Minggu, Juni 21, 2020

Sukarno Dulu Jokowi Kini

Sukarno, Bung Karno (1901 – 1970), adalah tulisan yang seolah tak pernah usai dibaca. Ditulis berulang, dari sudut mana pun, ia memiliki pesona. Bahkan untuk hal-hal yang tentunya tak disukai musuh-musuhnya.

Namun sejarah selalu bertutur, orang besar memiliki musuh yang besar pula. Atau dalam kalimat terbalik, musuh-musuhnya menjadi pula besar karena yang mereka musuhi selalu jauh lebih besar. Kalau lebih kecil, ngapain dimusuhi? Sebetapapun upaya untuk mengecilkannya, Sukarno kagak ada matinye. Bahkan hingga kini, 21 Juni, ketika Bung Besar itu wafat 50 tahun lampau. 


Oleh Sunardian Wirodono


Ben Mboi, anggota DPRGR/MPRS yang ikut memberhentikan Sukarno sebagai presiden (dan melantik Soeharto sebagai presiden 27 Maret 1968), mempunyai kisah menarik ketika mengambil gelar Master in Public Health di Belgia (1971). Di sana, sebagaimana ditulis dalam memoarnya, waktu bertemu dokter-dokter dari Afrika dan Timur Tengah.

Ketika mengetahui Ben dari Indonesia, para dokter itu ngerti-nya Indonesia adalah Sukarno. Ketika Ben menjelaskan Presiden Indonesia adalah Soeharto, dan Sukarno disingkirkan karena bersimpati pada komunisme, para dokter dari Afrika dan Timur Tengah itu kelihatan marah, “Apa? Karena bersimpati pada komunis kamu singkirkan dia? Dia yang membawa kamu jadi merdeka, kamu singkirkan hanya karena dia bersimpati pada komunis? Astaga, kamu lebih pentingkan komunisme daripada kemerdekaan? Kamu tidak tahu terimakasih!”

“Supaya Anda tahu, kami orang Afrika merdeka oleh getaran yang digerakkan oleh Sukarno, yang membangkitkan harga diri Afrika dan orang Afrika. Aneh, dia yang bawa kamu ke pintu gerbang kemerdekaan malah kamu singkirkan!” (Ben Mboi, “Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja).

Dalam “Memoar Jasin Sang Polisi Pejuang, ketika M. Jasin membawa surat kepercayaan pengangkatannya sebagai Dubes di Tanzania, yang ditandatangani Soeharto selaku Presiden RI, protokol kepresidenan Tanzania menolak. Ketika dijelaskan, mereka tetap bersikeras bahwa Presiden Indonesia adalah Sukarno. Bukan Soeharto.

Hal itu menjelaskan, bagaimana nama besar Sukarno lebih berdengung di luar negeri, terutama Afrika dan Timur Tengah. Bahkan banyak peninggalan Sukarno di beberapa negara itu bukan hanya ‘pohon Sukarno’, melainkan spirit kemerdekaan. Dan yang jarang diketahui, ijtihad politik Sukarno dalam tafsir-tafsir keagamaan berkait konsep negara demokrasi di Timur Tengah. Mereka memposisikan Sukarno sebagai pemikir Islam yang dihormati.

Prosesi pemakaman Sukarno dan lautan manusia (Repro: Cindy Adams 'Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat')

Sukarno dan Tragika Indonesia. Meski menyandang nama besar, Bung Karno sejatinya bukan seorang narsistik. Setidaknya dari 1.650 patung koleksi Istana Negara di berbagai wilayah (Jakarta, Bogor, Denpasar, Yogyakarta), tak satu pun patung figur Sukarno, baik utuh maupun patung dada. Padal, dari jumlah patung-patung itu, 60 persen menurut catatan Sekretariat Negara, adalah gagasan tematik Sukarno. Sekalinya mau menjadi model patung, tahun 1950, di tangan pematung AS berdarah Jepang, Isamu Noguchi, yang karya-karyanya banyak terpajang di ruang publik New York. Entah patung figur Sukarno itu diletakkan di mana. Jika sekarang ada beberapa patung Sukarno di berbagai kota, itu masa-masa setelah Soeharto tumbang. Termasuk di Mexico (2018) dan belum lama lalu Aljazair, selain di Madame Tussaud tentu.


