Sekalipun ia pemimpin pergerakan,
sekalipun ia “tukang insinyur”, kantong kempes adalah sebuah keseharian
baginya. Itulah Bung Karno pada akhir dekade 1920-an. Namun yang
istimewa, ia tidak pernah berkeberatan membantu sahabat. Tak heran,
sahabat-sahabatnya begitu respek padanya. Sukarno pemuda yang disayang
oleh teman-temannya.
Salah satu sahabatnya adalah Sutoto,
teman kuliah Bung Karno. Dalam kesusahan, Sutoto sering mengajak Bung
Karno sekadar minum kopi dan makan peuyeum di kedai murahan, di tengah
kota Bandung. Namun mungkin karena saking seringnya ditraktir, Bung
Karno (yang saat itu sudah menikah dengan Ibu Inggit) pun menjanjikan
mentraktir Sutoto.
Suatu sore, Sutoto datang hendak berunding dengan
sang pemimpin pergerakan itu. Untuk menuju kediaman Sukarno-Inggit,
Sutoto harus mendayung sepeda selama setengah jam.
Demikianlah,
sesampai di tujuan, Sutoto tampak terengah-engah. Ia bilang mendayung
sepeda dengan cepat. Ia tampak kehausan, dan, tentu saja, perlu asupan
pengganti energi.
Tapi, Bung Karno menyambutnya dengan ucapan, "Maaf
To, aku tak dapat bertindak sebagai tuan rumah yang baik untukmu. Aku
tidak punya uang,..."
Sutoto pun mendesah, "Ahhh, Bung selalu tidak punya uang,..."
Keduanya pun duduk terdiam. Sutoto dengan kepayahannya. Bung Karno dengan,... entahlah, mungkin karena tongpes.
Tiba-tiba, melintas seorang wartawan, naik sepeda dengan gopoh.
"Heee,… mau kemana?" teriak Sukarno.
"Cari tulisan untuk koranku,.." si wartawan menjawab sambil berteriak juga.
"Aku akan buatkan untukmu."
"Berapa?" tanya si wartawan sambil merandek genjotan sepedanya.
"Sepuluh rupiah."
Mendengar jawaban Bung Karno, si wartawan tak menjawab, dan seperti hendak mempercepat jalan sepedanya.
"Oke,… lima rupiah!" Sukarno mengajuk menurunkan tarif tulisan.
Tidak juga ada jawaban.
Bung Karno pun menurunkan tawarannya, “Dua rupiah bagaimana? Akan
kubuatkan tulisan, pendeknya cukuplah untuk mentraktir kopi dan peuyeum!
Setuju?"
Si wartawan pun berhenti, dan memutar arah sepedanya.
Sementara si wartawan ngobrol dengan Sutoto di serambi rumah, Bung Karno pun menulis.
Dalam waktu lima belas menit, tulisan 1.000 kata itu selesai dan diserahkan pada si wartawan.
Sukarno kini berduit. Dua rupiah. Dan ia pun bisa ganti mentraktir
Sutoto, dan mengajak Inggit, menikmati kopi beserta peuyem, pada sore
hari di Bandung nan cerah!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar