Jumat, Maret 06, 2020

Bagusan Mana, Antara Media Mainstream dan Medsos?

(1) Masih soal Corona. Agaknya ini menjadi contoh paling serius, bagaimana bangsa dan negara ini mengatasi, atau menyikapi, suatu persoalan secara krisis atau pun kritis.

Apa beda krisis dan kritis? Menurut KBBI, bisa sama bisa beda. Itu membingungkan. Dari sisi bahasa saja tidak kompak. Bahwa bangsa ini dari sisi peradaban masih muda. Maka kalau ada budayawan ngehek, entah itu bernama Ridwan Saidi, atau nama-nama yang dibudayawankan media mainstream, hanya menunjukkan media mainstream pun bisa jadi sumber masalah.


Dalam KBBI krisis diartikan sebagai keadaan berbahaya (misal menderita sakit parah sekali, keadaan genting, kemelut, saat yang menentukan ketika situasi menjadi berbahaya dan keputusan harus diambil). Bisa juga dalam pengertian kemerosotan seperti dalam istilah krisis ekonomi, krisis keimanan, krisis kepercayaan.


Namun dalam KBBI juga disebutkan kata kritis, yang mempunyai arti kata sama dengan krisis, dengan imbuhan makna lain: (1) bersifat tidak lekas percaya; (2) bersifat selalu berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan; (3) tajam dalam penganalisisan. Makna 1, secara logika masih selaras dengan penjelasan awal. Makna 2 dan 3, jelas berbeda.


Sama-sama istilah serapan, apakah kita sudah sepakat soal identitas dan makna virus Corona? Dalam pandangan pemerintah, masyarakat awam, ulama, maupun media (mainstream dan medsos), sangat beragam. Sesuai kepentingan dan otaknya.

Orang gila kasus ketemu kasus gila, klop kata Gus Dur. Apa yang ditulis Fahira Idris, anggota DPD dari DKI Jakarta, sangat jelas; Menunjukkan tingkat kebodohan paling akut, apalagi sebagai pejabat publik. Fahira menulis angka-angka yang terkena virus Corona. Bagaimana akurasi dan apa rujukannya? Mengerti kriteria medisnya?


Berapa sesungguhnya yang comfirmed terkena virus Corona di Indonesia? Belum ada data. Dua pasien yang dikatakan terindikasi, masih dalam proses observasi, pasien dalam pengawasan. Artinya belum positif terjangkit virus. Tapi penghakiman sudah muncul.


Mengapa soal virus Corona, yang belum jelas persoalannya, menjadi pusat kekacauan? Senyampang itu, mengapa kita tenang saja setiap hari ada 80 orang meninggal karena kecelakaan lalu-lintas? Bagaimana dengan kanker paru 1,7 juta penduduk Indonesia? Berapa orang mati tiap hari karena narkoba? Bagaimana dengan virus dengue (DBD), yang tiap tahun menular ke 70,000 orang, dengan daya tular lebih hebat dari corona? Tahun lalu, yang terkena DBD lebih dari 100.000 orang. Semua angka itu bisa dirujuk pada lembaga terkait. Kenapa tak ngomyang?


Ada redaktur media bilang fakta itu suci, dan disembahnya, tapi kenapa menulis ini dan bukan itu? Ada yang namanya pilihan bukan? Pilihan karena apa? Prioritas? Kesiapan? Kepentingan? Tafsir? Itu semua berjalan dengan logika bukan? Logika membangun opini untuk memutuskan bukan? Kecuali kerja tanpa otak! 


*

(2) Apakah media mainstream lebih bermutu dari medsos? Pertanyaan itu mengusik usai menonton acara Rosi (Kompas TV, 5/3/20, semalam), dengan narsum pemain media mainstream kompasdotkom, tempo, dan TV One. Tentunya juga Kompas TV, karena Rosi sebagai host tampak reaktif mewakili kepentingannya (sebagai pegawai media mainstream). 

Sikap tiga narasumber media mainstream itu, menunjukkan otoritas kepentingan mereka. Mungkin eksistensinya terancam dalam jaman berubah ini. Ketika internet muncul, dan pola komunikasi serta interaksi antarmanusia (juga antarbidang) berubah, pernyataan-pernyataan mereka tidak relevan. Apalagi menilai media mainstream dari nama dan alamat jelas, medsos tidak jelas, sangat individual, anonym, bahkan pseudo-name.


Di jaman digital ini, nama dan alamat tidak penting. Untuk mendeteksi, cukup dengan hukum logaritma. Tidak lagi secara analog. Kepolisian Indonesia pun sudah bisa mencari di mana media abal-abal, dengan nama dan alamat yang “tidak ada” itu. 


