Senin, Maret 31, 2014

Golput dan Manusia di Luar Era Jaman


Manusia di Luar Era Jaman. Dalam kehidupan ini, ada orang-orang di luar era jaman. Ia bukan orang bodoh, bukan orang pandir, bukan orang buruk-buruk amat, dan bukannya tiada perannya dalam pusaran sejarah. Tetapi sejarah “tidak memilihnya”.
Sementara itu, ada orang yang menurut beberapa orang tidak pantas, tidak selayaknya, tidak jelas atau mungkin boneka, tetapi ia berada dalam lingkar jamannya. Ia in momento, dan jaman memilihnya. Apakah ia orang “bejo”, beruntung, karena bisa jadi ia tak punya dan tak bisa apa-apa, tak ada keistimewaannya, prestasi biasa saja, bahkan ia dituding punya banyak kekurangan?
Di luar itu, ada orang-orang yang kalis dari pilihan itu, tetapi mereka selalu selamat dan hadir. Biasanya mereka adalah para mediocre, para pecundang yang oleh beberapa hal dinilai pintar memanfaatkan situasi. Orang seperti ini, tidak penting sesungguhnya, karena ada atau tidak ada sama saja. Sama buruknya.
Kita bahas manusia in momento, atau yang ada dalam pilihan sejarahnya. Apakah semuanya itu kebetulan? Di dalam ilmu Tuhan, yang disebut asbabul wurudj dan asbabun nujum, yang oleh Barat disebut kausalitas sebab-akibat, tak ada kebetulan. Hukum alam ciptaan Tuhan selalu bekerja sempurna. Ketika gunung-gunung berapi makbedundug pada menjeblug, bahkan yang pasif pun mulai berulah, semuanya bukan tanpa sebab. Termasuk ketika Lapindo salah keduk dan menenggelamkan Sidoarjo.
Jika kita ngomong politik, berfikirlah sejenak dan jernih, untuk mengurut sejarah dari sejak terutama Pemilu 1955, kemudian masa interval 1965, Pemilu 1971, dan seterusnya, hingga (terutama) Pemilu 1997 dan Pemilu 2000. Bacalah fakta-fakta itu dan cari referensi yang akurat (jangan situs songong yang informasinya tak bisa dikonfirmasi dan apalagi yang lebih banyak berisi fitnah), kenapa begini kenapa begitu. Termasuk ketika Golkar mendapat 74,51% dalam Pemilu 1997, dan PDI (belum pakai P) mendapat 3,07%, sementara PPP mengantongi suara 22,43%. Tapi tak lama kemudian, Golkar rontok dalam Pemilu 1999 yang memunculkan PDIP. Golkar (Baru, tanpa Soeharto kata Akbar Tanjung) waktu itu mendapat 22,44%, sementara PDI Perjuangan di bawah Megawati mendapat 33,74%. Sambil lalu, boleh bandingkan dengan hasil survey FUI, yang memposisi Habib Rizieq beroleh suara 90% dan Jokowi 0%.
Hukum alam itu rasional, tidak ada makjegagik dan makbedundug. Politik itu tidak berada di ruang hampa. Ia mempunyai membran dan resonansi. Dan siapa yang ada dalam momento itu, nanti kita post-factum akan bisa mengatakan, kenapa begini, kenapa begitu. Bagi yang jagoannya menang, bisa ngomong macem-macem, begitu juga sebaliknya bagi yang jagoannya gigit jari. Lihat dalil-dalilnya, klenik atau sesuatu yang berada di ranah nalar normal.
Kemenangan Barrack Obama, bukan tidak by design. Ia hasil dari sebuah bacaan sejarah dan psikologi politik yang cermat. Bahwa kemudian hanya berhenti pada harapan rakyat, adalah karena kesalahan rakyat AS juga, karena membiarkan harapan itu menguap, karena tak ada komunikasi dan akses lagi sebagaimana ketika euphoria Barrack Obama marak.
Pesan sejarah itu, menarik dipelajari bagi Indonesia. Siapapun presidennya, syarat kemajuan bagi Indonesia adalah rakyat yang kuat dalam mengontrol pemimpinnya. Pemimpin hanya sebutan subyektif, tetapi rakyatlah mestinya yang punya kuasa dan kedaulatan obyektif. Jika rakyat hanya cukup puas dengan meluncaskan kemarahan di sosial media, itu hanya katarsis yang meringankan stressing psikologi kita saja. Tetapi jika rakyat berdaulat sebagai pressure group yang sebernarnya, pemimpin sesungguhnya hanya karyawan yang kita pilih untuk melayani rakyat.

Ketakutan Pada Golput. Jika Pemilu 2014 ini masih menempatkan rakyat sebagai obyek, dan bukan subyek, maka Reformasi 1998 memang hanya omong kosong. Betapa digdayanya Soeharto yang telah membungkam kita selama 32 tahun.
Kata kuncinya, mau tidak mau, jadilah pemegang hak suara yang cerdas, baik untuk memilih atau tidak memilih. Itu soal biasa dalam demokrasi.
Golput adalah alat kontrol bagi kualitas demokrasi. Tidak sebagaimana yang ditulis oleh Emha Ainun Nadjib dalam kolomnya, jika kita tidak memilih terus Tuhan akan mengejek kita kalau mengeluh; “Lha kamu nggak milih aja kok minta bangsamu sejahtera.”. Terlalu simplistik. Tetapi Golput juga tidak sepelik pemikiran Goenawan Mohamad, dalam capingnya, dengan mengajukan tokoh bernama Bartleby.
Apa yang terjadi di Hongkong, dalam pileg 31 Maret 2014 kemarin (untuk pileg di luar Indonesia diselenggarakan mulai 31 Maret), dari kertas 117.065 suara, hanya terpakai 7.000 suara. Kebanyakan pemegang surat suara adalah buruh. Alasannya karena tidak ada nama dan gambar Jokowi!
Dalam definisi KPU sendiri (bukan saya), apakah 110.065 suara abstain itu bukan Golput? Dan apalah para TKI, sebagian besar yang tidak memakai suara itu pasrah tidak berjuang? Mereka berjuang, mencari sesuap nasi di negeri orang, meninggalkan isteri atau suami dan anak, jauh dari tanah air. Kurang apa? Toh pileg tetap berlangsung dan itu syah, dan Indonesia tidak rontok. Tetapi lembar kertas suara yang tidak dipakai itu memberi pesan penting bagi mereka yang mau memajukan kualitas demokrasi. Pertanyaan semestinya adalah: Kok bisa begitu, kenapa? Cari akar masalahnya, dan perbaiki. Bukannya: “Lha kamu tidak milih kok minta bangsamu sejahtera,…” Wong dikasih tahu kok malah menyalahkan! Jika kita percaya Tuhan Mahabijak, beliau pasti tidak semudah manusia yang suka mengejek dengan menyederhanakan masalah.
Persis iklan pemilu di televisi, yang memakai bintang iklan Yanto Herkules, itu cowok gede-dhuwur gondrong tukang angkat barbell, “Awas kalau tidak memilih, bisa kena bogem,…!”
Beriklan kok tidak mutu!

Minggu, Maret 30, 2014

Cersil Gerpol 2014 | Mencari Kitab Pararaton | 16-30



Add caption
16 | Beberapa orang berloncatan turun dari truk bak terbuka. Ada lima, enam, tujuh, delapan, delapan orang! Mereka kemudian memburu Mbambang.
Mbambang lenyap dari pandangan mata.
“Ke mana setan belang itu?” bertanya salah satu dari delapan orang itu.
Mereka membentuk konfigurasi melingkar, seolah tahu sedang ditulis begitu dalam adegan cerita silat ini. Padahal, tetap saja peran kalian hanya pelengkap penderita!
Mbambang gingkang, melesat dari satu bukit ke puncak bukit lainnya. Hingga di puncak bukit Imogiri, tempat pemakaman Imogiri, kompleks pemakaman raja-raja Mataram Yogyakarta-Surakarta. Namun setelah adanya Astana Giribangun Soeharto, di Karanganyar, ketinggian puncak bukit Imogiri ini terlampaui. Sampai mati pun Soeharto tak ingin ada yang lebih tinggi dari posisinya.
Makam Imogiri dibangun pada 1632 oleh Sultan Mataram III, Sultan Agung Hanyakrakusuma, keturunan Panembahan Senapati. Makam ini terletak di atas perbukitan yang juga masih satu gugusan dengan Pegunungan Seribu.
Konon menurut syahibul jamil, ketika Sinuhun Hanyakrawati alias Sinuhun Seda Krapyak mangkat, maka puteranya, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom, sedang pergi tirakat (itu Islam Jawanya, kalau Islam Arabnya, tafakur. Istilah pun sekarang punya sekte-sekte agamanya sendiri) ke pegunungan selatan tersebut.
Namanya juga tirakat, bisa berminggu-minggu, berbulan-bulan, hingga bertahun-tahun. Tidak seperti sekarang yang hanya menjelang Pemilu. Sesudah Pemilu tak ada urusan dengan rakyat, tapi urusin fustun dan foya-foya, sambil mengutip ayat-ayat Tuhan.
Disitulah wangsit ditemukan, untuk membangun makam di Pajimatan Imogiri.
Semula Imogiri semacam venue untuk berlibur keluarga kerajaan. Di Imogiri sering diadakan adu banteng, adu ketangkasan prajurit seperti di kerajaan-kerajaan Romawi saat itu. Karenanya Imogiri saat itu sudah ramai orang dari berbagai daerah. Kebudayaan kuliner dengan sendirinya juga tumbuh subur di daerah ini, dari peyek, emping, wedang uwuh, wedang secang, wedang rondhe, dan juga tentunya sate serta tongseng, yang hingga kini berjajar sepanjang jalan Imogiri, dan dikenal dengan sate klathaknya. Tentu saja waktu itu belum memakai tusuk sate dari jeruji sepeda, karena sepeda belum diimpor dari Eropa. Kalau pun impor kendaraan, baru kereta-kereta kencana, yang tentu jeruji rodanya tak pantas jadi tusuk sate, saking gedenya.
Konon Sultan Agung seorang raja yang sakti mahambara. Ia cerdik dan pandai, sehingga rakyat maupun makhluk halus serta jin, takluk dan tunduk atas kekuasaannya. Meski tidak kuliah di fakultas kedokteran, beliau juga dikenal sebagai raja yang mampu melindungi rakyatnya dari berbagai macam penyakit.
Karena bijaksananya, maka setiap hari Jum'at, ia dapat pergi sujud ke Mekkah. Padahal, apakah ada yang mengetahui ketika beliau masuk cepuri keraton bercengkerama dengan isteri-isterinya atau tidur mendengkur dengan lelapnya?
Setelah lima tahun memerintah, kerajaannya dipindahkan dari Kerta ke Plered dan selanjutnya Kanjeng Sultan ingin memulai membuat makam di Pegunungan Girilaya, yang terletak di sebelah Timur Laut Imogiri sebagai makam raja.
Namun belum rampung proyek pembangunan makam itu, sang paman yang bernama Gusti Pangeran Juminah lebih dulu mengajukan permintaan agar boleh dimakamkan di sana. Kanjeng Sultan Agung amat kecewa, dan entah bagaimana ceritanya, Pangeran Juminah wafat. Dan memang dimakamkan pada proyek pemakaman yang sedang dibangun, namun Sultan Agung kemudian melemparkan segenggam pasir ke sembarang tempat. Pasir yang dibawanya dari Mekah itu jatuh ke pegunungan Merak, dan di sanalah kemudian makam raja-raja Yogyakarta dan Surakarta, sebagai anak turun Sultan Agung, berada.
Gunung Merak jauh lebih besar dan tinggi dibanding komplek makam sebelumnya. Untuk mencapai astana makam, bukannya sulit, namun bisa menguras tenaga.
Tangga menuju ke makam memang luar biasa banyaknya. Belum lagi menjelang pintu gerbang supit-urang, tanjakannya jauh lebih tajam, hingga bagi yang tak biasa bisa serasa somplak dengkulnya.
Menurut sumber yang bisa dipercaya, tangga pemakaman itu berjumlah 409 anak tangga. Tapi konon tak ada yang bisa menghitung sama persis dan benar. Padahal, menurut mitos, jika pengunjung berhasil menghitung jumlah anak tangga dengan benar, semua keinginannya akan terkabul.
Entah sudah berapa capres, cagub, cabup, dan caleg yang bolak-balik naik turun tangga itu, tapi hitungannya berubah-ubah. Dan hasilnya, mereka dilarikan ke rumah sakit gara-kara kakinya kejang-kejang. Kalau otaknya tidak kejang. Bagaimana mau kejang, wong tidak punya otak.
Sharon Stone saja sampai berhenti 17 kali untuk sampai ke supit-urang. Apalagi pada etape terakhir, dengan kemiringan anak tangga mencapai 45 derajat. Kaki seolah sudah tak bisa diangkat lagi.
"It's more exhausting than seeing the look of Michael Douglas," ujar Sharon dengan nafas yang keluar lewat telinganya. Keringatnya berleleran. Sensual banget!
Sharon Stone dan Mbambang taruhan. Jika hitungan ganjil, Mbambang akan mencium Sharon Stone. Tapi kalau hitungan anak tangga genap, Sharon Stonelah yang mencium Mbambang.
Taruhan nggak mutu. Biarin aja, deh, suka-suka mereka. Anggap saja dunia milik mereka berdua. Yang lain cuman nebeng.
Mbambang pun kemudian menerangkan pada Sharon soal anak tangga di makam itu. Katanya orang Jawa itu berbicara dengan simbol-simbol. Hingga jumlah anak tangga pun harus dibaca dengan pengetahuan batin. Anak tangga dari pemukiman menuju level pertama di dekat masjid, berjumlah 32 anak tangga. Jumlah itu melambangkan bahwa makam Imogiri dibangun pada tahun 1632.
Anak tangga dari daerah dekat masjid menuju pekarangan masjid berjumlah 13. Jumlah anak tangga ini melambangkan bahwa Sultan Agung diangkat sebagai raja Mataram pada tahun 1613. Anak tangga dari pekarangan masjid menuju tangga terpanjang berjumlah 45, melambangkan bahwa Sultan Agung wafat pada tahun 1645.
Anak tangga terpanjang berjumlah 346. Hal itu melambangkan bahwa makam Imogiri dibangun selama 346 tahun. Dan anak tangga di sekitar kolam berjumlah sembilan. Melambangkan Walisanga sebagai simbol penyempurna Islam di tanah Jawa.
"You're really smart," Sharon Stone menyipok bibir Mbambang dengan gemas.
Mbambang kelicutan. Ia ngeri soal cipokan itu. Konon katanya siapa yang cipokan di makam raja itu, kalau bukan suami-isteri bakal jadi suami-isteri. Tapi namanya mitos, nyatanya Mbambang tidak beristrikan Sharon Stone. Hm, mitos penipu, huh!
"How do you know?" Sharon masih penasaran soal kecerdasan Mbambang.
“Gogling aja kok repot,…” Mbambang menjawab sambil cengengesan.

17 | Tubuh Mbambang melayang seolah kapas. Pemandangan di seputar perbukitan Imogiri alangkah indahnya. Hanya saja bendera dan spanduk-spanduk partai politik terasa begitu mengganggu.
Dalam kepalanya masih saja menyumpal pertanyaan; ngapain Susilo ke Blitar? Tapi belum juga pertanyaan itu terjawab, justeru kini ia harus menebus kelalaiannya. Mencari Kitab Pararaton yang entah di mana ia tinggalkan. Ia harus menemukannya sebelum tanggal 9 April 2014.
Kenapa harus tanggal itu? Karena tanggal itu tanggal keramat bagi bangsa dan negara Indonesia? Tidak. Alasan sejatinya, karena cerita silat lidah ini hanya dikontrak hingga tanggal itu. Jika kitab itu ditemukan setelah tanggal 9 April 2014, pasti akan jadi sia-sia karena tidak dituliskan lagi. Dan kalau tidak ada jejak tulisannya, siapa yang akan membacanya, mengetahuinya, bahwa kitab itu ditemukan? Kan jadinya sia-sia belaka penemuan itu?
“Lha ‘kan kamu nulisnya bisa diperpanjang lagi, sampai 20 April kek,…” Mbambang menawar pada yang menulis cersil gombal ini.
“Hadeh, nggak bisa dong! Emangnya nulis model kaum seniman, deadlinenya mundur-mundur terus gara-gara ilham belum muncul, sementara kaki udah capek jongkok di toilet! Padahal sekarang ilham tak jelas apa kerjaannya. Entah jadi tukang gerobak atau penunggu counter HP,” jawab yang nulis cerita.
Mbambang patah hati. Mau main fesbukan kok yang muncul makin banyak fesbuker tukang negasi, sok pinter, Arabian style dan suka ngeklaim paling tahu apa kerjaan Tuhan. Ia pun kembali ke pasar Imogiri, tempat pertama kali ia menikmati wedang uwuh dan kehilangan Kitab Pararaton itu.
“Siang, Pakde Karwo,…” Mbambang duduk pada dingklik panjang di angkringan Pakde Karwo. Angkringannya menyediakan sega kucing garong, nasinya sedikit lebih banyak dibanding sega kucing biasa, apalagi sega kucing penyakitan.
“Waduhhhh, Den Mbambang,” Pakde Karwo menyambut dengan gembira. Ketawanya lebar, dan makin terasa lebar dengan tiadanya gigi di situ, meski kumisnya mirip gubernur Jawa Timur yang entah siapa namanya. “Mau minum apa? Wedang uwuh apa wedang secang?”
“Pakde,…” Mbambang berbisik mendekat pada Pakde Karwo. “Pakde masih ingat hari apa saya ke sini kemarin?”
“Wah, ya lupa, mungkin Selasa Wage apa Kliwon ya? Lupa!” Pakde Karwo garuk-garuk kepala. Soalnya kalau garuk-garuk aspal jalanan bukan saja melanggar aturan, tapi juga bakal sakit di kuku. Bahkan mungkin ada yang tega menyebutnya gila. Kalau salah sebut tidak apa. Tapi kalau benar gila, gimana?
Wajah Mbambang terlihat lesu. Bagaimana jika kitab itu tidak diketemukannya? Mungkinkah Kanjeng Ratu kalinyamat bakal menyunting dirinya sebagai suami? Ah, mana mungkin, dikecewakan kok malah diambil jadi suami. Dibunuh habis-habisan sampai tujuh turunan barangkali malah bisa terjadi. Tapi namanya juga barangkali. Bisa barang bisa kali. Tidak pasti. Persis janji politikus busuk.
“Kenapa ta, Den, kok wajahnya kelihatan suntrut?”
Lamunan Mbambang buyar. Apalagi melihat penampilan Kanjeng Ratu Kalinyamat yang terakhir. Sungguh tak diharapkan. Dari perempuan cantik tiba-tiba berubah menjadi jerangkong. Bukan hanya mengecewakan melainkan juga mengerikan.
Padahal, dengan kesadaran penuh, Mbambang kini siap berhadapan dan melihat Kanjeng Ratu Kalinyamat yang bugil. Toh waktu remajanya dulu ia sudah banyak latihan, melihat gambar-gambar porno di majalah atau di komik-komik dari Amerika. Bahkan, waktu SMP dia sudah kecanduan Motinggo Boesye dan Abdullah Harahap. Membaca buku sambil tiduran, dengan satu tangan memegang buku dan satunya lagi memegang,… bantal!
Bayangan sensualitas Kanjeng Ratu Kalinyamat tampak begitu sempurna. Jauh lebih sempurna dibanding Sharon Stone. Coba saja jika dua orang itu disandingkan. Atau, bagaimana kalau Sharon Stone sendiri yang memainkan karakter Kanjeng Ratu Kalinyamat, dan benar ada adegan tapa telanjang itu? Tapi,…
Tiba-tiba warung angkringan Pakde Karwo ambyar sewalang-walang. Hancur lebur berantakan. Dua roda yang menyangganya berpencaran. Satu jatuh menimpa kucing kawin di barat pasar. Satunya menimpa kepala sepasang gelandangan yang sedang making love di balik bak sampah.
Delapan ninja dengan warna kuning tai mengepung Mbambang. Tapi meski berpakaian a la Ninja, semuanya bersenjatakan keris, yang terhunus mengarah ke Mbambang. Hm, kodifikasi murahan. Apakah rakyat mudah dibujuk dengan ini semua? Suara rakyat suara Tuhan, ya Allah! Mereka tidak tahu bahwa Tuhan pun golput. Menyerahkan semua pilihan pada manusia, toh mereka semua sudah tahu resikonya.
“Yeaaaaaahhhhhhhhh,…!” delapan ninja kuning tai itu pun menerjang serentak.
Mbambang terdesak. Secepat kilat ia mencelat. Mumbul dan hinggap di dahan pohon kluwih. Begitu ia melongok, terlihat di bawah delapan ninja kuning tai kesemuanya mampus. Saling tertusuk oleh keris teman masing-masing.
Dengan tenang, Mbambang meloncang turun. Jleb, jleb! Begitu bunyi dua kakinya menapak ke tanah.
Namun tak berapa lama kemudian, justeru Pakde Karwo berteriak, “Den Mbambaaaaaangngngng, awaaassss!”
Mbambang jatuh terjengkang. Matanya berkunang-kunang. Tapi pastilah jumlahnya tak sampai seribu, karena seribu kunang-kunang hanya ada di Manhattan. Itu pun menurut Prof. Dr. Umar Kayam almarhum. Dalam cerpen.
Di hadapannya, lagi-lagi, seorang perempuan dengan rancangan kostum model Victoria Street. Dua tangannya mengacungkan samurai. Tegak lurus pada belah matanya yang tajam. Ada sisi gothicnya, dan lebih mengumbar auratnya. Namanya juga gothic. Goyang Ithic.
“Bibirnya kelihatan mesum. Pastilah perempuan ini dari golhit,…” Mbambang membatin.
“Hm, laki-laki piktor, pastilah kau sebangsa golput,…” perempuan gothic itu menjawab dalam batin juga.
“Jangan di tengah pasar, aku ladenin kamu di ara-ara amba,…” Mbambang melesat ke arah tenggara dari Pasar Imogiri.
Secepat itu juga, perempuan gothic melesat, menyusul Mbambang.
“Lha warungku piye, Cukkkkkk,….!” Pakde Karwo nangis-nangis gulung-koming.


18 | Pertarungan berlanjut di ara-ara amba. Sebuah tanah lapang yang benar-benar lapang. Dari jejak kaki keduanya tampak, pertarungan berlangsung sangat seru. Rumputan di tanah lapang itu jadi rusak, terinjak-injak dan tercerabut dari akarnya.
“Serahkan Kitab Pararaton itu,…” seru samurai gothic dengan cuncum bra ukuran 38. Cuncum itu diberi balutan emas, pating kerlip, dan persis penyanyi ndangdhut dari India.
“Langkahi dulu mayatku,…” jawab Mbambang menirukan jawaban Ibu Tien Soeharto ketika Pak Harto minta ijin untuk menikah lagi. Pantesan, waktu Ibu Tien meninggal dulu, Pak Harto sering melompat-lompat di atas nisan isterinya. Namun bukannya beroleh ijin dari marhumah, malah 1998 Pak Harto longsor dari kursi kepresidenan.
“Ora dadi presiden ora patheken,...” kata Pak Harto waktu itu.
Iyalah, 32 tahun berkuasa masa’ patheken? Toh hingga cucu-cicit Soeharto sampai kini juga tak ada yang terlihat miskin. Bahkan Titiek Hediati kini maju jadi caleg DPR-RI dari dapil Daerah Istimewa Yogyakarta.
DIY memang daerah istimewa, konon ini kota pelajar dan kota perjuangan, namun Orde Baru sepertinya juga bakal bangkit dari daerah ini. Dan di panggung kampanye Alun-alun Kidul, Mbak Tutut meyakinkan massa berkaos kuning, “Kita bertekad mengembalikan kejayaan Pak Harto dengan Golkar,...”
“Langit memang masih membiru,” teriak ARB, “tapi pada mulai menguning,...”
Iyalah. Tokai kadang juga berwarna kuning.
Uhuk, uhuk.
Pertarungan sangat serunya. Tapi perempuan itu seperti bertenaga kuda. Masih tampak tegar. Barangkali dari sini istilah kuda betina lahir. Barangkali. Itu pun kalau para munsyi setuju. Namun biasanya, persetujuan susah didapat di negeri ini. Yang subur adalah pertengkaran dengan berbagai dalih.
Cersil, alias cerita silat, boleh saja menjadi bacaan populer. Namun cersilid, cerita silat lidah, jauh lebih populer. Lihat saja para capres dan pendukungnya dalam Pemilu 2014, sangat memukau idiom-idiomnya. Penuh sadisme yang pancasilais.
“Hiaaaaaatttttt,...” perempuan gothic itu melancarkan serangan dengan sabetan samurainya.
“Hufft!” Mbambang memelengkan kepalanya ke kiri. Coba kalau ke kanan, kupingnya pasti putus tiada ampun.
Mbambang tak ingin terlihat bodoh bagai Basiyo, yang ketika dihantam kiri menghindar ke kiri. Hantam kanan meleng ke kanan. Pantas saja Basiyo lebih dikenal sebagai pelawak Dagelan Mataram daripada seorang pesilat handal.
Tapi sepandai-pandai tupai melompat, kadang terpeleset juga.
Mbambang nyungsep ke tanah. Gedebug!
Kepalanya sedikit benjol.
“Hiyungggg athow,...!” tanpa sadar Mbambang melenguh. Lenguhan ndhesit.
Perempuan gothic tak memberi kesempatan. Ia terus saja merangsek. Ia angkat tinggi-tinggi samurainya. Dengan sekuat tenaga ia ayunkan tepat ke leher Mbambang.
Mbambang bergulingan dengan sigap.
Jleb! Samurai itu nancap di tanah.
Mbambang salto. Dua kakinya kini nangkring di bahu perempuan gothic. Perempuan itu membungkuk dan menarik dua kaki Mbambang.
Lagi-lagi Mbambang terjengkang. Cekakar, glangsarrrr.
Seni beladiri perempuan gothic ini lumayan juga. Bisa jadi ia belajar silat pada Bramantyo, atau mungkin Whany Dharmawan, dua pesilat tangguh dari Yogyakarta. Entahlah. Tidak penting.
Mbambang mencoba bangkit. Tapi tubuh perempuan itu sudah berada di atasnya. Woman on top.
Dua tangannya mencekik leher Mbambang.
“Katakan cepat, di mana Kitab Pararaton,...” perempuan gothic matanya mendelik kejam.
Mbambang tidak menjawab. Bagaimana bisa menjawab, lehernya dicekik hingga ia susah bernafas.
“Bohong!” teriak perempuan gothic.
Hadeh, belum juga menjawab, sudah dibentak, kata hati Mbambang. Perempuan kalau perkasa memang sering aneh. Merasa sudah tahu apa yang belum dijawab orang lain. Apalagi dengan suaminya.
Tapi bukan cersil bermutu jika Mbambang tak bisa membebaskan diri. Dengan sekuat tenaga ia dorong perempuan di atasnya itu, “Huaaahhhh!”
Kini posisi sebaliknya. Mbambang duduk di atas perut perempuan gothic itu.
Namun hanya beberapa detik, tahu-tahu Mbambang terlempar beberapa meter ke belakang. Punggungnya membentur sebuah pohon besar. Brug.
Beberapa saat Mbambang kehilangan kesadaran. Pikirannya melayang ketika ia berada di atas tubuh perempuan gothic itu. Pikiran kotor.
Tapi sejujurnya, perempuan gothic ini bertubuh menggoda. Bagaimana tubuh yang menggoda itu? Hanya mereka yang pikirannya mesum bisa menguraikan dengan tepat. Selebihnya jangan percaya, karena lelaki genit juga bisa berimprovisasi untuk menyenangkan perempuan. Apalagi jika ada maunya. Tapi, demikianlah perempuan gothic ini, yang dijamin lebih sexy dibanding Saskia Gotik.
Pantas saja Mbambang kurang konsentrasi. Padahal, ajaran dari semua pendekar silat, konsentrasi adalah investasi bagi kemenangan dalam pertarungan. Sedetik saja lengah, nyawa bisa melayang. Meski belum ada pembuktian hingga kini, dengan apa nyawa melayang. Sayap? Adakah yang tahu nyawa punya sayap? Sementara pelindung perempuan dengan double wing saja tak bisa terbang! Promosinya malah ahli hisap, dan memberi kebebasan pada aktvitas perempuan di kala datang bulan.
“Katakan di mana Kitab Pararaton kau sembunyikan?” perempuan gothic melancarkan pukulan sembari ngomong.
“Aku sendiri lupa di mana,...” Mbambang menjawab culun.
“Bohong. Dasar laki-laki.”
“Apa hubungan laki-laki dengan bohong?”
“Hubungannya erat, bahkan identik!”
“Hadeh, sexys! Kebohongan, kejujuran, itu bisa pada siapa saja. Apa kau pikir Ratu Atut Choisiyah jujur, karena dia perempuan? Apakah Kanjeng Nabi tukang bohong karena dia lelaki?”
“Tidak sepatutnya membandingkan Atut dengan Nabi. Nggak sepadan!”
“Lho, Kanjeng Nabi juga manusia. Tak ada yang menyebut Kanjeng Nabi Tuhan!”
“Stop! Dalam semua cersil tak ada dialog macam begini. Lanjutkan pertarungan!” perempuan Gothic tampak jengkel.
Pertarungan pun berlanjut. Mbambang kini tak mau lagi lengah karena kurang fokus. Ia tak ingin seperti lelaki dogol, yang lena karena godaan cuncum bra berukuran 38 itu.

 19 | Mbambang mengamuk membabi-buta. Tidak penting apakah kalau babi buta mengamuk mengerikan atau tidak? Kalau babi binatang haram, bagaimana jika ungkapannya diganti ‘mengamuk mengonta buta’? Biar sedikit lebih religius?
Jika tak setuju tak usah sewot, apalagi ngamuk.
Perempuan gothic pun akhirnya klenger. Sebuah totokan pada belahan dadanya membuatnya tak sadarkan diri. Totokan tepat di tengah antara susu kiri dan kanan perempuan gothic itu.
Sebagai pendekar yang baik hati dan tidak sombong, Mbambang menelpon 108 untuk mencari tahu nomor telpon rumah sakit terdekat. Ia kemudian menelpon pihak rumah sakit dan memohon ambulance untuk mengambil perempuan gothic, yang nyekangkang di tengah ara-ara amba.
Mbambang kemudian ginkang. Dari pohon ke pohon. Dari pohon ke bukit. Dari bukit ke pohon. Minggat meninggalkan korbannya. Bersamaan dengan itu terdengar nguing, nguing, nguiiing,... dari sirene mobil ambulance, yang kemudian membawa perempuan gothic itu pergi.
Mbambang masih pusing, di mana Kitab Pararaton berada? Pakde Karwo yang ditemuinya hanya bisa menangis terguguk, gara-gara gerobaknya hancur berkeping-keping. Sudah tiga hari Pakde Karwo tidak jualan.
“Berapa harga gerobak itu?” bertanya Mbambang di depan rumah Pakde Karwo.
“Harganya tak seberapa, hiks, tapi nilai sejarahnya itu,...” Pakde Karwo menjawab sambil terguguk.
Oh, my Godness! Betapa mahalnya nilai sejarah itu. Tak bisa terbeli dengan uang. Mbambang garuk-garuk kepala. Betapa dahsyatnya rakyat kecil Indonesia ini. Bisa jadi karena ajaran Bapak Revolusi Indonesia, jasmerah, jasmerah, jasmerah. Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.
Padahal, siapa sesungguhnya yang meninggalkan? Sejarah atau rakyat jelata?
Apalagi kini bukan hanya jasmerah, melainkan ada juga jaskuning, jasbiru, jashijau, jasoranye. Dan yang terbaru; jasijus-ijasijusijas!
Mbambang pun mesti membelikan gerobak angkringan yang baru untuk Pakde Karwo. Tidak mungkin dia mengembalikan masa sebelum gerobak itu jadi sasaran pukulan teroris golhit yang memburu Mbambang.
Dan sejarah gerobak yang tak ternilai harganya itu pun hilang, berganti harapan baru dengan gerobak baru. Apalagi Mbambang meninggalkan segepok uang untuk kulakan aman selama seminggu.
“Wah, sampeyan caleg nomer berapa? Partainya apa?”
“Hus, saya bukan caleg, Pakde!” tukas Mbambang.
“Lha, kok baik hati memberi saya uang?”
Mbambang hanya tersenyum.
“Saya akan coblos sampeyan yang baik hati dan dekat dengan rakyat kecil ini,...” Pakde Karwo masih ngotot.
“Pakde tahu bungkusan yang saya bawa waktu saya pertama kali ke angkringan Pakde Dulu?” Mbambang mencoba mengalihkan perhatian. Coba kalau bisa mengalihkan ibukota RI, pasti sudah dialihkannya kemarin sore.
Pakde Karwo terdiam. Tampak ia sedang mengingat-ingat.
“Dulu pakai baju apa ya?” Pakde Karwo balik bertanya.
“Ya sama seperti ini. Celana komprang, dengan baju tanpa kancing begini,” jawab Mbambang yang kemudian menjelaskan bagaimana kostum yang dipakainya.
“Memangnya nggak pernah ganti?”
“Dalam cersil, nggak ada tokoh-tokohnya gonta-ganti baju, Pakde. Si Buta dari Goa Hantu, To Pek Liong, Boo Key, Wiro Sableng, Wiro Dono, semuanya kostumnya tetap. Nggak ganti-ganti. Mungkin juga nggak pernah mandi. Lihat saja yang namanya Superman, Batman, Spiderman, Gundala, Godam, pakaiannya gitu-gitu mulu,...”
“Kasihan sekali,...” gumam Pakde Karwo. “Apa mereka cuma punya,...”
“Ya, mungkin saja bisa punya banyak,” tukas Mbambang. “Tapi mungkin semua koleksi pakaiannya sama warna dan modelnya. Coba Pakde lihat, banyak politikus kita semuanya pakai baju putih-putih. Itu baju putih mereka bukan hanya satu jumlahnya. Mungkin dua lemari, dan bisa jadi sekali pakai buang.”
“Sayang sekali,...”
“Lebih sayang lagi kalau tubuh mereka yang suci terkotori. Makanya, baju pun hanya sekali pakai, untuk menjaga kesucian mereka. Yang namanya Batman itu, bahkan sejatinya pengusaha. Kaya raya. Tapi, pengusaha kaya raya ‘kan biasanya agak sedikit gemblung, gaya hidupnya aneh-aneh, Pakde.”
Pakde Karwo kembali hanya manggut-manggut.
“Sudah ingat, Pakde, saya membawa bungkusan itu?”
Pakde Karwo kembali mengingat-ingat. Sepertinya ia menyelamatkan bungkusan yang dibawa Mbambang. Ia masukkan ke dalam gerobak angkringannya.
“Lha, tapi, gerobak itu ‘kan hancur sewalang-walang,....” tiba-tiba Pakde Karwo mendesis.
“Maksudnya? Maksudnya Kitab Pararaton itu ada di dalam gerobak? Dan kemudian ikut hancur lebur bersama gerobak itu?”
Pakde Karwo terdiam beberapa saat. Ia menganggukkan kepala perlahan.
Mbambang tepok jidat.
Mampus aku! Bagaimana nanti menjawab pertanyaan Kanjeng Ratu Kalinyamat, jika tiba-tiba makjegagik queen of nude itu menagihnya?
Mbambang melesat ke pasar Imogiri. Ke TKP. Pakde Karwo melongo karena Mbambang tiba-tiba lenyap.
“Setaaaaannnnnnn,...!” Pakde Karwo lari nggendring ke jalanan kampung.
KPU (Komisi Pemilihan Umum) Mbuantul tiba pada kesimpulan, bahwa kegiatan demokrasi 2014 ini ditengarai dengan kemungkinan adanya aksi terorisme. Hal itu dinyatakan ketika mereka datang ke rumah sakit Mbuantul. Karena berdasar laporan paramedia, di balik kostum perempuan gothic yang dirawat di rumah sakit itu, ditemukan sticker partai politik peserta Pemilu 2014.
Partai politik apa? KPU memilih bungkam dengan mengatakan semuanya masih dalam penyelidikan, dan untuk menjaga stabilitas politik. Padahal, cara-cara demikian justru berpotensi membuat instabilitas. Dan wartawan sering meneruskan kebodohan itu dengan menambah-nambahi interpretasi ngaslak. Mestinya Dewan Pers mengubah pendapat mengenai “fakta dan opini”. Berita, dari sononya, pasti tak lepas dari opini. Tapi fakta pastilah bisa dibedakan dengan asumsi, sekali pun asumsi bisa mengandung kebenaran, namun toh harus dibuktikan dengan fakta. Kalau fakta harus dibedakan dengan opini, bagaimana Dewan Pers menilai berita politik dari Metro TV, MNC Group, TV-One, dan sebagainya itu? UU Pokok Pers kita sendiri termasuk tak jelas, bahkan kalah pancasilais dengan pers di Amerika Serikat yang sekuler.
Tapi di pasar Imogiri, Mbambang tak menemukan apa-apa. Halaman pasar, tempat angkringan Pakde Karwo berada, sama sekali sudah bersih. Mbambang menyalahkan petugas kebersihan yang terlalu rajin. Padahal, biasanya sampah di biarkan numpuk berbulan-bulan, sampai muncul surat pembaca di media, dan baru dibersihkan.
Mbambang mendekat ke petugas kebesihan pasar.
“Bapak tahu, siapa yang bertugas menyapu pasar ini pada hari Selasa Wage kemarin?” Mbambang langsung memberondong dengan pertanyaan.
“Waduh, saya lupa!”
Hadeh, semua orang dengan mudahnya mengatakan lupa, lupa, lupa! Bangsa yang pelupa adalah bangsa yang tidak akan bisa menjadi bangsa pengingat. Camkan itu, saudara-saudara, wahai!
Mbambang muter-muter di halaman pasar yang mulai sepi. Pasar Imogiri hanya ramai pada pagi hari hingga lohor. Pada jam-jam berikutnya, hanya tampak beberapa penjual makanan kecil. Itu pun hanya beberapa, tak lebih dari sepuluh.
Terduduk di selasar pasar, wajah Mbambang terlihat kusut.
Handphonenya memberi tanda ada SMS masuk. Dari Susilo; Di mana kamu?
Mbambang tak segera membalasnya. Apa yang dilakukan Susilo kini? Masih di Blitar, dengan cemcemannya?
Mbambang mengabaikan. Pikirannya penuh dengan pertanyaan. Soal Kitab Pararaton itu. Padahal tanggal 9 April tinggal dua minggu lagi. Apa jadinya jika kitab itu tak ditemukan? Apa jadinya, duhai!

 
20 | Mbambang ubeg-ubegan dari pasar ke pasar. Terutama di los barang bekas dan loakan. Sampai ke Pasar Beringharjo dan Pasar Klithikan di Yogyakarta. Juga Pasar Senthir maupun Pasar Kenthir. Siapa tahu Kitab Pararaton sudah berpindah tangan ke pedagang loak?
Jalan menuju kota agaknya tak mudah. Macet di mana-mana. Apalagi karena ulah para peserta kampanye. Belum berkuasa pun sudah menyengsarakan lain orang.
“Pados napa to, Den?” seorang perempuan pemulung benda-benda bekas menyapa Mbambang di pasar Beringharjo. Dia menanyakan apa yang dicari Mbambang.
“Buku-buku lama, Mbak,...” Mbambang menjawab sekenanya.
“Buku apa? Novel? Saya ada ini, bagus-bagus lho. Ada karya Nick Carter, Freddy S., Any Arrow, Motinggo Boesye, Abdullah Harahap,...” perempuan pemulung itu menyebut beberapa nama.
Mbambang memperhatikan wajah perempuan pemulung itu.
“Dapat darimana?”
“Dari Bu Ilenk, koleksinya banyak yang begituan.”
“Bu Ilenk?”
“Iya, Bu Ilenk.”
“Yang begituan itu yang seperti apa?”
“Ya gitu, bacaan porno gitu. Tapi, fantasi seksualnya lebih dahsyat lho, Den. Tidak sebagaimana karya-karya Ayu Utami atau Ayu Laksmi. Lebih hidup dan jujur.”
“Maksudnya norak?”
“Iya, jujur ‘kan norak. Cerita erotis dengan bahasa yang coba dipuitiskan itu jadi terasa munafik. Pernah membaca Histoire secrete d'Isabelle de Baviere, reine de France karya Marquis de Sade?” perempuan pemulung itu nyerocos dengan lancarnya. “Karya-karya sastra Indonesia sekarang Cuma menang di komunitasnya saja, Den. Coba, sampeyan deket ama GM, aktif di Salihara, pasti segera jadi terkenal dan berwibawa. Bisa dapat biaya sekolah gratis ke luar negeri segala, lho, Den,... Atau ke Kompas, apalagi kalau bisa jadi teman baik Jakob Oetama! Nulis dulu di Kompasiana, hihihihi,...”
Mbambang terperangah. Perempuan pemulung itu terus saja nyerocos. Wajahnya tidak meyakinkan. Pakaiannya kumal bertembel bendera dan poster parpol. Dilihat dari nomor urut parpol, sepertinya itu poster Pemilu 2009. Ada gambar parpol yang sudah marhum.
“Sampeyan ini pemulung apa kritikus sastra dekaden?”
“Saya drop-out dari filsafat UGM, Den. Bukan drop-out sih, tapi terpesona pada tokoh kita dalam novel-novel Iwan Simatupang,...” perempuan pemulung itu memungut puntung rokok yang masih nyala. Dihisapnya dalam-dalam.
Asap mengepul dari mulut dan hidung perempuan pemulung itu. Sangat fasih.
Mbambang mencoba membayangkan, bagaimana seandainya perempuan pemulung itu mandi, atau diajaknya ke SPA untuk perawatan berat. Garis wajahnya ayu. Gabungan antara tiga sampai enam artis paling cantik se Indonesia. Jika satu gelas teh dengan satu sendok gula ditambahi enam sendok gula, pasti manis sekali. Begitu juga tentu enam artis cantik ditumbuk jadi satu, pasti jadi artis yang cantiknya enam kali lipat.
“Kalau dilihat dari matanya, Den ini sepertinya lama nggak ML,...” perempuan pemulung itu nyolot sembari menghembuskan asap rokoknya.
Jakun Mbambang turun-naik. Dari sejak muncul dari jilid pertama, Mbambang mengakui, penulis belum memberinya kesempatan untuk meluncaskan hasrat seksualnya. Bagaimana kalau di jilid sekarang ini?
Dengan perempuan gelandangan ini?
“Saya juga lama nggak ML,...” perempuan pemulung itu menggeremeng. Matanya lurus ke depan. Dengan pandangan kosong bernuansa merah jambu. Sunyi menggigit. Sampai berdarah.
“Di mana?” Mbambang memberanikan bertanya pada perempuan pemulung itu.
“Apanya?” perempuan pemulung itu menatap wajah Mbambang. Sinar matanya berkilat.
“Kalau kita ML?” Mbambang agak gagap.
“Di taman monumen Satoe Maret. Di belakang patung-patung itu. Di sana aman,...” bisik perempuan pemulung itu dengan kerlingan nakal. Kerlingan nakal itu ngerling sambil nggampar tanpa sebab. Kayak anak kecil kalau menggampar temannya tanpa alasan.
“Sore-sore begini?”
“Justeru sore begini aman!”
“Bagaimana kalau menunggu malam?”
“Terus bagaimana cara menghabiskan waktu untuk menunggu itu?”
“Apakah aku perlu menjawab pertanyaaan itu?”
Malam merambat perlahan. Matahari sudah nyungsep di balik Gedung Negara. Wajah patung raksasa membawa gupala, masih saja seperti dulu. Matanya tak berubah, demikian juga rambutnya yang berpotongan jadul. Ia seperti tak pedulikan betapa cepatnya jaman berubah. Dasar patung!
Titik nol Yogyakarta tiap malam selalu riuh. Ada ratusan anak muda, nongkrong di pinggir jalan, lelaki dan perempuan. Mahasiswa, pelajar, buruh, asisten dosen yang masih giat pacaran, komunitas ini dan komunitas itu, tumplek-bleg. Jika dituliskan obrolan mereka sepanjang malam hingga dini hari, mungkin menghasilkan buku ukuran standar sebanyak 300-900 halaman. Kalau tiap malam satu orang melahirkan satu buku, dalam satu malam di titik nol itu, akan lahir ratusan buku baru. Kalau sebulan? Sejuta buku bisa lahir dari sini. Kalau setahun?
Tak terbayangkan. Orang Indonesia memang dahsyat. Jika saja mereka mau.
Perempuan pemulung itu menggandeng tangan Mbambang yang malu-malu. Jangan-jangan nanti ada temannya yang melihat. Tapi sepertinya tidak. Tak mungkin teman-temannya nongkrong di titik nol. Mereka kini lebih banyak nongkrong di cafe-cafe eksklusif, biar dikata mereka adalah bagian dari gaya hidup modern yang keren.
Sepertinya perempuan pemulung itu sangat hafal, di mana pagar taman yang bisa dilewati dengan aman.
Keduanya kini tepat berada di longkangan patung-patung tentara, yang dulu mempertahankan Ibukota Republik Indonesia dari serangan Belanda.
Mbambang masih jerih, melongok ke orang-orang yang begadangan di titik nol.
Tapi agaknya perempuan pemulung itu tak sabar. Dia tarik leher Mbambang. Perempuan pemulung itu mencium bibir Mbambang dengan rakus. Bunyinya berdenyit-denyit seperti ban mobil mencium licin aspal jalanan.
Mereka bergulingan di rerumputan taman Satoe Maret. Bagaikan kisah Adam dan Eve di taman Eden. Tanpa busana. Tiada mereka peduli para pengomong-kosong di sepanjang jalan. Dalam dingin malam yang membara.
Langit begitu tohor.
Tanpa bintang.


