Minggu, Februari 14, 2021

Bubarkan Saja Dewan Pers

 Oleh : Sunardian Wirodono

Kalau saya menuliskan judul ‘Bubarkan Saja Dewan Pers’, tak lebih menanggapi seruan orang Dewan Pers, yang menyatakan bahwa ‘kehadiran buzzer mengganggu kebebasan pers.’. Lebih lanjut dikatakan oleh anggota Dewan Pers Asep Setiawan, sebaiknya buzzer ditiadakan. 
 
Alasannya, sudah ada pejabat humas pemerintah yang menjawab jika kritik pers perlu direspons. Haduh, ini logika cemana? Dewan adalah ke-dewa-an, ia mewakili pemikiran yang substansial, tinggi dan mulia. Tapi lha ini kok picik bener?
 
Menyandingkan buzzer dengan pejabat humas di pemerintahan, adalah pemikiran kadrun banget. Nggak usah baper, kadrun hanyalah penyamaan oknum yang suka memandang segala sesuatu dari sudut politis. Namun ketika mereka sendiri memakai frame itu, ngelesnya selalu soal hak demokrasi untuk menyampaikan pendapat. Kebebasan berekspresi. Terus kemudian merembet ke hak azasi manusia dan seterusnya.
 
Lebih-lebih pendapat yang mengatakan buzzer ditiadakan itu, menopang pernyataan sebelumnya; bahwa kehadiran buzzer membahayakan pers. Hal itu disampaikan oleh Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers.
Framing yang ingin dimunculkan adalah; buzzer ‘peliharaan’ pemerintah. Bahkan ada sebutan ‘BuzzerRp’. Dalam salah satu sidang parlemen, ada anggota DPR-RI menanyakan mengenai anggaran negara bagi biaya buzzer itu. 
 
Biyingkin. Kehadiran buzzer membahayakan pers. Dan senyampang itu, Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers di Dewan Pers, kebetulan ‘orang’ Tempo. Kita tahu cover-cover majalah Tempo, selalu menjadi kontroversi dalam perdebatan mengenai persoalan etis dalam etika pers. Media sering terlihat kritis, tetapi ketika dikritisi ternyata sami-mawon. Tipis kuping dan tebal muka. 
 
Karena punya kuasa-nilai, Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers ngomong buzzer membahayakan pers. Buzzer bukan mengritik berita yang disiarkan pers, tapi ‘kerap’ melancarkan serangan kepada pers itu sendiri.’ Kalimat yang agak susah dipahami, mangsudnya apah? Ya, jangan berlayar jika takut ombak. Bahwa ada buzzer yang menjengkelkan dan bajingan, hal yang sama juga ada pada anggota pers. Bukan persoalan medianya. Mari adil melihat masalah. 
 
Apa sih buzzer itu? Mendefinisikan buzzer sebagai peliharaan pemerintah (bahkan menyamakan fungsi dengan pejabat humas pemerintah), sungguh naif. Kalau buzzer ditiadakan, maukah misal Dewan Pers juga menghilangkan buzzer bagi Dewan Pers, buzzer bagi Tempo, buzzer FPI, buzzer kadrun, buzzer SJW (social joker warrior)? 
 
Buzzer lahir karena teknologi komunikasi memungkinkan. Sesuatu yang gagal dilakukan oleh pers dalam mendorong keberanian rakyat menyuarakan hak-haknya. Buzzer sesuai sejarah kemunculannya, adalah ‘akibat dari’ situasi demokratisasi yang tidak berjalan normal. Proses amplifying adalah hal wajar dalam masyarakat terbelah. Tentu saja bising dan memekakkan telinga. Tapi itu resiko ketika elite gagal mengedukasi masyarakat. Dan jangan bandingkan ketika alat komunikasi dan informasi kita masih memakai kenthongan di pos ronda. 
 
Kalau Dewan Pers maunya menjaga dan melindungi, pers macam apa yang mau dilindunginya di abad digital? Kini dengan teknologi komunikasi dan informasi kiwari, semua anggota masyarakat adalah tokoh masyarakat. Apalagi jika benar sinyalemen JA Prasetyo (Stanley), mantan ketua Dewan Pers, terdapat lebih dari 300 juta telepon genggam di Indonesia yang berpenduduk 270-an juta. Jumlah yang agak fantastis, karena Kemenkominfo menuliskan data 160 juta, dan di atas 80% pengguna aktif. 
 
