Kebudayaan
hilang bukan karena evolusi tapi karena ketamakan. Meskipun kehancuran
sudah di depan hidung, masyarakat seolah membiarkan. “Kita tidak cukup
marah. Kita perlu mengubah sikap dan tegas,” ujar Karlina Supelli,
perempuan filosof lulusan Universitas Indonesia, dalam pidato
kebudayaannya, Senin 11 Nopember 2013 di Teater Jakarta, Taman Ismail
Marzuki, Jalan Cikini Raya No 73, Jakarta Pusat.
Karlina
Rohima Supelli atau lebih dikenal sebagai Karlina Supelli (lahir di
Jakarta, 15 Januari 1958; umur 55 tahun) adalah salah satu filsuf
perempuan Indonesia.
Karlina menempuh pendidikan sarjananya di
bidang astronomi, ITB. Karlina memiliki minat yang dalam terhadap
fisika, matematika dan metafisika. Selain itu ia juga memiliki perhatian
akan isu-isu kemanusiaan. Pada 19 Februari 1998, ia memimpin
demonstrasi bersama Aktivis Suara Ibu Peduli menuntut turunnya harga
susu.
Karier akademisinya selanjutnya dicurahkan untuk Ilmu
Filsafat. Karlina memperolah gelar Doktor dari Universitas Indonesia
dengan Disertasi: Wajah-Wajah Alam Semesta, Suatu Kosmologi Empiris
Konstruktif di Universitas Indonesia (UI). Prof.Dr.Ing BJ Habibie
merupakan salah satu promotor disertasinya.
Sebuah pemikiran
yang menarik disimak dari pengajar tetap di Sekolah Tigggi Filsafat
Driyarkara, Jakarta, ini. Berikut pidato selengkapnya:
Kebudayaan dan Kegagapan Kita
Oleh: Karlina Supelli
Saudara-saudara yang terhormat, Salam Budaya,
Batang
Garing atau Pohon Kehidupan berbuah dan berdaun emas. Pucuknya runcing
menjulang ke langit seolah-olah menunjuk ke kuasa Ranying Mahatala
Langit yang menurunkan para leluhur ke Bumi(1). Di sekitar pohon
terlihat rupa-rupa bentuk. Tampak dua ekor ketam, masing-masing di kiri
dan kanan bagian batang yang dekat ke tanah. Saat kedua ketam
berpasangan, mereka beranakpinak banyak sekali. Lewat kecerdasan
menganyam perempuan-perempuan Dayak Ngaju menuangkan kisah asal muasal
mereka langsung dari ingatan menjadi selembar tikar rotan(2). Ketika
hutan menipis, rotan semakin langka.
Di Kalimantan Timur, perempuan
Dayak Benuaq memintal serat tanaman Doyo (Curculigo latifola) menjadi
benang, mencelupnya ke pewarna dari sari tetumbuhan lalu menenunnya
menjadi ulap (tenun) Doyo yang elok. Sudah beberapa belas tahun terakhir
ini perempuan-perempuan Dayak Benuaq kesulitan menemukan tanaman Doyo
yang hanya hidup di lantai-lantai hutan yang gelap dan lembap. Hutan
sekitar kampung beralih menjadi perkebunan raksasa monokultur, atau
habis terbabat untuk industri perkayuan atau bekas galian tambang yang
dibiarkan menganga meninggalkan kubangan raksasa.
Bagi banyak
masyarakat adat di Indonesia, hutan bukan sekadar sumber mata
pencaharian. Hutan terutama adalah acuan bagi rasa merasa akan kosmos,
sejarah muasal, tata hukum dan tunjuk ajar perilaku. Di atas tikar dan
tenun itulah terjalin kisah tawa dan airmata suku mereka serta adat
kebiasaan. Kita dapat menilik ukiran di Rumah Lamin masyarakat Dayak
Kenyah Datah Bilang Hulu di Kalimantran Timur untuk menemukan kisah
migrasi mereka menembus hutan dan meniti tepian sungai. Mereka berjalan
selama hampir satu abad sambil mengolah tanah untuk berladang. Kelekatan
dengan hutan, tanah dan sungai juga kita temukan dalam nyanyian panjang
Orang Petalangan, Bujang Tan Domang. Atau dalam tuturan Orang Amungme
tentang danau sebagai sumsum tulang, tanah sebagai tubuh dan gunung
sebagai kepala. Dari karya-karya budaya seperti itulah kita mengerti
bingkai pengetahuan dan sistem nilai yang melahirkan cara bertindak
terhadap alam serta sesama. “Sakola Hate,” demikian seorang tetua adat
Baduy Dalam menamakannya.
Dengan penggalan-penggalan pendek itu
marilah kita bayangkan Indonesia tiga puluh dua tahun yang akan datang,
pada peringatan seabad kemerdekaan. Itulah saat hutan di Kalimantan
diramalkan mendekati punah apabila laju pembabatan tidak berkurang—2-6x
lapangan sepak bola per menit. Itulah juga saat sebagian besar mineral
yang berharga serta minyak bumi sudah tersesap habis, kecuali ekplorasi
menghasilkan sumber-sumber baru terbukti di cekungan-cekungan ramalan.
Bersama kerusakan hutan dan lenyapnya puspa satwa, rupa-rupa intuisi,
imajinasi dan sumber-sumber pengetahuan tergulung pelan-pelan ke balik
kabut waktu.
Mungkin kita tidak perlu terlalu gelisah. Kita tidak
menyesali peradaban kuno yang punah lebih daripada kita menyesali mamut
yang juga sudah binasa, demikian pendapat filsuf Richard Rorty. Manusia
masa depan boleh jadi akan lebih baik dengan kemajemukan budaya hasil
persilangan yang kaya(3). Seperti mamut meninggalkan fosil, kebudayaan
meninggalkan jejak dan tradisi dari generasi yang sudah mati. Dia bagai
mimpi buruk yang menghantui benak generasi berikutnya. Masalahnya, kita
tahu bahwa kita bukan sedang berada di ruang akademis untuk
mempertarungkan gagasan tentang siapa sang pemenang dalam evolusi
kebudayaan. Kita berhadapan dengan persekongkolan untuk memperebutkan
apa saja yang bisa dijarah dari negeri ini. Lahirlah ironi berikut ini:
sementara kearifan lokal terus disanjung sebagai tradisi yang perlu
dirawat dan diwariskan, rujukan material-spiritualnya justru hancur
berantakan. Rupanya bukan tradisi itu sendiri yang ingin dibela,
melainkan citra tentang tradisi yang lebih mudah untuk dikemas dalam
pertunjukan.
Jerit Kepala adat besar Masyarakat Dayak Bahau pun
menggema sepanjang Mahakam, “hutan raya di sini adalah hidup kami …
dengan kehilangan hutan … kami akan kehilangan segalanya … Kami akan
mempertahankannya dengan nyawa kami”(4). Tentu merupakan suatu tragedi
apabila ramalan pelapor khusus PBB tentang Masyarakat Adat dan Hak atas
Pangan sungguh menjadi kenyataan(5). Pembangunan industri ketahanan
dengan membuka hutan seluas sejuta hektar di sekitar Merauke justru akan
meruntuhkan ketahanan pangan 50.000 anggota suku Malind dan sekitarnya.
***
Saudara-saudara yang terhormat,
Bagaimanakah
kita akan memahami isi dialog kebudayaan kita sekarang ini? Atau
mungkin pertanyaan itu keliru? Mungkin dialog itu sudah lama berhenti
dan kita terseret sajamengikut arah ke mana arus mendamparkan kita.
Alangkah sulitnya memenuhi undangan untuk menyampaikan Pidato Kebudayaan
ini.
Saya tidak fasih dengan kerumitan masalah-masalah kebudayaan,
apalagi kalau ditinjau dari realisasinya yang paling langsung dan kasat
mata, yaitu seni. Cukup lama saya menjadi peneliti bidang ilmu-ilmu
kealaman, khususnya kosmologi dan astrofisika. Sebuah bidang yang dalam
keluhan C.P Snow di kuliah terbuka 1959 di Universitas Cambridge, berada
di kutub berseberangan dengan humaniora atau ilmu-ilmu budaya. Tidak
adajembatan di antara keduanya. Snow mengkritik pola pendidikan yang
membentangkan jurang lebar di antara keduanya—a gulf of mutual
incomprehension(6).
Dari salah satu sisi jurang itulah terdengar
sindiran penyair William Blake kepada Newton sang begawan fisika jauh di
seberang, “May God us keep/From Single vision and Newton’s sleep!”
Blake menganggap Newton telah memicu cara pandang materialistik yang
menciutkan dunia ke visi tunggal. Sungguh berbahaya jurang itu, kata
Snow di bagian akhir kuliahnya. Ilmu dan teknologi akan melesat tanpa
dibarengi dengan perkembangan kebudayaan dan moral yang memadai, padahal
keduanya merupakan landasan material bagi hidup kita. Snow menutup
kuliahnya dengan sebuah himbauan,
Demi kehidupan intelektual ... demi
masyarakat Barat yang hidup kaya raya namun rapuh di tengah-tengah
kemiskinan dunia, demi kaum miskin yang tidak perlu hidup miskin
seandainya dunia cukup cerdas ... Menjembatani dua budaya itu adalah
sebuah keharusan, baik dalam arti intelektual maupun praktis. Ketika
keduanya terpisah, masyarakat tidak lagi dapat berpikir dengan bijak.
Bukan
karena himbauan Snow ketika akhirnya saya memutuskan belajar filsafat.