21 | Sementara itu, Susilo dan perempuan sopirnya melarikan diri dari Blitar. Seharusnya mereka dimintai keterangan dan harus melapor ke Polsek Bendo Gerit. Pihak hotel melaporkan kejadian perkelahian di kamar yang ditempati Susilo bersama perempuan sopirnya. Tapi Susilo memerintahkan untuk kabur.
Kota Blitar yang kecil sempat heboh. Dengan bantuan kepolisian kota, empat mobil patroli diturunkan mengejar mobil Susilo. Berkoordinasi dengan polsek-polsek wilayah lainnya, semua jalanan kota Blitar dijaga polisi. Beberapa polisi yang bertugas di ring luar penjagaan Ibas Yudhoyono, yang sedang berkampanye di Blitar, uring-uringan karena dipindah ke ring kering. Karena menjaga keselamatan anak presiden lebih basah rasanya, jika nasib untung bisa naik pangkat mendadak.
Jarak mobil Susilo dengan pengejarnya semakin dekat. Sementara di ujung jalan, barisan polisi siap menghadang. Bunyi sirene begitu ribut. Menguing-uing.
Tepat ketika jarak tembak semakin dekat, tiba-tiba mobil Susilo membubung terbang.
Para polisi semestinya bisa segera melakukan tindakan. Tapi agaknya mereka memilih terbengong-bengong. Susilo lepas dari kejaran.
Dengan ketinggian yang rendah (maksudnya gimana?), mobil Susilo menuju ke arah timur laut. Melintasi hutan kota, perbukitan, dan rumah-rumah penduduk yang menyemut.
Jika diikuti persoalan dengan pihak kepolisian, Susilo menduga posisinya jadi serba sulit. Apalagi dengan mobil super-canggihnya, dengan perempuan bukan muhrimnya dalam satu kamar hotel. Apa kata dunia tentang hal itu? Tidak patut ditiru oleh generasi muda. Maunya, biar para ortu yang yang ruksak (ruksak itu rusak banget, menurut Ali Topan bin Teguh Esha dalam episode pertama dan terakhir kalinya).
Apalagi dalam situasi politik seperti saat ini. Sangat tidak menguntungkan. Orang akan dengan mudah curiga, kemudian membuat teori-teori kodok bangkong seolah-olah menguasai data. Membuat analisis dan konklusi soal konspirasi, tapi datanya sampah melulu. Persis kelakuan Rhoma Irama, yang percaya ibunda Jokowi beragama Kristen, hanya karena dia membacanya di internet. Dan menurutnya, kalau sudah dari internet, sahih dan canggih. Pantes saja beliau diganjar gelar profesor, gelar paling cocok bagi mereka yang suka disebut pinter tapi nulis di jurnal ilmiah juga kagak. Dulu sedikit banget Indonesia punya profesor, kini berjibun profesor, tapi apa karya mereka?
Susilo pun kemudian nongkrong di Taman Bungkul, sebuah pusat jajanan serba ada gagasan Tri Rismaharini.
“Kita tetap harus bertemu Bung Karno,” gerutu Susilo sambil mencomot sate susu dibalik, begitu tulis di daftar menu. Maksudnya sate usus.
“Bagaimana caranya, Boss? Panggil dukun?”
“Kenapa tidak? Malaysia saja panggil dukun untuk mencari pesawat yang hilang, masa’ Indonesia kalah dengan Malaysia? Bisa-bisa dukun produk Indonesia didakunya pula.”
Selesai menangsel perut, mobil Susilo pun meluncur ke sebuah hotel super-mewah di bilangan Darmo. Tentu dengan menggunakan jalan darat, agar tidak mengundang nafsu wartawan infotainment.
“Beritahu Pakde Karwo, kita ada di Surabaya,...” perintah Susilo pada sopirnya. Entah siapa namanya, dari sejak kemunculannya, tak pernah di antara mereka menyebut nama. Padahal sebenarnya gampang, tinggal penulisnya memberi nama; Pariyem atau Angelina. Tapi alasan penulisnya sungguh tidak bermutu. Ia malu menanya siapa nama perempuan sopir itu. Bukan muhrimnya, begitu alas an yang dikemukakan.
“Jiancuk, Rek!” tiba-tiba terdengar suara makian.
Susilo celingukan. Tak ada siapa-siapa kecuali dirinya, sopirnya dan seorang petugas cleaning service hotel.
Petugas cleaning service itu kelihatan malu. Agaknya ia takut dikira memaki tamu hotel. Sembari menjauh, cleaning service itu berkata sopan, “Maaf, tadi RBT dari hape saya yang bunyi, maaf,...”
“Jancuk, Rek, kon iku!” kali ini Susilo yang memaki. Bukan RBT.
Arek-arek jaman sekarang suka aneh-aneh. RBT kok isinya makian. Tapi sekarang ada juga RBT yang bunyinya lebay; Hidup SBY! Pokoke Jokowi! Mampus kau Ruhut! I love you SW!
Padahal Kalau RBT isinya daging ‘kan lumayan?
Ya, kalau lumayan, kalau lu manyun?
Susilo bersolilokui meniru model pelawak Srimulat.
“Pakde Karwo bilang, Boss tidak boleh meninggalkan Surabaya sebelum bertemu dengannya,” perempuan sopir memberitahu.
“Beritahu dia, ada masalah di Bendo Gerit, biar dia selesaikan!”
“Siap, Boss!”
“Dolly udah ditutup ya?”
“Masih banyak, Boss.”
Percakapan terhenti.
Di kamar hotel, mereka berdua memperhatikan sekeliling. Tiap sudut ruangan mereka periksa. Agaknya mereka tak ingin kasus Bendo Gerit terulang.
“Tangan saya gatel, Boss.”
“Kenapa?”
“Kita berada dalam cerita silat, tapi jarang banget berantemnya. Jadi gatel,...”
“Kalau gatel dikukur aja,...”
Keduanya lagi-lagi terdiam. Oh ya, lupa memberitahu. Keduanya berada di satu kamar. Bukan untuk urusan syahwat, tapi demi keamanan. Kalau syahwat muncul, itu pengecualian. Ini masih mending, one by one. Bukan threesome ala ulama MUI Bogor.
Siapa sesungguhnya Susilo ini? Atau, siapa sebenarnya Susilo ini? Dia ini orangnya siapa? ARB? Prabowo? SBY? Wiranto? Mega? Atau Soeharto?
Begitu rapatnya Susilo menyembunyikan identitasnya. Bahkan penulis ceritanya pun tidak tahu. Entah saking rapetnya menjaga rahasia, atau saking guoblognya yang nulis.
Karena bukan rahasia lagi, banyak penulis yang tidak tahu apa yang ditulisnya. Apalagi kalau yang nulis ternyata mentornya. Dan para cabe-cabean, biasanya perempuan semriwing, yang ingin jadi penulis, kemudian lebih sibuk main esek-esek dengan mentornya yang cowok. Mentor cewek untuk calon penulis cowok sepertinya tak pernah ada dalam sejarah kesusasteraan kita yang adiluhung. Sejak jaman Gajah Mada bersumpah tan amukti palapa, sumpah mampus hal itu sepertinya belum pernah terjadi. Seks dan Sastra Kita (seperti buku seri esei Pustaka Sinar Harapan jaman dahulu, kebetulan ditulis oleh Goenawan Mohamad, yang konon selain sastrawan juga ahli seks jurusan sufi dan elitis), tampaknya makin relevan. Seks itu pun juga ada kasta-kastanya. Ada kasta yang sudra, yang meski sudah sangat jawara merangkai kata, tapi karena sembarang menancapkan kelamin, akhirnya dituntut dengan kasus perkosaan oleh gadis yang dihamilinya.
Jadi jangan hanya nyindir Chairil Anwar atau Bung Karno sebagai playboy yang thukmis. Mengutip sebuah status fesbuk, mereka yang kalah akan menyerang, mereka yang hina akan mencaci-maki. Dan semakin tampak bagaimana seseorang tak bisa menjaga harkat dan kehormatannya. Hanya karena ingin menjadi presiden. Seolah-olah, presiden adalah segalanya. Padahal, menurut Ruth Sahanaya, hanya kaulah segalanya. Yang lainnya tidak.
“Pakde Karwo minta bertemu malam ini,” perempuan sopir Susilo memberitahu sms yang diterimanya.
“Hadeh. Setiap hendak bersambung ‘kan mestinya ceritanya agak mesum dikit, agar pembaca penasaran.”
“Tapi ini Pakde Karwo yang minta. Dia penguasa Jawa Timur, Boss. Muncul gossip, ada juga yang mencalonkan Pakde Karwo jadi presiden alternatif.”
“Hanya karena kumisnya? Kalau cuma begitu syaratnya, Surya Paloh malah pakai brewok pula.”
“Prof. Rhoma Irama, bahkan di dadanya juga tumbuh bulu, sexy banget, Boss. Apalagi kalau kancing bajunya dilepas.”
“Norak! Presiden kok hanya karena tampilan fisik,” Susilo agak jealousy. “Nyatanya, banyak akhirnya yang kecewa dengan SBY, yang dulu ibu-ibu pada tergila-gila karena kegagahannya. Katanya, lebih ganteng dibanding Megawati. Nggak tahunya ini presiden paling lebay yang pernah dimiliki Indonesia!”
“Nggak takut disomasi, Boss?”
“Bung Karno itu presiden yang keren. Ia manusia yang menghayati, bahwa semakin tinggi pohon, semakin tinggi angin menerpanya. Tetapi semakin tinggi pohon semakin dalam dan kuat akarnya di dalam tanah. Dan itu pohon yang tak mudah goyah. Pohon yang tinggi tapi akarnya cethek, akalnya dangkal pula. Makanya kecenderungannya dikit-dikit curhat dan marah-marah.”
“Boss, Pakde Karwo sudah menunggu di suite lounge di lantai bawah,” perempuan sopir mengingatkan Susilo.
Tapi Susilo akhirnya buru-buru turun, sembari menggerutu. Gagal lagi adegan mesum dalam jilid kali ini.
Jika bukan Pakde Karwo yang ingin bertemu, Susilo pasti lebih memilih kelonan di kamar. Seperti Teletubies. Berpelukaaaannnn,…!

 
22 | “Kitab Pararaton itu tampaknya ada di Yogya!” kata Pakde Karwo sehabis menyeruput minumannya.
“Apakah itu artinya Sultan HB-X hendak mencapreskan diri?” Susilo menyelidik.
“Sepertinya tidak. Momentumnya sudah lewat.”
“Darimana Pakde Karwo punya pendapat seperti itu?”
“Soal Sultan?”
“Soal Kitab Pararaton!”
“Di Imogiri, saya bertemu yang bernama Mbambang itu,…”
“Mbambang?” Susilo terbeliak.
“Dia mencari-cari barangnya yang ketinggalan di gerobak angkringan saya,…”
“Dan barang itu Kitab Pararaton?”
“Belum jelas juga. Soalnya, barang itu saya simpan di gerobak, tapi gerobaknya diledakkan oleh kelompok salah paham. Barang bawaan Mbambang yang ketinggalan itu pasti ikut meledak juga, hiks,…”
“Pertanyaan saya, darimana Pakde Karwo mengetahui barang milik Mbambang itu Kitab Pararaton?”
Pakde Karwo kemudian menceritakan kejadian yang dialaminya di Imogiri.
“Saya mendapatkan informasi paling valid. Mbambang menceritakan pada salah satu tikus yang kita tempatkan di Yogya. Dia sedang mencari-cari Kitab Pararaton itu. Waktu itu, ia bertemu dengan tikus kita di los loakan pasar Beringharjo, dan katanya dia sedang mencari Kitab Pararaton itu,…”
Susilo belum juga mudeng dengan alur cerita Pakde Karwo.
“Kalau belum jelas juga, baca ulang deh, cersil ini pada jilid 20!” Pakde Karwo berkata jengkel.
Langit Surabaya gelap. Tapi terasa terang di permukaan tanah yang pernah melahirkan Bung Tomo itu. Tentu saja, karena malam hari, dan lampu kota terasa semarak. Dan Tri Rismaharini mendapat berbagai penghargaan internasional atas berbagai program tamanisasi itu.
Semalaman Susilo termangu-mangu. Pikirannya sibuk dengan dugaan. Bagaimana bisa Kitab Pararaton yang dicari-carinya itu juga diburu oleh Mbambang? Apa kepentingannya? Bahaya kalau kitab itu jatuh ke tangan Golput. Sebagai Golhit, tujuh turunan Susilo tak akan bisa menerima hal itu. Kalau perlu, meniru-niru Ken Arok, tumpes kelor keturunan Golput sampai tujuh turunan pula.
Susilo ragu-ragu hendak menghubungi Mbambang. Ia kini perlu berhati-hati untuk berkomunikasi dengan Mbambang. Sudah pasti, Golput adalah musuh Golhit. Dan tak akan ada kompromi untuk itu. Politik Nusantara adalah politik bunuh-bunuhan. Tak boleh ada matahari kembar. Cerita-cerita klasik peninggalan nenek-moyang kita, lebih berisi soal kuasa tunggal dan kehendak saling melenyapkan.
Dari ujung Sabang hingga dataran Merauke, sambung-menyambung menjadi dendam tak berkesudahan. Semua merasa saling benar dan mulia. Dan politik yang dikembangkan hanyalah karena berapa banyak jumlah gerombolannya. Itu sebabnya pula, para capres yang berasal dari luar Jawa, mesti berhitung dengan populasi mayoritas penduduk Indonesia ini. Tidak rasional? Dari berbagai sudut keilmuan, justeru itulah yang paling rasional, meski para orientalis mengatakan; Pilih pemimpinmu bukan karena ras, suku, dan agama. Tapi bereka yang belajar sosiologi politik dan kebudayaan manusia, tak pernah bisa menjatuhkan fakta-fakta politik yang ada. Apalagi variable politik kita belumlah sangat problematis. Karena bangsa ini juga lebih banyak didewasakan dengan teas-tesa konflik tipologis, belum sampai pada konflik psikologis dan dialektis. Beberapa Negara yang rekayasa sosialnya berjalan genuine, telah menyelesaikan sentiment-sentimen itu, hingga seperti Amerika Serikat yang rasialis pun memenangkan Barrack Obama yang berkulit hitam. Dan film "12 Years a Slave" pun bisa menjadi film terbaik, peraih Piala Oscar, setelah 86 tahun penyelenggaraan Academy Award.
Sekali pun tentu, proses perjalanan Negara ini tak perlu menunggu begitu lama sebagaimana AS yang harus menunggu sampai 200-an tahun lebih. Dengan teknologi komunikasi dan akses informasi seperti sekarang ini, dunia menjadi sempit, dan Indonesia bisa belajar jauh lebih cepat. Peribahasa Jawa yang mengatakan “ndonya ora mung sak godhong kelor” (dunia tak selebar daun kelor), bisa jadi hanya bisa dipakai oleh motivator tangguh, di jaman dunia tak lebih tebal dari kulit ari ini. Sebelum seratus tahun Indonesia Merdeka, semestinya pembelajaran demokrasi itu sudah jauh lebih dari cukup.
Perlahan akan hilang pula isyu-isyu sipil-militer, trah darah biru dan trah darah item, dan apalagi akan makin hilang pula ukuran presiden berdasar kegantengan dan kecantikan. Sungguh betapa memalukannya pencapaian politik kita hari ini, yang masih sexys, dan bahkan masih belum jenjem dengan isyu SARA.
Bukankah semestinya kita kembali ke azali, bahwa nilai dan ukuran manusia ialah pada apa yang diperbuatnya? Dan bukankah perbuatan adalah manifestasi yang dipikirkan, dituliskan, dikatakan, berdasar pengetahuan dan moralitasnya?
Ukuran-ukuran normatif yang selama ini diyakini, mestilah dikritisi secara proporsional. Jika ARB mendapatkan resistensi yang tinggi, bukan karena ia dari Sulawesi atau Sumatera, misalnya. Bukankah Yusuf Kalla yang berasal dari tanah yang sama dengan ARB lebih dapat diterima oleh suku Jawa? Tanya kenapa coba. Bukankah Jokowi dan Amien Rais yang sama-sama dari Solo juga tidak mendapatkan penerimaan yang sama? Tanya kenapa coba. Itulah kepentingan, katamu. Dan itulah politik. Politik kelas ecek-ecek.
Pandangan tipologis yang menempatkan karakter manusia berdasar dari asal suku atau etnisnya, adalah pandangan jadul warisan VOC dalam politik devide et impera. Jika bangsa Jawa adalah munafik, Batak tegas, Makassar berani, Sunda curang, Betawi malas, alangkah bodohnya Tuhan menciptakan manusia. Betapa seringnya kita membodoh-bodohkan Tuhan, dengan cara memuliakan Tuhan, seolah manusia hanya boleh menerima takdir yang sudah ditetapkan. Manusia malas, munafik, keji, jujur, khianat, bukan karena dari mana etnisnya berasal, tapi dari perbuatan yang dilakukan. Dan siapa pun serta di mana pun bisa melakukan apa pun di dunia ini. Buktinya, banyak anak-anak Indonesia yang pintar, dan mendapat kedudukan penting dan strategis di berbagai Negara. Hanya karena kualitas kepemimpinan yang buruk dan korup menjadikan bangsa dan Negara ini blangsak. Sekali pun dikatakan tongkat dan kayu jadi tanaman di tanah air ini. Penghiburan bangsa pengidap inferiority complex.
Susilo mengusap-usap jidatnya. Malam ini ia tidur sendirian. Ia meminta perempuan sopirnya untuk membiarkannya sendiri. Pikirannya tentang Mbambang dan Kitab Pararaton telah melenyapkan libidonya.
Apakah ia harus menyusul Mbambang di Yogya? Tidak harus. Bukankah ia punya banyak anak buah yang ditebar di seluruh Indonesia Raya?
Tapi Susilo agak gamang. Banyak orang kini menyewa intel. Jangan-jangan beberapa bukan hanya double agen, tapi mungkin triple, fourple, dan seterusnya. Maklumlah, intel juga manusia, dan manusia doyan duit, wong setan saja sekarang juga doyan duit, setidaknya setan yang berujud manusia.
“Kamu di mana?” Susilo menghubungi perempuan sopirnya. Didengarnya suara riuh dalam handphone.
“Diskotik, Boss,” terdengar suara perempuan sopir di antara riuh-rendah musik dan ketawa lelaki-perempuan.
“Kita ke Yogya sekarang,…”
“Waduh, lagi hang-out nih, Boss,… ada brondong basah!”
“Kutunggu dalam lima menit,…”
“Walah, jarak diskotik ini dengan hotel minimal setengah jam!”
“Kalau tidak kutinggal,…”
“Emang Boss bisa pegang kemudi mobil itu?”
Jiancuk! Susilo mondar-mandir di kamarnya. Seumur hidup ia tak bisa mengemudikan mobil. Waktu kecil ia belajar naik sepeda roda tiga, itu pun jotah-jatuh mulu. Dan hingga kini ia trauma.
Mau tidak mau ia terpaksa menunggu perempuan sopir keparat itu.
Sebetulnya, diskotik itu terletak di underground room hotel. Tinggal naik lewat lift, dalam waktu kurang lima menit sebenarnya bisa. Tapi hasrat libido perempuan sopir itu bagaikan hendak meledak. Ia melakukan fast-sex dengan brondong basah yang ditemunya di diskotik. Duapuluh menit cukup.
Buru-buru perempuan sopir itu menarik celana hipstersnya. Meninggalkan brondong basah pingsan di atas closset.
 

