Kamis, September 27, 2018

Film Sejarah & Film Propaganda; Melawan Lupa atau Melawan Ingat?


Pahlawan itu bukan dilahirkan, melainkan diciptakan, demikian Ben Anderson. Diciptakan bukan untuk sekedar teladan tapi lebih untuk mengokohkan ideologi negara-bangsa, memproduksi ulang narasi nasionalisme, atau faham-faham yang dianut sang hero.
Pada sisi itu, film Pengkhianatan G30S/PKI (1982) bisa dimasukkan dalam kelompok film  propaganda. Sama sekali berbeda dengan film sejarah. Jika film sejarah berangkat dari detail dan akurasi data, yang imparsial dan sama sekali tak boleh  menambah-nambah elemen.
Dalam film Arifin C. Noor, G30S (kita sebut saja begitu), teks kepahlawanan begitu menyederhanakan kompleksitas masalah dan riwayat tokoh-tokohnya. Narasi kepahlawanan yang dibangun, berangkat dari motif hitam-putih. Memposisikan Soeharto sebagai pahlawan dan Sukarno pecundang.
Film memang media propaganda yang paling efektif. Kita sendiri belum mempunyai produksi film sejarah yang memadai, meski saya lebih suka menyebut film ‘Enam Djam di Djokja’ karya Usmar Ismail (1949) film dokumenter kreatif dalam menginterpretasikan sejarah. Ia dibuat dalam waktu tak berselang lama dengan kejadiannya, dan diproduksi di lokasi aselinya.
Film-film yang didaku sebagai film sejarah kita, entah itu berjudul Soekarno, Sudirman, Cokroaminoto, RA Kartini, Sultan Agung, dan sebagainya, lebih dekat sebagai film propaganda dalam pengertian mempromosikan nilai-nilai massacre yang ditokohkan. Disamping riset sejarah yang belum memuaskan, dalam replikasi dan duplikasi, juga tentu cara pandang myopic pembuat film yang disebut sejarah itu masih bisa dimaafkan dari bias-bias yang muncul.
Beda dengan Arifin G30S, tak sedikit manipulasi sejarah dalam film berdurasi 271 menit itu. Upaya pemahlawanan seseorang dilakukan dengan mendiskreditkan orang atau pihak lain. Untuk diputar masa kini, jelas makin tampak pembiasannya. Apalagi dengan makin banyak temuan-temuan baru fakta sejarah 1965. Soeharto sendiri, dalam perjalanannya kemudian, adalah yang ditersangkakan terlibat tindak korupsi sebagaimana bunyi Tap (Ketetapan) MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggaran negara yang bersih dan bebas KKN.
Soeharto adalah presiden yang gemar membuat film propaganda. Selain G30S, ada pula Janur Kuning dan Serangan Fajar. Keduanya tak jauh beda, pengkultusan pada Soeharto. Dalam Janur Kuning, Soeharto dikesankan lebih hebat dari Sri Sultan Hamengku Buwana IX. Dalam Janur Kuning, peran Soeharto mendeskreditkan peran Sri Sultan HB IX, sama dengan di G30S di mana Soeharto mendiskreditkan Sukarno.
Ketika bekas Panglima TNI Gatot Nurmantyo (dari TNI-AD) menantang Panglima TNI sekarang, Marsekal Hadi Tjahjanto (dari TNI-AU), untuk memutar film G30S, bukan tanpa tendensi. Jauh sebelumnya, KSAU Marsekal Saleh Basarah (1986), mengklaim film itu mendiskreditkan TNI-AU.
Film Arifin G30S dikatakan kontroversial karena kini bukan lagi alat konsolidasi, melainkan berpotensi memecah belah atau mengadu domba. Maka mengherankan jika melihat semangat lembaga dan pribadi, yang kini koar-koar ngajak nobar film ini. Nilai apa yang mau ditontonnya? Semangat anti komunsime, atau anti PKI?

PKI sebagai partai politik sudah resmi dibubarkan. Komunisme? Ideologi ini diberbagai negara tidak laku, termasuk di Cina dan Rusia. Menghidup-hidupkan hantu komunisme, menunjukkan ketidakmampuan menemukan cara mengajak bangsa ini menjadi manusia pembelajar. Lebih celaka lagi, jika tujuannya ternyata hanya untuk memberi justifikasi; bahwa ideologi agamaisme silakan masuk, untuk mendelegitimasi capres yang kebijaksanaan politiknya merugikan kelompok pendukung yang ngajakin nobar film  G30S.

Menteri Penerangan Yunus Yosfiah, dalam kabinet Presiden BJ Habibie, September 1998 menyatakan; pemutaran film  bernuansa pengkultusan tokoh, seperti film Pengkhianatan G30S PKI, Janur Kuning, dan Serangan Fajar tidak sesuai lagi dengan dinamika reformasi.

Sekarang, kekuasaan yang dulu digulung Reformasi 1998, seolah sedang melakukan konsolidasi. Dan Partai Berkarya pimpinan Tomi Soeharto, juga ajakan Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin, dalam ajakan nobar film G30S mempropagandakan hal itu untuk ‘Melawan Lupa!”

Melawan lupa atau melawan ingat?

Jumat, September 07, 2018

Revolusi Mental Mentul dan Daya Kreativitas Bangsa


Belum lama lalu Jokowi berpidato soal perolehan 31 emas, yang katanya karena nasionalisme. Tentu kalah jauh dengan 3.226 barang (milik negara) yang digondol begitu saja. Tapi apa itu nasionalisme? Prabowo juga bisa mengurai hal itu, tetapi bagaimana kalau Indonesia bubar di tahun 2030? Atau dalam kutukan sebagai negara miskin?

