) yang berbentuk perdikan (desa yang tidak mempunyai kewajiban membayar pajak kepada penguasa wilayah di atasnya), memunculkan banyak penguasa, yang kala itu disebut Ki Ageng. Para Ki Ageng ini, rerata keturunan Majapahit. Tapi mereka justeru amprokan dalam konflik (perebutan) wilayah. Tanpa menyadari jika sebenarnya sebagian dari rumpun yang sama.
 

Ki Ageng Pemanahan yang menguasai Mataram dan mendirikan Kotagede pada 1577, kemudian diteruskan Ngabehi Lor Ing Pasar, naik mentahbiskan diri menjadi Raja Mataram Islam, dengan gelar Panembahan Senapati. Pada saat bersamaan di daerah Perdikan Mangir (tanah perdikan dari Majapahit), tersebutlah tetuanya bernama Ki Ageng Mangir Wanabaya III (generasi ke-4 dari Ki Ageng Mangir I), yang tak mau tunduk pada Mataram di bawah Panembahan Senapati.

Kisah Mangir kuat diduga sebagai cikal-bakal wilayah Kabupaten Bantul, dan masuknya kawasan ini ke Kraton Ngayogyakarta (bahkan nama Bantul, diduga berawal dari barisan emban yang bercunduk mentul, ketika mengiring pasangan Ki Ageng Mangir Wanabaya dan Pembayun masuk ke Kraton Ngayogyakarta). Perdikan Mangir, yang dikhawatirkan menjadi pesaing Mataram, mendapat dukungan beberapa Demang seperti Patalan, Jodog, Pandak, dan Pajangan (yang kini semua menjadi bagian wilayah Kabupaten Bantul). Namun bagaimana sejarah konflik itu dalam proses transformasi nilai generasi-generasi sesudahnya? 

Politik Identitas. Menguatnya politik identitas, menjadikan interpretasi atau tafsir kita mengenai masa lalu mendapat muatan kepentingan masing-masing. Dalam novel ‘Burung-burung Manyar’, mengenai proses sejarah membersama dalam bingkai kebangsaan Indonesia, YB Mangunwijaya bertanya dengan skeptis, “Mungkinkah kalah dan menang itu diganti oleh satu konsep saja, unsur-unsur harmoni, kendati tempatnya bertentangan?”

Meski pun tentu, membaca sejarah masa lalu harus dikaitkan dengan apa kepentingannya sekarang ini. Dalam sebuah pertemuan Trah Catur Sagotra (1988) di Jepang, menjelang mangkatnya, Sri Sultan Hamengku Buwana IX ngendika pada sanak-saudara keturunan Panembahan Senapati itu, “Kita tak ingin terjebak dalam konflik warisan dari para leluhur kita. Karena kita hidup di masa kini, bukan masa lalu,…”

Beberapa sejarawan menyebut Mangir adalah wilayah pertahanan terakhir para penganut Hindu, dari kejaran syiar agama Islam dalam periode runtuhnya Kerajaan Majapahit. Ada beberapa bukti secara arkeologis (juga mistis) ditemukan di sana. Namun, para sejarawan juga menyebut, Ki Ageng Mangir III telah merasuk agama Islam dengan menunjuk beberapa prasasti dan peninggalannya yang masih ada. Pada sisi ini, kita bertanya, mana yang benar? Salah satu benar? Atau keduanya benar?

Namun mestikah kita terjebak dalam perspektif dan persepsi masa lalu, dalam melihat kasus Mangir yang belum lama muncul itu? Perlukah cara pembacaan baru, dalam mengartikulasikan sejarah, dengan konteks kepentingan kita hari ini dan masa depan? Bahwa harmoni adalah yang paling utama dalam kehidupan, walaupun kadang tidak rasional, sebagaimana tulis Putu Wijaya dalam novel ‘Perang’? Mungkin itu yang mesti direnungkan. Setidaknya, daripada terus terperangkap dalam ‘teori’ konflik yang tak berkesudahan.