23 | Susilo terbang ke Yogya dengan mobil super deluxenya. Jalanan di beberapa kota macet, apalagi jika sedang dipakai para peserta kampanye. Tapi perjalanan Susilo lancar-lancar saja, karena mobil yang dikendarai melayang di angkasa. Kenapa melayang di angkasa? Karena tak bisa melayang di lautan.
Siapa pembuat mobil itu? Tak penting diceritakan, karena bisa mengganggu mood pembaca cerita silat. Disangkanya nanti malah jadi sastra automotif. Sastra? Hihihi, maaf, cerbung ding, alias cerita mbambung.
Tapi tak mudah bertemu Mbambang di kota kecil Yogyakarta. Sudah dua malam Susilo nongkrong di titik nol, dan bahkan menyelinap di taman kota belakang patung Satoe Maret, iya tidak menemuinya. Bahkan juga tikus betina yang diinformasikan oleh Pakde Karwo pun tak ditemunya.
“Siapa?” seorang ibu-ibu yang jualan barang loakan menjawab pertanyaan Susilo dengan suara cempreng.
Susilo jadi kelicutan.
“Di sini banyak orang yang ngilokan kertas, buku bekas, kumpulan skripsi, barang-barang loakan,…” jawab ibu itu kembali dengan suaranya yang buanter banget, “Bahkan kemarin ada tuh yang njual buku 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh, sampek tujuh kiloan,...”
“Dia perempuan gelandangan,…” Susilo mencoba menjelaskan.
“Haiya yang jualan barang-barang bekas di sini cuma gelandangan umumnya. Masa’ menteri jualan barang bekas di sini,… Menteri itu tidak jualan. Menteri itu korupsi! Eh, ada ding kemarin yang ke sini, perempuan, namanya Fatin Hamama. Bukan njual, tapi dia nyari buku bekas tulisan Empu Sedah. Itu soal gimana cara bikin racun arsinekum. Ya, mana saya ngerti,” ibu itu terus saja ngomong dengan suaranya yang kenceng.
“Katanya dia bekas mahasiswa filsafat UGM,…”
“Si Fatin Hamama itu?”
“Bukan! Yang sering menjual barang bekas ke Ibu,...”
“Huahahahahaha,…” ibu itu malah ketawa ngakak. Satu los pasar loak pun ikut tertawa terbahak tanpa sebab. Gemuruh ketawa ngakak itu hampir merobohkan pasar, yang berdiri sejak Kraton Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri pada tahun 1755, beberapa bulan usai Perjanjian Giyanti. “Mana ada gelandangan kuliah di UGM? UGM sekarang bukan kampus rakyat atau kampus ndesa. Di situ mahal sekarang, jauh lebih mahal dari kampus swasta. Anak saya diterima di situ, tapi nggak kuat mbayar uang gedungnya. Negara apa iki, mung nggolek duwit thok,…”
Mbambang tak tahan mendengar suara keras ibu itu. Ia pun memilih pamitan pergi.
Ke mana harus dicari? Menghubunginya lewat handphone? Pasti berakibat lebih buruk. Tapi bukankah golput dan golhit harus dipertemukan dan ditarungkan? Kalau tidak, bagaimana sebuah cerita tanpa antagonis? Semua orang baik-baik saja, jujur, tulus, mulia, ikhlas,… Nggak ada cerita dong!
Cerita harus dengan protagonis dan antagonis, kata para mentor penulisan. Tentu saja itu hanya nasehat untuk kaum penulis yang tak bisa membuat cerita. Umumnya mereka menulis setelah beol, bertapa di closset berjam-jam, nunggu wangsit, sampai antrean di luarnya mencapai 50 meter. Karena ternyata lupa hal itu dilakukan di WC Umum.
Menulis adalah menulis. Asal kau punya pengetahuan, referensi, kemudian memiliki sikap. Selebihnya adalah soal teknis, soal keberanian untuk menulis dan menulis, hingga sebagaimana pendekar terampil memainkan pedangnya. Sebagaimana pengayuh beca yang terampil mengemudikan beca di gang-gang sempit. Sebagaimana petani mencangkuli sawahnya sebelum masa tanam. Asal bukan sebagaimana capres yang berani nyapres tapi tidak tahu pantas dan tidaknya.
“Iki kok malah how to be writing, piye toh?” protes seorang pembaca.
“Iya, ki, mulai ra mutu iki,” protes pembaca lainnya (hihihi, purak-puraknya ada yang membaca).
Susilo dan perempuan sopirnya menggelandang di Malioboro. Dingin udara malam seolah menyusuri ulu hati. Untunglah hanya seolah. Kalau betulan, betapa menyakitkannya.
Di lesehan gudeg Malioboro, Susilo bertemu dengan seorang lelaki tua, kurus, berambut gondrong. Lelaki itu memperkenalkan diri sebagai Umbu Landu Paranggi.
“Oh, Anda dari Sumba?” Susilo takjub.
Lelaki tua gondrong itu mengangguk.
Susilo memberi perintah pada perempuan sopirnya untuk mencari data soal Umbu Landu Paranggi. Melalui sms, perempuan sopir itu memberitahu Susilo, bahwa Umbu Landu Paranggi adalah presiden Malioboro.
“Ohhhh, Anda Umbu Landu Paranggi, presiden Malioboro?” Susilo makin takjub. Dengan khidmat ia mengulurkan tangan untuk berjabatan. Susilo mencium tangan Umbu Landu Paranggi. Dengan penuh hormat. Persis Anas Urbaningrum jaman dulu kala, ketika mencium tangan Susilo Bambang Yudhoyono. Jaman ketika mereka sama-sama masih memakai jaket biru.
Kini Anas Urbaningrum lebih suka memakai baju putih. Demikianlah simbol para pejuang yang hatinya putih bersih, karena barusan dicat dengan cat tembok tahan air.
“Bagaimana Anda bisa terpilih sebagai presiden Malioboro?” Mbambang bertanya jujur. “Pakai kampanye terbuka atau tertutup? Waktu itu, apa visi-misi Anda?”
Umbu Landu Paranggi memandang sesaat wajah Susilo.
“Pernah menulis puisi?” bertanya Umbu Landu Paranggi.
Susilo menggelengkan kepala.
“Pernah membaca puisi?”
Lagi-lagi Susilo menggelengkan kepalanya.
“Kalau begitu, pejamkan mata,…”
Susilo nurut memejamkan mata.
Beberapa saat kemudian, sekitar lima menit, Susilo gelisah menunggu apa yang akan dikatakan presiden Malioboro itu.
Tapi Susilo kaget membuka mata ketika dengkulnya ditepuk oleh perempuan sopirnya.
Susilo melihat sekeliling. Sosok Umbu Landu Paranggi lenyap-nyap, tiada, bersama bakul gudeg dan orang-orang yang lesehan di kaki lima Malioboro.
Yang terlihat hanya lorong kaki lima yang senyap. Sesekali saja suara raungan sepeda motor membelah malam. Itulah malam kadang-kadang terbelah. Mengumpul jadi satu lagi. Kemudian terbelah lagi pas ada sepeda motor lewat.
Buru-buru Susilo dan perempuan sopirnya meninggalkan tempat itu.
Tapi diujung gang, tak jauh dari patung Jenderal Sudirman, tiba-tiba muncul segerombolan lelaki mengepung Susilo dan sopirnya. Masing-masing dengan senjata di tangan. Susilo dan perempuan sopirnya berdiri beradu punggung. Pertarungan tak terhindarkan. Dua lawan 11 orang.
Susilo dan sopirnya tak punya pilihan lain. Mereka pun mengeluarkan senjata andalan masing-masing.
Suara dentingan senjata seolah orang lagi BBM-an. Centang-centing dan sesekali disertai suara mengaduh.
Susilo dan sopirnya meloncat berbarengan, ke tengah-tengah jalan Malioboro. Mencari tempat yang lebih leluasa. Tapi karena kadang muncul kendaraan yang melintasi jalan itu, Susilo pun menarik musuh-musuhnya ke halaman gedung DPRD-DIY. Ada area taman yang cukup luas untuk sebuah perkelahian yang seru.
Di halaman gedung DPRD-DIY itu, terdapat patung Jenderal Sudirman yang lusuh dengan jubah yang tak kalah lusuh. Ia berdiri dengan anggunnya, seolah melihat rakyat jelata, yang terbungkuk-bungkuk kelaparan, menderita sakit, dan berharap Jenderallah yang akan menolong dan melindungi. Di sekeliling Jenderal Sudirman terdapat beberapa patung rakyat desa, penduduk kampung, dan beberapa prajurit yang tertembak Belanda. Kenapa tidak mengeluh pada wakil rakyat yang berada di dalam gedung?
Ini malam hari. Wakil rakyat sesuai jadwal, hanya bekerja pada jam-jam kantor. Itu pun kantor mungkin hanya ramai lima tahun sekali.
Seorang bertubuh gemuk, dengan membawa kampak bersimbol tengkorak, meloncat sembari mengayunkan kampaknya. Susilo yang menjadi sasaran buru-buru menghindar. Tapi dengan tangkas lelaki gemuk itu terus mengejarnya sembari mengobat-abitkan kampaknya.
Hingga kampak itu membabat leher Jenderal Sudirman. Dan jatuhlah kepala sang Jenderal berparu-paru satu itu. Clangggg! Blug, gludhug,… begitu bunyinya. Kepala Jenderal Sudirman terkulai di rerumputan.

 
24 | Menikmati breakfast di depan kamar losmen di bilangan Sarkem, Mbambang kaget membaca berita koran “Kedaulatan Rakyat”. Dalam headline koran legendaris Yogyakarta itu, ditulis; “Leher Jenderal Sudirman Putus: Perkelahian Misterius Terjadi di Depan Gedung DPRD-DIY.”
Tapi sebagaimana judulnya, yang menyebut perkelahian itu misterius, tidak diketahui siapa yang berkelahi. Tak ada korban yang tinggal, kecuali kepala Jenderal Sudirman yang nyungsep di rerumputan. Seorang petugas kebun buru-buru melaporkan pada pihak keamanan, tentang apa yang dilihatnya di sekitar patung Jenderal Sudirman.
Kegemparan meruyak di Yogyakarta. Tapi kini keributan cukup terisolasi, karena twitter dan fesbuk lumayan mampu menjadi media katarsis. Hanya pemerintahan yang bodoh saja yang tidak berterimakasih pada Mark Zuckerbergh, yang telah banyak membantu mengurangi stress sosial yang massif.
Mbambang tercenung.
Beberapa media cetak yang dibacanya, menyebut apa yang terjadi berkaitan dengan aksi-aksi yang mau menggagalkan Pemilu 2014. Apalagi ada juga wartawan yang menulis hal itu dikaitkan dengan kejadian di Imogiri Mbuantul.
Darah Mbambang berdesir. Justeru karena ia tahu persis, peristiwa apa yang dimaksudkan di Imogiri itu.
Kini justeru yang ada dalam otak Mbambang adalah soal Susilo. Mungkinkah Susilo berada di balik semua aksi ini? Bukan tidak mungkin, Golhit akan melakukan segala cara, untuk mengatakan Golput adalah penjahat, pendosa yang pantas masuk neraka? Makanya KPU selalu berteriak-teriak; “Tolak Golput!”
Mbambang pun menerima penolakan itu, dan tidak akan maksa datang ke TPS, daripada diusir karena ditolak.
Tapi aksi teror yang dilakukan para Golhit di mana-mana ini tak bisa dibiarkan. Aksi teror itu pasti dilakukan atas keyakinan jurus andalan dari guru mereka yang bernama Soeharto. Bangun opini publik untuk munculnya common enemy, bagaimana caranya agar justeru Golputlah yang dituding melakukan aksi teror itu. Karena dengan banyaknya aksi terror, Pemilu akan dibatalkan. Dan yang senang dengan tak adanya Pemilu siapa lagi jika bukan kaum Golput? Kaum Golput akan dituding jadi biang bencana. Padahal, para Golhit yang haus kekuasaanlah yang akan menikmati pembatalan pemilu itu. Setidaknya 506 caleg pertahana tak perlu was-was tersingkir, dan bisa bikin proyek-proyek lagi untuk lima tahun ke depan.
Itu sama dengan taktik Soeharto dulu, bagaimana menciptakan musuh-musuh bersama. Dengan menciptakan bahaya latent PKI. Dengan memunculkan slogan ‘politik no ekonomi yes’, dan diam-diam rakyat dibonsai dalam sistem pendidikan dengan doktrin berfikir formal dan bertindak pragmatis. Dan perlahan namun pasti, dirinya muncul dan dianggap sebagai pahlawan. Sebagai Bapak Pembangunan. Hingga akhirnya ARB penuh keyakinan hendak mengembalikan kekuasaan model Soeharto, jika menang dalam Pemilu nanti.
Dalam sebuah kerumunan manusia yang pendek akal, dengan kaum elitenya yang panjang akal, satu-satunya cara hanyalah memotong akal yang panjang untuk disambung ke akal yang pendek. Hingga adil sama panjang. Bagaimana memotong akal itu? Tentu saja potong kepalanya.
Dan simbol yang dikirimkan adalah kepala Jenderal Sudirman. Dia adalah Jenderal Besar. Hanya tiga jenderal besar di Indonesia ini. Jenderal Sudirman, Jenderal AH Nasution, dan Jenderal Soeharto. Panglima TNI ABRI hendak memberikan gelar jenderal besar pada Susilo Bambang Yudhoyono, tapi konon yang bersangkutan menolaknya. Hal itu konon meniru taktik Soeharto, dalam menciptakan bluffing. Analisisnya: Moeldoko mengusulkan gelar jenderal besar itu atas suruhan SBY, dan ketika hal itu dilakukan Moeldoko, SBY menolaknya. Dengan demikian muncullah pendapat; Betapa rendah hatinya SBY. Tapi di jaman internet begitu lugas, model pencitraan gaya bluffing itu jadi bulan-bulanan empuk para pasukan dunia maya. Ada yang menulis: SBY menolak gelar itu, karena isterinya tersinggung, takut dikira suaminya lelaki yang gagal diet. Dan Ani Yudhoyono khawatir kalau dianggap tidak bisa mengurus suami. Jadilah SBY menolak gelar jenderal besar itu, takut isterinya ngambek.
Mbambang tersedak.
Potong kepala seorang Jenderal Besar? Itu sangat serius. Dan itu dilakukan pada kepala Jenderal Sudirman? Meski cuma kepala patung, jangan-jangan itu simbol-simbol yang dikirimkan kepada Golput, untuk menghentikan aksinya, dan agar bertobat masuk menjadi Golhit?
“Bisa jadi Susilo berada di belakang layar aksi ini,” Mbambang mendesis.
Mbambang ini analisisnya ngawur juga. Kepo. Ia tidak tahu bahwa yang melibas kepala Jenderal Sudirman adalah orang yang bertarung melawan Susilo. Untung saja Mbambang tidak ngetuit atau posting analisis politik model dukun beranak ke fesbuk. Kalau iya, pasti nambah eneg dunia maya yang semua orang seolah ahli teori konspirasi kodok bangkong buatan AS, Yahudi, atau RRC. Tapi kok tidak ada teori konspirasi dengan negara Timur Tengah, dengan kaum Salafi dan Wahabinya? Tanya coba, kenapa, dan siapa yang selama ini ribut dan ribet dengan teori konspirasi. Mereka yang percaya teori konspirasi, adalah mereka yang menghina bahwa bangsa Indonesia sebenarnya bisa membangun sistem demokrasi, dan membuat semua teori klenik itu tidak ada artinya. Baca ajaran-ajaran politik Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Syafruddin Prawiranegara, Agus Salim, Natsir, Sjahrir, Ki Hajar Dewantara, HOS Cokroaminoto, Douwes Dekker, notulasi rapat BPUPKI dalam pidato Bung Karno 1 Juni 1945. Semuanya lebih dari cukup untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang baik budi dan tidak sombong, apalagi bodoh.
Mbambang pun dengan berhati-hati melongok ke TKP. Ia memakai wig dan kacamata hitam.
Dan Yogyakarta pun di mata Mbambang menjadi hitam. “Jogja Ora Didol” demikian kata-kata yang ditabalkan di mural-mural kota. Tapi pembangunan hotel tetap saja terus berlangsung, dan membuat kota ini makin macet. Aneh, padahal hotel-hotel itu dibangun di pinggir jalan, bukan di tengah jalan.
Mbambang menyusup di antara kerumunan banyak orang. Matanya waspada mengamati sekeliling.
Dadanya berdegup kencang. Di antara kerumunan orang, ia lihat ada sesosok perempuan sexy. Pakaiannya biasa saja. Casual. Tetapi bentuk tubuh, kulit, juga cara make-up, tak bisa menutupi bahwa perempuan itu pastilah bukan penduduk setempat. Jika pun penduduk setempat, rasanya tidak mungkin perempuan secantik itu turut serta rakyat jelata melihat tontonan seperti ini.
Tapi bukankah Yogyakarta kota yang banyak dikunjungi para wisman, dan biasa saja dengan perempuan cantik aneka rupa?
Tidak, bantah Mbambang pada dirinya.
Dan ia pun mendekat ke arah perempuan sexy itu. Mencoba menarik perhatiannya. Posisi mereka, perempuan sexy, orang lain, dan kemudian Mbambang.
Hidung Mbambang yang tajam mengenali merk parfum apa yang dipakai perempuan sexy ini.
Mbambang mengajak bicara pada orang yang berada di sebelah perempuan sexy.
“Sepertinya perusakan patung itu disengaja,...” Mbambang berkata dengan suara agak keras. Biar si perempuan sexy ikut mendengarnya.
“Ngapa harus ngerusak patung?” sahut lelaki yang diajak Mbambang bicara.
“Si pemenggal kepala itu hanya mengirimkan sinyal, yang harus dibaca oleh lawannya.”
“Bacok saja langsung kepala lawan, kenapa patung yang tidak bersalah dirusak? Anarkis!”
“Itulah perlawanan simbolik. Efeknya jauh lebih dahsyat,...” Mbambang berkata sembari berusaha melirik perempuan sexy di sebelah lelaki itu. Bibirnya sexy banget. Dadanya ranum. “Ini permainan politik tingkat tinggi,...”
Mbambang tanpa pamit ngeloyor pergi.
“Tapi, bukahkah,...” lelaki yang berdiri di sebelah perempuan sexy menukas. Tapi begitu ditolehnya, Mbambang sudah tiada, ia pun hanya bisa memaki, “O, asu ki! Trukbyangane silit!”
Mbambang sudah nongkrong di angkringan gang menuju Sarkem. Ia mencomot tahu bacem yang tampak bantat.
Baru saja hendak mencaplok tahu bacem, suara perempuan menyapanya, “Hai,...”
Perempuan sexy yang semula di depan gedung DPRD-DIY itu duduk di sebelah Mbambang.
Jangan-jangan perempuan sexy ini salah satu penghuni The Flower Market? Sial! Gimana dong? Tapi, kecantikannya natural. Tapi, Sarkem?
 