Nasionalisme memang merupakan kesadaran politik. Tapi untuk sampai pada kesadaran itu, tentu saja dibangun dari kesadaran literasi. Ketika bangsa ini membangun imajinasinya mengenai negara bangsa, maka daya picunya adalah kesadaran literasi. Literasi juga bukan hanya dalam pengertian bacaan, melainkan juga kesadaran politik, yang dibangun dari literasi dalam paradigma baru. Bukan hanya sekedar kemampuan dalam mengolah dan memahami informasi saat melakukan proses membaca dan menulis. National Institute for Literacy, mendefinisikan literasi sebagai “kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat.”

Kini ungkapan literasi memiliki banyak variasi, seperti literasi media, literasi sains, literasi tempe, literasi sekolah, literasi politik, dan sebagainya. Maka gerakan literasi adalah gerakan mengeksplorasi, memberdayakan. Bukan mengeksploitasi, dalam konteks memperdayai. Di situ kita bisa melihat perbedaan gerakan Sandiaga dan Mardani Ali Sera dengan Kaesang Pangarep misalnya.

Ketika Sandi dan Sera menggerakkan partai emak-emak, entah lewat tagar 2019GP atau revolusi 3T (tempe, tahu, dan telor, yang ujung-ujungnya ganti presiden), dengan si anak culun Kaesang, yang membuat aplikasi madhang.com. Aplikasi itu, menggerakkan ibu-ibu tak bermodal dan tak punya tempat, tapi punya keahlian, dibukakan aksesnya untuk bisa berbisnis, mendapatkan hasil ekonomis dari keahliannya yang tak tersalurkan. Mana sesungguhnya yang lebih berpihak pada emak-emak? Di situ kita bisa melihat revolusi emak-emak sebagai “gerakan sosial” (yang dieskploitai) oleh generasi analog, atau “gerakan politik” model generasi milenial?

Itu adalah perihal kreativitas, dalam melihat persoalan dan mengatasi. Di situ gerakan kebudayaan jauh lebih berguna, daripada sekedar gerakan sosial yang manipulative (yang sebenarnya adalah gerakan politik praktis). Karena yang kita perlukan ialah bagaimana mengubah mainstream, mengubah mindset, dari soal sekedar tempe dengan kedelai impor, atau menginisiasi terjadinya diversifikasi tanaman pertanian kita, di mana produk makanan kita masih lebih banyak impor, sejak jaman Soeharto.

Meski jaman Soeharto pernah swa-sembada beras, tapi kebijaksanaannya dengan program intensifikasi, dengan pupuk buatan, telah menghancurkan kualitas tanah kita. Tanah menjadi mati, cengkar, dan butuh waktu puluhan tahun untuk mengembalikan. Kini menanam padi menjadi jauh lebih lamban dibanding jaman dulu.

Dalam soal pemberdayaan dan budi-daya pangan itu, kita masih lemah dan mengalami banyak kendala. Apalagi tak ada regenerasi petani di negeri ini, lebih karena mindset tentang orientasi dan status sosial kita. Butuh berapa lama untuk berubah? Tak cukup dengan 1, atau 2 periode presiden. Tetapi lebih butuh grand-design, garis besar haluan negara, yang konsisten dan dijalankan secara persisten. Tapi kita selama ini, ganti presiden ganti kebijaksanaan. Kita akan cemas lagi, kelak setelah 2024, setelah Jokowi selesai, bakal kayak apa Indonesia di tangan presiden baru? Kita belum bisa meniru Amerika, yang sudah berusia 200 tahun, untuk setia pada garis besar mereka, ‘Kebesaran Amerika’.

Kebesaran Indonesia, masih terbatas atau berbatas pada kebesaran presidennya, bukan kebesaran bangsa dan negara. Mangkanya, banyak capres-capres dari sejak mereka kampanye, hanya ngomongin kebaikan dan kebesaran diri sendiri. Belum lagi yang pakai mitologisasi, bahwa ia ingin mengisi hari tuanya dengan mengabdi pada negara. Dulu waktu muda ngapain? Maling? Nyulik?

Kebesaran Indonesia masih terjebak dalam kebesaran masing-masing pribadi. Megalomanian. Mengaku paling bisa menyelesaikan masalah. Paling mulia karena pilihan tuhan, tapi masih butuh dukungan kyai atau ulama, untuk memberikan legitimasi. Sibuk ngaku-ngaku keturunan Brawijaya, atau ngaku temennya orang-orang besar. Padahal semua itu tidak penting.

Ketika pemerintah telah menurunkan dana desa, dalam jumlah yang besar, apa yang bisa diperbuat masyarakat desa? Itu persoalannya. Sama persis dengan, maaf, ketika seniman-seniman Yogyakarta mendapat limpahan danais, apa yang diperbuat oleh mereka? Hanya semacam arisan, bantuan karitatif. Dan ketika anggaran dihapus (misalnya, kelak, nggak usah sensi), hancur-lebur kembali. Karena dana-dana itu tak berkorelasi dengan strategi, pendampingan, apalagi pemberdayaan. Tidak ada sistem dewan untuk melakukan kurasi, sehingga ada begitu banyak dana-dana pemerintah yang muspra, sia-sia, apalagi ditambah KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme).

Mantra Sukarno,  bahwa ‘rakyat kuat negara kuat’ itu mestinya yang didorong, tanpa harus memanipulasi demokrasi adalah rakyat berdaulat. Faktanya bagaimana? Kita masih mengagungkan superhero. Kelas menengah kita, mereka yang juga terdidik, masih saja mimpi soal Ksatria Piningit dengan segala mitologisasinya. Padahal dalam abad yang  berubah, pada revolusi industri 4.0, yang kita perlukan adalah manajemen yang sinergis. Kepemimpinan yang mendengarkan, kepemimpinan androginis yang mampu mendengar dan menjadi konduktor lahirnya sebuah orkestrasi. Sementara kepemimpinan yang macho, mutlak-mutlakan model Orde ‘Soeharto’ Baru, sama sekali makin tak relevan.

Kita berada di ranah perubahan. Tetapi kita tak membutuhkan gembar-gembor soal revolusi rakyat. Kita lebih perlu mendorong evolusi rakyat, yang sayangnya memang tak bisa dengan jalan revolusi mental. Pada sisi itu, kesadaran mengembangkan daya literasi, adalah jalan kebudayaan. Bagaimana sistem pendidikan dikembangkan, bukan hanya di sekolah formal, melainkan di masyarakat itu sendiri. Dari dalam rumah sendiri. Masing-masing.

Kalangan emak-emak, tak perlu dieksploitasi turun ke jalan, hanya untuk menuntut harga tempe atau telor. Lebih penting dari itu, bagaimana secara evolutif memproses lahirnya generasi baru Indonesia. Melalui gerakan literasi, seperti tumbuhnya ruang-ruang belajar bersama, home-schooling. Atau bahkan seperti ibu mendongeng kepada puteranya, adalah sesuatu yang mudah dijalankan kaum ibu di mana pun pada generasi penerusnya. Tidak butuh proposal, kecuali kreativitas untuk tumbuhnya peradaban baru.

Kita sebenarnya nggak ada urusan dengan ganti presiden atau tetap presiden. Apalagi ajakan gemblung untuk melakukan Perang Badar, dan sejenisnya. Apalagi yang mengorasikan adalah para perempuan bekas pemain teater, yang kemampuan aktingnya tak bisa menutupi agenda rahasia mereka.

Kreativitas adalah they were able to connect experiences they’ve had and synthesize new things, ujar Steve Jobs (1955 – 2011). Kreativitas terjadi karena mereka mampu menghubungkan pengalaman yang mereka miliki dan membuahkan hal baru. Mau? Jika mau, maka ubahlah sudut pandang. Dari negatif ke positif. Bisa habis waktu hanya untuk menegasi segala yang sama sekali tak kita mengerti, apalagi menguasai. Hanya asal bukan dia! Itu kampret sekali.

Selasa, September 04, 2018

Partai Emak-emak, Mendongenglah untuk Perubahan

Kaum ibu dan anak-anak, adalah kunci perubahan. Dengan cara terlibat politik praktis? Tidak! Sesuai marwah kaum ibu, bukan pada ranah ‘revolusioner’ melainkan ‘evolusioner’, yakni pendidikan sebagai jalan tumbuhnya peradaban.

Pada masa kini, jargon negara makmur karena kekayaan sda (sumber daya alam), sudah bukan jamannya lagi, jika bukan klaim yang menyesatkan. Apalagi, ketika sda habis dan hancur, karena sdm (sumber daya manusia) yang salah urus, salah kelola, salah niatan, hingga habis, dan generasi berikutnya tak kebagian apa-apa. 

Lahirnya negara miskin, antara lain juga karena kualitas sdm yang rendah, juga daya literasi rendah. Akibatnya pada daya imajinasi dan kreativitas yang rendah. Hingga semua itu berujung pada produktivitas, partisipasi, dan daya saing, yang juga rendah.




Dari sekian data indeks prestasi negara-negara makmur, ukurannya adalah kualitas sdm. Jepang dan Swiss contohnya. Jepang 80 persen pegunungan. Tak cocok untuk pertanian. Tapi negara ini mengimpor bahan mentah dari seluruh dunia, dan mengekspor produk manufaktur ke seluruh dunia. Swiss lebih ekstrim lagi, tidak menanam cokelat tetapi menghasilkan cokelat terbaik dunia. 

Darimana semuanya itu? Dari indeks prestasinya yang bertumpu pada kualitas manusia, sdm-nya. Individu yang berkarakter, mandiri, punya daya literasi dan imajinasi. Dari sana lahirlah kreativitas, inovasi, sampai kemudian inisiasi, kreasi, dan partisipasi. Semua dibangun dari proses pendidikan dan kebudayaan.

Kekuatan sebuah bangsa bergantung pada integritas rumah tangganya, berkata Konfusius. Bagi filsuf China yang hidup 500 SM ini, “Guna mengatur dunia, pertama-tama kita harus mengatur bangsa. Mengatur bangsa, pertama-tama kita harus mengatur keluarga. Mengatur keluarga, pertama-tama kita harus mengembangkan kehidupan pribadi kita; yakni pertama-tama kita harus menempatkan hati kita secara benar.”

Nusantara Raya ini kaya dengan sumber daya literasi yang luar biasa, yang akan menjadi sumber referensi bagi pengayaan generasi. Kita mulai dengan yang kecil, dengan “Seharian Jakarta Mendongeng”, yang diselenggarakan Lembaga Seni & Sastra Reboeng bekerjasama dengan Perpustakaan Nasional R.I., di Gedung Perpusnas Jakarta, 28 Oktober 2018, dari sejak jam 08.00.

Anda bisa berperanserta dalam gerakan-gerakan kecil ini, menuju gerakan yang lebih besar lagi. Menjadikan Indonesia mendongeng Mendongeng, untuk tumbuhnya karakter baru bagi generasi baru Indonesia. Generasi yang tak pesimistis, yang siap berubah, yang berbeda-beda tetapi dalam kebersamaan dan persaudaraan.

Dari dalam rumah kita, kita mulai evolusi mental itu. Bukan revolusi mental. Sesuatu yang kecil, keseharian, tetapi nyata. Mendongeng pada anak-anak kita, berkomunikasi lintas generasi. Mulailah dari dongeng, karena menurut HC Andersen, “Hidup itu sendiri adalah dongeng yang menakjubkan.” Dan setiap manusia, dilahirkan sebagai pendongeng.

Senin, September 03, 2018

Paradoks Capres Indonesia

Pada tahun 1958, ketika Indonesia dipilih menjadi penyelenggara Asian Games ke-4 pada 1962, Presiden Sukarno pun ngebut membangun infrastruktur. Apa yang kini disebut Stadion GBK (Gelora Bung Karno), menjelaskan bagaimana gelora semangat Indonesia waktu itu. Menjadi bangsa dan negara yang berkelas, mampu bersaing, dan bermartabat.

Hingga kemudian 58 tahun sudah, stadion itu masih berdiri megah, dan tetap sebagai stadion termegah di kawasan Asia, yang mempesona sampai ketika penyelenggaraan Asian Games 18 ketika Indonesia kembali menjadi tuan rumah pesta olahraga bangsa-bangsa Asia itu. Karena jika tak memiliki infrastruktur, bagaimana bisa menyelenggarakan event international, sementara pada waktu itu kita sama sekali tak punya berbagai fasilitas modern, untuk olahraga sekali pun. Itu juga, Jokowi pun kemudian mengatakan; tanpa pembangunan infrastruktur, mustahil kita bisa berkompetisi dengan negara-negara lain.

Bukan hanya stadion GBK, tetapi juga jalan MH Thamrin, Gatot Soebroto, Jembatan Semanggi, Hotel Indonesia, dan berbagai landmark patung-patung karya seniman Indonesia, di beberapa titik-titik kota Jakarta, sampai sekarang tetap gagah menjadikan Jakarta pantas menyambut para tamunya. Semua karena mimpi Sukarno, sebagai bangsa besar di antara bangsa-bangsa Asia. Bahkan jika rencana pembangunan Bung Karno tak dijegal Soeharto, dengan Peristiwa 1965, maka pada tahun 1975, sebagaimana proyeksi Sukarno, Indonesia akan melampaui Jepang.

Mimpi itu tak tewujud, karena setelahnya, pemerintahan Soeharto dengan nama Orde Baru, mencoba menghapus jejak Sukarno. Dan kemudian endingnya, setelah 32 tahun kekuasaannya, Soeharto jatuh meninggalkan berbagai masalah, termasuk utang luar negeri. Pada situasi itu, tiba-tiba muncul paradoks Indonesia, dalam bentuk pesimisme Prabowo Subianto, yang mengutip sebuah novel fiksi, bahwa Indonesia akan bubar pada 2030. Juga, pernyataan terbarunya, kita akan berada sebagai bangsa yang dikutuk kemiskinan abadi.

Tapi, jika demikian halnya, mengapa seseorang bisa sangat ambisius mencapreskan diri? Karena senyampang itu, ia ingin mengatakan, “dengan nasionalisme yang tinggi, maka saya terpanggil untuk berkuasa!” sebagai pidato pencapresannya pada Agustus 2018.

Caranya? Berada di barisan oposisi, Prabowo memilih peran antagonis. Pilihan yang blunder karena tergesan ia sendiri tak punya alternatif. Ia mendelegitimasi pemerintahan yang sedang berjalan dengan klaim-klaim kegagalan. Apakah nilai rupiah yang terpuruk, pertumbuhan ekonomi lamban, angka pengangguran, bahkan kemudian angka utang luar negeri yang juga naik. Dan ketika pernyataan-pernyataan itu dilakukan secara sepihak, bukan dari sebuah kajian kritis yang fair, semuanya menjadi buruk adanya. Itu semua adalah wajar dalam sebuah kontestasi politik yang buruk. Dan karakter politik kekuasaan, berbeda dengan politik hati-nurani, memang selalu buruk.

Mimpi dan Optimisme. Sejarah peradaban kita, selalu mencatat negeri ini berdiri karena optimisme. Sebagian besarnya dibangun dari mimpi, sebagaimana Bung Karno dulu mengobarkan semangat kemerdekaan. Imagination, imagination, imagination, teriak Bung Karno untuk bangsa semeter kurang sedepa ini. Dan seperti ujar John Lennon, mimpi seorang diri bukanlah impian, tetapi mimpi yang diimpikan bersama itulah kenyataan.


Ketika Jokowi menargetkan 16 emas, dan masuk 10 Besar dalam Asian Games 18 pada Agustus 2018, seorang yang pesimis meski pernah jadi Menpora sekalipun, akan mengatakan target itu tidak realistis. Kenyataannya menjadi makin tidak ‘realistis’ ketika ternyata mendapat 31 emas, dan masuk ke 4 besar. Karena kehilangan kata-kata, kelompok oposan diwakili Fadli Zon, dengan enteng mengatakan; “Pemerintahan harus segera memenuhi janji untuk mencairkan hadiah para atlit.” Omongan jajaran Ketua DPR ternyata cuman kayak gitu.