Kosmologi membawa saya jauh ke tepian semesta, ke sebuah masa ketika
kosmos masih berupa dawai-dawai energi yang orkestrasinya menghadirkan
ruang waktu beserta seluruh isinya, termasuk aneka gejala sehari-hari
yang kini menggelisahkan kita. Kosmologi, sebuah bidang perbatasan yang
membuat saya tidak dapat mengabaikan mitologi sekaligus tidak dapat
mengabaikan fisika dan matematika. Juga sebagai bagian dari ilmu-ilmu
kealaman kontemporer, kosmologi meneruskan kerinduan purba manusia untuk
memahami asal usulnya. Di situ saya terbentur pada corak antropologis
pengetahuan. Atau dengan ungkapan lebih sederhana, batas pengetahuan
manusia ketika berhadapan dengan kehendak yang selalu ingin mengetahui
lebih.
Pelan-pelan saya belajar. Di dalam tubuh saya, di antara
sel-selnya yang renik terdapat materi yang sama dengan yang terdapat di
ruang-ruang senyap antar bintang. Saya adalah alam. Tubuh saya patuh
kepada hukum gravitasi sama seperti benda-benda langit.
Tubuh saya
akan hancur terurai menjadi tanah dan debu. Suatu hari tubuh saya akan
kembali ke alam. Namun, saya juga belajar mengatasi hukum-hukum alam
yang deterministik sekaligus memanfaatkannya, dimulai dengan belajar
berenang lalu naik pesawat terbang.
Demikianlah ilmu-ilmu kealaman
membawa saya tertatih-tatih melalui jalan melingkar akhirnya sampai ke
pengertian kebudayaan. Filsafat membantu saya memahami, kelirulah kita
apabila melawankan alam dengan budaya. Kebudayaan adalah alam yang
membangun daya-daya bagi transendensi—alam yang melampaui kealamannya
sendiri(7) Hidup dalam kebudayaan adalah hidup terayun dalam tegangan
ini.
***
Ada masa ketika kebudayaan dipandang sebagai pencapaian tertinggi peradaban
dalam
menata rasa merasa, olah pikir dan laku bertindak agar sejalan dengan
nilai-nilai agung yang memantulkan kemanusiaan manusia—nilai-nilai
keindahan, keluhuran, dan kebaikan. Manusia bukan satu-satunya mahluk
yang mengolah alam. Tetapi dialah satu-satunya mahluk yang sekaligus
juga mengolah budi (mind; nalar hanyalah salah satu aspek budi). Dari
upaya mengolah tanah untuk bertahan hidup, kata agri-cultura mendapat
makna figuratifnya menjadi cultura animi. Seperti lahan subur yang tidak
membuahkan panen kecuali kita olah, demikianlah budi manusia tidak
menghasilkan apa-apa kecuali kita olah dengan tekun. Demikian keyakinan
Marcus Tullius Cicero, filsuf dan orator Romawi abad pertama sebelum
Masehi(8)
Kira-kira dua setengah abad sebelumnya, filsuf Yunani
Aristoteles melahirkan istilah koinonìa politikè dalam karyanya
Politicon (c. 335-323 SM). Para filolog sepakat bahwa istilah inilah
yang pada abad pertengahan diterjemahkan ke bahasa Latin menjadi
societas civilis, atau civil society. Kita menerjemahkannya menjadi
masyarakat warga atau masyarakat sipil. Apa hubungannya dengan
kebudayaan? Bagi Aristoteles, manusia yang sudah membangun kota (Yunani:
polis; Latin: civitas) dan hidup sebagai warga kota/negara (civis)
tidak lagi melulu mengikuti naluri alamiahnya dan bertindak semau-maunya
tanpa aturan. Warga akan bertindak sebagai komunitas politik yang
bertujuan mencapai kebaikan tertinggi bagi kehidupan bersama(9). Dari
civis, civitas lahirlah civilization.
Melalui sejarah yang panjang,
konsep-konsep tersebut berjalin dan tidak selalu memperlihatkan
batas-batas yang tegas(10). Para pemikir Eropa sampai akhir abad ke-18
masih menggunakan kata kebudayan dan peradaban secara saling bertukar.
Kebudayaan meliputi proses belajar dan pengejawantahan nilai-nilai
intelektual, spiritual dan estetik manusia sebagai mahluk yang beradab,
khususnya seni, sastra, filsafat, agama, ilmu pengetahuan, dsb.
Peradaban menandai proses dan hasil belajar tersebut. Dalam refleksinya
atas Revolusi Prancis, misalnya, Edmund Burke menulis, “sikap kita,
peradaban kita, dan semua hal-hal baik yang terkait dengan keadaban dan
dengan peradaban”(11).
Dipandu oleh semangat Pencerahan yang percaya
pada gagasan manusia universal, para pemikir Eropa percaya bahwa semua
manusia, kendati berbeda ras dan asal muasalnya, akan sampai ke tingkat
peradaban yang sama. Seolah-olah ada garis lempang—hukum sejarah—yang
akan membawa setiap kelompok masyarakat di dunia ke arah yang sama.
Tentu ada pengandaian bahwa kebudayaan tertinggi manusia terjelma dalam
kebudayaan Eropa. Dalam pengertian ini, baik kebudayaan maupun peradaban
sama-sama mengandung makna deskriptif dan normatif.
Kebudayaan dalam
arti normatif menunjuk ke kemampuan manusia mengatasi tegangan antara
determinisme alam dan peluang bagi kebebasan budi, antara naluri-naluri
yang buas dan pertimbangan etis. Peradaban dalam arti normatif menunjuk
ke bentuk-bentuk masyarakat yang telah tercerahkan oleh kemanusiaannya
sebagai lawan dari barbarisme. Darwinisme sosial yang berkembang abad
ke-19 tidak saja menjadi alat analitis, tetapi strategi untuk
menyebarluaskan peradaban Barat ke kawasan lain dunia. Sebuah misi
memberadabkan kelompok masyarakat yang dinilai barbar. John Stuart Mill
menuliskan pendapatnya dengan tegas, “Masyarakat ‘barbar’ perlu
ditaklukkan dan dikuasai oleh orang asing demi kebaikan mereka sendiri …
Orang-orang barbar tidak punya hak sebagai bangsa kecuali hak untuk
menerima perlakuan … yang akan membuat mereka beradab” (12). Tidak perlu
refleksi panjang untuk melihat kaitan gagasan di atas dengan pelunakan
kata kolonialisme menjadi misi pemberadaban.
Perjumpaan dengan
keanekaragaman kebudayaan di luar Eropa menimbulkan kegamangan di
kalangan ilmuwan dan para pemikir Barat. Ketika di Eropa berkumandang
ideal Pencerahan mengenai kesamaan martabat manusia universal, di
kawasan kolonial penduduk pribumi menerima perlakuan tidak manusiawi.
Kaum Romantisis melancarkan kritik yang keras terhadap rasionalitas dan
pengandaian sejarah linier manusia. Dari situ mereka membedakan konsep
kebudayaan dari peradaban, seraya menekankan bahwa kebudayaanlah yang
semestinya menjadi penanda bagi perkembangan manusia. Setiap masyarakat
mengembangkan cara hidup menurut bingkai pengetahuan dan perangkat
nilainya sendiri. Tidak ada narasi tunggal menuju satu model peradaban.
Kita tidak dapat membandingkan kebudayaan yang berbeda dengan mengenakan
tolok ukur yang berasal dari suatu kebudayaan. Para pemikir Jerman abad
ke-19 menggunakan kata Zivilisation untuk menunjuk ke konsep
utilitarian kebudayaan seperti teknologi, ekonomi, hukum, dll. Sedang
Kultur berisi pencapaian tertinggi aspek rohani dan intelektual seperti
sastra, seni, ilmu pengetahuan, dan agama. Dari bingkai inilah lahir
konsep kemajemukan dan relativisme budaya. Pada masa pascakolonial, yang
lain dan yang berbeda ini menuntut cerita-cerita kecil didengar
ketimbang kisah besar yang mau mendaku kesahihan universalitas. Dari
satuan- satuan kebudayaan itu lahir satuan-satuan politik. Kebudayaan
menjadi landasan jati diri suatu bangsa berdasarkan keterikatannya ke
tanah air, tradisi dan bahasa.
Ketika aspek deskriptif dan normatif
peradaban retak sehingga suatu peradaban tidak lagi dapat menjadi tolok
ukur bagi hal-hal yang baik dan luhur, kebudayaan akan mengambil peran
sebagai kritik atas peradaban. Namun yang sebaliknya juga dapat terjadi.
Bila suatu kebudayaan dipandang masih memperlihatkan ciri-ciri kaum
belum beradab, peradaban mengambil tugas untuk mendidik kebudayaan.
Segeralah tampak bahwa kedua konsep ini, kebudayaan dan peradaban,
kendati berbeda landasan epistemologisnya sama-sama dapat digunakan
untuk mencapai tujuan politis.
Entah sebagai misi meningkatkan
peradaban atau sebagai koreksi budaya, pemerintah kolonial Belanda
membungkusnya ke dalam Politik Balas Budi menjelang permulaan abad
ke-20. Kebudayaan ibarat paket yang dapat disusun rapi ke dalam kotak
lalu dikirim ke tanah jajahan untuk meningkatkan cara pikir, cara merasa
dan cara bertindak penduduk terjajah agar sesuai dengan tolok ukur
kebudayaan modern, namun masih dalam kontrol kepentingan kolonial.