Sudah barangtentu dengan ketentuan dan syarat berlaku. Darimana dimulai? Pemerintah dengan otoritas sebagai regulator, mempunyai peranan penting dalam hal ini. Para artikulatornya di lapangan, para birokrat pejabat pemerintah daerah, juga aparat hukum wilayah itu, mesti memahami persoalannya. Mereka haruslah bagian yang mampu memoderasi, bukannya menunggangi, atau bahkan bagian yang turut bermain karena agenda kepentingannya sendiri. 

Menjadikan Harmoni. Dengan situs-situs yang ada, bahkan jika mengingat keinginan Pemda Bantul menjadikan wisata religi, apa yang ada di Mangir justeru memungkinkan wisata religi itu bukan sekedar keindahan tempat. Kemampuannya melakukan transformasi nilai, dimungkinkan karena kandungan sejarah yang dibawa Ki Ageng Mangir. Di mana kerukunan umat beragama, Hindu dan Islam, telah dibuktikan dari anak-turun Ki Ageng Mangir, dan masyarakat pada jamannya. Setidaknya, sebelum politik identitas kembali kumat paska longsornya Soeharto pada 1998. 

Memang tidak mudah menjadikan harmoni. Seperti pendapat Simone de Beauvoir, “Antara dua individu, harmoni tidak pernah diberikan.” Namun menurut filsuf Perancis itu, “harus ditaklukkan tanpa batas.” Karena, jika hidup bukan tentang kemanusiaan dan kehidupan harmoni, kita tidak tahu untuk apa hidup itu. 

Kita memang hidup dalam dialektika. Bahkan, secara lebih tajam, Immanuel Kant menekankan, "Manusia menginginkan harmoni; tetapi alam lebih tahu apa yang baik untuk spesiesnya: ia menginginkan perselisihan." Seperti lingkaran, yang kita acap menyebut lingkaran setan. Begitulah hidup. Namun perselisihan yang dimaksudkan, bisa diterjemahkan dalam dialektika upaya manusia menemukan yang disebut harmoni, kenyamanan, atau pun kedamaian.

Dan itu hanya lahir dari apa yang disebut dialog, atau dalam bahasa pop disebut cinta. Bukan hanya saling bicara, melainkan juga saling mendengarkan. Bukannya saling menyalahkan mulu, dengan berebut benar. Toh jika Mangir menjadi kawasan wisata religi, bakalan inspiratif bagi tumbuhnya toleransi antarwarga, serta secara ekonomi pun masyarakat juga akan diuntungkan.

Bukan hanya tergantung dari narasi, namun bagaimana masyarakat diajak serta untuk saling mengapresiasi. Dalam hal social engineering inilah, pemerintahan dibentuk untuk menjalankan national and character building. Bukan hanya menyalahkan minoritas, karena jerih dengan tekanan majoritas. 

Maka belajarlah sejarah. Karena mereka yang tak belajar dari sejarah, akan mengulangi kesalahan yang sama. Dan kita tidak hidup untuk masa lalu, melainkan demi masa depan dengan peradabannya.

Sunardian Wirodono, penulis, tinggal di Yogyakarta.

Minggu, November 17, 2019

Ngayogjazz, Antara Djaduk dan Melting Pot

Tak banyak yang mendapatkan ‘misa kebangkitan’ sebagaimana Djaduk Ferianto. Pada hari ketiga meninggalnya (16/11/2019), ia mendapatkan persembahan dari apa yang sepanjang hayat menjadi gagasan abadinya. Mengenai ‘ngeng-isme’. Sesuatu yang lebih bersifat spiritual dan humanis daripada sekedar obsesi berkesenian. Lebih jembar dari sekedar olah musik. 
 