The pessimist complains about the wind; the optimist expects it to change; the realist adjusts the sails, ujar William Arthur Ward (1921-1994) penulis dari AS. Kaum pesimis mengeluhkan embusan angin; kaum optimis mengharapkan angin itu berubah; kaum realis menyesuaikannya dengan layar. Dan yang lebih edan lagi, bagi Rene Descartes, “Seorang optimis melihat sebuah cahaya ketika kegelapan, tapi mengapa orang pesimis harus selalu menghilangkan cahaya itu?”

Dengan mengatakan Indonesia akan bubar, apakah variable utang luar negeri itu sebagai penyabab utamanya? Utang Indonesia dari luar negeri, selama ini menjadi fokus kritik dan bulan-bulanan bagi upaya-upaya pendelegitimasian pemerintahan. Di atas meja dan dalam ruangan yang tenang, hal ini bisa dijelaskan secara baik pada proporsinya. Karena fluktuasi utang itu dihitung sebagai utang negara, bukan utang pemerintah-per-pemerintah, dan apalagi utang masing-masing presiden. Dari sana akan jelas perjalanan utang luar negeri kita, dari sejak jaman Sukarno, Soeharto, hingga sampai Jokowi. Kita akan melihat angka-angka dengan jelas, siapa sesungguhnya yang memanipulasi data dan angka, hanya demi menjatuhkan kredibilitas presiden satu dan lainnya.

Bahkan, di jaman banyak pengamat ini, pemerintahan era Presiden Jokowi dinilai hampir sama dengan era ‎Soeharto. Mereka dianggap sama-sama mencetak utang yang besar. Jika Soeharto dihitung meninggalkan utang USD 53,8 miliar, untuk satu tahun (2018) ini , pemerintah Jokowi menurut data Bank Dunia baik dari penjualan obligasi, sekuritas, maupun pinjaman langsung, sudah mencapai Rp 569 ‎triliun, atau jika dipukul-rata menggunakan kurs berlaku saat ini, nilai utang 30 tahun Soeharto hanya lebih sedikit dengan 1 tahun utang Jokowi. Jika kursnya dihitung berbeda sesuai zamannya, utang Jokowi dua kali lipat dari utang Sukarno. Perbandingan yang adil?

Presiden dari Utang ke Utang. Membandingkan utang satu presiden ke presiden lainnya, tentu saja tak adil. Terlalu simplistis jika hanya berkutat pada angka-angka. Bukan pada nilainya, baik nilai rupiah maupun nilai penggunaan, serta persoalan-persoalan peripheralnya.

Pemerintahan Jokowi masih menerima utang warisan pemerintahan sebelumnya, dan dengan perimbangan anggaran pendapatan dan belanja yang belum tercapai, pemerintahan Jokowi  masih memerlukan utang pula. Tapi benarkah pemerintahan Jokowi raja utang? Untuk itu, kita bisa meninjau besaran utang tiap pemerintahan selama Republik Indonesia berdiri.

Tradisi utang agaknya diwarisi dari pemerintahan sebelum Indonesia merdeka. Yakni pada pemerintahan Hindia Belanda yang meninggalkan warisan utang senilai US$4 milliar. Pemerintahan Sukarno sendiri mempunyai utang Indonesia senilai US$2,3 miliar.

Utang pemerintah Republik Indonesia, bertambah menjadi US$ 67.328 milyar dalam rezim kekuasaan Soeharto. Dengan kurs US$ 1 sama dengan 10.000 rupiah, berarti utang era Soeharto sebesar Rp673,28 trilyun. Berapa coba, jika nilai kurs kita pakai angka Rp 14,700 seperti sekarang ini.

Pada masa pemerintahan BJ Habibie, utang Indonesia menjadi US$75.862 milyar,  setara dengan Rp758,62 trilyun. Pada jaman Presiden Abdurrahman Wahid, utang Indonesia turun menjadi US$72.197 milyar, atau Rp721,97 trilyun. Sementara pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri, data Statistik Utang Luar Negeri Indonesia Volume I Februari 2010, menunjukkan pemerintahan Megawati meninggalkan utang sebesar US$83,296 milyar, atau setara Rp832,96 trilyun. Harap diingat, tinggalan utang (yang tertunggak) itu bukan berarti besaran nilai utangan yang diajukan pemerintahan berjalan, melainkan akumulasi dari warisan utang yang belum terbayar pada pemerintahan sebelumnya, dan besaran utang yang dilakukan oleh pemerintahan yang sedang berkuasa.

Maka kita bisa melihat, bagaimana pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang memerintah selama dua periode. Peningkatan utang pemerintah tercatat cukup besar. Pada periode pertama (berakhir 2009), utang pemerintah tercatat US$98.859 milyar atau Rp 968,59 trilyun. Kemudian pada bulan Juli 2014, ketika pemerintahan SBY hendak mengakhiri periode kedua, utang luar negeri melejit menjadi US$ 134.150 miliar atau Rp1.341,5 trilyun.

Selama 10 tahun pemerintahan SBY, telah membuat utang pemerintah bertambah Rp508,23 trilyun dari Rp832,92 trilyun menjadi Rp1.341,15 trilyun. Itu baru utang pemerintah. Apabila utang swasta juga diperhitungkan, sesuai data DJPU Kementerian Keuangan selama 10 tahun menjabat (sejak 2014), pemerintahan SBY telah menambah utang luar negeri menjadi Rp1.232,31 triliun, naik 94,82 persen hingga Agustus 2014. Angka tersebut terlihat dari posisi utang Desember 2004 sebesar Rp1.299,5 triliun hingga Agustus 2014 sebesar Rp2.531,81 triliun.