Ketika Politik Balas Budi terbukti tidak terlalu berhasil, pemerintah
kolonial beralih ke ‘tugas mulia’ mendukung pengembangan ilmu-ilmu
murni, sehingga melahirkan apa yang dalam sejarah ilmu dikenal sebagai
periode gemilang keilmuan Hindia Belanda menjelang akhir zaman
kolonial(13). Kajian atas periode ini memperlihatkan hubungan saling
menguatkan antara strategi politik dan ilmu-ilmu murni melalui
politik-kebudayaan.
***
Kebudayaan adalah peta jerih payah
manusia yang tidak pernah selesai. Sebagian selalu saja berisi kawasan
yang tidak terjelajahi, sebagian lainnya tinggal sebagai kawasan gelap
yang menjadi terang sedikit demi sedikit hanya kala perjalanan membawa
kita sampai ke sana, sebagian lainnya tidak pernah terealisasi sama
sekali, dan sebagian lagi terbuka sebagai kemungkinan-kemungkinan baru.
Strategi kebudayaan kolonial untuk membentuk pamong praja pribumi yang
cukup cerdas tetapi jinak, justru menjadi siasat kaum muda terdidik
nasionalis untuk mempersiapkan Indonesia.
Apa yang menarik dalam
pelbagai silang pendapat untuk mendefinisikan kebudayaan Indonesia
adalah bahwa bingkai konseptual di atas tidak mengalami banyak
perubahan. Kedua pihak yang berdebat sama-sama memaknai kebudayaan
dengan mengandaikan adanya golongan yang sanggup memilah mana
nilai-nilai yang layak dibudidayakan serta dinamakan kebudayaan
Indonesia, dan mana yang tidak. Kemerdekaan tidak membebaskan kebudayaan
dari tegangan antara kebebasan berkreasi dan kepentingan politik maupun
bisnis. Melalui macam-macam pertarungan akademis dan ideologis,
kebudayaan dalam pelbagai wujudnya— apakah itu sistem gagasan, perilaku
ataupun benda-benda—dipilah tidak lagi berdasarkan kandungan
instrinsiknya yang akan membuat kita dengan jernih dapat mencerna dan
memahami apa itu kebaikan tertinggi, keindahan dan keluhuran.
Nilai-nilai itu dipilah berdasarkan tolok ukur kegunaan. Ketika turun ke
dalam kebijakan kebudayaan, arti kegunaan terus bergeser mengikuti
motif politik-ekonomi yang dominan.
Pada mulanya kegunaan memang
dilekatkan ke cita-cita humanistik menghadirkan modernisasi, namun
pergeseran selanjutnya menafsirkan kegunaan sebagai mobilisasi massa
untuk mendukung politik zaman, dan lalu untuk membentuk subjek budaya
yang patuh menjalankan pembangunan serta menjaga kestabilan politik.
Nilai-nilai budaya diperlakukan lebih sebagai aturan dan bukan sebagai
terang budi dan rasa merasa yang dengan cara kreatif akan mengembangkan
cara berpikir dan bertindak. Kebudayaan menjalankan fungsi pedagogis
searah untuk melatih perilaku warga negara mencapai tujuan politik
nasional maupun internasional.
***
Reformasi membawa cukup
banyak perubahan bagi praktek-praktek pekerja budaya, terutama
menyangkut kebebasan berekspresi. Pada saat bersamaan, nalar ekonomi
atau nalar korporasi yang semakin leluasa mencengkeramkan pengaruhnya ke
hampir semua bidang kehidupan, membuat apa yang tampak sebagai
demokratisasi kebudayaan sebetulnya lebih tepat dilihat sebagai
kebebasan yang batas-batasnya ditentukan oleh kepentingan pasar.
Tentu
saja, tanpa pasar tidak ada kesejahteraan seniman dan para pekerja
budaya. Masalahnya bukan ada atau tidak ada pasar. Sejak dahulu kala
pasar sudah ada. Persoalannya adalah bagaimana nalar ekonomi
mengendalikan, mengatur dan mengarahkan pelbagai bidang seperti
pendidikan, politik, kebudayaan, dll melulu berdasarkan prinsip dan
kinerja pasar.
Asal muasal nalar korporasi adalah kepentingan
ekonomi-politik. Tepatnya, nalar ekonomi (reason of economy) yang
digerakkan oleh motif dagang. Dalam bingkai ini, model individu yang
dijajakan adalah Homo oeconomicus (14). Siapakah mahluk ekonomi itu?
Kata Hollis dan Nell, “siapapun dia, kita tahu pasti, dia adalah sosok
yang akan memburu hasratnya, apapun itu, dengan ganas” (15). Pada
mulanya, nalar ekonomi punya maksud mulia. Ia lahir dari rahim monarki
absolut di Eropa Barat yang tumpuannya adalah nalar kenegaraan (reason
of state). Nalar kenegaraan menempatkan negara di atas semua
pertimbangan, termasuk agama dan moralitas. Ada ancaman besar menunggu
di sini. Negara dapat jatuh ke petualangan otoritarianisme. Agar nalar
kenegaraan tidak menjadi sebagai satu-satunya prinsip, pandit-pandit
ekonomi-politik menciptakan mekanisme di dalam nalar kenegaraan itu
sendiri. Dari sejarah ekonomi-politik, kita belajar bagaimana motif
dagang pelan-pelan memangsa motif kenegaraan dengan menyusupkan logika
internal ekonomi ke dalam berbagai elemen konstitusional.
Kalau kita
kembali ke pengertian kebudayaan dan civis (warga negara), tanpa perlu
tergelincir ke konsep civilization, dapatlah kita menarik hubungan
antara kebudayaan dan konsep tentang masyarakat warga. Bolehlah kita
katakan bahwa salah satu cita-cita kebudayaan adalah merancang
pendidikan untuk menghasilkan warga negara yang mempunyai visi mengenai
kebaikan tertinggi bagi kehidupan bersama. Apakah itu dalam pendidikan,
seni, ilmu, politik, hukum, dsb. Cita-cita inilah yang diam-diam dicuri
oleh nalar ekonomi dan dialihkan ke agenda untuk mendidik konsumen.
Konsumen tidak dididik untuk mampu mengembangkan daya-daya
abstrak-imajinatif-kreatif serta berpikir kritis dan rasional. Konsumen
dididik hasrat (naluri, emosi) dan kebiasaan-kebiasaan kulturalnya agar
menghendaki segala hal gemerlap yang ditawarkan pasar. Sebuah bangsa
yang warganya telah kehilangan daya berpikir abstrak-imajinatif dan
kreatif tidak mungkin memiliki imajinasi kolektif tentang negara-bangsa.
***
Saudara-saudara yang terhormat,
Barangkali
sebagian dari kita bertanya-tanya. Perlukah kita gelisah dengan gejala
itu? Ada baiknya kita menyimak informasi mengenai kegemaran dan
kepercayaan diri masyarakat Indonesia untuk berbelanja. Dari hasil
penyigian beberapa bulan pertama tahun 2013 ternyata indeks kepercayaan
konsumen Indonesia paling tinggi (124) di antara 58 negara-negara Asia
Pasifik, Amerika Utara, Amerika Latin, Eropa dan Timur Tengah.
Kepercayaan diri orang Indonesia untuk berbelanja bahkan jauh lebih
tinggi daripada masyarakat negara-negara makmur seperti Switzerland (98)
dan Norwegia (98) (16). Konsumen Indonesia juga mudah terpengaruh
iklan.
Barangkali kita kurang jeli. Konsumerisme adalah proses
kebudayaan dalam ideologi tata dunia baru yang kita sebut globalisasi
(17). Melalui berbagai label yang menggiurkan ideologi itu mendesakkan
gaya hidup mewah, prestise, status dan prinsip-prinsip kenikmatan ke
dalam benak bawah-sadar konsumen. Mengertilah kita bahwa konsumerisme
bukan hanya soal psikologis atau gejala sosial, melainkan gejala budaya
yang sengaja dirancang untuk memungkinkan mesin industri gaya hidup
terus berputar. Seperti mahluk rakus yang tidak pernah kenyang,
konsumerisme melahap lahan hijau untuk pembangunan sentra-sentra bisnis
dan mencampur aduk ruang-ruang kultural dengan ruang-ruang ekonomi.
Dalam
dunia kontemporer, salah satu sumber kenikmatan terbesar berasal dari
teknologi digital. Inilah teknologi yang melahirkan dunia maya dan kita
boleh bangga karena Indonesia adalah salah satu dari sepuluh negara
pengguna terbanyak internet. Namun penggunaan terbanyak (95%) masih
untuk media sosial. Indonesia juga merupakan negara pengguna aktif
facebook nomor empat di dunia. Lebih menakjubkan lagi, ciapan (twit)
terbanyak ternyata berasal dari Jakarta. Jakarta adalah kota dengan
ciap-ciap tertinggi di dunia, 15 twit/detik.
Sebuah budaya baru telah
lahir bersama teknologi digital. Itulah budaya selalu terhubung (always
online), budaya komentar (comment culture) (18) dan kecenderungan untuk
selalu berbagi (sharing) (19). Gejala ini membawa kita ke situasi
paradoks. Sementara kita menyadari bahwa masalah-masalah yang mendera
semakin membutuhkan pemikiran yang mendalam, “kita menciptakan budaya
berkomunikasi yang justru mengurangi waktu kita untuk berpikir tanpa
tersela ... di bawah godaan untuk segera melontar komentar ... kita
tidak lagi punya cukup waktu untuk memikirkan problem-problem yang
rumit,” tulis seorang peneliti media sosial Sherry Turkle (20). Hasrat
untuk segera berkomentar atau menyimak komentar orang lain tentang kita,
menjadikan kita mahluk pauseable, bisa dijeda, seperti tape atau video
recorder(21).