Semacam Review: Sunardian Wirodono

Ngayogjazz tentulah berangkat dari kegelisahan Djaduk, untuk mempertemukan berbagai hal. Dan ia berjuang membuka ruang-ruang pertemuan itu. Menjadi medan persaudaraan, sebuah melting pot dalam pengertian awalnya. Bukan sebagai soal identitas atau latar belakang, namun mempertemukan berbagai hal. Berupa gagasan dan pemikiran untuk membersama.

Jazz, sebagai jenis atau aliran musik, hanyalah nama. Namun sebagaimana pertunjukan wayang kulit dalam kurun peradaban Jawa beberapa waktu silam, yang lebih penting adalah terjadinya interaksi berbagai-bagai pihak. Di mana sesiapa direkatkan pertunjukan’ wayang kulit yang dimainkan Ki Dalang. Di mana kesenian bertransformasi menjadi olah budaya, dan bahkan merambah dimensi ritual.

Wayang kulitnya menjadi tidak penting. Demikian juga jazz-nya tidak penting. Tetapi pertemuan berbagai pihak, interaksi, pergesekan pemikiran dan kreatifitas, rerasanan, itu jauh lebih penting. Apalagi ketika Didi Kempot, juga Soimah, menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka-mereka yang tak kenal siapa Idang Rasidi, Indro Hardjodikoro, bahkan Frau, atau pun Oele Pattiselano. Belum pula dibukakan ruang bagi komunitas Gedrug Kwagon, Jathilan dan Gamelan Kwagon. Juga komunitas music jazz dari Magelang, Trenggalek, Lampung, Samarinda, Belanda, Jepang, dan sebagainya itu?

Bagaimanakah sebenarnya kita memposisikan kemajemukan? Tidak sangat tepat sebenarnya menyebut ‘Ngayogjazz’ sebagai melting pot, yang berarti ada semacam peleburan berbagai budaya menjadi satu bentuk dalam pot. Dari berbagai  bahan menjadi satu, from heterogenous to homogenous. Disini terjadi proses asimilasi dari masing-masing bagian. Seperti bubur. Kita coba masukan berbagai bumbu-bumbu, beras, santan, akhirnya wujudnya satu.

Rasanya bukan demikian Ngayogjazz, sebagaimana kemudian konsep melting pot ditolak mereka yang memperjuangkan multikulralisme atau heterogenitas. Termasuk salah kaprah melting pot kaum cingkrang dan hijaber. Ngayogjazz mungkin sebagaimana dalam teori sosial yang disebut ‘salad bowl’. Baik itu salad model barat maupun salad versi kita (asal bukan salad model khilafah), akan nampak masing-masing bagian, tapi membentuk satu kesatuan yang bernama salad. Tanpa harus ada peleburan masing-masing bagian. Sepertinya demikianlah Ngayogjazz, dan sebenarnyalah itu ‘ngeng’ yang diinginkan Djaduk.

Karenanya menjadi aktual, justeru di hari ketika dunia internasional memperingati Tolerance Day, meski senyampang itu di belahan Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri, beberapa kali digoreng peristiwa intoleransi. Di Bantul, lagi-lagi Bantul, misalnya. Seolah pertarungan Mataram Islam Panembahan Senapati mengejar Ki Ageng Mangir Wanabaya, masih berlanjut. Meski dalam perang asimetris, para pengejarnya kini juga menantang Sri Sultan Hamengku Buwana X.

Namun dalam konstelasi politik itu, sebagai keturunan Sri Sultan HB VII, dengan klaim bahwa kasultanan Ngayogyakarta berhenti pada era kakeknya, apakah juga menjadi bagian dari kesadaran Djaduk, yang penduduk Bantul, menggelar kerajaan jazz-nya di wilayah Sleman?

Kata Sydney Jones, terlalu banyak teori konspirasi di Indonesia. Terlalu spekulatif, juga berlebihan. Karena memahami teori ‘ngeng’ Djaduk, dibutuhkan kesabaran membuang kepentingan masing-masing. Karena yang tiada kini ialah kepentingan bersama. Dari melting pot menjadi salad bowl. Dan agar tidak menjadi sobat ambyar kita butuhkan Lord Didi? Bukan Lord yang Maha Pengasih dan Penyayang?