Ketika pemerintahan SBY mengakhiri masa jabatannya Oktober 2014, data BI menunjukkan utang luar negeri Indonesia tembus USD 294,5 miliar, setara dengan Rp 3.727 triliun. Penambahan utang paling dahsyat memang terjadi di era SBY. Kini (2018), BI mengungkapkan utang luar negeri Indonesia mencapai Rp4.234 triliun.

Memang, berutang merupakan pilihan terburuk sebuah bangsa dalam melakukan pembangunan. Banyak negara akhirnya berjuang menghapus utangnya tatkala tak mampu membayarnya, seperti halnya Argentina. Dan tatkala pemerintahan Jokowi masih berutang, hal itu memang patut disesalkan. Tapi utang negara, yang akumulatif dan fluktuatif, tentu harus dilihat teliti, karena bukan utang orang-per-orang atau presiden-per-presiden.

Gubernur Bank Indonesia (BI), Ferry Warjiyo, mengomentari jumlah utang luar negeri (ULN) Indonesia, pada akhir April 2018 berada pada angka US$356,9 miliar atau setara dengan Rp 4.996,6 triliun (kurs Rp 14.000 per dollar AS). ULN tersebut masih dalam kategori aman dilihat dari rasio produk domestik bruto (PDB). Jangan dilihat nominalnya, sebab ukuran ini relatif. Satu dollar AS sekarang berbeda dengan satu dollar AS 10 tahun lalu.

Utang luar negeri pemerintah memakan porsi anggaran negara (APBN) yang terbesar dalam satu dekade terakhir. Jumlah pembayaran pokok dan bunga utang hampir dua kali lipat anggaran pembangunan. Memakan lebih dari separuh penerimaan pajak. Pembayaran cicilan utang sudah mengambil porsi 52% dari total penerimaan pajak yang dibayarkan rakyat sebesar Rp 219,4 triliun. Jumlah utang negara Indonesia kepada sejumlah negara asing (negara donor) di luar negeri, pada posisi finansial 2006 mengalami penurunan sejak 2004 lalu. Utang luar negeri Indonesia kini 'tinggal' USD 125.258 juta atau sekitar Rp1250 triliun lebih.

Lima kali pergantian presiden, nampaknya belum mampu mengantar Indonesia keluar dari lilitan utang. Bukannya membawa Indonesia keluar dari utang, masing-masing presiden justru melanjutkan tongkat estafet warisan utang untuk presiden selanjutnya. Indonesia semakin terperangkap dalam kebiasaan utang. Jangan heran jika Indonesia seakan sulit melepaskan dari jerat utang. Kebiasaan berutang sudah dimulai sejak republik ini masih seumur jagung.

Presiden Jokowi pernah menjelaskan di awal pemerintahannya, posisi utang mencapai Rp 2.700 triliun sebagai warisan pemerintahan SBY. Tiap tahun jumlah yang harus dibayar Rp 250 triliun. Dengan kondisi itu, Jokowi meminta penyusunan RAPBN 2018 terfokus pada sasaran-sasaran yang ingin dicapai pemerintah, yaitu bidang infrastruktur, pengentasan kemiskinan dan mengurangi kesenjangan. Upaya penghematan dan efisiensi anggaran, harus tetap diperketat.

Warisan utang itu tentunya menjadi beban tersendiri bagi pemerintah. Wajar saja, sebab pemerintah harus membayar utang senilai Rp250 triliun setiap tahunnya. Lantas, bagaimana dengan daya kemampuan dari pendapatan negara? Jika pemerintah Jokowi terpaksa berhutang, karena beban-beban pembelanjaannya. Pembangunan infrastruktur, terpaksa harus dilakukan karena pemerintah sebelumnya (dengan nilai utang per-pemerintah yang besar), tidak melakukan hal itu. Sementara pembangunan infrastruktur menjadi penting, sebagai bagian dari cara untuk memperbesar target pendapatan negara.

Politisasi Utang Luar Negeri. Tetapi dalam dunia politik, ruang-ruang penjelasan semacam itu, akan dihindari pihak-pihak yang mencoba mengkritisi pemerintah, dan lebih-lebih kelompok oposan. Jika 2019GantiPresiden agresif membuat berbagai deklasrasi di ruang-ruang terbuka, bukan dengan argumentasi tetapi memakai cara agitasi sebagai gerakan politik.


Dengan demikian, isu utang membesar sebagai bentuk kegagalan pemerintah, akan terlihat dominan.  Dengan manipulasi data, dan kebohongan yang terus-menerus dibangun, sebagaimana anjuran Hitler, hal itu akan dipercaya publik yang lapar dan marah. Dalam praktik politik, segala cara bisa halal.

Padahal seperti mengelola keuangan rumah-tangga, biaya pengeluaran dan pemasukan dengan gampang bisa dilihat. Ketika kita terpaksa utang (sebagaimana pemerintahan sebelumnya), semua tentu terletak pada rasionalisasinya. Untuk apa dan bagaimana? Ini persoalan yang sebenarnya mudah dijelaskan, dengan bahasa sederhana. Namun kita cenderung tidak proporsional, atau tidak adil sejak dalam pikiran, seperti kata Pram (yang sekarang diubah menjadi: Tidak adil sejak dalam capres pilihan).