Intinya adalah content. Kini semua orang bisa memiliki media. Istilah Joel Stein, dalam abad ini semua anggota masyarakat adalah tokoh masyarakat. Institusi tidak penting, karena kenyataannya semua berangkat dari kualitas dan kapasitas individu.


Buktinya? Orang MUI bisa bilang virus corona karena suka makan babi. Gubernur DKI Jakarta bilang situasi genting, tapi senyampang itu pemda-nya jualan masker ke masyarakat dengan harga pasar. Dimana gentingnya? Gentingnya tentu di atap. Kalau gentingnya di kepala, hasilnya seperti Anies Baswedan.


Betapa bisa lamisnya nama atau lembaga. Bukan sekedar identitas, melainkan juga pretensi dan tendensi. Media yang mengaku mainstream juga bisa salah. Bisa pula jahat. Bisa jadi juru penggelap, bukan penerang. Apa apologi Tempo soal Paus Fransiskus terkena Corona? Apa penjelas Kompas mewawancara pasien? Apa penjelas TV One dengan reporter berkostum heboh? Apa alasan Karni dengan narsum asal-comot soal Corona? 


Semua kembali ke moralitas individu. Kembali ke kualitas content. Tidak penting apakah ada nama teregistrasi dan terverifikasi atau tidak. Tergantung pada centhelan.
Masalahnya, centhelan kayak apa? Kepentingan pragmatis? Logika keadaban? Fanatisme agama? Atau nyari duit belaka? Tidak penting jargon-jargon seperti amanat hati nurani rakyat, menjadi terang dunia, enak dibaca dan perlu, memang beda, independen dan terpercaya. Atau cerdas basi jenaka pun basi?


Lihat saja apa content-nya. Apakah berada di jalur eksplorasi atau eksploitasi. Itu salah satu cara menilai. Bahwa fakta itu suci, mungkin benar. Tapi bagaimana dengan tafsir, itu fakta bukan (fakta bahwa adanya tafsir)? Dan fakta soal tafsir itu suci kagak? 


Suci dalam debu? Suci stand up comedy Indonesia? 




(3) Medsos lebih bebas merdeka dari segala tuntutan tanggung-jawab dibanding media mainstream. Kata siapa? Itu kata para pemain media mainstream dalam acara Rosi semalam. Enak saja! UU-ITE adalah ancaman nyata.
UU-ITE Jauh lebih berat daripada sekedar UU Pers dengan Dewan Pers yang lebih banyak sebagai dewa pelindung pers. Siapa yang melindungi masyarakat dengan medsosnya di bawah UU-ITE? Siapa pembelanya? 


Jika pun UU-ITE dianggap tidak berbahaya, lebi
h karena kesadaran dan pengetahuan masyarakat (juga pejabat negara) atas hukum, tidak sangat baik. Apalagi pada praktiknya hukum sering dipermainkan uang dan kekuasaan.
Bahwa ada keburukan medsos, yang tanpa kurasi dan pengawasan (ketika berpikir dan menyatakan pendapat), memang. Apa yang ditulis Joel Stein dengan istilah ‘trolls’, cyber-bullying adalah kenyataan sosial kita hari ini. Ada fasilitas penunjang untuk itu. Jaman nabi-nabi, belum ada internet, juga yang pasti belum ada Felix Siauw dan Tengkuzul.


Selama masih bernama media, maka pokok persoalannya adalah kualitas manusia. Sama dengan tidak sangat penting apakah bernama MUI, Menteri, Kompas, KSP, TV One, Tempo, ILC, Metro TV, Presiden, Golkar, PDIP, dan sebagainya. Sampai pada pernyataan ekstrim; tidak ngaruh ideologinya apa, pendidikannya apa, agamanya apa. 


Celakanya, dunia (apalagi Indonesia) tak sebagaimana digambarkan Alvin Toffler, dengan gelombang-gelombang perubahannya. Di Indonesia yang sangat liberal ini (artinya demokrasi tanpa aturan dan disiplin, juga pengetahuan), yang terjadi adalah gelombang puting beliung. Masih mendingan puting susu. 


Dengan reputasi sebagai negara nomor dua dunia, dari bawah, dalam tingkat literasi masyarakatnya, tiba-tiba masuk abad digital. Dan sebagai bangsa yang tak produktif, seperti kata Pram, makbedunduk muncul teknologi komunikasi yang canggih. 


Dalam soal kapitalisme, serta konsumerisme, Gus Dur bilang bangsa Indonesia tak perlu diajari. Jangan lupa, Karl Marx pun mengembangkan teori sosialnya setelah membaca tulisan Raffles mengenai tradisi gotong-royong masyarakat Jawa abad 17.


Media mainstream dan medsos sama saja, selama masih dijalankan oleh manusia. Dan jangan lupa, manusia Indonesia. Bisa jadi penerang dan penggelap. Bisa melakukan penerangan dan penggelapan. 


Lha wong menyebut sebagai media mainstream pun, saya kira, itu kebohongan awal. Mainstream kok cuman follower dari kenyataan dengan mengatakan fakta itu suci! Bukankah itu tafsir? Dan atas kehebatan tafsirnya bisa menjadi arus utama? Trend-setter? Itu berkat campuran opini bukan? |
@sunardianwirodono

Yang Baik Membutuhkan Media Baik

Yang terburuk dari dunia media, adalah jargon ‘bad news is good news’. Dari sisi mana? Dari sisi spirit jualan. 

Maka ketika Dahlan Iskan menulis pasien terkait virus Corona, kita maklum; Begitulah orang jadul. Dalam etika jurnalisme dia boleh saja berargumentasi, namun dalam konteks masa kini, hal itu menjadi persoalan dengan komunikasi sosial dan psiko-sosial kita.

Termasuk bagaimana Kompas menulis wawancara dengan pasien virus Corona, dengan mengutip secara verbatim pernyataan narasumber; Bahwa selama di RS pasien tidak diberi obat. Hanya di Indonesia pasien bisa diwawancara media, dan disiarkan publik. Tanpa konfirmasi atau crosscheck bagaimana SOP penanganan pasien itu di rumah sakit.

Wartawan boleh bilang ini jaman keterbukaan, tapi jangan goblog-goblog bangetlah, apalagi seolah paling tahu. Era wartawan sebagai burung nasar, mungkin karena terinspirasi heroisme para wartawan di Amerika Serikat decade 70-an. Jadul banget. Ini abad digital Bung, di mana troll adalah fakta, bukan lagi perdebatan antara ini fakta atau opini! 

Maka bandingkan dengan penanganan kasus Reynhard Sinaga, monster sex di Inggris. Proses pengadilan berjalan dua tahun lebih, tanpa pers sama sekali mengetahui. Baru gempar ketika pengadilan menjatuhkan vonis pada lelaki asal Indonesia itu. Dan, Kompas TV merasa eksklusif dengan menyuruh Aiman Wicaksono memburu berita itu ke London. Basi, Bung! Apalagi isinya tanpa kedalaman, tak memberi impresi apa-apa selain kesan bombasme dalam meladeni kekepoan masyarakat Indonesia.

Sayang sekali pemerintah Indonesia tak punya official media yang bebas dari kepentingan pasar. Yakni media dengan informasi yang terukur akurasinya, standar, dan terkonfirmasi pihak-pihak kompeten serta punya otoritas. Ini negeri sangat liberal, mencari direktur TVRI pun antara lain yang jadi ukuran adalah ‘meningkatkan popularitas’ TVRI. Pasar ekonomi mulu pikirannya. 

Langkah Jokowi dalam hal ini pun terasa pragmatis. Ambil gampangnya dengan mengguyur milyaran rupiah bagi para influencer. Makhluk macam apa influencer ini? Jokowi sama sekali tak memerlukan official media, meski dalam manajemen informasi negara kelimpungan menghadapi berbagai isu. Jokowi lebih memilih nge-vlog pribadi, bahwa dirinya sudah 17 tahun minum jamu. Masih lama’an simbah saya, Pak. Sepanjang hayatnya minum jamu, sampai meninggal di usai 103 tahun dalam kondisi sehat.

Apakah program televisi semacam ILC bagian dari bagaimana bangsa ini meng-elaborasi suatu permasalahan, sebagai pokok bahasan yang urgen? Meski mempunyai durasi yang cukup panjang, program itu sering tak berimbang karena nara-sumbernya para pihak yang punya kepentingan masing-masing. ILC hanya sebuah ruang tinju, forum amplifikasi masing-masing pihak, dan sok bijak menyerahkan kesimpulan pada masyarakat. Karni Ilyas sebagai host, tidak representatif untuk meresume hasil diskusi, apalagi memberi impresi bagaimana terjadi proses transformasi nilai pada masyarakat. Ia hanya menambah penguatan masing-masing kubu.

Jika beberapa hari lalu saya menulis mengenai Lemhanas (Lembaga Pertahanan Nasional), bayangan saya di lembaga inilah orang-orang yang bekerja di ruang publik, entah itu pejabat negara maupun wartawan, penyiar radio, dsb., bukan hanya memiliki standar kompetensi. Melainkan juga kesadaran ideologi dan profesi,mengenai nilai pekerjaannya yang berdampak pada kehidupan masyarakat. Sebuah lembaga yang mengedukasi dan observasi para calon profesional, agar secara teknis dan ideologis memahami masalah-masalah dasar seperti politik, psikologi, komunikasi massa, kebudayaan, sejarah, ideologi negara, dan juga filsafat. Bukan semacam BPIP yang sampai sekarang tak jelas pekerjaannya.

