Minggu, Agustus 23, 2020

DARI FILM PENDEK "TILIK"

Menantang Iman Brotoseno dan TVRI

 

Oleh Sunardian Wirodono

 

Pembicaraan kita tentang Tilik, terpecah menjadi dua blok. Bukan blok Bu Tejo versus blok siapa (apakah Yu Ning dan yang lain), tetapi tentang qua-teknis film versus efek mediasi yang ditimbulkannya.

 

 

Celakanya, dua blok itu didiskusikan dalam satu ruangan dengan semangat saling menafikan. Dalam ranah kedua, efek mediasi, bisa sama sekali tak berhubungan, karena beberapa hal. Pertama: Karena (apapun), film dipandang sebagai film. Ranah ekspresi yang kalis dari penilaian bersifat absolut. Yang penting, bagaimana komunikasi mampu dijalin, dan sukur bage memunculkan vibrasi. 

 

Antara lain, kenyataannya film itu viral. Sejarah viralnya, sangat berbeda dengan kehadiran pertama kali sebagai karya seni. Padal sama-sama di ruang publik. Dalam ranah itu, hampir tak terdengar gemanya. Bahkan pun ketika film itu menang dalam dua festival internasional. Siapa peduli? Mungkin hanya sebatas kalangan cinema. Itu pun lebih sempit lagi, di kalangan penggerak film indie. Di kalangan yang membiayainya pun, mungkin juga tidak terlalu memperhatikan lagi. Khas film proyek pemerintah. 

 

Dalam channel youtube Humas Jogja, film ini juga belum lama lalu diunggah (21/8/2020), dengan 11 ribu subcsribers, telah ditonton sebanyak 562 ribu kali. Ravacana Films sendiri, yang memproduksi film ini 2018, baru mempostingnya 6 hari lalu (19/8/2020). Dengan ‘hanya’ 239 ribu subscribers, namun film Tilik meraih penonton 8,9 juta. Bisa dipastikan, jumlahnya akan terus bertambah. Itu sungguh prestasi.

 

Kedua: Pada tahun 2018, Tilik muncul di ranah ‘karya seni’. Dan apalagi diproduksi atas biaya Danais (Dana Keistimewaan) Dinas Kebudayaan Pemerintah DIY. Sesuatu yang sudah mengundang under-estimate. Pasti gitu-gitu doang. Namun begitu Tilik merambah medsos, dua tahun kemudian (2020), muncul di IG, WAG ke WAG, dan berbagai platform medsos, meledaklah Tilik dengan Bu Tejo-nya.

 

Jika kemudian di-endoors beberapa champions film kita di Jakarta, seperti Joko Anwar dkk, kemudian muncul di media-media online dan televisi Jakarta, saya menduga (artinya baru dugaan), lebih karena warna film ini berbeda. Setidaknya berbeda dengan mainstream sinetron azab model Indosiar, dan juga sinetron model-model SCTV, RCTI, MNC dan yang kek gitu-gitu itu.

 

Tilik menjadi terasa eksotis. Ada juga yang menganggap otentik. Meski eksostis dan otentik itu sebenarnya tak lebih dari penilaian yang sifatnya turistik. Baik secara visual, penyampaian, tematik, setting sosial, juga bahasa. Sesuatu yang ‘jarang dijumpai’ dalam industri film (dan sinetron reguler), yang mengeksploitasi perempuan sebagai objek, bukannya subjek yang menonjol, seperti Bu Tejo.

 

Dalam hal itu, tak ada dalil tunggal yang bisa diajukan sebagai premis baku. Kecuali demikian hukum dunia medsos, yang mahabenar datakrasi dengan segala clickbait-nya. Dan kita, sama persis seperti Bu Tejo, mengesankan yang di internet selalu benar, karena dibuat orang pinter. Bang Hadji Rhoma Irama dulu, ketika dituding menyebar ujaran kebencian, untuk tak memilih pemimpin yang tak seiman (dalam konteks jangan memilih Jokowi-Ahok, pada Pilgub DKI, 2012), karena percaya berita internet, bahwa Jokowi bukan beragama Islam. Menurut Bang Haji, informasi di internet itu valid, pasti benar. Karena? Karena di internet! Dalam silogisme Bang Haji, internet dibuat orang pinter, maka, semua yang ada di internet pasti benar.