Kematian Sukarno adalah sejarah tragis Indonesia. Aswi Warman Adam, sejarawan, bahkan menggambarkan kematian Sukarno lebih tragis dibanding Multatuli, sebagai sesama pembongkar kejahatan kolonialisme. Bahkan ketika Soeharto mengasingkannya dalam sunyi dan sendiri di Wisma Yaso. Itulah cara pembunuhan paling keji. Apalagi dengan perlakuan tak manusiawi, sebagaimana kini hal itu mudah kita baca dari beberapa buku memoar, dan pengakuan dokter yang ditugaskan ‘mengawasi’ Sukarno.

Bahkan Hatta pun, untuk menjenguknya tak mudah. Pertemuan terakhir dwi tunggal yang tanggal itu, menunjukkan sebagai sahabat perjuangan sejati. Dari sejak Indonesia belum merdeka, hingga Hatta sebagai pengritik Sukarno paling terkemuka namun disampaikan dengan elegan. Bahwa bangsa ini pernah punya contoh, bagaimana kualitas manusia tak hanya dipertunjukan lewat status akademik atau intelektualitasnya, melainkan juga adab sebagai demokrat sejati. Apa yang ditunjukkan elite dan politikus kita sekarang, bukan berarti bangsa ini tak pernah mendapati contoh adab dari sejarahnya.

Perdebatan kita mengenai Peristiwa 1965 sampai hari ini, yang hanya berkutat pada korban (dan tanpa pembahasan mendalam mengenai asbab-musabab, asal mula mengapa semua itu terjadi), adalah bentuk ketidakseriusan kita menyelesaikan masa lalu, sebagai bahan pembelajaran masa kini dan ke depan. Apalagi dari mereka yang hanya mengandalkan pembacaan atas teks-teks, namun sama sekali mengabaikan konteks masalah dan konteks waktu.

Kelahiran Jokowi Kemudian. Sembilan tahun sebelum tanggal wafat Sukarno, lahirlah Jokowi (21 Juni 1961). Apa makna atau kaitannya dengan kematian Sukarno? Saya tak ingin berspekulasi, yang mungkin beberapa penggemar judi online bisa mengotak-atik angka itu. Namun Jokowi bisa jadi contoh bagus, sebagaimana kita memandang ‘persoalan’ Sukarno. Jokowi kini juga orang yang terkena tulah Sukarno. Bahwa “perjuanganmu akan lebih berat daripadaku, karena melawan bangsamu sendiri”. Meski kisah jatuhnya Sukarno, menjelaskan hal yang tak jauh beda, berhadapan dengan Soeharto dan para pendukung serta sponsornya.

Jokowi lahir pada tanggal kematian Sukarno
Ketika Sukarno wafat, Jokowi baru berusia 9 tahun, masih SD. Yang bisa dikenangkan oleh Jokowi tentang Sukarno, mungkin hanya kisah kematian dan pemakaman Sukarno yang fenomenal. Meskipun cerita teman-teman waktu kecilnya, Jokowi acap membawa buku lusuh Cindy Adams, ‘Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat’. Ketika bermain dengan teman-temannya, atau menyendiri di pinggir sungai, di mana rumah orangtuanya digusur dua kali oleh penguasa Orba, Jokowi membaca biografi Bung Karno.