Dengan jumlah seperti itu, hampir menyamai pemilik hak suara ketika Indonesia menentukan nasib demokrasinya dalam Pemilu. Padal, hak bersuara mereka, yang diampu bebas oleh perkembangan teknologi, berada dalam ancaman sistem hukum yang ketat. Tanpa perlindungan dan sistem peradilan yang fair, ketika UU-ITE acap dijalankan dengan tebang pilih. 
 
Orang kecil bisa dipenjara, tapi yang punya temen elite atau politikus bisa diselamatkan. Padal, ancaman penjara tak main-main. Bisa 5-6 tahun untuk kasus sumir ‘perlakuan tidak menyenangkan’. Sementara jika ada anggota pers melakukan ‘kesalahan’, Dewan Pers bisa melindungi dengan pasal karet kebebasan pers. Cukup memberikan ruang ‘hak jawab’. Hak bertanyanya diberikan tidak?
Sekali lagi, kayak MUI, lembaga Dewan Pers juga bakalan sirna tanpa harus dibubarkan paksa. Apalagi kalau kita lihat, lembaga ini juga tak mampu menjaga marwah media pers di jaman berubah ini. Merespons hadirnya media online saja, Dewan Pers tak punya rumusan memadai. Apalagi dengan pemahaman definisi buzzer yang naif dan reaktif. 
 
Karena gagal atau gagap menanggapi perubahan, kekuatan ke-4 demokrasi ini (di Indonesia), ternyata hanya mitos. Demokrasi di Indonesia, mungkin saja dipelopori oleh pers. Namun di jaman ini, revolusi teknologi komunikasi dengan hadirnya berbagai platform medsos, adalah sebuah keniscayaan, tak terbendung. Dengan tingkat literasi yang rendah, tak bisa menyalahkan pada satu sisi.
 
Jangan pula lupa, dengan penduduk 270 juta, oplah tertinggi yang pernah dicapai koran di Indonesia, hanya diraih oleh Kompas dengan 600 ribu eksemplar. Itu pun dulu. Sekarang sudah turun drastis dengan adanya android di tangan masyarakat Indonesia. 
 