 

Sementara value atau nilai di dunia internet sebagai media, sebut saja medsos, bisa bikin pusing jika dikaitkan dengan yang kita percaya sebagai; kebenaran, kebaikan, kepintaran, kepopuleran, kedigdayan, kemuliaan, dan sebagainya, atau sebaliknya. Anji, youtuber yang konon influenzer itu, pernah mengeluh. Bikin konten baik, katanya, hanya ditonton beberapa gelintir orang. Begitu bikin wawancara spektakuler dengan Hadi Pranoto, yang ngaku profesor, langsung melejit. Dan dia menyalahkan selera masyarakat soal konten.

 

Seorang youtuber di Malang, dengan bahasa Malang walikan, tak jelas kontennya apa (selain celotehan biasa, yang mungkin dianggap lucu), mempunyai jutaan subscriber dan mendapat jutaan rupiah tiap bulan dari konten-kontennya itu. Banyak contoh seperti itu. Tak ada hubungan antara angka (quantity) dengan nilai (quality), sekiranya kita mendefinisikan demikian. Sama seperti dalam pola pe-rating-an acara televisi. Tak ada kaitan antara rating tinggi dengan kualitas program acara. 

 

Saya tidak sedang mengatakan bahwa Tilik tidak berkualitas, tapi ditonton dan jadi perbincangan banyak orang. Saya ingin meletakkan dulu duduk soalnya. Baru nanti kita omongkan satu-satunya, secara proporsional. 

 

Pada sisi lain, jika kita ngomongin soal bagaimana sebuah karya seni, dari ide hingga eksekusi, itu ranah yang berbeda lagi. Bisa nyambung, tapi bisa juga tidak sama sekali, dan bahkan bertentangan. Bukan hanya di Indonesia, di Amerika pun, ada yang membuat daftar film-film suci. Yang jika ada menulis kritik, se-objektif apapun, akan dianggap dosa. Dan Anda bisa jadi di-bully oleh para fanatikus film tersebut. Dalam saat sekarang ini, Tilik berada dalam titik itu. Jadi kalau tak ingin di-bully, jangan coba-coba mengritik.

 

Jika kita ngomong soal eksekusi sebuah produk (karya) seni, maka kita akan memperkarakan persoalan teknis dalam film itu. Dari sejak penulisan skenario, konten dialog, logika cerita, distribusi informasi, pokok dan tokoh, setting sosial, dan sebagainya. Termasuk ketika berani membuat model twist plot, tetapi dengan ending yang berantakan, jika kita merunut data informasi yang kita himpun dari semua dialog tokoh-tokohnya. Soal konsistensi informasi misalnya, yang sering luput dari perhatian. Mungkin karena dialog film dalam bahasa Jawa, banyak penonton terpecah perhatiannya, antara tangkapan auditif dan mantengin subtitle terjemahan.

 

Tapi, sampai di sini, saya harus menyudahi tulisan ini. Agar tak berkepanjangan, yang mengakibatkan saya di-bully. Tatut! Mendingan, saya mendorong Iman Brotoseno, Direktur TVRI, untuk melihat fenomena ini. Membuka ruang-ruang TVRI untuk anak muda kreatif di seluruh Indonesia. Mengajak mereka menjadi pemasok karya film cerita atau sinetron tentang daerah masing-masing. Dengan problematika masing-masing lingkungan poleksosbudnya. Dengan anak daerah masing-masing. Dengan artis daerah masing-masing.  

 

Di situ TVRI benar-benar akan mendapatkan ribuan film atau sinetron, yang bukan hanya mampu mengganyang dominasi dan kedunguan sinetron Jakarta, melainkan pula; menjadikan TVRI sebagai media pemersatu bangsa. Dengan mengajak masyarakat Indonesia untuk saling melihat budaya saudara kita, yang berlainan suku atau etnis, di seluruh pelosok negeri ini.  | @sunardianwirodono

Jumat, Agustus 21, 2020

Komnas HAM & Peretasan Tempo

Komnas HAM dan Peretasan Tempo

 

Oleh Sunardian Wirodono

 

 

“Komnas HAM Minta Polisi Bongkar Peretasan Situs Tempo” (kompasdotcom, 21/08/2020, 12:13 wib). Komnas HAM? Ada apa dengan Komnas HAM? 