Adakah karena buku itu, hingga kemudian Guntur Sukarno Putra, putra sulung Bung Karno pernah menyatakan sosok Jokowi merupakan anak ideologis Sukarno? Sebagaimana juga dikatakan Dr. Ikrar Nusa Bhakti, karena ideologi dan obsesi mereka sama dan sebangun? Perlu riset mendalam untuk itu, meski dalam polling yang diadakan Indobarometer, Januari 2020, Jokowi lebih disukai (23,4%) daripada Sukarno (23,3%). Sementara tingkat kesukaan responden polling (saya tidak pakai istilah Indobarometer yang mengatakan ‘rakyat’ sebagai kata ganti responden) pada SBY (14,4%), meski mengungguli Habibie (8,3%), Gus Dur (5,5%) dan Megawati (1,2%). Juaranya? Soeharto, 23,8%!

Pada titik itu, sekilas kita mendapat gambaran, Jokowi bukan presiden lemah, dan gagap, apalagi gagal. Terlebih jika melihat reputasi internasionalnya. Bukan saja diapresiasi atau diakui, melainkan juga menjadi role model, sebagaimana Soekarno diidolakan beberapa pemimpin Afrika dan Timur Tengah. Indonesia kini menjadi negara yang diperhitungkan dunia. Apalagi ketika berada dalam ekonomi global yang nyungsep, dan dalam masa-masa pandemi coronavirus. Mahathir Mohamad, politisi senior di kawasan Asia Tenggara yang disebut 'Sukarno Kecil' itu, mengagumi Jokowi. Demikian pula anak Lee Kuan Yew, Lee Hsien Loong yang juga menjadi PM Singapura, hingga The Strait Times Singapura menobatkan Jokowi sebagai Tokoh Asia 2019.Majalah TIME pernah menyebut Jokowi sebagai 'a new hope'.

Presiden Perancis Emmanuelle Macron, PM Kanada Justin Trudeau, bahkan mantan Presiden AS Barrack Obama, adalah pribadi yang secara terbuka mengapresiasi pemikiran dan gaya kepemimpinan Jokowi. Mereka dikenal dunia sebagai generasi baru kepolitikan international. 

Posisi Sukarno dan Jokowi. Tapi, kenapa Jokowi dibenci di dalam negeri? Itu kesan yang muncul di medsos, yang giat didengungkan para pembenci Jokowi. Meski jangan dilupakan, kontra narasi untuk mereka juga tak kalah banyak, hingga YLBHI sampai meminta Jokowi untuk menertibkan buzzernya. Emangnya lawan-lawan politik Jokowi juga tidak memakai buzzer? Sejak kapan buzzer diterjemahkan ‘hanya’ sebagai pendukung Jokowi? Tomi Soeharto juga punya buzzer.


Sebagai fenomena politik, Jokowi yang berada di luar genealogis politik Indonesia (yang elitis itu), seolah berada dalam posisi sama dengan Sukarno. Jokowi kini menjadi sasaran tembak dari segala penjuru. Dari para ningrat politik utamanya, yang tersingkir namun merasa lebih baik dan cakap dalam memikirkan dan mengelola negara. 

Coba saja bandingkan suara responden Indobarometer di atas, dengan pernyataan Fadli Zon, bahwa demokrasi di jaman SBY lebih baik dibanding jaman Jokowi. Tergantung sudut pandang dan kepentingannya ‘kan? Polling model Indobarometer bukan untuk melihat kebenaran, tetapi diperlukan dalam kalkulasi politik bagi mereka yang berorientasi kekuasaan. Sebagai ajang kontestasi. Karena tak adil juga membandingkan presiden satu dan lainnya dalam situasi yang berlainan, sebagaimana tak mungkin menggabungkan 7 presiden dalam satu waktu dan satu negara.

Itu pula yang kini  muncul dengan adanya medsos. Sibuk berpusing-pusing diputaran wacana, juga hoax dan fitnah. Namun, walau medsos memusingkan karena keliarannya, kontra narasi yang membela pun memiliki peluang sama. Hingga perang wacana di medsos, sedikit banyak justeru mereduksi tegangan itu. Mentah dan mental dalam perdebatan semata. Tidak pernah menjadi embrio pemikiran mendalam, karena memang tidak ada kedalaman.