Apalagi ketika Dewan Pers senyatanya, juga tak bisa membasmi adanya wartawan amplop (baik amplop gede maupun kecil), atau media yang jadi ‘buzzer’ bagi lawan kepentingannya. Ini proses disrupsi yang menyakitkan. Tapi jika karena itu kemudian yang menulis opini seperti ini terus disebut ‘BuzzerRp’? Atau hanya akan dipuji mereka kalau mengritik Jokowi? Adillah sebelum kentut. Tabik! | @sunardianwirodono
Begini Cara Kerja Buzzer dan Kisaran Gajinya Kompas.com - 12/02/2021, 15:30 WIB Bagikan: Komentar 1 Ilustrasi. Lihat Foto Ilustrasi.(SHUTTERSTOCK) Penulis Muhammad Choirul Anwar | Editor Bambang P. Jatmiko KOMPAS.com – Penggunaan buzzer untuk tujuan tertentu semakin marak dan kerap mengundang perdebatan. Ternyata, ada riset khusus mengenai buzzer yang pernah diterbitkan University of Oxford pada tahun 2019 lalu. Penelitian ini berjudul “The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation”. Dalam penelitian itu, buzzer disebut sebagai pasukan siber, yakni instrumen pemerintah atau aktor partai politik yang bertugas memanipulasi opini publik secara online. Penelitian ini secara komparatif memeriksa organisasi formal pasukan siber di seluruh dunia dan bagaimana para aktor ini menggunakan propaganda komputasi untuk tujuan politik. Dalam laporan tersebut, pihaknya memeriksa aktivitas pasukan dunia maya di 70 negara, termasuk Indonesia. Baca juga: Beli Mobil Baru Bebas Pajak, Ini Respons Pengusaha Temuan dari penelitian ini menunjukkan adanya variasi di berbagai negara mengenai skala dan rentang waktu pemanfaatan tim buzzer. Di beberapa negara, tim muncul untuk sementara waktu di sekitar pemilihan atau untuk membentuk sikap publik seputar acara politik penting lainnya. Lakukan Kontrol Di sisi lain, ada buzzer yang diintegrasikan ke dalam lanskap media dan komunikasi dengan staf bekerja penuh waktu. Mereka bekerja untuk mengontrol, menyensor, dan membentuk percakapan dan informasi online. Beberapa tim terdiri dari beberapa orang yang mengelola ratusan akun palsu. “Di negara lain - seperti China, Vietnam, atau Venezuela - tim besar orang dipekerjakan oleh negara untuk secara aktif membentuk opini publik,” tulis laporan ini dikutip Jumat (12/2/2021). Buzzer ini menggunakan berbagai strategi komunikasi. Penelitian ini mengkategorikan kegiatan buzzer ke dalam empat kategori. Pertama, penciptaan disinformasi atau media yang dimanipulasi. Kedua, pelaporan konten atau akun secara massal. Ketiga, strategi berbasis data. Keempat, trolling, doxing atau gangguan. Kelima, memperkuat konten dan media online. Penciptaan disinformasi atau media yang dimanipulasi adalah strategi komunikasi yang paling umum. Di 52 dari 70 negara yang diperiksa, pasukan siber secara aktif membuat konten seperti meme, video, situs web berita palsu, atau media yang dimanipulasi untuk menyesatkan pengguna. “Terkadang, konten yang dibuat oleh pasukan siber ditargetkan pada komunitas atau segmen pengguna tertentu. Dengan menggunakan sumber data online dan offline tentang pengguna, dan membayar iklan di platform media sosial populer, beberapa pasukan siber menargetkan komunitas tertentu dengan disinformasi atau media yang dimanipulasi,” lanjutnya. Adapun, penggunaan trolling, doxing, atau pelecehan merupakan tantangan dan ancaman global yang berkembang terhadap hak asasi manusia. Terdapat 47 negara telah menggunakan trolling sebagai bagian dari senjata digital mereka. Baca juga: BEI: 3 Perusahaan Teknologi Bakal IPO di Kuartal I “ Pasukan dunia maya juga menyensor ucapan dan ekspresi melalui pelaporan konten atau akun secara massal. Kiriman dari aktivis, pembangkang politik, atau jurnalis sering kali dilaporkan oleh jaringan terkoordinasi dari akun pasukan siber untuk mempermainkan sistem otomatis yang digunakan perusahaan media sosial untuk menghapus konten yang tidak pantas,” jelasnya. Trolling dan penghapusan akun atau postingan bahkan dapat terjadi bersamaan dengan kekerasan dunia nyata, yang dapat memiliki efek yang dalam dan mengerikan pada ekspresi hak asasi manusia. Strategi Adapun mengenai tipologi perpesanan dan strategi valensi yang digunakan, pasukan siber saat terlibat dalam percakapan dengan pengguna online untuk beberapa tujuan. Pertama, menyebarkan propaganda pro-pemerintah atau pro-partai. Kedua, menyerang oposisi atau melancarkan kampanye kotor. Ketiga, mengalihkan percakapan atau kritik dari masalah penting. Keempat, memotori pembagian dan polarisasi. Kelima, menekan partisipasi melalui serangan atau pelecehan pribadi. Dalam laporan ini disebutkan pula harga yang dibanderol para buzzer. Di Indonesia, penggunaan buzzer bersifat kontrak temporer, dengan nilai antara Rp 1 juta-Rp 50 juta. Kebanyakan buzzer di Indonesia menggunakan cara-cara disinformasi dan media yang dimanipulasi, serta memperkuat konten. Dalam laporan ini dijelaskan bahwa Indonesia termasuk dalam kategori pemanfaatan tim buzzer berapasitas rendah. Artinya, praktik ini melibatkan tim kecil yang mungkin aktif selama pemilihan atau referendum, tetapi menghentikan aktivitas sampai siklus pemilihan berikutnya. “Tim berkapasitas rendah cenderung bereksperimen hanya dengan beberapa strategi, seperti menggunakan bot untuk memperkuat disinformasi. Tim-tim ini beroperasi di dalam negeri, tanpa operasi di luar negeri,” tulis penelitian tersebut.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Begini Cara Kerja Buzzer dan Kisaran Gajinya", Klik untuk baca: https://money.kompas.com/read/2021/02/12/153000626/begini-cara-kerja-buzzer-dan-kisaran-gajinya?page=all#page3.
Penulis : Muhammad Choirul Anwar
Editor : Bambang P. Jatmiko

Download aplikasi Kompas.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat:
Android: https://bit.ly/3g85pkA
iOS: https://apple.co/3hXWJ0L

Jumat, Januari 01, 2021

PARA BAJINGAN POLITIK 2020

Elitisme Politik Memposisikan Rakyat sebagai Kambing Congek

 

Oleh Sunardian Wirodono

 

Panggung politik Indonesia, adalah panggung paling menyebalkan, juga menjijikkan. Tetapi untuk dibiarkan lewat begitu saja, akan menyenangkan mereka. Khususnya para bajingan politik, yang akan jauh  lebih leluasa. Apalagi ketika media massa (baik cetak, elektronik, maupun online), mulai menjadi bagian dari permainan politik dan kepentingan praktis.  