Hidup dalam simpang siur informasi dan kemungkinan
merancang diri secara baru tentu melahirkan kegagapan yang luar biasa.
Informasi dengan gampang mengambil wujud kebenaran, promosi iklan
mengambil bentuk komunikasi intim, dan citra menggantikan realitas.
Kalau hermeneutik berisiko menggusur kebenaran ke permainan kosa kata,
teknologi digital merancang isi kebenaran dan menciptakan dunia makna.
Tanpa tersedia cukup waktu untuk menakar informasi, citra hadir silih
ganti, tumpang tindih sebagai potongan-potongan realitas berisi
pernyataan yang terpatah-patah. Dunia maya merupakan sebuah dunia tidak
teraba tetapi menimbulkan efek yang nyata dan dialami sebagai ruang,
relasi, pencipta nilai-nilai baru(22).
Analisis di atas mungkin
terkesan berlebihan dan terlalu pesimistik. Namun kalau kita perhatikan
hubungan antara laju pertumbuhan pengguna internet di Indonesia yang
bersifat eksponensial dan garis linier pertumbuhan indeks pembangunan
manusia pada kurun waktu yang sama, barangkali kebanggaan kita akan
terasa getir. Indeks pembangunan manusia menunjuk ke derajat
kesehatan, perbaikan pendidikan dan kesejahteraan hidup
wargakebanyakan(23).
Kesenjangan yang mencolok antara dua pola
pertumbuhan itu sekurang-kurangnya menggambarkan betapa tidak ada
korelasi antara kecanggihan menggunakan piranti teknologi dan jatuh
bangun hidup warga kebanyakan. Di satu sisi, setiap jam dua ibu di
Indonesia meninggal karena melahirkan, porsi terbesar tenaga kerja
Indonesia adalah lulusan SD ke bawah (55,1%)—penanda bagi tingginya
putus sekolah. Sementara kefasihan membaca sekitar 30% siswa
berusia 15 tahun berada di bawah tingkat paling rendah(24).
Artinya, sementara 7 juta penduduk masih buta huruf, tingkat melek huruf
siswa-siswa itu belum sampai ke tahap yang memungkinkan mereka
berpartisipasi efektif dan produktif dalam hidup sehari-hari. Di lain
sisi, ekonomi semakin jauh meninggalkan produksi barang/jasa kebutuhan
riil sehari-hari. Ekonomi lebih berhubungan dengan transaksi
produk-produk finansial yang memungkinkan orang meraih laba besar hanya
dengan mengandalkan rumor bahwa akan terjadi transaksi.
Saya sama
sekali tidak bermaksud menyederhanakan persoalan teknologi digital ini
ke urusan baik atau buruk belaka. Saya juga tidak bermaksud menegasikan
karya-karya kreatif mencengangkan yang lahir dari generasi muda
dengan memanfaatkan teknologi digital dan dunia maya. Seperti banyak
gejala di bawah langit, teknologi mengandung kemenduaan di dalam
struktur pengembangannya dan karena itu melahirkan sikap ambigu terhadap
teknologi. Kemenduaan mendasar teknologi di dalam rancangannya inilah
yang memaksa kita mengikuti cara kerjanya melalui kenikmatan gaya hidup
yang dihasilkan. Sebuah paksaan yang membius. Dalam arti ini pula
teknologi kontemporer bukan sekadar menghadirkan benda. Dia menghadirkan
piranti (device). Benda masih mempunyai kaitan dengan konteks tetapi
piranti menyembunyikan bagaimana dan mengapa suatu jenis teknologi
lahir. Konteks dianggap tidak relevan bagi pengguna(25). Kinerja
masyarakat modern konsumtif digerakkan oleh prinsip-prinsip formatif
piranti ini. Prinsip ini mencerabut seluruh bingkai kultural teknologi
yang terjalin dalam proses, produk dan praktek. Satu-satunya hal yang
mengemuka adalah fungsi kemudahan mencapai tujuan dan kenikmatan.
Pelan-pelan kita beralih dari masyarakat teknofobia (takut akan
teknologi) ke teknofilia (pecinta teknologi).
Dalam kebudayaan
tradisional, teknologi merupakan upaya manusia untuk mencapai
keseimbangan dengan alam. Ketika keseimbangan tercapai, masyarakat
pengguna akan menganggap teknologi sudah memenuhi fungsinya. Teknologi
berikutnya muncul apabila ada tantangan lingkungan yang tidak dapat lagi
ditangani oleh teknologi lama. Corak ini membedakannya dengan teknologi
kontemporer yang memang sengaja dirancang untuk tidak mencapai
keseimbangan. Teknologi baru akan menciptakan dan memaksakan sasaran
yang sebelumnya tidak terbayangkan, semata-mata karena teknologi dapat
melaksanakannya dan karena ada sistem ekonomipolitik yang menopangnya.
Dia seperti mahluk yang gelisah, selalu mau baru(26). Lewat daur
berulang itulah teknologi menjinakkan selera manusia dan terus menerus
meningkatkan hasrat akan piranti yang pada gilirannya menggemukkan
pundi- pundi para pemodal.
Refleksi mengenai dampak teknologi
terhadap cara kita berpikir dan bertindak menjadi tragis ketika kita
menyadari, betapa lemah kapasitas kita sebagai bangsa untuk memproduksi
piranti teknologis dalam keanekaragaman bentuknya. Bius teknologi bukan
hanya membuat kita rancu membedakan mana yang kita perlukan dan mana
yang kita inginkan, melainkan juga melepaskan cengkeraman kita ke dunia
kongkret.
Untuk tidak mengulang litani mengenai hal itu, saya
memaksudkan uraian di atas sebagai cermin. Betapa diskusi-diskusi
kebudayaan yang cenderung membatasi diri pada nilai-nilai luhur atau
kebudayaan sebatas warisan akan terdengar gagap dan hampir-hampir lumpuh
menghadapi brutalitas fakta sosial, ekonomi dan politik sebagai
realitas objektif sehari-hari kita. Saya melihat ada dua hal yang dapat
diturunkan dari paparan di atas.
Pertama, pegangan kepada nilai-nilai
memberi kita alasan yang bagus, kuat dan masuk akal untuk bertindak
baik dan mengubah perilaku yang kita anggap buruk. Keyakinan itu
mengandaikan nalar dan rasionalitas mampu menundukkan hasrat. Namun
seorang filsuf dari Inggris, David Hume, tidak percaya begitu saja.
“Nalar adalah, dan semestinya hanya menjadi budak hasrat”(27).
Kesimpulan yang terdengar suram ini tentu bukan anjuran agar kita memuja
irrasionalitas. Hubungan rumit antara tindakan dan nalar serta emosi
inilah yang direfleksikan oleh perempuan filsuf Martha Nussbaum. Orang
termotivasi mengubah tindakannya hanya jika alasan-alasan yang masuk
akal juga menggerakkan emosinya(28). Jika argumen Nussbaum dapat
diterima, mengertilah kita mengapa upaya-upaya rasional untuk memahami
budaya material serta petuah moral untuk mengontrol aneka dampaknya
tidak pernah memadai. Semua upaya itu tidak akan bekerja kecuali kita
berhasil mengaitkannya dengan kemampuan mendidik hasrat (naluri dan
emosi)—mengarahkan gerak batin yang semula bergolak tanpa irama ke
rasa-merasa yang terkendali. Jika demikian, tentulah seni dan sastra
mempunyai peran yang juga penting dalam proses pendidikan dan bukan
sekadar tempelan demi memenuhi kurikulum.
Kedua, hidup dalam
kebudayaan tentulah berarti bahwa kita berlaku dan bertindak menurut
bingkai pengetahuan dan perangkat nilai dalam kebudayaan itu. Namun,
kecenderungan yang cukup luas untuk menaruh perhatian terlalu berat
kepada kebudayaan sebagai sistem nilai membuat kita cenderung
tergesa-gesa mengambil sikap normatif. Bahaya dari pendekatan ini adalah
kita mendepolitisasikan masalah-masalah sosial-ekonomi dan politik
dengan mengajukan solusi moral. Seolah-olah “kemiskinan, kebodohan dan
keterbelakangan peradaban” (kutipan) dapat selesai apabila kita
melekatkan aneka kecakapan yang sedang kita pelajari ke kesalehan.
Seolah-olah kekerasan remaja hanya perkara moral yang lemah. Korupsi
yang ganas di negeri ini adalah salah satu bukti nyata bahwa tidak
selalu ada kaitan langsung antara moralitas dan kesalehan. Lagak moralis
dan saleh tidak akan menjadikan kita bangsa bermoral.
Dengan ngeri
kita menyaksikan bagaimana orang menyerang, menindas dan membunuh atas
nama kesalehan yang terkunci dalam bingkai penafsiran sempit. Saya kira
kita dapat sepakat di sini. Gejala kekerasan semacam itu, kendati
meminjam identitas yang dapat dibaca sebagai gerakan kultural,
sebetulnya merupakan gerakan politik untuk mengambil alih ruang-ruang
kebudayaan dan bingkai kekuasaan yang akan menentukan arah masa depan
kita.
Penafsiran dapat menjadi bagian dari upaya untuk menyeragamkan
identitas lewat kata. Alih-alih menemukan kata bagi makna,
kelompok-kelompok semacam ini memaksakan kata kepada makna dan mendaku
kebenarannya. Barangkali kita perlu mengingat lagi ucapan
George
Orwell, “Hal terburuk yang dapat dilakukan oleh kata-kata terjadi ketika
kita membiarkan diri kita takluk kepada kata-kata”(29).
