Jumat, Februari 28, 2020

Jokowi sebagai Pedagang dan Influencer

Presiden Jokowi berencana mengguyurkan Rp 72 milyar untuk influencer. Dengan hal itu diharap mampu menangkal dampak virus corona terhadap sektor pariwisata Indonesia. Itu dana pribadi? Enggaklah. Itu duit Negara, duit rakyat.

Keputusan yang aneh. Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan anggaran Rp 72 milyar akan diambilkan dari APBN 2020. Masih ada sekitar Rp 298 milyar untuk promosi kegiatan wisata, maskapai dan agen perjalanan, berkait industri wisata kita yang terpuruk akibat (isu) virus Corona.

Apa itu influencer? Sejenis SJW (social justice warriors) bentuk lain? Inilah Indonesia. Siap-siap dengan perubahan nilai, juga moral. Influencer adalah orang yang bisa memberi pengaruh di masyarakat (via medsos). Saat ini, influencer banyak berseliweran di media sosial; Youtuber, selebgram, selebtwit, beautyblogger, travelblogger dan key opinion leader. Mereka para creator pembuat content di medsos.

Sebagaimana namanya, mereka menggunakan berbagai platform medsos, untuk memposting kata-kata, gambar, suara, atau video. Disebut influencer karena memiliki banyak pengikut setia. Pada sisi itulah, influencer digandeng sebagai rekan pemilik bisnis (maksudnya, pemesan atau pembayar). Tujuannya untuk mempromosikan produk dan meningkatkan brand awareness. Diharapkan, ujung-ujungnya, influencer  membantu si pemesan meningkatkan penjualan.

Mulai skala kecil, menengah, hingga pun untuk politik kekuasaan. Makanya dalam Pilpres, Pilkada, Pilgub, sampai Pildes pun, banyak di antara teman kita kaya mendadak, kemudian bikin café kopi atau bikin komunitas mobil kuna, dan seterusnya.

Cara pandang Jokowi, berkait penanganan wisata dan influencer ini, khas pedagang. Tidak salah mungkin, tapi itu menunjukkan caranya dalam melihat permasalahan secara keseluruhan. Atau paling tidak, kegagalannya dalam apa yang disebutnya sebagai membangun supra-struktur dan SDM bangsa Indonesia. Karena tak sabar, terdesak waktu? Sehingga sebagaimana Sukarno, sehabis sukses dengan Pemilu 1955, justeru membubarkan Parlemen, dan membentuk Kabinet 100 Menteri?

Hal itu pernah diucapkan pada para menterinya. Jokowi tak mau tahu bagaimana proses. yang penting hasil. Hasil tanpa proses, adalah omong kosong, kecuali dalam jual-beli. Kita yang tak punya pohon duren bisa punya duren karena kita punya duit. Tidak pentingkah bagaimana cara kita, atau proses punya duit itu?

Itu pertanyaan filosofis. Tertarikkah Jokowi pada persoalan strategis ini, karena dia ngomong akan fokus pada pembangunan SDM? Tapi kenapa ujung-ujung, antara lain, mbayarin influencer?

Langkah Jokowi ini, menghina para professional, atau para calon professional, yang memproses diri begitu hebat, tekun, kerja keras, kemudian dipecahbelahlah potensi itu dengan orang-orang bayaran, yang pasti akan bertumpu pada soal like and dislike.

Sementara kita tahu, di abad digital ini, dengan metoda algoritma dan manajemen troll, tidak sulit menjadi influencer. Itu soal kepandaian bermedia dengan segala aspeknya. Tergantung tega atau tidak mempraktikkannya. Karena bahkan dengan konten yang tak berkonten pun, seseorang bisa menjadi influencer, setidaknya punya jutaan followers.

Bukti Jokowi tak menghargai proses, ia sama sekali tak peduli Lemhanas (Lembaga Ketahanan Nasional) dan TVRI (serta RRI). Dua lembaga itu, sama sekali tak tersentuh. Malah mak-bedunduk muncul BPIP, yang di lapangan toh tak berdaya menghadapi berbagai kasus anti Pancasila, seperti intoleransi yang marak di berbagai daerah. Lha wong Menteri Agama, yang jenderal bekas pun, hanya omong belaka, jika tak boleh bilang punya agenda sendiri.