Patung Sukarno di Aljazair karya Dolorosa Sinaga, Juni 2020 (Repro: Historia)
Sikap Membangsa dan Menegara. Kematian Sukarno, jika hendak kita renungkan dalam konteks politik sekarang, hanya menyadarkan betapa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, masih menjadi persoalan. Karena perpindahan kekuasaan dan lain-lain, yang maunya diselenggarakan dalam tempo sesingkat-singkatnya, belum sampai pada kesamaan sikap dalam membangsa dan menegara.  Setelah 74 tahun merdeka pun, UUD kita masih menjadi persoalan, demikian pula dasar negara kita.

Apalagi ketika cara dan sudut pandang, masih sukar didialogkan secara proporsional. Semua orang masih bersikukuh paling benar dan pintar. Namun jarang yang mampu bersahabat sebagaimana pertentangan Bung Karno dan Bung Hatta. Sekalipun dwi tunggal itu menjadi dwi tanggal, namun keduanya (sebagaimana detik-detik terakhir hidup Sukarno), adalah sebuah gambaran mengenai kebersatuan dalam cita-cita mereka. Yang tak terpermanai di jaman Jokowi nan digital ini.  | @sunardianwirodono



Rabu, Juni 10, 2020

Menuding Buzzer tapi Buzzer Pula



Oleh : Sunardian Wirodono

Demokrasi tak bisa dibangun dengan tuding-menuding. Meski kontestasi demokrasi selalu bernuansa kompetisi. Namun  yang acap dilupa adalah spirit dialog. Kemauan mendengarkan, dan kedisiplinan pada kesepakatan yang dijadikan konsensus atau bahkan hukum.

Pada mereka yang mendaku pelaku dan pelakon demokrasi, tiga syarat utama itu juga acap sengaja dilanggar, dengan berbagai argumen yang dicari-cari. Kecenderungan melakukan klaim (atas keunggulan diri) dan hujatan (atas liyan), menunjukkan watak buruk demokrasi, yang sering hanya beralas pada yang diagung-agungkan sebagai pemenuhan ‘hak azasi mansuia’ dan ‘kebebasan berpendapat’ (kebebasan mimbar, kebebasan akademik).

Tanpa sama sekali disadari, dan sering dilakukan dengan menunjukkan diri tak mengerti apa yang bermanfaat, apa yang mudharat, dan apa yang prioritas. Di situ, wajah demokrasi seolah tanpa tujuan. Tanpa agenda. Demokrasi hanya untuk demokrasi. Sama sekali tidak beralamat pada keadilan, kemanusiaan, apalagi berlabuh pada kesejahteraan rakyat.

Competition whose motive is merely to compete, to drive some other fellow out, never carries very far, tulis Henry Ford boss mobil Ford yang di Indonesia kita mengenalinya juga ‘sebagai’ funding The Ford Foundation. Persaingan yang tujuannya hanya untuk bersaing, untuk mengalahkan orang lain, tak pernah mendatangkan banyak manfaat.

Makanya, menyedihkan ketika YLBHI meminta Presiden Jokowi menertibkan buzer-buzernya. Lebih menyedihkan, karena lembaga bantuan hukum yang bermisi membantu rakyat miskin (lihat logonya) itu, justeru memposisikan dirinya secara diametral dengan ‘sesama’ rakyat.