Anda bisa bayangkan, seorang anggota parlemen, dari partai Gerindra (yang konon koalisi Pemerintah), memosting foto dirinya, dengan ekspresi menahan senyum kayak orang mau BAB, memamerkan kaos yang dikenakannya bertuliskan; JUBIR FPI. Orang seperti itu mengatakan bahwa pembubaran FPI adalah lonceng kematian demokrasi. Di mana otaknya coba?

 

Kalau demokrasi mati, bagaimana ia sebagai anggota parlemen bisa berkata bebas seperti itu, di media massa maupun media sosial? Dia menikmati bayaran demokrasi (gaji sebagai anggota legislatif), dan mempraktikkan demokrasi, tapi dia berbohong atas nama demokrasi. 

 

Selama tahun 2020, Indonesia memang lebih menonjol dalam dua persoalan yang dimunculkan oleh dua faktor pemicu masalah. Ialah soal politik dan agama. Sesuatu yang sangat mungkin terjadi, karena dua hal fundamental itu masih menjadi bagian dari persoalan bangsa dan negara kita. 

 

*

 

Setelah berhasil melewati proses politik Reformasi 1998, justeru permasalahan baru muncul. Kehidupan politik dikuasai kaum oligarkis. Lebih buruk dari Aukarno dan Soeharto. Sesuatu yang wajar terjadi karena sistem politik kita yang elitis. Peran mereka sebagai pusat rekrutmen kepemimpinan sipil, sama sekali tak berfungsi. Tak ada pendidikan politik untuk rakyat. 

 

Hingga akhirnya sistem politik itu mengalami kemacetan, dan melahirkan Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia. Bagaimana tidak, Megawati ketua umum partai pemenang pemilu, mempunyi kekuasaan mutlak berdasar keputusan kongres, akhirnya mencapreskan Jokowi, orang luar partai. Mengabaikan kader-kader internalnya. 

 

Dan Jokowi dua periode, mengalahkan lawan yang sama, yakni perwakilan wajah kepolitikan yang sudah menjadi mummy. Tapi dicobahidupkan terus-menerus. Hingga kini, berkelindan dengan ghirah agama yang palsu. 

 

Dalam masa pandemi saja, mereka mingkem. Dan baru kelicutan ketika salah satu dari oligarki itu ketangkap KPK, dalam urusan bansos pandemi. Benarkah hanya Kemensos? Bagaimana dengan Kemendes, Kemenaker, atau kementrian yang dijabat orang partai?

 

*

 

Agama, menjadi persoalan kedua, karena ia bagian dari dinamika politik. Bukan sejak Rizieq Shihab, melainkan sejak awal berdiri republik ini. Ketika Sukarno berdebat panjang, jauh sebelum merdeka. Juga bahkan di depan sidang PPKI, hingga pidato 1 Juni 1945, yang tetap saja bermasalah. Perdebatan kaum nasionalis dan kaum agamais (khususnya Islam), dikompromikan sebagai api dalam sekam. 

 

Hingga sentimen yang tak terselesaikan itu kemudian justeru dipakai, dieskploitasi atau dimanfaatkan untuk keuntungan sepihak. Bukannya dieksplorasi dalam pengertian dibongkar akar permasalahannya. Dicari perbedaan-perbedaannya untuk didapatkan titik pertemuannya sebagai rumusan Gus Dur. 

 

Para elite politik justeru memanfaatkannya. Mengkapitalisasi sebagai strategi mengalahkan lawan, dengan menonjolkan politik identitas. Apalagi ketika kelompok ini, termasuk para donaturnya, berhasil menjungkalkan Ahok, menaikkan Anies. 

