Politik, di Indonesia, dengan gampang akan mengubah manusia
Indonesia dari manusia pembelajar menjadi manusia kurang-ajar. Rumusnya
sederhana, politik tidak pernah mengajak kita untuk sampai pada substansi.
Karena politik kita, masih dalam ranah paling elementer, yakni lebih pada
politik kekuasaan.
Politik kekuasaan, berbeda dengan politik kebudayaan,
politik kemanusiaan, politik kesejahteraan rakyat, dan sejenisnya, yang
beralamatkan lebih jelas, yakni kepada obyek di luar subyek. Lebih berorientasi
ke luar, dan bukan demi diri-sendiri. Sementara politik kekuasaan, lebih
melihat bagaimana semua hal di atas bisa dilakukan jika kekuasaan sudah di
tangan.
Orientasi berkuasa terlebih dahulu baru kemudian berbuat
demi orang lain di luar dirinya, seolah menjadi sebuah keniscayaan. Padahal
pada praktiknya kita melihat, begitu berkuasa semuanya menjadi lupa. Dan jika
sudah duduk, lupa berdiri.
Karena itu, fungsi-fungsi dalam teori negara demokrasi yang
berkeseimbangan, dengan adanya legislatif dan yudikatif, pada akhirnya tidak
berlaku karena semuanya menjadi eksekutif. Fakta menunjukkan, bagaimana para
politikus yang masuk menjadi anggota parlemen, menjadi bagian internal dari
lembaga eksekutif. Lebih celaka lagi, tentu, ketika lembaga yudikatif pun
adalah kepanjangan tangan, atau pada akhirnya menjadi bagian dari, untuk
kepentingan melindungi suatu sistem kekuasaan yang oligopolis dan korup.
Belum lama berkecimpung dalam politik, dengan masuk sebagai
kandidat presiden melalui konvensi Partai Demokrat, Anies R. Baswedan sudah
bisa bersilat lidah, menjelang acara kampanye berkelilingnya di beberapa kota
di Jawa. Ia tidak ingin ‘blusukan’ sebagaimana Jokowi. Blusukan menurutnya
tidak efektif, karena pemimpin hanya mendengar, tidak ada eksekusi, dan itu tak
lebih dari pencitraan. ARB (Anies R. Baswedan) kemudian membandingkan dengan
apa yang akan dilakukannya, berkeliling. Menurutnya berkeliling seperti yang
akan dilakukannya, lebih baik, karena sifatnya interaktif dan strategis.
Salah satu ciri politikus Indonesia, perdebatan dan diskusi
yang dikemukakan, selalu lebih merupakan debat semantik, sibuk dengan
peristilahan atau pun wacana, tapi tak pernah masuk lebih dalam ke makna
substantifnya. Lihat saja apa isi statemen, pernyataan, dari orang-orang yang
menjadi Capresi 2014, para politikus di Senayan, para Menteri dan bahkan
Presiden, semuanya sibuk dengan wacana, yang ujung-ujungnya, hal itu berkait
dengan kepentingan diri mereka sendiri dan atau kelompoknya. Ujung dari semua itu, hanya kesibukan pada
pencitraan.
Target goal dari semua itu tentu nilai. Akumulasi nilai,
dari mana pun, diyakini itulah yang akan mengatrol eksistensinya, dan dengan
itu ia akan tetap bertahan, dipercaya, didukung, dan akhirnya dipilih. Karena
tidak menguasai ilmu kebaikan dan kemuliaan, cara menyingkirkan orang lain, dan
agar dirinya menjadi yang terbaik serta terpilih, hanya dengan menyingkirkan
orang lain atau kompetitor.
Bagaimana cara menyingkirkan orang lain atau kompetitor?
Ilmu politik kita yang hanya mengenal ‘politik sebagai jalan kekuasaan’, ialah
dengan apa yang kemudian dipraktikkan ramai-ramai sekarang ini. Dengan
menjatuhkan lawan, menyingkirkan kompetitor, merendahkan saingan.
Dan politik kekuasaan yang tak pernah mengajari substansi
nilai-nilai kemuliaan, hanya akan mendidik pribadi-pribadi yang bengis dan
jahat. Pribadi semacam ini, pribadi yang menghalalkan segala cara untuk
mencapai tujuan. Itu yang kemudian kita mengenal istilah politik itu kotor.
Karena memang yang dihayati hanyalah nilai-nilai kekotoran dari politik. Ialah
ketidakmampuan mengelaborasi, dan bahkan memformulasikan, nilai-nilai kompetisi
dan partisipasi dalam demokrasi itu menjadi elan-vital dan dialektika
pemikirannya.
Hasilnya, kita lihat pernyataan-pernyataan ngawur dari para
politikus kita, bukan hanya pada Ruhut Sitompul, Sutan Batoeghana, Noerhayati
Aseegaf, Rhoma Irama, Fachri Hamzah, tetapi juga bisa sampai pada Amien Rais,
Jusuf Kalla, Prabowo, Abu Rizal Bakrie, Susilo Bambang Yudhoyono, bahkan juga
pada Anies R. Baswedan yang mau mengajari Indonesia.
Kita mesti lebih berhati-hati untuk terpukau. Karena dalam
pencitraan, orang bisa dan boleh terlihat begitu besarnya dan megalomanian.
Tetapi, ketika masuk dalam sistem dia tak bisa mengurai keruwetannya, ia akan
menjadi bagian dari masalah, atau bahkan pembuat masalah, yang sudah
barangtentu bukan pengurai serta penyelesai masalah.
Lihat saja, bagaimana dari 2004 hingga 2014, pemimpin yang
dulu konon mempesona kaum ibu-ibu, kini tak bisa memenuhi harapan kaum ibu,
agar dapurnya berjalan sehat-sejahtera dan berkelanjutan.
Lanjutkan! Apanya? Penderitaannya? Tahun 2014, mestinya
rakyat tak gampang lagi dibujuk.
ulasan yang menarik
BalasHapus