Saya kutipkan pernyataan dari Ketua Yayasan LBH Indonesia;

“Ada buzzer yang biasa saja, tapi ada yang sangat keterlaluan, ada pernyataan yang meluluh lantakan demokrasi kita. Yang gitu harus dikasih tahu dong, kan tidak mungkin kalau buzzer atau influencer bergerak apabila dihambat." Pihak YLBHI lantas menggambarkan hubungan antara pendukungnya dengan Jokowi ibarat sebuah grup musik. Kata dia, dalam hubungan grup musik dengan fans, ketika fans berulah maka grup musik tersebut bisa menegur fansnya agar berhenti. Hal itu seharusnya juga dilakukan Jokowi. Namun, kata dia hal itu sepertinya tidak ada pada Jokowi, sehingga sinyal yang diterima masyarakat adalah pemerintah memberikan restu kepada buzzer. Padahal Jokowi memimpin langsung Kapolri, dan jajaran menteri. Contohnya, Jokowi bisa meminta Kapolri untuk mengusut dan menangkap para pelaku teror terhadap diskusi di Universitas Gadjah Mada (UGM) beberapa waktu lalu. Kemudin, Jokowi juga bisa meminta Kominfo untuk mengevaluasi kasus-kasus peretasan terhadap akun sosial media orang-orang yang mengkritik pemerintah yang kerap terjadi belakangan. Menurutnya, hal itu tidak dilakukan Jokowi bukannya karena tidak mampu, tapi tidak mau menggunakan kewenangannya tersebut. "Ada yang namanya unwiling, dan unable. Kalau itu namanya bukan unable, bukan tidak mampu, itu tidak mau," ucap Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Asfinawati (sebagaimana dikutip tempo.co dari diskusi daring yang digelar ILUNI UI, 09/6/20).

Saya mencoba mengutipnya lebih lengkap, agar mengetahui gradasi dan perspektif berpikirnya. Namun semakin lengkap informasi, semakin menjadi aneh ketika Ketua YLBHI tidak melakukan himbauan yang sama pada Presiden; Untuk juga menertibkan para penyebar hoax, ujaran kebencian dan fitnah, yang dilakukan mereka yang memfitnah Jokowi, atau sebutlah pada para ‘pendukung’-nya.

FENOMENA BUZZER & KADRUN. Menyedihkan ketika YLBHI sama sekali tak bisa menyebut siapa saja buzzer yang dimaksud? Apalagi menyebut buzzer rupiah secara serampangan. Dengan tanpa menyebutkan bukti-bukti tertulis, sementara jejak digital sekarang bisa menjadi alat bukti hukum. Dalam persoalan hukum, tentu saja yang menuding harus membuktikan. Bukan yang dituding. Apalagi dengan menyamakan buzzer alias pendengung itu berelasi dengan Jokowi sebagaimana fans fanatik sebuah grup musik.

Bagaimana sampai pada penyamaan seperti itu? Apakah karena yang dipelajari hanya hukum pidana semata? Ataukah mungkin sebagai pecinta grup musik yang lain, tak sempat belajar hukum tata-negara? Padal, dengan munculnya Reffly Harun sebagai ahli hukum tata-negara, asyik lho sekarang. Pasal-pasal kebijakan Presiden ditinjau dari hukum tata-negara model Reffly Harun.

Lagi pula menggambarkan hubungan pendukung fanatik Presiden sebagaimana grup musik, sangat menyederhanakan masalah. Many more people in the world are concerned with sports than with human rights, tulis Samuel Huntington dengan sinikal dalam The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. Banyak orang di dunia lebih peduli dengan olahraga daripada dengan hak asasi manusia.

Yang kadang sering dilupakan, dengan cara serampangan mengambil kesimpulan; Seolah mereka yang membela Jokowi adalah buzzer. Itu lebih karena cara berfikir buzzer sebagai entitas, bukan sebuah fenomena yang lahir di ruang pengap. Meski baru dugaan, saya kira tak sedikit yang membela Jokowi karena merasa bagian yang dikadali pula. Yang disebut buzzer, tidak muncul dengan sendirinya. Karena ada kelompok lain di luar mereka, yang posisinya bagai pertanyaan klasik 'duluan mana antara telor dengan ayam'. Kalau secara saintifik, sudah dinyatakan lebih dahulu ayam. Beranikah kita secara saintifik juga menyatakan lebih duluan kampret daripada kecebong, atau sebaliknya? Lebih duluan mana pula antara HTI dan kadrun misalnya?