Kata Sydney Jones, terlalu banyak teori konspirasi di Indonesia. Terlalu spekulatif, juga berlebihan. Karena memahami teori ‘ngeng’ Djaduk, dibutuhkan kesabaran membuang kepentingan masing-masing. Karena yang tiada kini ialah kepentingan bersama. Dari melting pot menjadi salad bowl. Dan agar tidak menjadi sobat ambyar kita butuhkan Lord Didi? Bukan Lord yang Maha Pengasih dan Penyayang?

Terimakasih untuk misa kebangkitanmu di Kwagon itu, Dug! Haru melihat Butet bergoyang kepala, di antara kruwelan penonton dan teriakan cendol dawet Soimah. Dug, ini jazz cendol dawet itu, sekiranya merasa wagu dengan sebutan salad bowl a la kua-etnika! | @sunardianwirodono
 
 
SANG GURITNA YANG JAGOAN

Kematian selalu menggetarkan. Karena selalu serasa tiba-tiba. Selebihnya hanyalah kenangan. Juga penyesalan, atau kesadaran yang terlambat. Dari sanalah ‘ngeng’, sebagai sesuatu yang tak bisa diterjemahkan secara gamblang. Tapi terasakan dengan sempurna. 

Dalam perjalanan produksi ‘Blusukan Butet’ (sebuah program televisi streaming Mola.TV) dari Bali-Banyuwangi-Surabaya, menurut jadwal mestinya sampai tanggal 14 Nopember 2019. Trip terakhir di Surabaya, kami punya dua narsum, Bang Jarwo penjual kopi yang semalam bisa mengantongi duit Rp 800 ribu ketika Gang Dolly belum ditutup Bu Risma. Dan dokter Michael yang suka blusukan menyambangi kaum gelandangan untuk pengobatan gratis.

Ada benturan jadwal karena mesti mengajar mahasiswa S2, Butet harus berada di Yogya tanggal 13 Nopember. Apalagi selain mengajar, malamnya mesti membacakan puisi Jokpin dalam acara yang digagas Opie Andaresta di Societet Yogyakarta. Agak kecewa, tapi kami mengerti.

Syuting terakhir di Gang Dolly Surabaya (12/11), berjalan lancar. Selesai jam 16.00. Jam 17.00 Butet mesti diantar ke Stasiun Gubeng naik kereta ekspress ke Yogya. Tak ada tiket pesawat sebagaimana pada jam yang dikehendaki. Saya bayangkan Butet sampai di Yogya dini hari. Masih bisa istirahat untuk esoknya. Tapi esoknya (13/11), menikmati jenang candhiel yang anyep di hotel, saya ngungun. Djadug meninggal, jam 02.30 pagi hari itu.

Djadug bagian penting dari acara ‘Blusukan Butet’. Ia mengisi illustrasi musiknya. Ketika di Banyuwangi, beberapa kali Djadug menjadi ‘bahan’ pembicaraan kami. Entah itu soal festival jazz gunung (Ijen, Bromo), atau rencana lain lagi dengan juragan kopi Mbanyuwangi. 

Donny Firdaus, produser program kami waktu itu meminta maaf, belum sempat memberikan honor untuk Djadug. Butet bilang, “Ya, sudah hitung saja sudah berapa episode, tinggal ditransfer saja,…” Sembari ditambahkan, Djadug sudah menyerahkan semua album musiknya untuk program acara kakaknya itu.

Di Gang Dolly, waktu pengambilan gambar malam hari (11/11) di bekas lokasi prostitusi terbesar Asia Tenggara itu, kami ditemui Camat Sawahan (membawahi kawasan Gang Dolly) yang antusias dengan ide-ide revitalisasi Gang Dolly. Ia ngomong ke Butet, menantang agar Djadug bikin festival jazz Dolly Masa Kini. Dan seterusnya. 