25 | “Boleh numpang duduk di sini?” perempuan sexy itu berkata lembut pada Mbambang. Pada huruf ‘s’ yang meluncur dari bibirnya, yang sensual itu, seolah benar-benar ada es-nya disitu. Mbambang membayangkan bagaimana jika air es itu menetes ke ulu hatinya. Hidup piktor!
“Sepertinya Abang bukan dari sini,…” perempuan itu memulai percakapan setelah memesan wedang jahe panas.
“Sepertinya Nona juga bukan dari sini,…” Mbambang memain-mainkan pikirannya.
“Panggil saya Dor,…” perempuan itu berkata sembari mengaduk wedang jahenya.
“Oh, ya? Nama yang asyik. Dor dari Perancis?”
“Saya lahir sebelum waktunya,” Dor tidak menjawab pertanyaan Mbambang, “masih delapan bulan di kandungan Mama,…”
“Bagaimana bisa?”
“Mama waktu itu mendengar letusan pestol, dan lahirlah saya,…”
Huahahaha, Mbambang ketawa dalam hati. Coba dia tak ingat sopan-santun, yang diajarkan orangtuanya dulu, pasti diledakkan ketawanya di situ.
“Dor dilahirkan di Indonesia?”
“Saya aseli Indonesia, dilahirkan di Indonesia,…” sahut perempuan yang hidungnya dari India, bibirnya dari Perancis, rambutnya dari Amerika, perutnya dari Itali, pantatnya dari Afrika,… “Kenapa?”
“Kalau Dor lahir di Inggris atau Amerika, mungkin akan diberi nama Bang,…!”
“Xixixixie,…” Dor ketiwi. “Abang belum menjawab pertanyaan Dor.”
“Oh, pertanyaan yang mana?”
“Abang dari mana?”
“Dor dari mana?”
“Ditanya balas nanya,…”
“Dalam cerita wayang, yang terjadi seperti itu.”
“Kita bukan wayang.”
“Tuhan adalah mahadalang, yang mempertemukan kita,….”
Preeeettt, Mbambang menyahut sendiri omongannya, dalam hati.
Peyang, rutuk Dor juga dalam hati.
Dan terjadilah dialog dalam hati antara keduanya.
Mempertemukan apanya? Sinetron banget! Murahan!
Tapi, suka ‘kan?
Stop romantisme ecek-ecek ini. Indonesia akan jadi lembek jika hanya disodori hal remeh-temeh begini. Kecuali memang tulisan ini disponsori oleh mereka yang menginginkan bangsa ini lembek, yang hanya akan dijadikan kaum konsumen dan sapi perah dari berbagai Negara industri, hingga Indonesia akhirnya jatuh miskin dan tak bisa apa-apa, kecuali hanya ketempatan tanah dan air tapi tak kuasa apa-apa. Negara kaya yang punya ini dan itu, tapi jadi sapi perah para calo importir. Dan presidennya, dan parlemennya, dan kaum cerdik-cendekia serta para senimannya, cukup puas bermain-main kata dan citra.
Mbambang harus waspada. Ia menyesal beberapa hari meluncaskan hasrat seksualnya pada perempuan gelandangan di Monumen Satoe Maret. Bukan karena mereka ML di monument yang semestinya dijunjung tinggi kesuciannya, tapi ia merasa perempuan itu bukan gelandangan sebenarnya. Pasti dia perempuan terdidik, setidaknya dalam urusan permainan seks. Jujur sebagai lelaki, Mbambang sangat menikmati making love itu. Tapi masalahnya, perempuan gelandangan itu lenyap. Sialnya lagi, siapa namanya ia juga tak mengetahui.
Karenanya kini Mbambang tak akan mudah gegabah.
“Apalah artinya nama,…” Mbambang berkata sembarang.
“Itu kata William Shakespeare. Tidak bagus laki-laki mati di atas ranjang tanpa nama,….”
Mbambang terpana. Ia lihat Dor menyeruput wedang jahe. Bibirnya yang sensual menyentuh bibir gelas. Dua bibir itu bergesekan. Tapi agaknya bibir gelas diam saja. Dingin. Bisa jadi gelas itu frigid.
Adakah perempuan jaman sekarang memang seperti Dor? Kebanyakan, maksudnya. Bukan semuanya. Nanti kalian perempuan baik-baik pada ngamuk membaca ini.
Apakah Dor termasuk pembunuh laki-laki di atas ranjang?
Mbambang sebenarnya tertarik. Tapi mati sebelum Kitab Pararaton ditemukan? Tidak! Kalau pun terjadi peristiwa ia tidur dengan Dor, ia tak ingin mati, apalagi di atas ranjang.
“Abang dari Batak?” Dor membuyarkan dialog batin Mbambang. Uhuk, dialog batin.
“Abang dari Pacitan. Jadi bukan Abang, karena di Pacitan abang berarti merah. Tidak baik lelaki di panggil merah,…”
“Kenapa? Bukankah kelihatan macho?”
Mbambang hanya membatin, jangan-jangan benar adanya, perempuan sexy ini salah satu anggota komunitas Sarkem dari gang dua. Kalau gang yang satu itu rumah penduduk biasa. Jangan salah nawar isteri orang.
“Pacitan, satu daerah dengan SBY?”
“Beda daerah dengan Surabaya,…”
“Kok Surabaya?”
“Tadi Dor menyebut SBY? Masih sama-sama Jawa Timur, tapi beda, utara-selatan.”
“SBY maksudnya Susilo Bambang Yudhoyono,…”
“Oh, saya kira SBY singkatan Surabaya. Saya nggak kenal,…”
“Kan sama-sama Pacitan?”
“Saya hanya tahu dia presiden. Tapi tidak kenal. Kalau Nia Ramadhani saya kenal.”
“Siapa dia?”
“Mantunya Aburizal Bakrie. Tapi Aburizal Bakrienya saya nggak kenal. Tapi tahu. Olivia dan Marcella Zalianty, saya juga tahu, tapi mereka tidak tahu saya,…”
“Ribet ah!” Dor tampak gemas.
“Dor sendiri ngapain ke Yogya?”
“Travelling aja. Kali-kali ada cowo keren,…”
Tersirap darah Mbambang ke ubun-ubun. Beberapa kali perempuan di sebelahnya ini memberikan sinyal. Tapi tidak. Ia tidak akan lagi sembarangan dan mudah digoda. Ini tahun politik. Seks pun bisa jadi di dalamnya berisi kepentingan politik. Atau bisa jadi sex itu perlu, sambil berpolitik. Di Indonesia mengobral janji, di Maladewa mengobral janji.
“Mau temenin Dor enggak?”
Mbambang tak segera menjawab. Ia tatap wajah Dor seksama. Intuisi Mbambang mengatakan bahwa Dor bukan perempuan dari Sarkem. Tetapi justeru itu yang membuatnya mesti waspada. Ia merasa telah banyak bercerita pada perempuan gelandangan soal Kitab Pararaton. Itu kebodohan yang sangat. Kalau perempuan gelandangan itu benar-benar gelandangan, pastilah ia tidak akan lenyap seusai percintaan di monument titik nol Yogyakarta.
Pastilah perempuan gelandangan itu hanya mata-mata. Yang mungkin saja dia kini sudah mampus dan jasadnya dibuang di Laut Selatan.
Kini tiba-tiba muncul Dor.
“Mau temenin Dor enggak?”
Mbambang tersedar. Ia menatap sekali lagi wajah Dor.
“Mau temenin Dor enggak?”
“Ngapain?”
“Kok ngapain! Ke mana gitu kek, kok ngapain,…”
“Ke mana?”
“Papua.”
“Papua?”
“Iya, Papua.”
“Papua?”
“Iyaaaaa gantengngngng,…!” Dor tampak gemas. Tangannya mau menggampar Mbambang.

 
26 | Mbambang mengantar Dor balik ke hotelnya. Jam sudah menunjuk lebih dini hari. Dor agaknya mabuk.
Mereka berdua baru saja dari sebuah pusat perdugeman di jalan Magelang di Kota Pelajar itu. Di halaman diskotik sempat Mbambang melihat sebuah Ferrari putih dengan sticker bertuliskan FPI dalam ukuran cukup mencolok. Hendak razia? Oho, bukan, tapi mengambil jatah.
Di dalam kamar, Dor seolah tanpa daya. Dan ambruk di atas ranjang yang empuk. Telungkup.
Mbambang agak kelimpungan juga. Pantat perempuan sexy itu seperti mengajak.
Perlahan Mbambang mendekat pada Dor. Ia naik ke ranjang, dan menarik Dor ke tengah.
Agaknya Dor sudah tak sadarkan diri. Ia membenahi posisi tidur Dor. Ia telentangkan dan dicarikannya bantal. Dada Dor terlihat jelas. Puting susunya seolah hendak menjebol tanktopnya yang tipis. Kalau tanktop tebal, tidak bagus untuk kesehatan. Apalagi jika bahannya bukan dari kain.
Mbambang menarik selimut untuk Dor. Ia selimuti perempuan yang tampak tak berdaya itu.
Perlahan Mbambang turun dari ranjang.
Duduk di kursi tak jauh dari ranjang, Mbambang melihat bagaimana lelapnya Dor tertidur.
Mbambang masih mikir, siapa Dor ini sebenarnya. Padanya ia mengaku, orangtuanya seorang menteri jaman KIB Jilid I, tapi disingkirkan SBY pada KIB Jilid II. Katanya karena ia tidak bisa memenuhi permintaan salah satu kerabat istana.
Tapi Dor tidak memberi tahu siapa nama ayahnya. Setidaknya belum.
Benarkah? Atau hanya omongan perempuan yang otaknya sudah diracuni alkohol dan narkotika?
Yogyakarta adalah kota kecil yang masuk dalam empat besar kota Indonesia yang jadi jaring peredaran narkoba. Dan pernah pula menjadi yang terbesar di antara Jakarta, Denpasar, Bandung.
Tidak perlu intelijen yang canggih untuk mengetahui bisnis narkoba di Yogyakarta ini, juga di kota-kota lain mestinya. Tapi senyatanya inilah bisnis yang paling mudah dikamuflasekan, dan masyarakat cukup dibodoh-bodohi dengan menciptakan common enemy, bahwa “merokok dapat membunuhmu”.
Sementara bisnis narkoba disembunyikan seolah penuh misteri. Padahal, jika kita merunut dari korban, adakah penjual yang tidak membutuhkan korban? Tapi korban narkoba hanya diperlakukan sebagai obyek, bahkan kalau perlu sapi perah. Untuk tuduhan sebagai Bandar berapa, untuk pemakai berapa. Berapa puluh sampai ratus juta rupiah.
Sama bodohnya dengan mengatakan: Perokok pasif lebih berbahaya daripada perokok aktif. Kalau begitu logikanya, para perokok pasif jadilah perokok aktif, maka akan tidak lebih berbahaya. Sementara dengan peringatan: Merokok dapat membunuhmu, maka hanya pemerintah yang biadablah yang membiarkan rokok tetap diproduksi. Bukankah membiarkan rokok dibuat dan dipasarkan sama dengan membiarkan pembunuh berkeliaran? Kata apalagi yang pantas untuk pembiaran pembunuh bebas berkeliaran jika bukan pemerintahan yang bar-bar?
Sebelum rokok membunuh, kenapa tidak petani tembakau, atau tanaman tembakau itu dibasmi sampai akar-akarnya, sebagai asal-muasal kejahatan kemanusiaan? Ayo ciptakanlah musuh-musuh bersama untuk menutup betapa dekadennya pemerintahan ini, yang lebih menghamba pada kapitalisme global daripada memakai logika-logika untuk mensejahterakan rakyatnya. Padahal dalam berbagai riset mutakhir, daun tembakau mempunyai banyak kasiat. Tapi mana yang berani berbicara dengan data akurat, mana tradisi riset kita dalam lembaga pemerintah dan kampus-kampus mengenai tembakau? Apa perlu menghidupkan kembali Haji Agus Salim untuk mengatakan bagaimana Belanda dulu menjajah Indonesia karena daun tembakau?
Perlahan Mbambang bangkit dari duduknya. Ia pandangi sejenak Dor yang lelap.
Mbambang kemudian keluar dari kamar hotel.
Di lobby hotel Mbambang pura-pura bertanya di mana ia bisa dapatkan rokok. Jam dinding hotel menunjuk pukul empat pagi.
“Ada di seberang jalan. Boleh saya yang ke sana saja, Tuan,…” bagian security menawarkan diri.
“Biarkan saya melemaskan kaki bentar,…” Mbambang berkata sembari menuju pintu ke luar.
“Oh, silakan,…”
Mbambang berjalan ke luar hotel. Udara dingin malam langsung menyergap. Lebih kenyal dibanding dingin AC. Dinginnya terasa lebih orisinal.
Mbambang memang seolah menuju ke kios rokok yang masih buka, di seberang hotel. Tapi ia tampak menyetop taksi dan kemudian meluncur entah ke mana.
“Ke mana, Pak?”
“Sarkem!”
Sopir taksi tampak mengamati wajah Mbambang dari kaca spion.
Mbambang lama-lama hafal dengan pandangan curiga semacam itu. Beberapa kali ia mengalami selama ia menyebut lokasi losmen tempatnya tinggal. Ya memang losmennya di dekat Sarkem, apa mesti menjawab ke Masjid Abdurrahim di Kecamatan Gedongkiwa? Itu lebih mengundang pertanyaan baru, yang lebih tidak mengenakkan.
Sarkem jauh lebih dikenal siapapun.
Tapi betapa kagetnya Mbambang. Setiba di kamar losmen, ia dapati ruangannya berantakan. Tak ada barang milik Mbambang yang hilang. Tapi semuanya modal-madul tak karuan. Kasur, bantal, bahkan isi barang-barang di dalam tas punggungnya,…
Buru-buru Mbambang berlari ke ruang depan. Ia temui pengurus losmen, yang wajahnya ndilalahnya persiiissss banget dengan Jenderal Purnawirawan Wiranto. Atau jangan-jangan Wiranto yang menyamar jadi penjaga losmen? Bukankah di Solo, Wiranto pernah menyamar jadi pengayuh becak? Mbambang terdiam sesaat. Jadi lupa apa yang hendak dikatakan. Ia membayangkan, bagaimana kalau Wiranto menyamar jadi waria pengamen? Pasti langsung dapat simpati masyarakat secara luas. Apalagi kalau kotak bang-bungnya ditempeli sticker Win-HT!
“Ada apa, Mas?” lelaki berwajah Wiranto itu bertanya.
“Mmmm, kamu nggak ngerti apa yang terjadi?”
“Soal perkelahian di depan Gedung DPRD itu?”
“Di kamar losmen ini, tepatnya di kamar yang aku pakai!” Mbambang rada jengkel.
“Lho, lha ada apa to, Mas Mbambang?” lelaki berwajah Wiranto itu tampak bodoh.
Tanpa banyak bicara, Mbambang mengajak pengurus losmen melihat kamarnya, “Lihat,…!”
“Woooohhhhh,…!” hanya itu kata yang terucap dari mulut Jenderal Wiranto, eh, yang mirip Wiranto ding.
“Kok saya nggak tahu ya?” pengurus losmen itu masih saja terbengong.
“Bagaimana bisa ada orang masuk kamu nggak ngerti? Ke kamar yang tentu bukan kamar dia, karena itu aku sewa. Ngerti?”
“Ngerti, Mas.”
“Ngerti apa?”
“Ngerti kalau saya nggak ngerti ada kejadian gini ini!”
Mbambang tak bisa berharap banyak. Ia hanya memaki-maki dalam hati. Siapa lagi setan yang mengaduk-aduk perasaan dan pikirannya kali ini? Kitab Pararaton belum juga jelas juntrungannya, kini ada lagi masalah.
Mbambang sendirian termangu di ruang tamu losmen.
Sepasang lelaki-perempuan muncul dari luar losmen. Wajah keduanya tidak mirip dengan siapa-siapa. Tidak mirip ARB dan Olivia Zalianty misalnya. Tidak. Sepertinya wajah mereka otentik.
“Ada kamar, Mas?” yang lelaki mendekat dan bertanya pada Mbambang.
Makne ancuuukkkkk! Kamar tentu saja ada, tapi soal isi atau kosong emang gue pikirin? Mbambang merutuki nasib dirinya.
“Ada kamar, Mas?” lelaki itu mengulang pertanyaannya.
Mbambang sempat melihat wajah perempuan pasangan lelaki itu. Wajahnya mesum banget.
Beranjak dari duduknya, Mbambang akhirnya menjawab dengan sebal, “Ada tuh,…!”
Mbambang melangkah keluar. Meninggalkan sepasang horny kebingungan.
“Pagi-pagi kok udah kebelet ngamar,…!” gerutu Mbambang panjang pendek.