TIDAK DI RUANG HAMPA. Apapun sebutannya, entah itu buzzer, pendengung, atau bahkan kadrun, tidak lahir di ruang hampa. Mereka muncul dari problema membangsa dan menegara. Menyederhanakan masalah dengan mengatakan hanya menjadi tugas Jokowi (karena ia punya TNI, Kepolisian, Kehakiman, Menkominfo, dan lain sebagainya, tentu saja karena presiden). Karena hal itu juga hanya sekedar menunjukkan, betapa banyak lembaga masyarakat, ormas, entah itu yang bergerak di bidang kemanusiaan, hukum, politik, telah gagal dalam menjalankan perannya masing-masing.

Apalagi dengan tidak bertanggtungjawab menggebyah-uyah buzzer rupiah, dengan menutup mata dan telinga. Bahwa ada adab, martabat, harga diri, bahkan integritas moral serta etik yang dipertaruhkan mereka yang tanpa pamrih membela Jokowi. Ialah mereka, yang sejak 2014 menolak masuknya kelompok Prabowo ke ruang kekuasaan. Meski kelompok ini juga kecewa ketika Jokowi memasukkan Wiranto ke pemerintahan, juga apalagi kemudian mencemplungkan Prabowo ke kabinetnya.

Apa yang sebetulnya terjadi, di balik itu atau sebelumnya? Serta lebih jauh lagi sebelum dari sebelumnya itu? Tak ada asap tak ada api. Munculnya para pembela Jokowi, tak lepas dari situasi-situasi yang melingkupi. Sejak dari Jokowi Walikota, Gubernur, hingga kenapa kemudian bisa dua periode Presiden. Mari jernih dalam melihat hal ini.

Kita tak bisa menuding, apalagi menyalahkan (sebutlah yang dinamai) buzzer, dengan mengabaikan munculnya satuan kelompok yang mencoba menegasi Jokowi. Kita tak bijak pula menafikan munculnya kelompok tertentu, yang memakai agama (bahkan kini dengan alasan kebebasan akademik, setelah sebelumnya ada isu bangkitnya PKI, antek aseng, dan anti asing). Pada tingkatan tertentu, ditujukan secara lebih keji. Apa bukti dan ukurannya? Lihat saja teks-teks dalam jejak digital kita. Hoax ditebar dan fitnah pada pribadi Jokowi, dan juga pada mereka yang mendukungnya, bukan sesuatu yang sulit dilacak.

Dalam ilmu psikologi massa, hal itu wajar terjadi. Jika justeru memunculkan fanatisme, demikianlah faktanya. Bahkan pembelaan itu bisa diekspresikan secara militan, dengan sama sekali mengabaikan tudingan klasik sebagai kelompok bayaran. Hal ini tidak hanya berlaku pada Jokower (kalau mau disebut begitu) dengan sebagaimana kelompok Prabowoer, dan yang lain seperti Soehartoer meski karena transaksi pragmatis saja. Harus dilihat juga kelompok orang yang mendukung Jokowi, karena memang sama sekali tak menginginkan masuknya Prabowo dalam kekuasaan, sebagai bagian jalan panjang Reformasi 1998.

MENUDING SEBAGAI BAGIAN APA & SIAPA. Kelompok pembela sukarela Jokowi, meski kecewa dengan masuknya Wiranto, juga bahkan Prabowo, adalah kelompok indenpenden. Lebih banyak muncul karena hati-nurani serta keyakinan atas kesadaran bahwa demokrasi itu menuntut kesabaran, karena jalan berliku dan penuh onak-duri. Kelompok independen ini bukan perengek dan pengeluh. Mereka melakukan peranan masing-masing, bukan karena rupiah, bahkan mungkin tidak tertarik atau tergoda masuk ke kursi kekuasaan. Dengan sadar mengambil jarak.  Dan lebih karena meyakini, bahwa hati-nurani juga berhak dinyatakan dalam negara demokrasi.