Saudara-saudara yang Terhormat,
Rupanya
pengertian kita tentang apa yang bermakna bagi manusia memang masih
sangat miskin. Kita gagap menimbang peristiwa dan kerap keliru mengambil
langkah. Mungkin kita terlalu terbiasa dengan gagasan rasionalitas yang
instrumental karena hanya model itulah yang kita kenal, atau karena
itulah satu-satunya sarana yang kita percayai akan mengarahkan kita
mencapai tujuan secara efisien. Padahal nalar instrumental hanya
sebagian kisah saja di dalam cara kerja dalam keilmuan. Ilmu dan
teknologi tidak selalu dapat dipisahkan. Teknologi memang bekerja
berdasarkan nalar itu. Akan tetapi, ilmu punya rasionalitasnya sendiri.
Apa
yang digambarkan oleh Nussbaum sedikit banyak berlaku dalam ilmu dengan
cara yang berbeda. Ketika sedang mencoba menjelaskan cara kerja ilmu,
ahli fisika Pierre Duhem terpaksa meminjam ungkapan Blaise Pascal yang
terkenal, esprit de finesse, untuk menggambarkan “pertimbangan yang
baik” dan membedakannya dari upaya sengaja nalar diskursif untuk
mendemonstrasikan teorema (30), “Kita mengetahui kebenaran tidak melulu
melalui nalar, tetapi juga lewat hati, kata Pascal … dan pada
pengetahuan hati serta naluri itulah nalar semestinya bertopang serta
melandasi semua wacananya”.
Duhem mau memperlihatkan bahwa ilmuwan
tidak menjalankan kegiatannya mengikuti aturan-aturan kaku seolah-olah
ada kaidah-kaidah algoritmik yang harus dipatuhi. Dalam kerja-kerja
keilmuan, tidak cukup apabila ilmuwan hanya mampu membaca gejala lalu
menggunakan nalar kalkulatif. Dia bekerja terutama dengan daya-daya
imajinasi. Dia bahkan membayangkan, di manakah dirinya di tengah-tengah
gejala itu. Apa yang dia rasakan ketika membayangkan dirinya di sana?
Mungkin
dia takjub, seperti Kepler terpesona oleh laju gerak planet-palent yang
mengedari Matahari. Dari rasa kagum itulah dia kemudian menuangkan
selisih kecepatan gerak planet ke dalam tangga nada dan melahirkan
“Musik Langit”. Dari selisih kecepatan tertinggi dan terendah gerak
Bumi, Kepler ‘mendengar’ senandung senyap Bumi (mi-fa-mi) yang nyata
meski tanpa suara. Dia juga menemukan, ketika beberapa planet berada
serentak di posisi ekstrimnya masing-masing, hasilnya adalah motet.
Saturnus dan Jupiter bersuara bass, Mars tenor, Bumi dan Venus
kontra-alto, Merkurius soprano. Pada waktu-waktu tertentu,
keenam-enamnya dapat terdengar secara serentak, demikian dia menulis
dalam Keselarasan Dunia (1618). Ketika sedang merefleksikan catatan
Kepler itulah fisikawan Wolfgang Pauli menulis(31).
Jembatan yang
menghubungkan data yang tidak beraturan ke Ide-ide adalah gambar- gambar
yang sudah ada lebih dulu di dalam batin … (gambar-gambar itu) tidak
dapat ditaruh ke dalam pikiran atau dihubungkan ke ide-ide yang
terumuskan secara rasional… gambar-gambar berisi emosi yang kuat …
jangan sekali-kali [kita] mengatakan bahwa nalar hanya merumuskan tesis
yang rasional.
Ilmuwan juga dapat merasa kecewa seperti Copernicus.
Dia tidak puas dengan sistem Ptolemeus yang dia nilai buruk seperti
“monster … bertubuh manusia tapi semua anggota tubuhnya datang dari
tubuh yang berbeda-beda dan direkat sembarangan”. Kekecewaan itu membuat
Copernicus melakukan lompatan imajinasi dan membuat tilikan. Dia
bayangkan dia adalah Aeneas, pahlawan Troya yang berkata, “Kita berlayar
meninggalkan pelabuhan, dan daratan serta kota-kota pun menjauh”(32).
Lewat analogi itu Copernicus mengantisipasi model tata planet dengan
cara menghubungkan apa yang teramati ke kemungkinan yang tidak teramati
langsung, tetapi secara intuitif merupakan hal yang dia ketahui betul.
Dari intuisi itulah lahir model tata surya yang sekarang kita kenal,
dengan Bumi sebagai salah satu planet.
Ilmuwan juga bisa merasa
gemetar seperti fisikawan-cum-filsuf ilmu Henri Poincaré. Ilmu membuat
dia mengerti. Kebenaran ibarat hantu yang berkelibat tapi tak pernah
dapat dijerat. Apakah itu berarti bahwa harapan kita yang paling
berharga dan paling bermakna bagi kita membuat kita seperti orang-orang
yang mau menjaring angin? keluh Poincaré. Betapapun meletihkan jerih
payah itu dan betapapun ilmu, sangat boleh jadi tidak pernah untuk
bahkan mendekati kebenaran, dia yakin pencarian kebenaran tidak pernah
boleh berhenti.
Ilmuwan juga be rangan-angan seperti Einstein
membayangkan dirinya mengendarai seberkas cahaya lalu merumuskan teori
kenisbian. Atau Kekulé yang merumuskan benzena sesudah bermimpi melihat
seekor ular menggigit ekornya sendiri. Atau fisikawan Murray Gell-Mann,
yang menemukan zarah elementer penyusun materi alam dengan bertopang di
atas prinsip keindahan bentuk-bentuk simetris. Ketika ilmuwan menghadapi
kesulitan memilih satu dari dua teori karena dua-duanya sama-sama
didukung oleh data yang sama, tidak sedikit yang menggunakan intuisi
estetik untuk membuat putusan. Seperti inilah fisikawan-matematikawan
Henri Poincaré menggambarkannya(33), (1905, 186),
Ilmuwan tidak
mempelajari alam karena kegiatan itu berguna; dia mempelajari alam
karena kegiatan itu menggembirakan hatinya, dan hatinya gembira karena
keindahannya. Seandainya tidak indah, tidaklah alam pantas untuk
diketahui, dan seandainya alam tidak pantas diketahui, hidup menjadi
tidak berarti. Tentu saja saya tidak sedang membicarakan keindahan yang
tercerap oleh indera, yaitu keindahan kualitas dan penampakan; bukannya
saya menganggap remeh keindahan tersebut tetapi keindahan semacam itu
tidak ada kaitannya dengan sains … yang saya maksudkan adalah keindahan
yang lebih agung yang muncul dari penangkapan nalar murni akan
keselarasan tatanan antar bagian-bagiannya …Inilah yang memberi kerangka
bagi keindahan yang mempesona indera … keindahan intelektual mencukupi
dirinya sendiri, dan demi keindahan inilah, mungkin lebih daripada demi
kebajikan masa depan umat manusia, para ilmuwan mengabdikan diri bagi
kerja yang panjang dan melelahkan.
Pada akhirnya, kesesuaian dengan
dunia empiris menjadi batu ujian bagi ilmu karena bagaimanapun, di
jantung ilmu bekerja the most ruthless skeptical scrutiny of all ideas,
old and new, kata Carl Sagan.
Kita mungkin masih ingat bagaimana Max
Weber menjelaskan dampak nalar instrumental bagi masyarakat modern.
Nalar itu menyingkirkan yang magis, yang menimbulkan pesona dari dunia.
Dunia menjadi kering dan sekadar sumber daya yang siap diolah
menjadi hal-hal yang berguna bagi manusia. Hilangnya pesona
itu kiranya tergambarkan lewat komentar Edwin Burtt(34),
Dunia yang
dianggap orang sebagai tempat dia hidup – dunia yang kaya akan warna dan
suara, harum dengan wewangian, penuh gelak tawa, cinta dan keindahan …
dijejalkan ke pojok sempit otak mahluk-mahluk organik yang tercerai
berai. Dunia yang sungguh-sungguh dianggap penting adalah dunia yang
kaku, dingin, tidak berwarna, senyap, dan mati; sebuah dunia bilangan,
sebuah dunia gerak yang terukur secara matematis dalam keteraturan
mekanis. Manusia memandang dunia kualitas cuma efek kecil dari sebuah
mesin yang tak terkirakan besarnya itu.
Sebetulnya, pesona itu tidak
pernah sungguh-sungguh hilang. Pesona itu hilang dari cara pandang para
teknokrat dan birokrat sehingga mereka mengira hanya seni yang mampu
menyingkap keindahan semesta. Namun sayangnya, dari para teknokrat
itulah lahir pelbagai kebijakan yang menata sistem pendidikan.
Merataplah C.P. Snow.
Model pendidikan yang dipandu oleh logika
utilitarianism in extremis, yang sibuk mengejar ranking nilai, tentu
tidak mampu mengungkap kekayaan dimensi kognitif kebudayaan yang antara
lain mengemuka melalui ilmu pengetahuan. Sulit membayangkan bagaimana
pemahaman instrumental tentang ilmu sanggup menghasilkan pengalaman
eksistensial yang dapat menjadi kekuatan transformatif untuk mengubah
cara pandang kita terhadap realitas. Ilmu memang bukan satu-satunya
sumber pengetahuan. Akan tetapi kita perlu mengembangkan ilmu kalau kita
mau berusaha berhenti melulu menjadi bangsa konsumen.