Tanpa bermaksud membela peretas, saya menyebut pernyataan Komnas HAM berlebihan. Khas pernyataan orang yang nggak ngerti hidup di jaman apa.


Siapa dan apapun yang hadir di medsos, atau media online, berhubungan dengan internet, sangat dimungkinkan untuk dibajak atau diretas. Tapi dari sejarah perkembangannya, hampir tak ada peretasan berlaku tetap. Peretasan hanyalah semacam gangguan kecil yang segera bisa di atasi. Kecuali yang diretas bener-bener bodoh dan gaptek. Atau kecuali yang dihadapi adalah hacker hitam atau abu-abu.

Di dunia para hacker, ada tiga penggolongan hitam, abu-abu, dan putih. Yang hitam dikategorikan jahat, dengan beberapa ciri operasionalnya, yang abu-abu jahat juga karena tujuannya pemerasan atau menawarkan jasa. Sementara hacker putih, tidak mengambil keuntungan apapun, kecuali pada sisi lain justeru sekedar mengingatkan kelemahan sistem pengamanan yang dihack-nya. Atau jika tidak hanya ingin menunjukkan eksistensinya.

Menilik apa yang dikatakan Setri Yasra, Pimpred tempodotco, peretasan terjadi semalam pukul 00.30 dan berlangsung 15 menit. Peretas memberi pernyataan agar tempo menyetop hoax dan kembali ke jurnalistik yang benar, dengan iringan lagu ‘Gugur Bunga’. Saya menduga, peretas mungkin merasa terganggu berita tempo soal buzzer bayaran dan sebagainya dalam hari-hari ini. Ini semacam hacker putih, yang hanya menyatakan eksistensinya, dan tak mengambil keuntungan apa-apa, atau tindakan yang merugikan secara material kepada Tempo.

Pernyataan peretas yang disampaikan dalam aksi peretasannya, adalah cara penyampaian pendapat ke media tersebut (sekedar unjuk rasa). Sama seperti jaman analog, membawa poster dan kemudian teriak-teriak di depan gedung lembaga yang diprotes. Jangan lupa, hacker juga punya standar ethic dalam melakukan hacking. Heran?

Apa yang dilakukan peretas, adalah aksi demo biasa. Tentu saja menjengkelkan, tetapi hal yang susah dihindarkan. Masing-masing jenis media, mempunyai karakter masing-masing dengan cara ucapnya. Resiko “bermain” dengan media online atau internet adalah memahami karakter itu. Maka yang harus dilakukan adalah langkah antisipasi. Senyatanya, mengutip Yesri pula, tim IT mereka langsung bereaksi, dan bisa mengambil alih kembali situs Tempo dalam waktu singkat.

Mengenai tudingan atau ancaman kebebasan jurnalistik, bahaya demokrasi, rasanya kok berlebihan. Lagian, untuk urusan pers ini (mungkin karena Tempo), kok tiba-tiba Komnas HAM heroik banget. Mbok biasa saja. Bukan berarti yang dilakukan peretas tidak salah, tetapi itu kenyataan kita hari ini. Orang luar bisa gampang membongkar kunci kamar rumah kita. Itu karena kelemahan teknologi informasi, yang sampai kini masih mencari cara bagaimana sistem pengamanan lebih terjamin.

Sekarang ini, sistem pengamannya masih mengadalkan nasihat kreativitas, soal konfigurasi data. Karena secara teknologi memang belum ditemukan cara pengamanan paling valid. Meski pun itu bernama Pentagon, CIA, KGB, apalagi cuma Tempo, Din Syamsuddin, dan Rocky Gerung yang konyol.

Jika mengatakan buzzer bayaran, hacker bayaran, dan sebagainya, buktikan hal tersebut secara faktual dan berjalurkan hukum. Jika hanya ngomdo, itu menunjukkan kelemahan mental, karena tak bisa mengatasi situasi yang belum siap dihadapi. Kenyataan teknologi memang kejam, dan para pakar (jaman analog) silakan bunuh diri sebelum mati linglung.