Jika kita (katakanlah saya) mengritik Jokowi, bukan karena benci atau kecewa atas pilihan, apalagi terus gabung kadrun (kadal gurun) dan kamdrun (kampret gurun). Karena Jokowi bilang dia akan tanpa beban, nothing to lose, maka kita ingatkan soal legacy-nya. Tentu saja, membangun Indonesia tidak mudah. Dan periode transisi ini lebih sulit lagi.

Pilihan atas Jokowi adalah tepat, daripada Prabowo. Prabowo jelek? Tidak banget sih. Cuma ia sosok paling lemah dan mudah ditempeli berbagai kepentingan, yang sebenarnya hanya memakai Prabowo sebagai tumbal.

Jokowi adalah inserting. Ia penting untuk pembangunan infrastruktur, yang selama ini hanya dibacotkan presiden-presiden sebelumnya, sejak Soeharto. Kita bener-bener negara brengsek di segala sisi, hingga trust masyarakat sulit terbangun.

Periode pasca Jokowi, barangkali baru akan menuju proses itu. Bagaimana demokrasi mestinya tak lagi direcoki kepentingan kelompok politik identitas, sebagai pelarian kegagalan dalam kontestasi demokrasi Pancasila. Itu pun seandainya berjalan mulus.

Karena tak ada seorang elite pun yang bebas skandal, kecuali Jokowi. Tapi justeru karena itu, ia harus pontang-panting. Poyang-payingan tak karuan. Karena di antara para pembantunya pun, belum tentu bersih dari kepentingan berbeda, apalagi sebagai musuh dalam selimut.

Kritik adalah cara lain ‘ngeman’, menyayangi. Karena kalau Prabowo bisa nyapres lagi, entah dengan Wapres bernama Anies Baswedan, berarti para rasionalis dan nasionalis terus harus turun ke jalan. Pertarungan masih panjang.

Di bagian tengah, saya sebut soal Lemhanas dan. TVRI (serta RRI), nantilah disinggung dalam tulisan lebih serius, sebagai bahan kritik pada Jokowi untuk hal-hal strategis. Meski saya juga tahu, resiko mengritik influencer pasti ada. Tapi ada kepentingan lebih besar daripada itu. 

Menjadi blogger, youtuber, fesbuker, instagramer, wa-er dari kelompok amatir dan independen, juga tetap bisa mengabdi pada bangsa dan negara. Karena mengabdi negara adalah kewajiban dan kesadaran setiap anak bangsa. Bukan karena dibayar, apalagi masuk APBN Rp 72 milyar.

Ya, kecuali Jokowi hanya mampu membangun kesetiaan dan kewajiban warga negara dengan cara membayar. | @sunardianwirodono


Sabtu, Februari 08, 2020

Mempertanyakan Jokowi: Antara Harapan dan Kekecewaan


Dalam survey kebijakan publik yang dilakukan sebuah lembaga survey di Jakarta, masyarakat Jakarta sebenarnya lebih bisa menerima dan mendukung kebijakan Ahok daripada Anies Baswedan. Apalagi soal penanganan banjir dan penanganan sungai.

Namun jawaban seperti itu terjadi ketika pertanyaan mengenai bentuk dan jenis kebijakan yang sama sekali tak menyebutkan nama.  Responden ditanya mengenai substansi kebijakan, tanpa menyebut kebijakan siapa. Sedang pada pertanyaan yang menyebut nama pemilik kebijakan, responden lebih mendukung Anies daripada Ahok. Sekali pun, kebijakan itu tidak tepat, atau pun tidak dipahami.

Kesimpulannya bukan saja masih adanya polarisasi warga, namun persoalannya adalah dukungan pada Anies bukan karena kapasitas dan kapabelitas. Lebih karena pertimbangan subjektif, dan bukan objektif, sebagaimana jauh sebelum Pilkada DKI Jakarta 2017 ditetapkan, telah diproyeksikan dengan tepat oleh Eep Saefulloh sebagai konsultan politik cawagub Sandiaga Uno (dalam Pilkada 2017).

Begitulah persoalan kita (seandainya dianggap persoalan, dan oleh kita). Sebagaimana masyarakat dan Pemda Natuna menolak 238 WNI yang hendak dievakuasi ke Pulau Natuna, karena kekhawatiran terkena dampak penyebaran virus Corona. Walhal, WNI yang sebelumnya tinggal di Wuhan, Tiongkok itu, hendak diorbservasi, Apakah sudah terdampak virus Corona.

Senyampang itu, berapa orang atas nama HAM (juga diam-diam atas nama agama), meminta Pemerintah Indonesia memulangkan para kombatan dan korban ISIS dari Indonesia. Padal, semua tentu mesti dilihat persoalan aturan hukum dan undang-undang, serta menimbang prioritasnya. Berdasar UU Kewarganegaraan Indonesia, baik kombatan atau pun korban, bukan lagi WNI (Warga Negara Indonesia). Meski pun tentu pendapat ini bisa ditentang pakar hukum tata-negara lainnya mengenai azas Due Process of Law and a Fair Trial Principles. Lantas, di mana proporsi pemerintah Indonesia dalam hal ini?

Pada sisi ini, meski mengaku menganut paham negara demokrasi dan hukum, banyak elite kita, termasuk para SJW, sering tidak persisten dan disiplin mengedepankan hukum sebagai prasyarat seorang demokrat di negara berdemokrasi. Selalu saja yang muncul adalah kepentingan subjektifnya. Persis orang masjid mengutuk China tapi menggunakan TOA made in China.

Pemerintah atau kita harus melihat sejarah, atau asbabul wurudnya? Lha, bagaimana sejarah para kombatan dan korban ISIS dari Indonesia ini? Mereka tidak mengakui pemerintahan dan negara Indonesia. Mereka membakar ‘identitas’ keindonesiaannya. Bahkan, yang pernah jadi teroris lintas batas negara dan direhabilitasi di Indonesia, tetap saja melakukan aksi terorisme. Aktivitas dan aksi mereka ini juga harus secara adil dinilai dari sisi HAM. Ada korban yang ditimbulkan akibat perbuatan mereka dan dari kelompok mereka. Posisinya adalah mereka dan kita. Bagaimana menjadi ‘kami’?

Mengapa kita mengistimewakan ISIS, hingga perlu Menag pertama kali berniat memulangkan, tapi kemudian esuk dele sore tempe? Sehari kemudian ngomong beda lagi, karena katanya ISIS sadis dan jahat.

Kalau saya (nyebut kita, nanti disalahin), gampang saja. Siapa elite kita yang ngomong perlunya pemulangan ISIS ini? Entah itu politikus, anggota parlemen, atau Menteri agama sekalipun (sudah meralat). Kalau Amien Rais nggak ikut ngomong, berarti dia tidak ikut proyek ini, atau nggak diajak. Entah kalau Ridwan Saidi. Kalau PKS? Ya, itu maqam-nyalah.

Sementara dalam soal lain, kita pura-pura tak mendengar. Bagaimana dengan orang-orang Pro Sukarno dulu, sebelum 1965, yang dikirim untuk belajar ke luar negeri, namun ditolak balik ke Indonesia (kecuali mau tandatangan bersetia pada Soeharto)? Belum lagi soal HAM dengan isu PKI. Atau soal Timor Timur, Papua, Aceh, Tragedi Semanggi, Munir, Wiji Thukul, Komunitas Kamisan, atau Novel Baswedan yang mbulet?

Apa prioritas kita? Negara ini tak punya roadmap. Tak punya langkah-langkap prioritas. Omong kosong dengan para elitenya, yang tak bisa bersatu-padu, gotong royong secara serius memikirkan negara. Masih kayak tinggal di jaman kerajaan, dengan seorang raja titisan Tuhan yang jadi tumpuan harapan dan persoalan semua orang. Padal di sisi lain, semua orang pengin jadi raja. Bukan hanya Toto Santosa, Rangga Sasana, atau Dony Pedro. Tak heran, jika setiap rezim mudah diombang-ambingkan kepentingan sekelompok pressure group, dan para penumpang gelap.  

Sementara kita juga mengetahui, betapa sangat menyebalkan jika semua hal diurus negara. Selain tentunya, hal itu menunjukkan betapa lemahnya rakyat. Padal, Negara bukanlah agen moral. Rakyatlah agen moral, kata Noam Chomsky, dan dapat memaksa standar moral kepada institusi yang berkuasa. Memang akan sangat tergantung rakyat memaknai dan memposisikan para elite-nya. Dan pula, kita tak bisa memastikan perubahan di pundak satu orang, sekali pun ia bernama presiden yang kita percaya. Rakyat kuat negara kuat, kata Bung Karno. 

Di awal pidato pelantikan periode keduanya, Jokowi bilang nothing to lose. Saya juga nothing to lose untuk menanyakan langkah strategis Jokowi. Tak usah dijawab di sini, Pak. Dalam hati nuranimu saja, untuk persoalan legacy di luar soal infrastruktur! | @sunardianwirodono




KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...