Distorsi yang
terjadi ketika ilmu-ilmu murni diperlakukan secara instrumental adalah
penerapan kebijakan yang pukul rata. Ilmu-ilmu murni dikenai tolok ukur
keberhasilan yang sama dengan ilmu-ilmu terapan yaitu adanya hasil-hasil
yang dapat segera dimanfaatkan untuk kebutuhan industri. Padahal
logika ilmu-ilmu murni bertopang di atas harapan ideal untuk mencari
kebenaran(35), dan tidak penting kapan kebenaran itu tercapai. Juga
seandainya ilmu sampai pada kebenaran, ilmuwan tidak dapat mengetahuinya
secara pasti. Dia bisa tahu kapan ilmu salah, tetapi tidak dapat
memastikan kapan ilmu itu benar. Konsepsi bahwa ilmu sedemikian pasti
dan tidak terbantahkan sudah usang namun rupanya masih membayang-
bayangi ilmu ketika masuk ke medan kehidupan sehari-hari.
Tentu kita
mengerti bahwa landasan politis bagi suatu kebijakan publik sejatinya
adalah manfaat terbanyak bagi sebanyak mungkin orang (utilitarianisme)
dalam waktu sesingkat-singkatnya. Setiap pemerintah, idealnya, akan
menyusun kebijakan penelitian dan strategi pendanaannya berdasarkan azas
tersebut. Masalah muncul ketika ancangan yang sama diterapkan ke
perguruan tinggi. Di sinilah kita sebetulnya melihat kemiripan antara
kerja seorang seniman dengan ilmuwan. Mereka sama-sama dipandu oleh
kesetiaan kepada proses dan proses tidak dapat dipenggal di tengah
jalan. Tidak sedikit peneliti dari bidang- bidang yang kering dan
seniman terpaksa bergabung dengan bidang-bidang yang lebih mendatangkan
keuntungan ekonomi. Risikonya, bidang-bidang yang ‘kering’ mengalami
pengerdilan. Corak kebudayaan yang berkembang di negeri ini tampaknya
belum memungkinkan bidang-bidang kontemplatif mendapat ruang untuk
berkembang. “Elemen pembangkit ilmu pengetahuan di negara kita nyaris
hang”, tulis Bambang Hidayat, anggota Akademi Ilmu Pengetahuan
Indonesia, Astronomiwan dan mahaguru bagi banyak mahasiswa di
Indonesia(36).
Bahwa ilmu juga berjalin dengan industri, militer, dan
politik adalah fakta yang tidak dapat dibantah. Tetapi argumen
sosiologi pengetahuan kerap tidak cukup kuat untuk menunjukkan bahwa
unsur konstitutif ilmu pun melulu hasil konstruksi sosial. Artinya,
sebagai salah satu penopang kebudayaan modern, ilmu memang seringkali
tidak memiliki otonomi karena pilihan-pilihan penelitiannya sangat
bergantung ke kepentingan penyandang dana. Orang yang paling tidak bebas
dalam hal ini, kata Einstein, adalah ilmuwan. Tapi dalam mendiskusikan
ilmu-ilmu murni dan seni serta karya- karya budaya yang sejenis, kita
perlu jeli membedakan antara otonomi dari integritas. Jacob Clay
mendukung misi pemberadaban kolonial. Apakah ‘kebenaran’ hasil
eksperimennya berupa pancaran sinar kosmis di atmosfer kota Bandung akan
berbeda seandainya dia pindah haluan ideologis? Agak sulit saya
membayangkan hal itu. Namun, demikianlah integritas dan otonomi menjadi
permasalahan yang sangat serius dan debat panjang bukan hanya di dalam
ilmu namun di dalam kerja-kerja budaya umumnya dan bahkan hidup kita
sendiri.
Saudara-saudara yang Terhormat,
Bagaimanakah
paparan simpang siur di atas akan membawa kita kembali ke dunia
sehari-hari? Perkenankan saya mengajak Anda melintasi kawasan padat lalu
lintas di depan Istana Negara. Kalau Anda berada di sana setiap Hari
Kamis sore, Anda akan menyaksikan rombongan orang berbaju hitam berdiri
satu jam tanpa bicara, dan membiarkan potret dalam gendongan mereka
menyampaikan pesan. Pada potret-potret itu terlihat wajah anak atau
suami mereka yang hilang diculik atau dibunuh dalam berbagai peristiwa
kekerasan politik di negeri ini. Di atas darah kematian merekalah
tokoh-tokoh politik dan para mahasiswa menemukan pintu masuk bagi
Reformasi.
Reformasi dapat kita pandang sebagai upaya menggambar
ulang peta kebudayaan untuk menjelmakan apa yang baik bagi hidup
bersama. Pada mulanya, kita masih menebar banyak omongan mengenai
masyarakat warga karena kita percaya bahwa sebuah negara yang baik bukan
hanya dibangun oleh badan-badan publik dan pasar, tetapi juga
masyarakat warga. Anggota masyarakat warga bukan hanya kerumunan orang
yang sibuk memburu kepentingannya sendiri-sendiri, tetapi tatanan warga
yang sadar akan arti hidup bernegara. Kalau sejak beberapa tahun
terakhir ini omongan itu tidak lagi ramai, mungkin karena sejak awal
kita keliru menafsirkan arti masyarakat warga—sebuah konsep yang licin.
Di
Indonesia, perjuangan menegakkan HAM merupakan salah satu gerakan yang
melahirkan organisasi masyarakat warga. Maka bukan gejala yang
berlebih-lebihan apabila kita sempat terperangkap dalam oposisi
masyarakat warga dan militer kala mendiskusikan civil society. Padahal
jika kembali ke akar katanya, antitesis dari civility bukanlah militer
melainkan kekerasan, ketidakberadaban. Penafsiran yang melawankan civil
society dengan militer berangkat dari ingatan sosio-kultural kita yang
mencatat tradisi militerisme yang meninggalkan catatan panjang
pelanggaran hak-hak asasi manusia yang belum membuahkan keadilan sampai
hari ini.
Konsep masyarakat warga juga sempat menerima pemaknaan yang
cukup sempit sebagai oposisi pemerintah dengan, tampaknya, belajar dari
Revolusi Eropa Timur (1989)(37). Gagasan lain adalah masyarakat warga
sebagai pengawas serta pengimbang kekuasaan negara, pasar serta kekuatan
primordial agama. Negara-negara donor juga memasukkan konsep tentang
masyarakat warga ke dalam agenda tata kelola pemerintahan (good
governance) yang merupakan garis haluan bagi anggota-anggotanya.
Tujuannya adalah agar negara-negara anggota menghormati prinsip-prinsip
ekonomi pasar dan demokrasi sebagai syarat hubungan internasional.
Untuk
menghindari perdebatan panjang mengenai konsep-konsep di atas, saya
akan kembali saja ke evolusi awal pengertian civil society dan cultura
animi. Dalam penafsiran ini masyarakat warga terdiri dari rupa-rupa
elemen mandiri dalam masyarakat yang mengarahkan kegiatan-kegiatannya
untuk menjelmakan kebaikan tertinggi bagi hidup bersama. Tentu ini
terdengar sangat abstrak. Karena ini mungkin menjadi lebih kongret
apabila kita melihat kebudayaan sebagai pergumulan sehari-hari
menyangkut bagaimana kita hidup di dalam kebudayaan, mengenali
jalan-jalan yang buntu atau dinding-dinding yang berjamur. Namun ini
berarti kita bersiap menggarap keseharian yang rutin dan membosankan.
Kita membangun kritik terhadap kebiasaan-kebiasaan publik melalui
siasat- siasat sederhana(38).
Mengapa? Karena kita tidak sedang
berbicara tentang kebudayaan sebagaimana dipahami para pembuat
kebijakan, yakni sebagai produk dan sebagai warisan. Menyangkut
kebudayaan kita berbicara tentang tugas tanpa akhir menyangkut jejaring
makna dan tindakan serta karut marut perwujudannya. Dengan menaruh
kebudayaan ke realitas objektif sehari- hari kita jumpai realitas
estetik, religius, spiritual, intelektual, ekonomi, sosial dan politik
bertemu secara serentak dan berproses bersama-sama. Refleksi yang
menekankan titik-berat pada salah satu unsur lagi-lagi akan menciutkan
makna kebudayaan.
Dengan pertimbangan itu, saya membayangkan beberapa kemungkinan sebagai siasat.
Pertama,
ruang-ruang publik kita sudah terlalu gaduh dengan komentar siapa saja
yang bisa menjadi pakar bidang apa saja untuk segala persoalan yang
sedang kita hadapi. Tidak ada yang salah dengan keinginan menjadi
selebriti asal tidak membuat masyarakat kehilangan pegangan, kalau bukan
malah berbalik menganggap sepele persoalan serius yang sedang menjadi
perbincangan. Tugas kebudayaan para budayawan dan intelektual adalah
menghidupkan kembali, pada aras praktek, perbedaan yang ketat antara
komentar-komentar acak dan pemikiran yang mengakar di perenungan yang
mendalam.
Kedua, dalam dunia pemikiran. Kebudayaan adalah siasat
untuk mentransformasikan konsep ekonomi dari urusan pasar ke mata
pencaharian warga biasa dan bukan jual beli uang itu sendiri. Seiring
dengan ini, transfer teknologi perlu sungguh-sungguh mendapat perhatian
sampai ke tahap inovasi untuk memproduksi barang-barang kebutuhan
sehari-hari dan infrastruktur pendukungnya. Para insinyur perlu serius
memikirkan krisis insinyur yang sekarang sedang kita alami. Para ahli
pangan dan perguruan tinggi perlu membangun siasat untuk menarik kembali
minat anak-anak muda memasuki jurusan Pertanian dan Perikanan yang kian
sepi peminat. Tentu dengan catatan, sesudah lulus mereka tetap bekerja
di bidangnya dan bukan masuk ke sektor finansial.