Klaim tentang negara kaya tetapi penduduknya miskin, selalu didengungkan untuk mendiskreditkan pemerintah. Pandangan menyesatkan ini, sebagian besar diterima dalam logika masyarakat kita, karena pemahaman tentang sistem politik dan sistem ekonomi yang lemah atau tidak ada sama sekali. Seolah negara hanya karena kebijaksanaan Presiden, yang pada kenyataannya dalam sistem politik kita diikat begitu banyak aturan, dimana quasi parlementer begitu sangat digdaya.

Sementara Presiden untuk keseimbangan antara pengeluaran dan pemasukan, perlu menggenjot kinerja ‘perusahaan rumahnya’. Untuk bisa menggerakkan bukan hanya sektor makro, melainkan juga sektor ekonomi real masyarakat, Presiden dan kabinetnya tak bisa bekerja sendiri. Semua komponen negara, termasuk di dalamnya rakyat, harus berada dalam aturan, sistem, infrastruktur, suprastruktur, utnuk bekerja sama.

Ukuran Kemajuan Adalah Manusianya. Kemajuan sebuah negara, ukurannya bukan lagi sda (sumber daya alam), melainkan lebih terletak pada sdm (sumber daya manusia) di mana terletak pula kualitas manusianya, baik berada dalam struktur pemerintahan yang dipercaya, maupun pada masyarakatnya sendiri.

Dalam ukuran dan data negara-negara maju, persoalan kualitas sdm menjadi sangat penting dan dominan. Yakni terutama pada karakter, sikap, dan perilaku masyarakatnya. Baik itu berkait daya saing, kualitas sdm, tingkat edukasi dasar dan daya literasi, kreativitas, inovasi, serta produktivitasnya.

Kita melihat kenyataan-kenyataan yang mengerikan. Misal, begitu banyak wakil rakyat yang tertangkap karena korupsi. Bahkan di beberapa daerah, di atas 80 persen wakil rakyat ditangkap KPK karena korupsi. Belum lama lalu, baru sekitar 7 bulan diangkat sebagai menteri, Idrus Marham menjadi tersangka kasus korupsi.

Kwik Kian Gie, yang kini menjadi timses Prabowo, dulu ketika masih di PDIP yang beroposisi dengan pemerintahan SBY, pernah mengatakan jika saja 30% uang korupsi bisa dikembalikan ke negara, ekomomi kita akan sangat tertolong. Kita tidak tahu, berapa nilai dari 30% itu, sehingga kita bisa bayangkan, berapa sesungguhnya duit yang dikorupsi.

Upaya penegakan hukum, yang menjadi syarat mutlak pemerintahan yang bersih, juga masih terkendala dengan kinerja lembaga judikatif. Bukan hanya jaksa dan hakim, bahkan dalam lembaga tinggi negara seperti Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, tak luput dari perilaku koruptif. Beberapa petinggi lembaga tinggi itu, kini beberapa berstatus sebagai napi korupsi.

Dalam posisi itu, membangun Indonesia adalah nonsens jika hanya memposisikan Presiden sebagai segalanya. Presiden memerlukan rekanan kerja, baik dari Parlemen (legislatif) juga lembaga lain seperti MA dan MK (judikatif), dan lembaga-lembaga negara lain seperti misalnya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan KY (Komisi Yudisial), untuk munculnya pemerintahan  yang bersih, efektif dan efisien, sebagai tuntutan global.

Hal tersebut menjadi syarat mutlak, untuk mewujudkan bukan hanya clean governement, melainkan juga menumbuhkan iklim ekonomi atau iklim investasi di tingkat lokal, nasional dan global. Di situ Presiden bukanlah segala-galanya. Tetapi bagaimana dalam sebuah orkestrasi pembangunan, semuanya terlibat, bahu-membahu, tetapi juga dengan niatan yang sama, yakni membangun Indonesia. Bukannya mencegat di tengah jalan, atau mencuri dalam lipatan. Dan itu sungguh persoalan kita, karena persatuan hanyalah kata-kata lamis.

Dalam sebuah tulisannya yang syahdu, Onghokham (Sukarno: Mitos dan Realitas, dalam Manusia dalam Kemelut Sejarah. 1979), menuturkan:  Sukarno sendiri insaf, bahwa dia hanya seorang diri. Setelah bulan September 1965, Presiden Sukarno dalam salah satu pidatonya mengatakan; “... Apa yang bisa saya buat? Dari permulaan saya dikelilingi suatu pemerintahan,...”

Apa maksudnya? Soal bagaimana akselerasi bangsa dan negara dalam perubahan-perubahan. Yang dimaksudkan di sini adalah “dengan suatu establishment”. Elite baru Indonesia oleh Sukarno secara bersendagurau sering disebutnya sebagai  orang-orang yang berlaku seperti pemegang saham, dalam sebuah perseroan terbatas, yang namanya Republik Indonesia.

Akselerasi Demokrasi dan Partisipasi. Yang demikian mencolok mengenai Sukarno, adalah dia berdiri sendirian. Tidak dikelilingi oleh kawan-kawan seperjuangan yang sebanding. Sukarno tidak memiliki tangan kanan dan tangan kiri yang terpercaya, kecuali (mungkin) pada akhir-akhir kekuasaannya. Untuk itu Sukarno hanya memiliki sekutu-sekutu, fraksi-fraksi, teman atau pengikut, serta para pengagum dan bukannya partner.