27 | Mbambang akhirnya pindah tempat. Ia merasa dirinya menjadi buron, meski tak tahu siapa yang memburunya. Sementara ini ia merasa kaum Golhitlah yang memburu. Dan ia kenal salah satu dedengkotnya, Susilo.
Susilo dan Mbambang boleh saja menurut kajian sejarah pertemanan adalah sohib karib. Di mana ada Susilo di situ ada Mbambang. Di mana tak ada Susilo di situ pula Mbambang tak ada. Seolah kembar tak identik. Mereka bagai Thompson dan Thomson. Satu pakai p yang satunya tidak.
Tapi politik telah memisahkan mereka. Kini keduanya berhadapan. Menjadi musuh. Satunya Golhit, yang satunya Golput.
Meski sesungguhnya semuanya bermula dari sesuatu yang sepele. Soal pilihan. Dan pilihan adalah hak. Tapi di negeri yang belum siap berdemokrasi, Golput seolah suatu masalah besar, hingga perlu bawa-bawa agama segala. Padahal, sebetulnya antara yang Golhit dan Golput hanya saling tidak kenal saja, dan itu membuktikan bahwa demokrasi kita belum menjadi laku-jantra dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan celakanya, kedua belah pihak memang cenderung saling melenyapkan, kalau bisa. Padahal tidak bisa. Jadi? Biarkan saja itu menjadi pertarungan abadi. Toh Sisyphus sesungguhnya juga bisa merasakan, pada dorongan batu yang kemudian, selalu menjadi lebih baik dari sebelumnya. Lebih ringan dan lebih cepat.
Hanya mereka yang menutup diri dari gesekan, dan selalu menghindarinya, tak akan pernah siap menghadapi jaman yang bergerak. Apalagi jika kulina mutlak-mutlakan. Dan ia hanya mampu melolong-lolong membawa masa lalunya, sembari merutuki orang lain. Mereka adalah zombie-zombi Obelix yang berkeliaran di sekitar kita. Dengan batu menhir yang digendongnya ke mana-mana. Mereka ialah orang-orang yang terbujuk dan terpengaruh oleh ajaran Mbah Surip, tak gendong ke mana-mana,…
Berada di seputaran titik nol Yogyakarta, dada Mbambang berdesir. Ia melihat patung-patung Monumen Satoe Maret. Ada laskar rakyat dengan senjata laras panjang dan juga mortir, ada satu-satunya sosok perempuan menggendong bakul nasi. Perempuan selalu saja diposisikan di ruang domestic, membawa bakul nasi, siap-sedia melayani para lelaki berjuang.
Adakah lima sosok yang yang selalu diam mematung di monumen itu sempat menyaksikan, atau mendengar lenguh Mbambang bersama perempuan gelandangan, beberapa waktu lalu? Dan kemudian para sosok patung itu berinisiatif untuk melakukan foursame?
Patung-patung sosok yang mulia itu, tentu tak sehina-dina pikiran Mbambang yang kotor, apalagi pikiran penulisnya yang lebih kotor lagi.
“Semua yang mengaku Golput berdiri dan berkumpul di tengah,…” tiba-tiba terdengar suara dari sebuah megaphone.
Gerombolan kaum begadangan di titik nol terperangah. Tak lama kemudian, muncul beberapa kendaraan lapis baja dari empat penjuru angin. Dari arah alun-alun lor, dari arah Sultan Agung, Ahmad Dahlan, dan Malioboro.
Tapi para gerombolan begadangan tak ada yang berdiri. Bahkan yang sedang berdiri buru-buru duduk, atau jongkok.
Mbambang mengedarkan pandangan ke sekelilingnya.
Kendaraan lapis baja itu lengkap dengan moncong laras panjangnya. Entah berisi water-canon atau peluru yang bisa menghancurleburkan tubuh manusia.
Dari mana mereka? Pasti, pastilah ini ulah Golhit dalam gerakan membasmi Golput sebagai musuh masyarakat.
Benar-benar Pemilu yang memuakkan, apalagi Iwan Fals bahkan sembari bergitar menyanyikan; Satu Suara Satu Harapan! Pertanyaannya, harapan untuk siapa? Dan harapan apa?
Tiba-tiba, Mbambang berdiri di antara keriuhan kaum duduk dan kaum jongkok di titik nol.
“Tangkap orang ituuuuu,…” teriakan di megaphone cetar membahana.
Beberapa orang berkostum ninja hitam berloncatan dari kendaraan lapis baja. Menyerbu ke arah Mbambang berdiri.
Mbambang segera meloncat, ginkang dengan menginjak beberapa kepala kaum jongkok di situ. Dalam sekali salto, Mbambang kini berdiri di tengah-tengah halaman Gedung Negara, tempat di mana dulu Bung Karno dan Bung Hatta berkantor, ketika ibukota RI berada di Yogyakarta.
Para ninja hitam pun memburunya masuk, meloncati pagar runcing Gedung Negara.
Pertarungan pecah di halaman Gedung Negara. Satu lawan entah berapa. Mungkin lebih dari 20 orang.
Dengan tangan isi, Mbambang meladeni pertarungan itu. Tidak mungkin ia bertarung dengan tangan kosong. Isi dalam ilmu tarung, tidak harus sesuatu yang material berujud benda seperti pisau belati atau pedang. Bukankan ilmu pengetahuan atau kesaktian itu immaterial? Para penulis cersil sering berangkat dari pandangan bahwa senjata itu material. Para pendekar yang berbahaya, selalu mereka yang bisa menyatukan segala senjata material itu masuk melebur dalam tubuh dan jiwanya. Itulah mengapa Mushashi pada akhirnya mendapatkan samurai yang terbuat dari kayu, namun ketajaman dan kekuatannya melebihi besi baja murni, made in Japan sekali pun.
Oleh karenanya, kaum yang suka merazia pedagang kecil dengan pentungan, sambil berteriak-teriak Allahu Akbar itu, ilmunya masih cethek. Beda jauh dengan Gus Dur, pendekar buta yang senjatanya bukanlah pedang atau pun pentungan, apalagi menyiram air the ke muka lawan bicara.
Sementara 20-an lebih ninja, bersenjatakan aneka rupa. Ada yang membawa pedang, golok, pisau belati, tombak, dan lain sebagainya. Mereka berteriak-teriak penuh nafsu, untuk bisa menghabisi Mbambang. Namun agaknya Mbambang tak habis-habis juga. Tersentuh pun tidak. Bahkan, sudah delapan ninja mampus tertusuk pedang kawan sendiri.
Tapi seolah peribahasa Melayu, patah tumbuh hilang berganti. Begitu ada satu atau dua ninja yang tewas, lima-enam ninja baru datang membantu.
Sungguh pertarungan yang melelahkan. Sila fantasikan sendiri, bagaimana pertarungan itu terjadi. Perjanjiannya: Jangan bikin Mbambang kalah!
“Cabut bulu ketekmu,….” terdengar suara lembut berbisik di telinga Mbambang.
Mbambang terhenyak mendengar suara itu.
“Kanjeng Ratu Kalinyamat?” Mbambang berdesis. Ia ingat, itu suara Kanjeng Ratu Kalinyamat.
“Cabut bulu ketekmu, banting ke tanah,…” suara lembut itu terdengar lagi.
Bagai kerbau dicucuk hidungnya, Mbambang meraba ketiaknya. Basah oleh keringat. Pasti baunya seduce banget! Ia cabut bulu keteknya sembari meringis. Dan kemudian dia banting ke rerumputan.
Tiba-tiba di seputaran Mbambang muncul empat-lima-enam Mbambang. Semuanya persis dengan Mbambang. Mereka kemudian serentak bertarung dengan para ninja.
Para ninja jiper juga melihat hal itu.
Buron mereka tiba-tiba seperti Kethek Anoman yang mempunyai kesaktian aji-mundri. Jika Anoman adalah kakek moyang bangsa Indonesia, kenapa tidak dimanfaatkan untuk melipat-gandakan rupiah, dan menggulingkan kekuasaan dollar AS yang selama ini menjajah Indonesia? Kenapa coba?
Para ninja akhirnya kewalahan. Mereka pun mundur secara tidak teratur. Kalau mereka mundur teratur, tidak logis. Wong kalah dan ketakutan kok masih ingat aturan mundur. Para pemimpin kita tidak pernah mengajari rakyatnya untuk mundur, apalagi teratur. Biasanya mundur karena kepepet, ketika bukti tak terbantahkan, dan rekaman hasil sadapan KPK diperdengarkan.
Sekiranya masih bisa membantah, apalagi di media, para tersangka dan terutama pengacaranya, pastilah terus bernyanyi, bahwa dirinya tidak bersalah, korban konspirasi, politicking, dan sejenisnya. Kalau perlu, bersumpah-sumpah jika terbukti salah gantung di Monas.
Tak berapa lama kemudian, kendaraan berat lapis baja itu masing-masing mundur, dan kemudian lenyap dari lingkar titik nol.
Kaum muda warga Negara begadangan itu pun kembali ke keasyikan masing-masing. Yang beserta pacar melanjutkan perannya sebagai PHP, Pemberi Harapan Palsu. Bagi yang jomblo, mengharap malam itu ada yang patah hati dan move on ke hatinya. Seperti malam-malam biasanya, seperti tak ada apa-apa, dan biasa saja. Dan televisi terus saja pokoke njoget, sembari mengobral janji politik, bahwa Indonesia kelak lebih baik di tangannya.

 
28 | Di kamar sempit sebuah losmen, yang entah apa nama dan di mana, Mbambang duduk termangu. Nama dan tempat losmen sengaja dirahasiakan. Itu pesan Mbambang pada penulis, karena terhadap siapapun ia kini tak percaya. Juga pada pembaca cersil ini, Mbambang bercuriga karena merekalah yang mengetahui pertama kali di mana posisi Mbambang. Sedikit saja informasi keluar dari mulutnya, bisa jadi membahayakan keselamatan.
Sesungguhnyalah ia kini sampai pada pertanyaan, apa yang terjadi selama ini. Untuk apa dan karena apa. Itu soalnya. Kalau sekedar pertarungan Golput dan Golhit, semestinya tak perlu heboh-heboh banget. Dan kenapa mesti terjadi konflik fisik, sedangkan konflik batin saja sudah menguras energi? Persoalannya juga makin tak jelas, ketika Kanjeng Ratu Kalinyamat menitipkan Kitab Pararaton kepadanya. Dan makin tak jelas ketika kejelasan kitab itu pun kini juga kabur. Dan ketidakjelasan itu pun makin bertambah-tambah, ketika Susilo pun mencari-cari Kitab Pararaton. Begitu juga para mereka yang mencapreskan diri. Semua sibuk mencari Kitab Pararaton.
Tiba-tiba ia dikagetkan dengan kemunculan Kanjeng Ratu Kalinyamat yang duduk di tepi ranjang, persis di hadapannya. Tidak nude. Wajahnya ayu dan muda. Tidak semengerikan ketika menemuinya di penyekapan dulu, berwujud jerangkong. Tapi berwujud jerangkong atau wanita ayu, tetap saja membuat jantung hati Mbambang berdesir.
“Soal Kitab Pararaton itu, maafkan, saya belum,…” Mbambang mencoba membuka percakapan. Itu pilihan yang lebih sopan, dibanding jika dia membuka pakaian Kanjeng Ratu Kalinyamat. Wong tidak nude pun kelihatan jelas, bagaimana lekuk tubuh Kanjeng Ratu Kalinyamat. Lekuk dadanya yang menonjol, bagaikan buah yang ranum. Mata leontin kalungnya jatuh tepat di belahan dada, membentuk garis lengkung yang indah. Apalagi kutubaru kebayanya sedikit agak rendah. Mungkin itu disain dari Avantie.
Meski Kanjeng Ratu Kalinyamat anak dari Sultan Abdul Fatah, raja dari kerajaan Jawa pertama yang kedaulatan negaranya berdasar syariat Islam, toh Kanjeng Ratu belum berhijab. Mungkin jika di Demak dulu sudah ada Polisi Syariat seperti di Aceh masa kini, atau sudah berdiri FPI, bisa jadi Kanjeng Ratu Kalinyamat memakai jilbab. Itu baru dugaan. Bisa jadi beliau tetap cuek.
Narasi yang tidak penting.
“Aku sudah mengetahuinya,” Kanjeng Ratu Kalinyamat kemudian terdengar membalas omongan Mbambang.
“Lantas, kenapa paduka menemui saya?” Mbambang bertanya bodoh.
“Tapi aku sudah tahu di mana kini Kitab Pararaton itu berada,…” berkata Kanjeng Ratu Kalinyamat.
“Di mana Kanjeng?”
“Lho, kok jadi kamu yang nafsu!”
“Maafkan saya.”
“Tapi kau lelaki yang baik,…” Kanjeng Ratu Kalinyamat memuji.
Kepala Mbambang tidak membesar. Itu tidak masuk akal. Emangnya plembungan!
Pun hatinya juga tidak berbunga-bunga. Bisa mampus dia kalau tiba-tiba di hatinya tumbuh bunga-bunga.
Mbambang tidak berani bertanya apa yang dimaksud Kanjeng Ratu Kalinyamat. Padahal, malu bertanya sesat di jalan. Sementara banyak bertanya ngabisin pulsa. Dengan pedoman masa lalu, betapa susahnya hidup di jaman sekarang.
“Maksud Kanjeng?” Mbambang akhirnya terpaksa memberanikan bertanya. Soalnya ditunggu dari tadi, Kanjeng Ratu Kalinyamat tak jua buka mulut. Padahal, kalau bibirnya sedikit terbuka sexy banget.
“Setidaknya, Dor tidak kamu apa-apain,…” berkata Kanjeng Ratu Kalinyamat akhirnya.
Owalah! Cuma itu ternyata! Ngobrong dol!
Jika dituruti kata hati, malam itu pasti diladeninya ajakan Dor. Apalagi Dor tidak hanya menggodanya, tapi setengah memaksa, setengahnya lagi pengen memperkosa Mbambang.
Tapi Mbambang tidak mengikuti hati nuraninya. Apalagi kini ia harus waspada, setelah hati nurani dipakai nama partai politik. Sebagai Golput, ia tidak mudah terbujuk-rayu, meski Harry Tanoe menghadiahinya traktor bajak sawah.
“Tapi kau harus mengiyakan ajakan Dor ke Papua. Ini perintah!”
Gruengngngngng. Terdengar sound effect mengiringi kekagetan Mbambang. Tidak salah dengarkah? Ke Papua bersama Dor? Kanjeng Ratu Kalinyamat kenal juga Dor?
Siapa sesungguhnya Kanjeng Ratu ini? Jangan-jangan dia penjelmaan hantu? Ya, pastilah penjelmaan hantu. Kalau tidak, ngapain beliau yang sudah meninggal pada abad 17 itu masih gentayangan di abad 21 ini? Tidak rela melepaskan dunia yang penuh pesona dan godaan ini? Mau niru ARB yang begitu semangat hendak mengajari nasionalisme pada Olivia dan Marcella Zalianty, dab kemudian terpaksa banting stir bersama keluarga bagi-bagi boneka beruang?
Pelajaran nasionalisme memang sangat menggelorakan semangat para ortu kita. Dengan nasionalisme, apa saja kita korbankan. Termasuk harga diri. Idrus Marham yang doktor itu, mati-matian membela bossnya. Dan ternyata tak lebih hanyalah seorang politikus. Bagian dari tikus kebanyakan, dari sebuah negeri yang sudah kebanyakan tikus ini.
“Mengapa Kanjeng memerintahkan demikian?”
“Ini perintah rahasia!”
“Kok?”
“Yang bernama rahasia tak boleh ditanyakan. Jangan terlalu banyak bertanya.”
“Kenapa, Kanjeng?”
“Ngabisin pulsa,…”
Mbambang ketawa njungkel-jempalik dalam hati.
“Kok tahu-tahunya Kanjeng Ratu Kalinyamat dengan dagelan garing itu?”
“Tadi SW nulis narasinya kayak gitu!”
“Ini bukan cersil Njeng Ratu, ini cersilid, cerita silat lidah,…”
“Aku tahu. Males mbacanya. Udah temui dia di rumah sakit,…”
“Di rumah sakit? Bukannya di hotel?”
“Iya tadinya di hotel, tapi begitu bangun tidur kamu tidak ada, dianya mau bunuh diri. Makanya terus dilarikan ke rumah sakit,…”
“Dilarikan? Apakah hotel itu tidak menyediakan ambulance, atau menghubungi rumah sakit untuk menjemputnya?” Mbambang terpana.
“Damned!” Kanjeng Ratu Kalinyamat memaki Mbambang. Tidak sopan, tokoh sejarah diajak guyonan tidak mutu. “Makanya jangan terlalu banyak baca situs-situs internet. Baca buku-buku yang ditulis orang-orang dulu kala, dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar dan kaya. Anak-anak sekarang membedakan subyek dan obyek nggak ngerti, membedakan kata kerja dan kata sifat pun bego. Apalagi bisa nangkep idiom dan kata-kata tersirat dari yang tersurat. Bahasa tulis itu bahasa komunikasi yang tidak selentur senirupa, senimusik, atau senitari. Ia membutuhkan prasyarat teknis elementer. Coba saja kamu baca tulisan kaum alay, di antara para alayers pun tetap terjadi mis-komunikasi.”
“Tapi bahasa Indonesia yang baik dan benar ‘kan kaku?”
“Itu karena tidak becus nulis saja, terus nyalahin bahasa!”
“Ini cersil atau pelajaran bahasa Indonesia, Kanjeng?”
“Cepat susul Dor sekarang, sebelum dia mampus!” Kanjeng Ratu Kalinyamat berteriak kencang. Kalau berteriak lirih, bagaimana coba?
Mbambang pun tanpa ba-bi-bu lagi langsung menggeblas pergi.
Ke mana?
Ke rumah sakit.
Iya, tapi rumah sakit mana?
Mbambang termangu di pinggir jalan. Untung dia belum menyetop taksi.
Dengan dogolnya Mbambang kembali ke losmen.
Sial. Kanjeng Ratu Kalinyamat sudah minggat.
“Busyet! Terus di mana harus mencarinya?” Mbambang terpeyang-peyang. Pusing jadinya. Dan kenapa dirinya harus pergi ke Papua bersama Dor? Pasti ini sebuah rancangan untuk cerita mesum.