Ketiga, kesan bahwa
ilmu pengetahuan mau menindas jenis-jenis pengetahuan yang lain masih
cukup kuat di masyarakat. Kendati tidak sampai dianggap sebagai musuh
masyarakat, ilmu belum berhasil mengambil hati masyarakat. Siasat
kebudayaan adalah mentransformasikan sikap yang terkesan ilmulah
satu-satu model pengetahuan yang sahih ke pengakuan , “Saya mungkin
salah dan Anda mungkin benar, dan melalui sebuah upaya kita mungkin akan
semakin mendekati kebenaran.”(39)
Keempat, terkait dengan tanggung
jawab. Kebudayaan adalah siasat mentransformasikan politik untuk
menciptakan kepemimpinan sebagai etos tanggung jawab dan bukan
kekuasaan. Tanggung jawab adalah jalan sepi sang pemimpin. Dia bahkan
tidak dapat membuang tanggung jawab ke kekuatan-kekuatan adidunia dan
membawa-bawa Tuhan untuk menjelaskan bencana akibat kelalaian manusia.
Inilah juga saat para ilmuwan dan para guru filsafat memikirkan siasat
dalam fungsi pengabdian masyarakat untuk melatih kebiasaan publik agar
setia kepada proses dan kejadian agar dapat jernih menyoroti
peristiwa-peristiwa yang memang merupakan tanggung jawab manusia untuk
mengelolanya. Ilmu punya batasnya dalam berhadapan dengan misteri hidup.
Tapi sikap mudah bersembunyi dalam pernyataan saleh dan terdengar suci
bisa menjadi tanda malas berpikir. Bukankah bencana akibat salah kelola
lingkungan lalu sering cepat-cepat dianggap sebagai akibat Tuhan yang
sedang murka?
Kelima, dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan adalah
siasat untuk menjadikan kebiasaan berbelanja bukan karena kita mau tapi
karena perlu; menonton pagelaran seni, film, acara-acara televisi
sebagai bagian dari mendidik selera dan mendidik hasrat. Kita tidak
dapat mengubah penyediaan (supply) karena pertimbangan para pebisnis
adalah apa yang paling laku. Maka jalan yang perlu kita ambil adalah:
bagaimana mengubah permintaan (demand). Kebiasaan mendidik hasrat pada
gilirannya akan membantu kita memahami perbedaan antara tugas warga
negara dan statusnya sebagai konsumen. Konsumen memilih untuk
meningkatkan kenyamanan pribadi, warga negara memilih untuk menyumbang
pada kepentingan bersama. Politik bukan perkara suka atau tidak suka.
Kita memilih karena komitmen dan tanggung jawab kepada kehidupan publik.
Keenam,
inilah saatnya kita memikirkan langkah-langkah kongkret pada tingkat
seluas bangsa untuk membangun kebiasaan baru sehingga kebiasaan
mencontek, plagiarisme, mencuri uang negara beralih menjadi kebiasaan
hidup dengan integritas dan berkata benar. Melatih kebiasaan bicara
benar kepada teman, kepada saudara, anak, orang tua, dalam hukum
politik, dsb.
Ketujuh, kepada para profesional dalam bidang apapun
juga. Inilah saat kita mengembalikan makna “profesi” ke makna asalinya,
professio (Latin), yang secara harafiah berarti “janji publik”.
Profesional adalah seseorang yang memiliki otoritas tidak saja karena
dia memiliki keahlian, tetapi karena dia mengucapkan janji publik
(sejarahnya kembali ke sumpah Hippokrates c. abad ke-4 SM). Dia
mendapatkan otoritasnya karena kepakaran-cum- komitmen moral kepada
publik. Seseorang disebut profesional bukan terutama dia pakar di
bidangnya, melainkan karena dengan kepakarannya dia menjalankan tugas
dan pada saat bersamaan dia menjadikan keahliannya sebagai sumbangan
bagi kepentingan masyarakat.
Kedelapan, inilah juga saat kita melatih
anak-anak kita untuk tidak hanya melakukan apa yang mereka suka. Kalau
mereka hanya suka menonton TV kita latih mereka membaca. Tawaran ini
bukan sok intelektualis, melainkan latihan untuk membiasakan diri setia
kepada komitmen. Ciri kematangan seseorang adalah ketika dia sanggup
melaksanakan suatu pekerjaan bukan karena dia suka, melainkan karena dia
berkomitmen.
Inilah juga saat kita dalam skala terprogram
mensistemasisasikan dan mengkodifikasi sumber-sumber pengetahuan daerah
serta melakukan kajian untuk melihat kemungkinan mengembangkannya
menjadi pengetahuan sistematik, misalnya obat-obatan, resolusi konflik,
teknologi, ketahanan pangan, dsb. Hal ini sudah cukup banyak dilakukan
tetapi belum terprogram secara sistematik. Kondisi lingkungan yang
menyedihkan merupakan ancaman terbesar bagi sumber-sumber budaya yang
tersebar luas di Indonesia.
Mengapa tawaran saya adalah siasat dan
bukan peta besar atau strategi? Dengan rendah hati saya berpendapat
bahwa dalam kondisi seperti sekarang kita perlu menetapkan prioritas.
Seandainya pun kita sanggup menggambar peta besar, perjalanan kita akan
tersendat-sendat sebelum kita berhasil mentransformasikan
kebiasaan-kebiasaan publik kita.
Apabila hal-hal ini terlihat terlalu
biasa mungkin karena selama ini pemahaman kita tentang kebudayaan
terlalu esoterik dan besar sehingga kita berpandangan bahwa kebudayaan
hanya urusan para empu. Dengan mengambil model kebudayaan sebagai siasat
sehari-hari untuk menerobos gang-gang buntu, saya sebetulnya mengambil
model banyak pekerja budaya di Indonesia yang sudah selalu melihat
kebudayaan sebagai tugas yang dia pilih dan komitmen untuk
menjalankannya. Kini juga lahir komunitas-komunitas anak muda yang
menjalankan kegiatan pelestarian dan pengembangan karya-karya budaya
tanpa banyak ribut dan tidak menuntut panggung. Mereka, di antaranya,
menyusun arsip-arsip pustaka nusantara dengan cara mencengangkan
sehingga teks-teks kuno yang semula terlihat kusam bertumpuk di gudang
terpampang menjadi kisah hidup sejarah Indonesia. Menariknya, ada
kelompok yang melakukan kegiatan itu untuk melampiaskan kejengkelan
terhadap situasi kultural dan ketidakpedulian pemerintah terhadap banyak
karya-karya budaya(40). Sungguh bentuk kemarahan yang kreatif. Tidak
ada gaduh politik kendati apa yang mereka kerjakan sesungguhnya sangat
politis—merawat sejarah agar tidak tergulung ke dalam pelupaan.
Tampaknya sekaranglah saatnya kita merumuskan ulang makna semangat
pejuang.
***
Dalam kebudayaan kita ibarat terayun dari
satu kemungkinan ke kemungkinan lainnya: antara kebutuhan untuk refleksi
mendalam dan tuntutan kepraktisan, antara sarana dan tujuan, antara
wacana yang membangun kepercayaan dan janji yang tak pernah terpenuhi,
antara yang universal dan partikular, antara yang sudah meletak ada dan
orisinalitas, antara prinsip meniru bergerombol seperti kawanan hewan
dan otentisitas, antara keinginan untuk hidup dan faktisitas kematian.
Kebudayaan adalah tegangan kreatif antara ketakbermaknaan kita di
tengah-tengah kemahaluasan kosmik dan pertanyaan-pertanyaan bermakna
yang justru kita temukan dalam lingkup kecil hidup sehari-hari, antara
sub specie aeternitatis dan sub specie humanitatis. Kita tidak memilih
salah satu. Di dalam kebudayaan diri mengalami tegangan tanpa henti
antara kekakuan tradisi dan kelenturan diri untuk menemukan jalan-jalan
baru.
Sementara kita mencoba bertahan hidup di tengah-tengah karut
marut dunia, kebudayaan menjadi jalan untuk memilah dan memilih realitas
sampai kita menemukan siasat bagi dunia yang selalu terolah baru. Pada
akhirnya, transformasi kebudayaan dalam skala luas berlangsung secara
diam-diam tanpa tepuk sorak panggung, tanpa perayaan.
***
PUPU TAGUA(41)
Pupu tagua .. tagua laman pupu
Babio..babio tanah tarah
Encuke encuke riapm bunga
Riapm bunga tagua tanyung ransa
Pupu tagua tagua lama tuha
Pupu tagua tagua lama tuha
Tanah tumuh tumuh mula manyadi
Karosi’ karosi’ mula ada
Sunge sunge baikatn
Munti’ ba robukng munti barobukng
Batakng ba kulat
Pupu tagua tagua lama tuha
Pupu tagua tagua lama tuha
Nate bapadi lontatn ba pulut
Sunge ba nanga toluk bagana
Hutatn ba puaka
PUPU TAGUA
Kampung pupu tagua
Nama tanah di daerah tersebut
Sungai encuke dan riam bunga
Riam bunga tagua di tanjung ransa
Kampung tertua yaitu pupu tagua
Kampung tertua yaitu pupu tagua
Tanah itu tumbuh dan menjadi awal
Ada tanda kehidupan
Sungai ada ikannya
Bambu ada rebungya
Batang kayu ada jamurnya
pupu tagua kampung tua
pupu tagua kampung tua
di tanah yang mendaki ada padinya,
tanah yang datar ada padi pulut
sungai ada telaganya teluk ada penunggunya
hutan kekuatan magisnya
Catatan Akhir
1
Ada beberapa variasi mengenai kisah asal usul Suku Dayak. Lihat
misalnya Tjilik Riwut, Maneser Panatau Tatu Hiang : Menyelami Kekayaan
Leluhur, penyunting Nila Riwut (Yogyakarta: Pusaka Lima, 2003).