Persis seperti Jokowi ketika mencanangkan Revolusi Mental. Akhirnya Jokowi pun mental (e dibaca seperti dalam kata ‘beban’) sendiri. Karena gagasannya tidak begitu nyaman bagi sebagian besar masyarakat kita, yang akselerasinya rendah. Di mana tingkat kompetensi dan kompetisinya juga parah. Belum lagi sikap malas, atau pun juga korup, yang melanda hampir semua kelas. Kita melihat kasus tragis yang dialami Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta (2017). Ia bahkan mungkin diposisikan sebagai common enemy, lebih karena gagasan-gagasan perubahannya yang begitu cepat dan drastis.

Jokowi dalam sebuah pidato di kampus Universitas Indonesia (2018), menantang perguruan tinggi untuk segera beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Bukan hanya sekedar metoda pengajaran, melainkan juga program studi, kurikulum, bahkan lembaga riset dan laboratoriumnya. Intinya adalah dunia berubah menghadapi apa yang dinakan revolusi industri 4.0. Jika kaum akademisi tak berubah, omong kosong tentang peningkatan kualitas sdm yang kompeten dan kompetitif itu.

Bung Karno begitu bangga dengan kosakata ‘gotong royong’, yang merupakan intisari sila-sila Pancasila. Namun ia boleh kecewa melihat kenyataan hari ini. Ketika politik demokrasi kita, dalam hal pilpres misalnya, walaupun rakyat memilihnya langsung, tetapi masih dalam demokrasi paling awal. Bukan hanya sekedar normatif, prosedural, formal, melainkan masuk dalam jebakan eksploitasi, dan bukannya eksplorasi.

Pilpres kita masih kayak jaman Ken Arok merebut kekuasaan raja Kediri. Penuh intrik dan bunuh-bunuhan, hanya karena kepercayaan bahwa sang calon raja (presiden) adalah keturunan ini dan itu. Kita tak pernah melihat soal track-record, kinerja, juga reputasi dan prestasi, apalagi gagasan, betapapun palsunya.

Bahkan dalam perbandingan Jokowi dan Prabowo pun, masyarakat bisa terbelah dalam hitam dan putih sebegitu tajam. Siapa yang bermain dalam hal ini? Hingga bahkan, para elite nasional kita, para politikus, dan kaum oligarkis, seolah tidak takut lagi memerankan karakter-karakter antagonis. Bahkan hal itu tampak disengaja, dan nyatanya mendapat dukungan masyarakat juga. Masyarakat yang mana?

Air Kotoran Atap ke Pelimbahan. Apa pun yang kita cari, di mana pun, dan juga dalam situasi seperti apapun serta bagaimana pun cara, segala sesuatunya akan sangat tergantung kejernihan kita. Air yang kotor, tak pernah bisa memperlihatkan apapun, selain hanya memberikan ruang persembunyian. Bisa jadi ia menenteramkan, namun hanya sejenak, sekiranya tak jadi megap-megap kehabisan oksigen.

Semua membutuhkan waktu, untuk melihat semuanya mengendap. Segala debu dan kotoran, perlahan akan membukakan pintu, untuk menjadikan air dan udara jernih. Mereka yang mengikuti ego dan emosinya, kata pepatah Melayu, akan kehilangan adabnya. Karena berenang di air kotor, bukan hanya membuat kita tak bisa melihat, melainkan juga makin membuat dada kita sesak. Reformasi 1998, ketika Soeharto longsor, sebetulnya belumlah lama berlalu. Masih hangat dalam ingatan, namun betapa kita cepat melupakannya.

Jika pemilihan presiden sebagaimana yang dikatakan Herbert Feith, hanya berhenti pada pesona personalitas belaka, mungkin seperti halnya sebuah kontestasi untuk mencari seorang pria metro-sexual, sebagai pembacaan mereka atas apa yang dinamakan generasi milenial dan partai emak-emak. Politik hanya sekedar remeh-temeh seperti itu. Sama sekali tak menyangkut pada substansi kepemimpinan. Berupa kebijaksanaan, kejujuran, dan nilai-nalai kemanusiaan.

“Lihatlah politisi kita. Mereka adalah sekumpulan yoyo,” ujar Saul Bellow, sastrawan AS pemenang hadiah Novel Sastra. “Merebut posisi presiden sekarang adalah satu persilangan antara kontes popularitas dan debat anak SMA, dengan ensiklopedi yang terutama berisi kata-kata klise.”
Dan kita akan mengulang-ulang kisah lama, “Apa yang diajarkan pengalaman dan sejarah, adalah ini: rakyat dan pemerintah tidak pernah belajar sesuatu dari sejarah, atau bertindak tidak berdasarkan prinsip,” seperti ditulis George Wilhelm Hegel, filsuf Jerman.

Itu semua lebih karena system politik kita yang elitis, yang memiliki ketergantungan pada kaum elite. Dan ketika system politik elitis masih dalam tataran prosedural formal, masih berada dalam ranah eksploitasi (hanya memanfaatkan, dan karena itu manipulative), ia tak pernah mampu mengeksplorasi masyarakat, untuk tumbuh dan berkembang, apalagi kritis. Dan lagi-lagi, kita akan minum air cucuran atap di pelimbahan sebagai air comberan.

Bahkan lebih gila lagi, ketika engkau tidak peduli, “Sembilan puluh delapan persen orang dewasa di negeri ini adalah terhormat, pekerja keras, dan jujur. Hanya sekitar dua persen yang jelek, yang mendapatkan publikasi. Tetapi, kemudian kita memilih mereka,” celoteh Lily Tomlin, sang pelawak.

Sunardian Wirodono, dari berbagai sumber
Yogyakarta, 3 September 2018

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...