29 | Mbambang akhirnya memutuskan pergi juga.
“Selamat siang, Pak. Kemana ini, Pak?” bertanya sopir taksi setelah Mbambang duduk di jok belakang dan menutup pintu taksi.
“Ke mana aja,…”
Sopir taksi menoleh ke arah Mbambang.
“Jalan aja dulu,…” Mbambang merasa tertekan dengan pandangan sopir taksi.
Akhirnya sopir taksi pun menurut perintah Mbambang.
“Bapak tahu rumah sakit di kota ini?”
“Wah, banyak rumah sakit di Yogya ini, Pak.”
“Satu saja, sebutkan.”
“Bethesda? Sardjito? Panti Rapih?” sopir itu balik bertanya.
“Yang paling dekat dengan pusat kota, dan ada UGD-nya.”
“Semua rumah sakit yang besar ada di pusat kota, Pak,…”
Hadeh, kok jadi ribet. Mbambang merutuki nasibnya.
“Kita ke Hyatt!” Mbambang akhirnya tercerahkan. Ke hotel tempat Dor menginap.
Dari Hyatt akhirnya Mbambang mengetahui di mana Dor dirawat. Taksi pun kemudian menuju ke rumah sakit itu.
Jalanan penuh sesak di mana-mana. Beberapa anak muda, juga para bangkotan dan anak-anak kecil, memenuhi jalanan dengan aneka kendaraan mereka. Hari itu ada kampanye dari lima parpol dengan jurkam nasional masing-masing. Disebar di lima wilayah DIY, tetapi para peserta arak-arakan sudah memenuhi jalanan di Yogyakarta yang sempit. Tak ada kampanye parpol saja macet, apalagi ini.
Setiba di ruang perawatan, Mbambang menemui Dor yang masih tertidur. Sudah tidak di UGD lagi.
Wajah Dor kelihatan pucat. Tidak liar. Tapi masih lumayan cantik. Bibirnya tebal. Cemipok.
Dua orang perempuan perawan masuk, membuyarkan lamunan Mbambang.
“Selamat siang,…” sapa salah seorang perempuan perawat itu.
“Siang,…” Mbambang tergagap menyahutnya.
Seorang perawat memeriksa suhu tubuh Dor. Perawat yang satunya lagi mendekat ke Mbambang.
“Bapak ini suaminya?” bertanya perawat itu.
“Oh,…” Mbambang tergagap.
“Atau tunangan? Pacar?” perawat itu memberondongnya.
“Mmmm,…” Mbambang tak bisa juga menemukan jawaban yang pas. “Kenapa dia, Mba?”
“Sudah baikan, kok. Bapak bisa ke kantor administrasi kami?” perawat itu lagi-lagi bertanya, seolah tak memberi kesempatan Mbambang memahami masalahnya.
Dan Mbambang menurut saja.
Dan Mbambang kemudian puyeng tujuh keliling. Bagian administrasi menyodori biaya perawatan Dor. Duapuluhtiga juta rupiah. Kenapa aku yang mesti membayarnya, bertanya Mbambang dalam hati.
“Beliau bisa pulang besok pagi, kalau semua masalah administrasinya bisa selesai hari ini,” kata petugas administrasi dengan dingin. Tidak sedingin es, tapi lumayan dinginlah.
Mbambang kembali terduduk di kamar perawatan Dor. Perempuan itu masih juga menutup matanya. Seperti manusia mati. Hanya gerakan halus dadanya yang turun naik, meyakinkan Mbambang jika Dor masih bernafas. Untuk urusan dada naik turun, mungkin Mbambang lumayan bisa dipercaya.
Dor masih tampak mengenakan tanktop yang dikenakan waktu pertemuan terakhir dengan Mbambang. Para dokter lelaki pasti suka dengan pasien seperti Dor. Dokter perempuan pasti juga suka. Bukankah dokter adalah makhluk yang baik hati, penolong sesame tanpa memungut biaya? Yang memungut biaya ‘kan bagian administrasi, bukan dokter.
Jantung Mbambang berdebur lebih cepat. Tangan kiri Dor bergerak perlahan. Naik ke dadanya.
Mbambang beranjak dari duduknya. Berdiri dan mendekati Dor.
Di sisi ranjang, Mbambang memegangi paha Dor yang bertutupkan selimut rumah sakit.
Perlahan mata Dor terbuka.
Mbambang menatap mata perempuan itu.
Kedua mata mereka bersitatap.
“Abang,….” Dor berusaha bangun.
“Jangan bergerak,…” Mbambang mencegahnya.
“Abang ke mana aja,…?” suara lemah Dor.
“Kamu ngapain aja?”
“Abang jahat,…!”
“Abang tidak jahat,…”
Cut!
Mbambang akhirnya tak bisa mengelak dari ajakan Dor. Kini keduanya berada di ketinggian 3.000 feet di atas Laut Jawa. Pesawat dari Yogyakarta mengarah ke bandara Sultan Hasanudin Makassar.
“Kenapa sih dulu Abang ninggalin Dor?”
“Aku nggak ninggalin apa-apa. Duit aja nggak gablek, kok ninggalin,…”
“Maksudnya ninggal Dor gitu lho, peyang!”
Wah, perempuan kalau sudah nyebut peyang, biasanya sayang-sayang gemes.
“Gimana ya rasanya bercinta di ketinggian gini?” Dor mulai serangan-serangan khasnya.
“Makanya, beli jet pribadi.”
“Ke Maladewa?”
“Ngapain ke sana?”
“Ajarin aku nasionalisme, Bang,…”
“You lie,…!”
Mereka berdua tertawa. Sebentar lagi mungkin gebug-gebugan.
“Abang berani nge-kiss aku di sini?” Dor merayu.
“Jangan! Lihat, di samping kita ada anak kecil,…”
“Terus kenapa? Kiss ‘kan tanda kasih sayang? Anak-anak kecil harus dibiasakan dengan bahasa kasih sayang. Jangan dibentak-bentak,…”
“Hm, jadul! Kiss kok tanda kasih-sayang. Aku maunya kiss yang bikin kamu horny dan orgasm,…!”
Dor membelalakkan matanya ke arah Mbambang.
“Are you serius, man?”
“Men mbahmu! Namaku Mbambang. Dan aku bangga dengan nama itu.”
Dan seterusnya. Sebenarnya bukan dialog penting. Sebuah cerita yang baik mestinya hanya menuliskan yang penting. Tapi, apa sih yang penting yang pernah dituliskan dalam cerita ini? Nothing! Apalagi yang ngarep sebagai cerita silat. Kalau cerita silit, mungkin.
“Ngapain kamu ngajak aku ke Papua?”
“Kalau nggak mau ya udah, balik aja ndiri! Sekarang!”
“Nyemplung ke laut? Hm. Jebakan perempuan!”
“Emang kenapa kalau perempuan? Tukang jebak? Trus, laki-laki makhluk mulia? Shit!”
“Apa yang dilakukan pilot dan pramugarinya di sana?” Mbambang menunjuk ruang cockpit dengan dagunya.
“Making love!”
Dengan refleks Mbambang menarik tubuh Dor, dan mencium bibirnya erat-erat.
Dor gelagepan.

30 | Udara panas bandara Sentani langsung menyergap. Mbambang dan Dor tiba di Jayapura, sebuah kota paling timur di Indonesia, berbatasan dengan negara Papua Niugini.
Sebuah papan pengumuman dengan tulisan hampir sama, banyak bertebar di lobi bandara. Larangan makan pinang. Ini sama sekali tak ada di bandara mana pun di dunia.
“Orang-orang Papua banyak yang masih suka makan pinang,” Dor tampaknya tahu apa yang dibingungkan Mbambang. “Mereka suka meludah di mana-mana. Dan ludah orang yang makan pinang, kayak darah. Orang Papua menyebutnya meludah merah-merah,...”
Sepertinya sudah tak ada yang memakan pinang di Bandara. Dan tak ada yang meludah sembarang tempat. Tapi lobi bandara tetap saja tampak kotor. Sampah plastik, puntung rokok, bersebaran sembarang tempat.
Pengalaman pertama yang tak nyaman untuk Mbambang. Menikmati kopi sembari kadang menggeser-geser tempat duduk, karena petugas kebersihan yang menjalankan tugasnya. Apalagi bukan kopi Papua yang dinikmatinya. Yang ada hanya kopi sachetan. Fuh, sama sekali tidak nyaman, sekali pun ada perempuan cantik di sampingnya.
Itu sangat menyedihkan. Di negara yang kaya kopi, terbesar nomor tiga di dunia, bangsa ini lebih banyak menikmati kopi sachetan. Kopi kelas paria, karena biji-biji kopi yang berkualitas sudah diekspor ke luar negeri. Bahkan kopi Papua, menjadi salah satu andalan Starbuck’s di Amerika.
Banyak yang tak sadar, bubuk kopi yang beredar di Indonesia, termasuk yang ditawarkan Iwan Fals, adalah kopi berkualitas rendah. Bahkan, kopi-kopi sachetan mencampurkan bahan-bahan dari luar yang kualitasnya murahan. Belum pula yang menambahkan tepung jagung untuk mendapatkan rasa gurih dan manis.
“Kenapa sih?” Dor melihat wajah Mbambang yang aneh.
“Cabut yuk, nggak enak!” Mbambang beranjak dari duduknya.
Di Bandara Sentani tak banyak orang berambut keriting khas Papua. Kebanyakan justeru orang Makassar, dari suku Wajo, yang boleh dikata menguasai Papua. Dari sopir taksi, calo, pedagang, para penjual tiket, dan yang membuka cafe atau kios-kios di bandara. Beberapa orang Papua kebanyakan menjadi kuli angkut atau petugas kebersihan.
Dor sepertinya sudah terbiasa di Papua. Beberapa orang di Bandara tampak mengenalnya dan say-hello.
“Tampaknya kau sering ke daerah ini?” Mbambang mulai curiga.
Dor tak segera menjawab. Ia melambaikan tangan pada seseorang.
Seorang lelaki Papua yang tinggi besar datang mendekat.
“Ada halangankah?” Dor bertanya pada lelaki Papua itu.
Lelaki itu menggeleng.
“Wajimo, kenalkan, ini Mbambang, rekan kakak dari Jakarta.”
Lelaki yang disebut Wajimo mengulurkan tangan. Mbambang menyambutnya.
“Wajimo!”
“Mbambang.”
Tak banyak percakapan di dalam mobil. Mbambang tiba-tiba merasa was-was. Siapa sesungguhnya Dor ini? Dan ia juga tak habis pikir, apa sesungguhnya yang dimau Kanjeng Ratu Kalinyamat, dengan menyuruhnya mengikuti Dor.
Perjalanan yang tak nyaman. Sama tak nyamannya dengan kondisi jalanan Jayapura. Jalanan yang rusak, dan kemacetan lalu-lintas. Apalagi ketika APILL tak berfungsi, karena aliran listrik dari PLN mampus. Semua kendaraan tak ada yang mau mengalah.
Kota Jayapura adalah ibukota provinsi Papua. Kota ini merupakan ibukota provinsi yang terletak paling timur di Indonesia, di sebuah teluk bernama Jayapura.
Kota ini didirikan oleh Kapten Infanteri F.J.P Sachses, dari kerajaan Belanda pada 7 Maret 1910. Dari tahun 1910 hingga 1962, kota ini dikenal sebagai Hollandia, ibukota distrik dengan nama yang sama di timur laut Papua Barat. Kota ini sempat disebut Kota Baru, dan pernah pula mendapat nama sebagai Sukarnopura, memakai nama Presiden Indonesia pada waktu itu, dua tahun sebelum kejatuhannya.
Nama Jayapura, tentu bukan nama asli suku Papua, karena bau-bau Sanskerta. Arti literal Jayapura, sebagaimana kota Jaipur di Rajasthan, adalah 'Kota Kemenangan'. Dalam bahasa Sanskerta, jaya berarti kemenangan, dan pura adalah kota. Nama itu ditabalkan oleh Soeharto, untuk menghapuskan nama Sukarnapura sebelumnya. Siapakah yang dimaksud menang? Mungkin Soeharto, yang pernah menjadi komandan Tri Kora dalam perebutan Irian Barat dari Belanda.
Sesungguhnya wilayah ini bukan wilayah yang terasing. Kota Jayapura telah sejak lama bersentuhan dengan dunia luar. Hal ini ditunjukkan dengan adanya orang-orang yang pernah singgah di Tanah Papua seperti seseorang berbangsa Spanyol bernama Ynico Ortis De Fretes. Dengan kapalnya yang bernama San Juan, Ynico berlayar pada tahun 1545, dari Tidore ke Meksiko. Dalam perjalanan tersebut, rombongan Ynico tiba di sekitar muara sungai Mamberamo pada Juni 1545, memberikan nama Nova Guinea untuk tanah Papua.
Usai kedatangan Ortis de Fretes, muncul pengarung-pengarung lain, di antaranya Alvaro Memdana Ne Neyra pada 1567, dan Antonio Ma pada 1591 hingga 1593.
Bagian utara dari Belanda Nugini diduduki oleh pasukan Jepang pada tahun 1942. Pasukan Sekutu mengusir Jepang setelah pendaratan amfibi dekat Hollandia sejak 21 April 1944. Daerah ini menjadi markas Jenderal Douglas MacArthur, hingga penaklukan Filipina pada Maret 1945. Lebih dari 20 pangkalan AS didirikan dan setengah juta personel AS bergerak melalui daerah ini.
Tapi untuk apa Mbambang mesti ke Papua?
Ia sendiri sungguh-sungguh tidak mengerti. Tetapi setidaknya, ia sedikit terbebaskan dari tekanan rasa bersalah. Setidaknya pada Kanjeng Ratu Kalinyamat, yang menitipkan Kitab Pararaton padanya dan justeru kitab itu lenyap saat di tangannya.
Perjalanan darat agaknya masih lama. Bokong Mbambang mulai terasa pedas juga. Ia duduk di depan, di sisi Wajimo yang memegang kemudi. Sementara Dor berada di jok tengah.
Tanah-tanah terasa gersang dan kering, meski beberapa pepohonan tampak rindang. Tapi seperti tidak terawat. Bisa jadi karena jarak matahari jauh lebih dekat dibanding di Jawa.
Kendaraan yang dikemudikan Wajimo pun memasuki halaman rumah yang cukup besar dan modern. Tampak nuansa etnis Papua, tetapi dengan bentuknya yang sama sekali baru.
Di ruang tamu, begitu banyak pernak-pernik artefak dan kerajinan tangan Papua.
Mbambang sendirian di ruang tamu. Asyik mengamati benda-benda asing yang selama ini hanya dilihatnya dari gambar-gambar.
Hampir satu jam sendirian di ruangan itu, Mbambang tenggelam dalam pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab. Bagaimana terjawab, wong ia bertanya-tanya dalam hati.
Di meja minuman kopi aseli Papua agaknya cukup menenangkannya, meski tinggal separoh. Tiga batang rokok dia bakar sudah. Ia abaikan peringatan dalam bungkus rokok: Merokok Membunuhmu! Biarin!
Dor muncul. Sudah nampak segar dan berganti pakaian. Pakaian yang sopan. Casual.
“Sudah habis kopinya? Sudah berapa batang rokok?” Dor duduk berseberang meja dengan Mbambang.
“Boleh aku mulai dengan kecurigaan?” Mbambang balas bertanya.
“Tentang Dor?”
Mbambang mengangguk.
“Dor seorang anak Indonesia. Bapaknya dulu menteri. Dan kini Dor menemani orang-orang Papua untuk menyongsong hidup baru,...” Dor berbicara dengan gaya seorang presenter televisi. “Cukup?”
“Belum cukup. Kamu aktif di LSM?”
“Tidak.”
“Terus?”
“Terus nabrak,...”
Mbambang tersenyum kecut. Maklum belum mandi.
“Bagaimana kalau aku mandi dulu?” Mbambang tak menemukan kata yang lebih baik dari itu.
“Mandi sendiri, atau,...”

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...