 

Tentu saja hal itu bisa jadi akan terus-menerus dimanfaatkan, hingga 2024 kelak, dalam Pemilu maupun Pilpres. Akan sangat tergantung seberapa besar penghargaan bangsa dan negara ini pada sistem hukum yang sudah disepakati bersama. 

 

Selama demokrasi hanya bertumpu pada kebebasan berpendapat dan berserikat semata, tanpa ditopang oleh kedisiplinan dalam menegakkan sistem hukum, proses demokratisasi akan berjalan lamban. Bahkan mungkin menjadi faktor pengganggu. Karena tiap hari bukan saja menjadi peristiwa politik, melainkan persoalan politik yang tidak menyelesaikan. Lantas kapan percepatan pertumbuhan ekonomi menjadi prioritas, ketika perimbangan anggaran kita masih sangat timpang antara belanja dan pendapatan?

 

*

 

Lemahnya konstitusionalisasi konflik, karena perilaku para praktisi perpolitikan kita yang memang tidak bermutu. Demokrasi menangnya sendiri, mutlak-mutlakan, dan tak sudi mendengarkan apalagi mengapresiasi liyan. Pelanggar hukum yang sedang diproses hukum, oleh para elite politik diminta ditangguhkan, dan mereka rela menjadi penjaminnya. Ini soal kemanusiaan? Bukan. Karena mereka juga tahu, jika pun permintaan tak dikabulkan, mereka telah sukses mempromosi dirinya, untuk menangguk simpati konstituen sebagai investasi dalam masa kontestasi kelak. 

 

Semasa hidupnya, sebelum jadi Presiden, Gus Dur pernah berujar FPI adalah organisasi bajingan yang harus dibubarkan. Gus Dur bahkan menyebut Rizieq Shihab sebagai teroris lokal. Gus Dur bahkan bertekad hendak membubarkan FPI, meski ketika menjadi Presiden pun, tekad itu tak terlaksana. Hingga Rizieq bisa mengejek Gus Dur, sebagai orang buata mata dan buta hati, hingga bukannya FPI bubar melainkan Gus Dur yang longsor dari kursi kepresidenan.

 

Pada waktu itu, ketika Gus Dur mengatakan hendak membubarkan FPI, beberapa teman Gus Dur banyak yang diam saja. Tak berkomentar. Namun ketika mereka mengetahui pemerintahan Jokowi menyatakan FPI sebagai organisasi terlarang, juga sedang memproses pelanggaran hukum Rizieq, mereka ini pada bekoar atas nama demokrasi, hukum, keadilan, dan HAM. Itulah sebabnya, SJW itu lebih tepat disebut Social Joker Warrior. Para Sulayan Jokowi Waton, sebagai penganut waham salawi. 

 

*

 

Jika dulu ada gerakan ‘Semut Merah’ untuk menjatuhkan Gu Dur, kini juga ada gerakan serupa, untuk menjatuhkan Jokowi. Beberapa adalah orang yang sama. Apakah tahun 2021 situasi akan tetap? 

 

Akan sangat tergantung pada Jokowi, apakah ia sesuai janjinya akan tanpa kompromi, menurunkan kadar toleransinya pada para bajingan politik (di dalam maupun di luar Istana). Akan pula sangat tergantung pada kekeraskepalaan Jokowi, dalam memerintahkan para pembantunya, untuk bekerja keras demi bangsa dan negara. Bukannya demi partainya semata. 

 

Karena politik di Indonesia masih saja hanya dipandang sebagai alat berkuasa. Untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Bukan sebagai alat perjuangan mensejahterakan bangsa dan negara. Dalam ungkapan orang Jawa, untung dalam dua periode di masa transisi generasi ini, Jokowi kita menangkan. Dalam sangking riuhnya kepolitikan, kita pura-pura merem, bagaimana performance Republik Indonesia ini (di masa pandemi dunia), lebih mencorong di mata negara luar.

 

Politik itu mulia. Benarkah? Jika diperlakukan secara mulia. Jika tidak tentu saja menjijikkan. Dan  kalau didiamkan, para bajingan politik tentu akan berpesta pora. Apalagi ketika kita dalam, turbulensi itu, turut serta menuding-nuding Jokowi. Secara tak sadar para jelata dihipnotis kata-kata oleh para demagog, menjadi bagian dari kaum elite politik. Walau hanya sebagai kambing congek. Dan hanya selalu puas dengan permainan kata-kata. | @sunardianwirodono

 

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...