Termasuk sebelum balik ke Yogya, Butet meminta tolong soundman merekam salah satu puisi yang mesti dibacakan dalam pementasan A Tribute to Jokpin (judul yang mengagetkan, jadi kebayang judul barunya; A Tribute to Djadug). Saya tak tahu, apakah Butet jadi tampil atau mengirimkan rekaman audio dadakannya. Saya sendiri baru tiba di Yogya sudah malam hari (ternyata, sebagaimana nasihat ayahnya, Pak Bagong marhum, Butet tetap datang menjalankan kewajiban berkeseniannya). Bersyukur Butet pulang duluan, dan tiba di Yogya beberapa jam sebelum ditinggal adiknya itu.

Demikianlah sedikit cerita yang lain. Mengenai Djadug, seorang baik. Seorang yang saya tahu ketika sejak kecil, kalau melihat bapaknya mengendang, mengiringi latihan kethoprak atau tari, dia menggelendot di punggung bapaknya. Dua tangannya memperlakukan kepala sang bapak sebagai sebuah kendang. Saya menyaksikan itu bila-bila bapak saya, yang anggota kethoprak Sapta Mandala, mengajak saya ikut latihan kethoprak di Gallery Bagong K., Wirobrajan atau PSBK Kembaran.

Ini tentang seorang yang punya ‘banyak nama’, untuk menyatakan tak penting baginya identitas. Ia menembus batas. Ia penuh toleransi. Seorang Katholik garis lucu. Dan itu membuatnya kaya warna. Bukan hanya dua warna sebagaimana ia ‘memulai karir’ di dunia industri musik melalui RCTI (1996). Meski jauh sebelumnya ia berkibar dengan Kelompok Musik Rheze, dan menggemparkan TIM Jakarta sebagai Juara I Festival Musik Humor (1978).

Diakui atau tidak, dari sanalah berkibar nama Raden Ngabehi Gregorius Djadug Ferianto (19 Juli 1964 - 13 Nopember 2019), atau Djaduk Ferianto sebagaimana dalam akun fesbuknya. Bukan sekedar Raden Mas, sebagai keturunan Sri Sultan Hamengku Buwana VII, melainkan karena ia mengawaki semua keahlian, sebagai pemusik, sutradara, aktor, penari, bahkan juru-potret amatir, hingga ia menyandang gelar Raden Ngabehi.

Nama awalnya yang diberikan sebagai penanda kelahiran, adalah Guritna (seorang yang piawai menulis). Guritna, nama salah satu Dewa dalam mitologi Jawa, yang menaungi wuku Julungpujud, karakter yang mempunyai tekad tinggi dalam cita-cita. Guritna nama pemberian sang paman, Raden Mas Handung Kussudyarsana. Sedangkan Bagong Kussudiardjo, ayahnya, entah kenapa kemudian mengubah nama itu menjadi Djadug Ferianto. Sekalipun memang terbukti, Djadug seorang yang pandai menulis apa saja, dalam bentuk ngeng, nada, dan kemanusiaan.

Jadug artinya jagoan. Mungkin itu mimpi orangtuanya. Meski ketika berhadapan beberapa reporter newbie di ajang Ngayogjazz, masih saja ia ditanya; siapa namanya dan apa perannya? Djadug dengan ringan menjawab; “Nama saya Kamto, dalam Ngayogjazz berperan menjadi pembantu umum,…”
“Ngayogjazz berlangsung dari jam berapa sampai jam berapa, Pak?” para reporter ngganyik itu bertanya lagi. Djadug menjawab serius, “Ngayogjazz ini tidak pakai jam. Takut kalau nanti dicopet,…”

Selamat berpisah orang baik, dengan selera humor yang baik kita selalu bersua. Ngeng-mu (ngeng adalah istilah Djadug untuk rasa nada atau karakter yang tak bisa diuraikannya) abadi dalam kegelisahan bersama. Sorry, ya, Dug, aku kewengen tekan Yogya!
 

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...