Apakah peretasan seperti itu tak mudah ditangkap? Mudah, jika pelakunya bodoh. Tapi, yang bodoh biasanya bukan hacker. Kalau yang ngaku influenzer, buzzer, apalagi tukang copast hoax dan pemroduksi hoax di medsos, mungkin gampang. Digertak pakai sambal saja, langsung mungkret, minta maaf, dan secara tidak etis mengumbar cerita ke pihak lain. Persis youtuber bernama Anji, yang dibully netizen langsung ketahuan kualitasnya. Apalagi penyebar ujaran kebencian, begitu balik dibully atau dilaporin polisi, minta ampun-ampun. Berapa kali berita dengan logo Tempo dipalsukan (itupun dengan cara analog, manual), judul dan isi diganti, untuk memfitnah dan menyudutkan orang? Apakah Komnas HAM punya pembelaan?

Sementara itu, untuk membuktikan omongan Din, atau para SJW yang suka ngaku akunnya di-hack orang, jika memang benar terjadi, lapor ke Polisi, atau ke vendor jaringan mereka. Silakan Komnas HAM mendampinginya, untuk memastikan benar tidaknya. Ini jaman internet, bukan lagi jaman media cetak dan analog. Itu faktanya. Ayo bangun, lihat Bu Tejo viral juga terkaget-kaget. Nggak terima, semudah itu orang jaman sekarang terkenal.

Para hacker sekelas yang meretas tempo, tak akan konyol dan bodoh meninggalkan jejak. Apalagi jika tujuannya hanya menyampaikan pesan. Di mana salahnya menyampaikan pesan? Salahnya, kita belum merasa lazim. Makanya terkaget-kaget, terus ngigau ancaman demokrasi. Kalau nggak kuat resikonya, fokus ke media cetak saja. Berani?

Kalau tak siap dengan perubahan media, memang susah. Sekali lagi, jenis atau bentuk media yang berbeda, tentu karakternya juga berbeda. Menyerang hacker, atau buzzer dan influenzer bayaran, sebetulnya lucu juga. Kenapa yang diserang bukan argumennya, tapi bentuk dan karakter medianya? Ini demokrasi macam apa, membungkam eksistensi generasi baru dengan teknologinya? Nanti kalau balik kita tuding tempo mengritik keras PT Freeport dan kemudian anteng setelah Freeport pasang iklan (seperti dalam edisi kemerdekaan kemarin) bijimana?

Himbauan pada Komnas HAM, sebaiknya tak usah sok pahlawan. Jadi lembaga biasa saja tapi ‘solutip’ gitu. Misal, menasihati pemerintah gimana agar nomor perdana HP itu 1 NIK 1 nomor ponsel. Dan harus didaftar on paper ke lembaga negara. Jadi kalau ada yang nyebar hoax atau teror online, lebih gampang lagi dilacak. Tapi kalau yang ketangkep temen-temennya, orang Komnas HAM juga harus fair nerima. Nggak usah kutbah soal moral. 
 
Lagian kok getol-getolnya Komnas HAM ngurusin pers dalam konteks ini? Bagaimana pendapat Komnas HAM tentang Ibu Ariati di NTB, yang tidak mendapat pelayanan kesehatan memadai, hingga bayinya meninggal gegara protokoler kesehatan Covid-19?

Kapan pula Komnas HAM menolong dan melindungi masyarakat konsumen, yang selama ini data pribadi dan hak azasinya diacak-acak, dan diperjualbelikan ke berbagai user? | @sunardianwirodono

Rabu, Agustus 19, 2020

Kami bukan Kita dan Barisan Para Mantan

 

Oleh : Sunardian Wirodono

 

Secara leksikal, dalam pengertian bahasa Indonesia, ‘kami’ bukan ‘kita’. Kami adalah pernyataan saya dan kamu, di hadapan mereka. Secara psiko-sosial, penamaan komunitas atau gerakan itu, sudah membuat demarkasi. Ada garis tegas yang dibangun. Berbeda dengan ‘kita’, antara kau dan aku bersama-sama. Jika ngomong kami, artinya ada yang di luar itu, adalah mereka.