Tudingan adanya buzzer rupiah, bisa jadi juga lebih karena memakai ukuran dirinya sendiri. Yang selalu mengukur segala sesuatu dengan rupiah (walau kadang berwujud dollar atau pun real). Seolah semua pihak sebagaimana diri dan kelompoknya.

Meski pun juga perlu diselipkan pertanyaan sederhana; Kenapa Jokowi tak disuruh menertibkan pula ujaran dan hujatan kebencian, yang jelas-jelas melanggar UU-ITE, bahkan melampaui keadaban manusia? Apakah itu persoalan Jokowi tidak tahu (walau sebagai korban), tidak mau, atau tidak mampu? Atau tidak satu pun dari hal itu? Atau karena mereka takut mengusulkan itu? Nah, bukankah mendiamkan (padal tahu), apakah bisa dituding YLBHI bagian dari yang didiamkan itu, karena demikianlah logikanya?

Tak semudah itu bukan? Hanya karena tak setuju UU-ITE , tak berarti UU itu tidak ada bukan? Padal sebagai orang yang bergerak di ranah hukum, sesungguhnya mudah saja. Terhadap yang melanggar hukum, tuntut dan ajukan ke sistem hukum yang berlaku. Bukannya diseret ke ranah interpretatif yang sama sekali tak dikuasai. Apalagi  hanya karena memposisikan diri sebagai pihak yang suka dan tak suka.

YLBHI hanya semacam contoh, dari fenomena perubahan akibat demokratisasi yang muncul di tengah situasi transisi dan proses transformasi yang liar. Baik karena kegagalan partai politik dalam menginisiasi dialog nasional, maupun secara bersamaan pula arus deras teknologi informasi dan komunikasi yang tak terelakkan. Mendadak medsos, yang tak sejalan dengan akselerasi pemahaman masyarakat, dengan modal literasi yang minim (termasuk literasi hukum).

TABRAKAN DEMOKRASI. Di situ muncul tabrakan-tabrakan demokrasi, justeru ketika mandala-mandala demokrasi seperti dunia hukum, dunia akademik, dunia agama, tak lagi mempunyai otoritas. Mereka tidak lagi menjadi faktor dominan, atau bahkan kehilangan otoritas dan wacana. Dengan medsos, kini netijen bisa mendegradasi (atau down-grade) kepercayaan publik pada macam platform Bukalapak. Atau bagaimana netijen mampu menggoyang bursa saham yang membuat grup media Tempo, serta yang terbaru Detik, langsung terobok-obok perutnya.

Sumber kekuatan baru bukanlah uang yang berada dalam genggaman tangan beberapa orang, ujar sang peramal John Naisbit, namun informasi di tangan orang banyak. Tapi jika engkau kelimpungan dalam situasi transisi ini (seperti misalnya mereka yang bekerja di area pembelaan publik berkeluh-kesah), persoalannya bukan pada rakyat, atau buzzer pihak mana pun. Bisa jadi pada krisis moral mereka-mereka yang mengaku sebagai pendamping masyarakat.  

Walaupun selalu ada kesempatan, bagi kelompok yang lain lagi. Siapa tahu setelah muncul LBH Pers,  bakal ada LBH Agama, LBH Akademisi, LBH Kadrun, LBH Buzzer, LBH Fesbuker, dan lain sebagainya. Dalam situasi pagebluk ini, di luar lahirnya paceklik juga, muncul kreativitas serta oportunity bukan? Bisa dimaklumi. Apalagi banyak orang kehilangan pekerjaan. Tapi itu bisa dianggap pernyataan menghina. Dan kemudian kita dituding sebagai buzzer? Buzzer rupiah pula! 

Persis orang-orang putus asa, yang jika terdesak terus nuding; “Kamu PKI! Kamu kafir! Kamu buzzer!” Dengan cara yang sama PKI-nya, sama kafirnya, sama buzzernya! Sama dan sebangun! | @sunardianwirodono

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...