Dulu saya mendengar Jokowi mau melakukan revolusi mental. Saya milih dia. Di periode kedua mau membangun kualitas sumberdaya manusia. Saya milih dia. Tapi mana? Makbedundug muncul virus Corona, dan kita kelimpungan dibuatnya. Lha wong soal ekonomi gotong-royong BPJS saja, malah jadi ajang korupsi, baik rumah sakit maupun manajemen BPJS itu sendiri. Bagaimana rakyat yang urunan BPJS tidak mangkel? Tapi meski mangkel, dengan mentalitas korup di semua lini itu, saya tidak menjadi kamdrun (kampret di gurun), karena ngeri kemarin lihat pawai para mantan HTI bebas melintas di Malioboro, meneriakkan syariah-khilafah dengan kawalan Polisi. Kok bisa, Pak Pol? Dan media juga diam saja, takut didemo.

Moga-moga di masa depan kita punya media yang baik, sebagai cerminan bangsa ini tumbuh dengan baik. Itu sekiranya komunikasi kita masih membutuhkan huruf. | @sunardianwirodono

Lemah Syahwat tapi Ngacengan

Melihat dua mata Jokowi yang mbendul, wajahnya yang capek, ketika muncul di vlognya ngomongin bagaimana selama 17 tahun ia minum jamu empon-empon, saya hanya bisa menggumam; Kasihan orang baik ini. 

Untuk ngomong "minumlah jamu tradisional agar mampu melawan virus corona", Jokowi masih saja rendah hati. Tak mau cablaka, terus-terang, terang terus. Apakah dia berada di tempat yang salah?

Entahlah, saya tak tahu mau tuhan. Tapi kalau bener vox populi vox dei, artinya si dei menghendaki dia jadi presiden. Bahwa ada kurang dari separoh tak menginginkan, mereka mesti nerima aturan demokrasi. Tidak leda-lede, kalah tapi kasak-kusuk terus. Mbok Sabar, apa Mbok Berek, kayak ayam goreng itu lho, enak!

Jaman kerajaan dulu, lebih mudah. Nggak nerima raja baru lalu berontak. Siapa mati siapa digdaya, hukumnya jelas. Jaman sekarang, nentang raja tapi nantangnya di media. Ngejelekin negeri sendiri tapi motivasinya menjatuhkan pemerintahan. Dan dianya yang menggantikan. Makanya ogah disuruh pindah. Beda kalau ngusir orang, semena-mena.

Bukan kritik tapi gertak sambal, sambil nyuri dan nyari perhatian. Sibuk akrobat kata-kata belaka. Bukan hanya karena tak ada solusi diberikan, kritiknya sendiri sangat sumir. Menunjukkan bukan atas pemikiran kritis tapi krisis pemikiran. Dari cara penyampaiannya saja, kelihatan nir-adab dan nir-akhlak sebagai tanda tak mampu.

Yang paling dahsyat, para oposan Jokowi justeru memanfaatkan isu virus Corona. Dalam proxy war abad ini, mereka ini bener-bener bodohnya bodoh. Hingga hilang akal dan rasa kemanusiaan.

Apakah kita ngerti soal Corona ini, sesungguhnya? Pemberitaannya gencar banget, terutama dari luar negeri. Menjadi momok mengerikan. Dan celakanya, kita nikmati info-info itu pas musim hujan sambung-menyambung. Pergosipan jadi menggila sambil kemulan dan kelonan. 

Sebenarnya apapun virusnya (apalagi jika hal itu buatan manusia), pasti sesuatu yang bisa diantisipasi. Apalagi untuk negeri tropis seperti Indonesia. Belum pula kadar kesadaran akan kesehatan yang rendah, diam-diam membangun sistem metabolisme dan imunitas (daya tahan tubuh) yang lebih dahsyat, kuat, dibanding bangsa-bangsa kulit terang. 

Tapi kalau kadrun nggak percaya Jokowi, mongsok mereka tidak percaya info dari negara-negara besar, yang konon kafir dan lagi collaps ekonominya itu? Mereka bilang Indonesia tak punya kapasitas dalam menangani virus Corona, kan itu kalimat sexy banget sebagai tagline mendelegitimasi pemeritahan? Dan pembicaraan yang mestinya ilmiah jadi klenik. Tapi begitulah politik, termasuk politik perang dagang. Tak sedikit teman kita yang sukarela, tanpa sadar, jadi agen.

Hukum alamnya; Manusia yang sehat mempunyai daya imunitas tinggi. Dengan itu, ia bisa kalis dari berbagai serangan virus. Bagaimana cara sehat dan kuat jasmani? Pertanyaan bodoh nggak perlu dijawab. 

Sama seperti virus bernama hoax. Hanya memakan yang lemah pikir, lemah iman, dan lemah syahwat, tapi ngacengan.

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...