 

Tetapi begitulah. Dari penamaannya saja, kita bisa merasakan spirit yang hendak dibangun, atau sebagai dasarnya. Semangat menegasi, karena bukan bagian dari diri mereka. Mereka berbeda, liyan. Tapi bukan pula ajakan dialog, kebersamaan, meski selalu normatif dinyatakan terbuka dan siap berdiskusi dengan siapa saja. Namun apa gunanya diskusi, jika yang muncul bukan dialog, melainkan duolog, atau bahkan monolog? Masih mending main pantomim Jemek Supardi, lebih kaya tafsir daripada permainan narasi yang palsu.

 

Dari sekian banyak pernyataan Din Symasuddin dan kawan-kawan, dari sejak awal, sudah jelas posisi mereka. Posisi menjelaskan persepsi. Dalam hukum fisika, persepsi itu akan menentukan perspektifnya. Jika bernama perspektif, maka ada 359 titik dengan satu titik nol yang jarang mendapat sudut pandang, yakni memandang diri-sendiri. Belum dengan biasnya, karena antara titik satu dan lainnya ada celah menganga, untuk sudut pandang yang lain lagi.

 

Jika sudah demikian, apalagi yang mau dibicarakan? Ketika posisi berbeda, perspektifnya pun akan berbeda. Dengan perspektif berbeda, hasil pemandangan juga akan berbeda. Jangankan perspektif berbeda, meski di titik yang sama pun, dengan perangkat pandang beda, berbeda pula hasilnya. Entah karena peralatan beda, peralatan sama tapi kemampuan teknis berbeda, dan seterusnya. Wong satu orang dengan alat sama pun, beralih posisi bisa beda pula hasilnya.

 

Dari sisi psiko-politik, apa yang dilakukan Din dekaka? Bukan sesuatu yang heroik. Biasa saja. Tidak pakai telor. Dari delapan tuntutannya, gertak sambal yang normatif. Mereka mengaku berjuang membangun masyarakat yang sejahtera berdasar konstitusi. Akan melakukan pengawasan, dan mendesak lembaga-lembaga negara bekerja. Bukankah itu mestinya diletakkan sebagai kewajiban? Bukan hak? 

 

Meski dari delapan tuntutannya itu, tuntutan nomor 1, 6, dan 7, tak bisa menyembunyikan agenda di baliknya. Sementara tuntutan nomor 8, makin jelas lagi, mengendoors lembaga-lembaga tinggi negara (DPR dan MPR) untuk melakukan impeachment pada Presiden Jokowi, yang (tersirat dalam nomor-nomor tuntutan mereka) melakukan ‘penyelewengan’ konstitusi.

 

Berita Kompas, 4 Agustus 2018

Tentu saja, itu interpretasi saya dalam membacai tuntutan mereka. Jika mereka menggunakan interpretasi, kita juga berhak menggunakan interpretasi, sebagai warga negara yang sama kedudukan. Jika mereka dikatakan tokoh, karena media yang tetap saja feodal menempatkan orang dalam posisi senonoh (tidak patut), meski bisa juga karena menjilat, atau mungkin karena sebarisan.

Penyebutan hari kelahiran Pancasila 18 Agustus 1945, berbeda dengan keputusan Negara (yang telah menetapkan 1 Juni 1945), menjadi indikator pertama. Pada tuntutan 6, meski menyinggung pembelaan Pancasila dan bahaya Komunisme, mereka meminta tak melakukan stigmatisasi mengenai persoalan intoleransi dan radikalisme. Justeru pembelaan, bukannya kritik pada dua hal itu. Jelas arahnya, merupakan bagian tak selesai dari polarisasi nasionalisme dan agamaisme, yang menjadi bandul pertentangan sejak awal republik berdiri. Lebih ditekankan lagi pada tuntutan nomor 7, mengusut secara tuntas pada yang memakai jalur konstitusi dan mau mengubah Dasar Negara Pancasila. Tembakannya kepada PDI Perjuangan, representasi dari partai nasional-sekuler sebagai biang inisiator RUU-HIP.

 

Kalau kita melihat komposisi para penggiatnya? Kita maklum saja. Pada tahun 2018, kita tahu Din Syamsiuddin pernah menyatakan siap dan bersedia menjadi Calon Wakil Presiden dari capres Jokowi. Nama-nama lainnya? Berisi barisan para mantan. Mantan pejabat, mantan mapan, mantan kaya, mantan pendukung capres sebelah, mantan komisaris BUMN, dan mantan-mantan lain, termasuk anak para mantan seperti Rachmawati Soekarnoputri, Titiek Soeharto, Meutia Hatta Swasono. Kalau misalnya anak SBY ikut, sebetulnya akan lebih bagus. Juga anaknya Gus Dur, misalnya. Kalau Amien Rais nggak ikut? Ya, mana mau jadi follower Din Syamsuddin.

 

Jika barisan para mantan itu makin komplit, hal itu makin memperjelas area pertarungannya. Ini barisan elite sakit hati. Sementara yang dijadikan musuh, Jokowi, dulu kita perjuangkan justeru karena bukan siapa-siapa. Karena kita jenuh dikibuli barisan para mantan itu. Jika dalam tuntutan nomor 5 mereka menyinggung soal KKN, oligarki, kleptokrasi, dan sejenis-jenis itu, tentu karena anomali. Karena mereka juga mesti dimintai tanggung jawab moral untuk itu, karena mereka bagian darinya. Maka ketika mereka menyebut gerakan moral, moral apakah kiranya?

 

Jika pun Jokowi bukan presiden ideal, menurut mereka, dia adalah presiden yang ditentukan bukan saja oleh konstitusi, melainkan juga oleh sejarah. Kalimat ini memang terdengar post factum, tapi bahwa dua kali berturut Jokowi mengalahkan Prabowo, sebagai representasi kekuasaan masa lalu, pesan sejarahnya jelas. Majoritas rakyat menginginkan perubahan dari model Orde Baru menjadi lebih memberi ruang partisipasi rakyat. Di situ Jokowi sebagai simbol yang kuat dalam perlawanan pada elitisme dan pelitisme yang tersentral dan mutlak-mutlakan.

 

Bahwa Jokowi tidak, atau belum, memuaskan, karena jalan perubahan memang tak bisa dilakukan seorang Presiden semata. Ada mata-rantai lain, seperti teknokratisme dan birokratisme, mentalitas korup, yang menjadi musuh dalam selimut kekuasaan.  

 

Katanya konstitusional, tapi ada kampanye pemakzulan?
Jika kita sebagai rakyat, yang menginginkan perubahan, konsisten dengan aktif dan kritis melakukan partisipasi publik (di bidang masing-masing), akan kita dapatkan situasi yang lebih baik. Kesadaran individual itu yang mesti digerakkan. Menjadi masyarakat yang partisipatif dan kritis. Kalau ngerti ada praktik korupsi, berani melaporkan dan mempublikasikannya secara bertanggung jawab. Bukan hanya gerundelan dan bikin hoax. Berani menjadi kita, bukan kami yang sibuk melakukan klaim diri-sendiri dan mendelegitimasi liyan.

 

Kalau pagi-pagi sudah mengeluh, bahwa akun instagramnya dibajak orang, mestinya lapor ke pihak berwenang, karena konon katanya patuh konstitusi. Bukannya seperti Din, lapor ke medsos, atau media cecunguk. Apalagi malah ditambah pernyataan bodoh; Hanya lembaga yang kuat yang bisa melakukan itu (negara maksudnya). Padal, pengamanan Pentagon bisa dibobol anak kecil. Bahkan, anak SMP dari Surabaya pun, pernah bisa membobol data salah satu bank nasional Singapura. Apalagi cuma konfigurasi password medsos macam fesbuk dan instagram. Jadi, jangan goblog-goblog nemen kalau mau berteater playing victim.

 

Tapi kalau mau mimpi berteater, mari kita nyanyikan Regression dari Dream Theater; “Close your eyes and begin to relax. Take a deep breath, and let it out slowly. Concentrate,…” dan jangan mau kita mengikuti mereka, menuju kemunduran. | @sunardianwirodono

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...