2 Saya mengucapkan terima kasih kepada Dr. Marco Mahin yang menjelaskan makna Tikar Pohon Kehidupan dan proses pembuatannya.
3
Richard Rorty, “A Pragmatist View of Rationality and Cultural
Difference,” Philosophy East and West , Vol. 42, No. 4, Mt. Abu Regional
East-West Philosophers'Conference, “Culture and Rationality” (Oct.,
1992), p. 588 [pp. 581-596].
4 Lihat “Jerit sepanjang Mahakam” dalam
Z. A. Anis, Syaharuddin, A. Aziz dalam K. Supelli, B. Ahnan, R. P
Widjomo, K. R. Indirasari (penyun.), Warisan Teknologi Masyarakat
Kalimantan Timur Dayak (Samarinda: KPA, 2012).
5 Forest Peoples Programme, “Permohonan untuk Mempertimbangkan Lebih Lanjut mengenai Situasi
Masyarakat
Adat Merauke, Provinsi Papua, Indonesia, dalam Prosedur Aksi Mendesak
dan Peringatan Dini dari Komisi Pemberantasan Diskriminasi Rasial,” 25
Juli 2013, butir 15.
6 C. P. Snow, “The Two Cultures,” The Rede
Lecture 1959, diterbitkan kembali dalam versi perbaikan, C.P. Snow,
Leonardo , Vol. 23, No. 2/3, New Foundations: Classroom Lessons in
Art/Science/Technology for the 1990s. (1990), p. 169-173. Sebelumnya,
tahun 1956 Snow sudah menulis artikel dengan judul yang sama.
7 Ungkapan yang terakhir ini saya pinjam dari Terry Eaggleton, The Idea of Culture (Oxford: Blackwell, 2000), p. 3-4.
8
Kata “culture ” awalnya dipakai dalam konteks bercocok tanam,
agricultura [Latin: agri (ager ) + cultura (colere )]. Agricultura
berarti mengolah lahan agar cocok bagi hunian manusia. Dalam colere
terkandung sikap menumbuhkan, merawat dan membudidayakan. Lihat Cicero,
Tusculan Disputations , diterjemahkan oleh Andrew Peabody (Boston:
Little, Brown, and Co, 1886), p. 96.
9 Lihat B. Herry-Priyono, B.
Sketsa Evolusi Istilah Civil Society (14 Februari 2008; belum
dipublikasi). Bdk. Helmut K. Anheier, Stefan Toepler, Regina List
(eds.), International Encyclopedia of Civil Society (New York: Springer,
2010). 23
10 Di Inggris, sebutan peradaban bagi kebudayaan tinggi
di kota-kota berasal dari Scot James Boswell [Robert J.C. Young,
Colonial Desire: Hybridity in Theory, Culture and Race (London:
Routledge, 1995), p. 30].
11 Dikutip dalam Raymond Williams, Keywords, A Vocabulary of Culture and Society (Oxford: Oxford
University Press, 1983), p. 58.
12
John Stuart Mill, “On Liberty” dalam Mortimer J. Adler (ed.) Great Book
of the Western World (Chicago: Encyclopaedia Britannica, Inc., 1996
[1869]), pp. 271-272)]
13 Hal ini sudah pernah saya bahas dalam
kesempatan lain sehingga tidak saya bahas lagi di sini (lihat Karlina
Supelli, “Memburu Nalar di bawah Bayang-bayang Hasrat,” diterbitkan
dalam Prosiding Seminar Menimbang Peradaban Bangsa , Jubileum 50 Tahun
Duta Wacana (Yogyakarta, 6-7 Agustus 2012). Lihat juga Peter Boomgaard,
“The Making and Unmaking of Tropical Science: Dutch Research on
Indonesia, 1600-2000”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde
(BKI) Vol. 162, No. 2/3 (2006), pp. 191-217.
14 Tentang nalar ekonomi dan kenegaraan bdk. Maria Bonnafocus-Boucher, “From Government to
Governance,” Ethical Perspective: Journal of The European Ethics Network , Vol. 12, No. 4 (2005), pp. 521-534.
15
Martin Hollis & Edward Nell, Rational Economic Man (1975), dikutip
dalam B. Herry-Priyono, “Berburu Manusia Ekonomi,” Majalah Basis No.
01-02, Tahun ke-57 (Januari-Februari, 2008), p. 4.
16 The Nielsen Company, Consumer Confidence: Concerns and Spending Intentions around the World , Quarter 2, 2013, 2nd edition.
17
Hubungan antara identitas, status dan kenikmatan diuraikan dengan rinci
oleh Alan Tomlinson dalam Consumption, Indentity and Style: Marketing,
Meanings and Packaging of Pleasure (London: Routledge, 1990).
18
Sherry Turkle melakukan penelitian yang mendalam mengenai
kebiasaan-kebiasaan baru yang mempengaruhi carakita membentuk makna
akibat perkembangan teknologi Digital (Lihat Sherry Turkle, Alone
Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other ,
New York: Basic Books, 2011).
19 Geert Lovink, Networks without a Cause: A Critique of Social Media , Cambridge: Polity Press, 2011, p. 50-62.
20
Sherry Turkle, Alone Together: Why We Expect More from Technology and
Less from Each Other (New York: Basic Books, 2011), p.166.
21 Sherry Turkle, Alone Together , p 161.
22 Rob Shields, The Virtual (Routledge: London, 2003), p. 3.
23
Lihat Yanuar Nugroho, “Media, Budaya dan Upaya merawat Cita-cita Hidup
Bersama,” disampaikan pada resepsi 18 tahun Aliansi Jurnalis Independen
(Jakarta: 2012).
24 Lihat Australian Council for Educational
Research, PISA 2009 Plus Results: Performance of 15-year-olds in
reading, mathematics and science for 10 additional participants
(Camberwell: ACER, 2011); Bdk. OECD (2010), PISA 2009 at a Glance , OECD
Publishing.
25 Paradigma teknologi sebagai piranti dapat dilihat
dalam Albert Borgmann, Technology and the Character of Contemporary
Life (University of Chicago Press, 1984), pp. 42-43.
26 Lihat Hans Jonas, “Towards a Philosophy of Technology,” dalam Robert Scharff & Val Dusek (eds.),
Philosophy of Technology: The Technological Condition (Oxford: Blackwell Publishing, 2003), Ch. 18.
27 David Hume, A Treatise on Human Nature (England: Hammondsworth,1987/1739), p. 297.
28
Martha Nussbaum, “Comment on Charles Taylor's `Explanation and
Practical Reason'”, in The Quality of Life , eds. Martha Nussbaum and
Amartya Sen, p. 237 (Oxford: Clarendon Pers, 1993, pp. 232-241).
29 George Orwell, “Politics and the English Language,” A Collection of Essays (New York: Hartcourt Brace, 1953), pp. 169-170.
30 Pierre Duhem, German Science (La Salle: Open Court, 1991 [1915]), p. 8..
31
Dikutip dalam Chandrasekhar, “The Perception of Beauty and the Pursuit
of Science”, Applied Optics , Vol. 29, Issue No.16 (1990). 24
32 N.
Copernicus. De revolutionibus orbium coelestium . Terj Charles Glenn
Wallis dalam M. Adler, ed. Great Books of The Western World.
Encyclopaedia Britannica Vol. 15, 1996 [1543], p. 520.
33 Poincaré,
H., “The Value of Science” terj. George Bruce Halsted dalam The Value of
Science: Essential Writings of Henri Poincaré (New York: The Modern
Library, 2001 [1905]), p. 186.
34 Burtt, The Metaphysical Foundation of Modern Science (New York: Dover Publications, Inc., 2003 [1954]), pp. 238-239.
35
Pengertian kebenaran di sini dimaksudkan sebagai “kebenaran keilmuan”
(scientific truth ). Problem epistemologis menyangkut kebenaran keilmuan
tidak saya bahas karena sudah pernah saya bahas dalam kesempatan lain
(lihat Karlina Supelli, “Ciri Antropologis Pengetahuan” dan “Apa yang
masih tertinggal dalam Ihsan Ali-Fauzi dan Zainal Abidin Baqir
(penyunt.), Dari Kosmologi ke Dialog: Mengenal Batas Pengetahuan,
Menentang Fanatisme (Jakarta: Mizan, 2011).
36 Bambang Hidayat, “Membangunkan Ilmu Indonesia,” Kompas (29 Juni 2012), p. 7.
37
Sejarah kemunculan kembali konsep masyarakat warga dalam teori-teori
politik Eropa abad ke-17 dan ke-18 cukup panjang. Lihat Jean L. Cohen,
Andrew Arato, Civil Society and Political Theory (Cambridge, Mass.: The
MITPress, 1997).
38 Bagian ini merupakan modifikasi dari naskah
yang saya tulis dan bacakan dalam Kuliah Kenangan Sutan Takdir
Alisjahbana 4 Oktober 2013.
39 Karl Popper, The Open Society and its Enemies Vol. 2 (London: Routledge, 1992), p. 249.
40 Diskusi dengan Badan Pengurus DKJ, Oktober 2013.
41
Dalam bahasa Dayak Krio, salah satu subetnis Dayak di Kabupaten
Ketapang Provinsi Kalimantan Barat. Saya berterima kasih kepada
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar