Senin, Januari 28, 2019

Mengapa Jokowi Lebih Penting?



Patriotism is supporting your country all the time, and your government when it deserves it. Mark Twain.


Oleh Sunardian Wirodono
Ibarat dari nol, kita mulai dari infrastruktur. Periode berikutnya, masuk ke pengembangan sdm, penegakan hukum, sistem pendidikan. Baru kelak kita ngomong soal lain-lain. Demokrasi, HAM, inovasi, filsafat, tetek-mbengek.

Karena itu, hadirnya kepemimpinan dengan karakter Jokowi, menjadi penting, memenuhi kriteria dasar itu. Lebih dari 50 tahun Indonesia merdeka, pembangunan infrastruktur kita tertinggal, bahkan dibanding negara-negara Asia Tenggara. 

Hanya rakyat bodoh yang mau makan infrastruktur. Infrastruktur tidak untuk dimakan, tetapi sarana mendorong pertumbuhan ekonomi bagi negara kepulauan yang besar ini. Tentu yang kemarin diresmikan tak bisa hari ini dinikmati hasilnya. Hanya ekonom baperan yang akan ngomong ‘gitu.

Butuh proses waktu, karena juga tergantung pada kesiapan SDM, kualitas, kreativitas, dan daya saing  masing-masing. Untuk itu pembenahan dan pengembangan SDM penting, di samping menegakkan aturan (hukum) lebih ketat, agar ada jaminan bagi seluruh rakyat Indonesia bertumbuh secara adil dan merata.

Indonesia maju bersama, karena Presiden bukan segala-galanya. Rakyat kuat negara kuat, kata Bung Karno. Negara bukanlah agen moral, menurut Noam Chomsky, filsuf dan ilmuwan kognitif. Rakyatlah agen moral, dan dapat memaksa standar modal kepada institusi yang berkuasa. Jika tidak, rakyat akan mudah dikibuli, bahkan oleh hoax yang tak logis sekali pun.

Kritik atas utang luar negeri yang meninggi, adalah bagian dari situasi yang terlahir dari pemerintahan sebelumnya. Ibarat buka warung, dari sejak VOC, Sukarno, hingga SBY, utang luar negeri tak kunjung menipis, karena besaran belanja dan pendapatan tak pernah surplus. 

Anggaran belanja lebih banyak untuk menjawab persoalan ekonomi dalam dimensi politik. Kita belibet soal subsidi dan korupsi. Lagi pula, tak ada utang luar negeri terjadi tanpa sepengetahuan dan persetujuan parlemen, yang nota bene terdiri dari partai-partai politik, yang yang berposisi sebagai pendukung maupun oposan.

Jokowi ibarat mulai dari nol, karena berada dalam kondisi negara tak sehat. Ia harus berakrobat dari sisi ekonomi, juga jungkir balik dalam situasi politik transisi. Ajakan berubah, untuk meninggalkan kebiasaan buruk dalam sistem otokratisme Soeharto, tak semudah tuntutan penggiat demokrasi kongkow di cafe-cafe. Sembari ngancam-ngancam untuk golput.

Di bawah Jokowi, Indonesia mendapat perhatian dunia, penilaian yang positif. Mahathir Mohamad mengakui, barulah dalam kepemimpinan Jokowi, Indonesia mampu melampaui pertumbuhan Malaysia. Juga apresiasi dari berbagai negara lain. 

Indonesia selama ini sibuk dalam perdebatan identitas, namun tak ada konstruksi pembangunan civil society yang terorganisasi baik dan disiplin. Para agen perubahan, dari partai politik, maupun akademisi dan penggiat, sulit dalam satu agenda. Belum pula begitu banyaknya teori konspirasi, dan conflict of interest masing-masing.

Berpikir tentang perubahan sosial yang mendalam, kaum konservatif selalu mengharapkan bencana, sementara kaum revolusioner dengan percaya diri mengharapkan utopia. Apakah keduanya benar? Ada proses dialektika yang kita semua tak sabar, hanya karena melihat diri-sendiri, atau masih terpaku pada buku-buku text yang tidak ‘bunyi’ sama sekali.

Elite politik dan elite ekonomi tidak memiliki arah jelas mengenai kedaulatan bangsa dan negara. Indonesia yang kaya raya, dengan SDM dan SDA, terpuruk karena salah urus dan kelola. Mudah diombang-ambingkan kepentingan-kepentingan negara besar, karena mentalitas korup. Hingga agama pun dipakai memanipulasi, hanya karena kepentingan sesaat yang sama, berebut kekuasaan oleh kaum vested interest.

Menyitir pendapat Aldous Huxley, sastrawan Inggris, “Paling kurang, dua pertiga kemalangan kita berasal dari kebodohan manusia, kebencian manusia, dan para motivator serta hakim penentu kebencian dan kebodohan, idealisme, dogmatisme, dan penyepuhan label atas nama agama atau politik.”

Reformasi 1998 menyadarkan kita akan perubahan itu. Namun perubahan politik-ekonomi-dan sosial budaya, membutuhkan keberanian untuk cut off dengan masa lalu. Ibarat kita baru merdeka, dan mulai on the track membangun bangsa dan negara. Jokowi lebih bisa dipercaya untuk loncatan besar ke depan. Bukan sekedar ngomongin masa kini yang masih belibet ini, dan langsung kita tuntut kesempurnaannya.

To err is human. To blame someone else is politics, tulis Hubert H. Humphrey. Berbuat salah adalah manusiawi. Menyalahkan orang lain adalah politik. Tapi apa hasil dari politik yang selalu menyalahkan itu, yang ujung-ujungnya ngancam golput? 

Sama persis dengan segerombolan pengojek yang ngancam mengalihkan dukungan hanya karena nasibnya dipertaruhkan pada satu orang. Bukannya sistem yang kita bangun. Politik kemudian hanya seperti pendulum, berayun antara anarki dan tirani, yang didorong ilusi yang terus-menerus diremajakan

Pemerintahan mana yang terbaik? Yang mengajarkan kita untuk mengatur diri kita sendiri, kata Johann Wolfgang von Goethe. Kepemimpinan androgini Jokowi, karenanya penting, lebih bisa mendengarkan, meski agak sedikit crowded. Tapi itu bagian dari trial and error yang mesti kita lalui.

Jika kita mendukung Jokowi, agar kekuatan lama tidak menjadi penghalang arah kemajuan Indonesia itu. Kita tidak takut, meski lawan Jokowi didukung oleh gabungan absurd antara kanan yang marah dan kiri yang entah. Karena kita lebih butuh kejernihan berpikir untuk Indonesia Maju. | @sunardian

Sebuah Biopic Pemikiran Marx

Akhirnya menemu juga, film biopic yang tak begitu menjengkelkan. Sebuah film sejarah (pemikiran) Karl Marx yang penuh diksi, padat, dan rancak. Itulah kesan saya menonton ‘The Young Karl Marx’, garapan sutradara yang aktivis politik Raoul Peck. Diproduksi 2017 dan diputar pertama kali di Festival Film Berlin pada tahun yang sama, memperingati 200 tahun Karl Marx.

The Young Karl Marx (dalam Perancis disebut; Le jeune Karl Marx, dan Jerman; Der Junge Karl Marx) adalah film drama sejarah yang berbeda. Ini bukan tentang sejarah seorang persona, tetapi lebih pada pergulatan gagasan. Skenario ditulis bersama Pascal Bonitzer, memperkuat dalam dialog-dialog badas, cerewet dengan kata-kata tak mudah bagi yang tak memahami dialektika Marx maupun Engels.

Me-review film (yang tentu tak mungkin diputar terbuka di Indonesia) ini, saya tak ingin membicarakan (content) pemikiran Marx, tentang komunisme, melainkan lebih berfokus bagaimana film ini dibuat.

Raoul Peck seorang aktivis politik. Film sebelumnya, I Am Not Your Negro, film dokumenter (Amerika Serikat, 2016), cukup menggemparkan dan menyabet banyak pernghargaan di berbagai festival internasional. Dokumenter yang menguliti sejarah rasisme di AS dengan memotret Medgar Evers, Malcom X, Martin Luther King, Jr., dari catatan James Baldwin.

Dari hal itu, ketahuan darimana dan bagaimana passion Peck. Yang segera menonjol pada The Young Karl Marx upayanya akan impresi. Pola editing yang cepat (mengingatkan pada cinema mediocre televisi), justeru membuat film ini tak ketinggalan gaya dalam idiom visualnya. Dengan cara itu pula, Peck meringkas sejarah Marx yang panjang, dan complicated. Bersama Bonitzer, Peck mengeksplorasi tema bertekstur serius, dengan multi-bahasa (Jerman, Inggris, dan Perancis). Sebagai juga pembuat film dokumenter, pendekatan atas otentisitas sangat berpengaruh pada Peck.

Peck secara mencekam membuka filmnya dengan beberapa snapshots simbolik. Di sebuah hutan, bertutur tentang kayu kering, hukum, pertentangan kelas dalam perspektif yang dibangun dari Montesqiue tentang persepsi. Bahwa untuk mengumpulkan kayu yang hidup seseorang harus merusak kayu yang hidup. Di dunia ini, menurut Montesqiue, ada dua jenis pengrusakan, ketika seseorang tidak memperhatikan hukum, dan satu lagi ketika hukum merusak mereka.

Fokus film ini, pada dialektika pemikiran yang terbangun dari persahabatan Karl Marx dan Friedrich Engels. Dialog-dialog cadas seolah air bah, mengenai sesuatu yang tak mudah. Kompleksitas pemikiran tentang manifesto komunisme, membuat kita seperti dicemplungkan dalam blender agitprop. Dalam beberapa hal, resikonya, kehilangan besutan dramanya, terutama pada loncatan waktu. Kecuali, saran saya, baca dulu sejarah hidup dan pemikiran Marx, baru kemudian menontonnya.

The Young Karl Marx, sebagaimana drama periode serebral, penuh semangat dan terfokus, tanpa kompromi. Bisa jadi karena Peck aktivis politik, sehingga radikalisme merangsek dalam dialog sangat subversif. Bicara, bicara, dan lebih banyak bicara. Sebuah tontonan orang-orang yang sangat marah, berbicara tentang ide-ide, tetapi menjadi begitu menyerap dan bahkan mencekam. Di mana antara membaca secara sinematic dan buku, seolah saling bertindih. Bahkan dalam adegan percintaan di atas ranjang antara Marx dan Jenny, disusupi dialog-dialog yang tak terbayangkan berkait libido dan rencana pernikahan mereka.

Juga bagaimana relasi Engels dan Mary Burns pun dalam konstruksi pemikiran itu. Hanya sepintasan, tak melarat-larat, sampai ketika Jenny melahirkan anak kedua, Laura. Marx tak punya apapun, kecuali gagasan untuk menulis buku. Terancam diusir dari rumah kontrakan. Dan selesai begitu saja karena kiriman uang dari Engels.

Ini film biopic yang beda. Bukan pada sosok fisik, tetapi lebih pada konstruksi pemikiran. Juga sesungguhnya bukan hanya sosok Marx muda, melainkan bromance dua manusia, Karl Marx dan Friedrich Engels muda. Durasi dua jam untuk film ini hanya terbangun dari outline puncak-puncak pemikiran Marx menuju ke Manifesto Komunisme dan menjelang Das Kapital yang sohor itu.

Peck menggunakan impresi visual yang tumbuh dalam karakter media digital. Itu sangat kentara dalam pola editingnya. Itu menguntungkan dalam meringkas sejarah panjang Marx, seorang kutu buku yang untuk menulis satu judul buku bisa bertahun-tahun. Warna film cenderung kusam, menegangkan, sebagaimana pertarungan yang dihadapi Marx dan Engels, tentang eksploitasi manusia oleh manusia. Eropa pada akhir abad 18, ketika Monarkhi Absolut perlahan digerogoti krisis, kelaparan dan resesi.

Menonton film ini, kita seolah diantar Marx dan Engels untuk memahami mengapa perubahan itu mesti terjadi. Dimulai dari Inggris, terjadinya revolusi industri yang mengubah tatanan dunia. Terbentuknya kelas proletar dengan gagasan organisasi pekerja, dan spirit utopia komunisme, di mana semua orang adalah sama.

Bagian akhir menuju ke pembentukan Liga Komunis, hingga menjelang penulisan Das Kapital, diceritakan bagaimana perdebatan Marx dan Engel, yang sama-sama lelah dan ingin hidup normal. Adalah dua bagian akhir yang sama sekali tidak menarik, karena Peck terjebak dalam sebuah film pure documentary yang tak mau kehilangan teks, tapi melupakan kelelahan mata penonton karena bombardemen teks-teks sebelumnya. Bisa jadi, film biografi ini begitu mengasyikkan bagi yang ingin short-cut memahami teori kelas. Karena ide-ide Marx tetap begitu penuh api dan hidup.

Untung saja sebelum kredit titel penutupnya, kita disadarkan pada kenyataan masa kini. Ketika Mark sudah mati pada ratusan tahun lampau, dalam montase yang riuh dari berbagai euforia peristiwa-peristiwa politik abad ke-20, dari Che, Nelson Mandela, Jhon Kennedy, Tembok Berlin, gerakan Occupy, dan suara parau Bob Dylan. | @sunardian
 
Sunardian Wirodono
Yogyakarta, 27 Januari 2019

Sabtu, Januari 26, 2019

Pilpres 2019: Pertarungan Terakhir Keduanya


OPTIMIS, Grafis Hari Prast, Karya adalah Doa, Paidjo, 2019

Politics is more difficult than physics, kata si ahli fisika Albert Einstein. Politik lebih sulit daripada fisika. Waduh, lantas bagaimana dengan kesimpulan Charles de Gaulle, bahwa politik adalah urusan yang terlalu serius untuk ditangani para politisi?

Mendukung Jokowi dalam Pilpres 2019, sungguh berat. Deg-degan seperti melihat permainan Manchester United yang maju-mundur. Para penggiat demokrasi-hukum-ham, juga akademisi kritis, bisa menyodorkan beberapa hal minus Jokowi. Soal Munir, Tanjung Benoa, Novel Baswedan, acara Kamisan, hingga Abu Bakar Ba’asyir dan paling mutakhir pemberian remisi pada otak pembunuh wartawan di Bali. Tak peduli, semua soal itu adalah tinggalan pemerintahan masa lalu.

Hal-hal itu secara strategis lebih bisa menggerus kedigdayaan Jokowi, daripada ujaran kebencian, hoax dan fitnah soal utang luar negeri, pemimpin tak menepati janji, keturunan PKI, Cina, anti Islam dan ulama. Hingga hinaan-hinaan sekelas Rocky Gerung, yang akhirnya kita tahu kemana suaranya. Ia mengatakan Jokowi lebih pantas sebagai Kepala Keluarga daripada Kepala Negara. Makanya ia mendukung capres satunya.

Selama ini kritik-kritik, atau tepatnya ujaran kebencian dan hoax tentang Jokowi, lebih berfokus pada masalah pribadi. Menurut Margareth Thatcher, mantan PM Inggris, ketika lawan politik menyerang secara personal, artinya mereka sudah tidak punya argumen politis lagi.

Politik bisa berjalan tanpa moralitas. Lihat politisi kita: mereka adalah sekumpulan yoyo, tuding Saul Bellow, sastrawan. Merebut posisi presiden sekarang, adalah satu persilangan antara kontes popularitas dan debat anak SMA, dengan ensiklopedi yang terutama berisi kata-kata klise, demikian Bellow.

Belum lagi dalam banyak hal, terutama manajemen pemerintahan transisi. Tak mudah berkelindan antara gelombang pasang. Politik kompromistik, atau comformisme politics, juga performance minus dari beberapa anggota kabinet pembantu Presiden, menjadi beban tersendiri dalam akselerasi perubahan. Di tengah situasi itu, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Parlemen, bukan bagian integral dari perubahan yang hendak didorong Jokowi.

Revolusi mental, tak semudah diucapkan. Apalagi mencakup mentalitas bangsa yang membeku selama lebih dari 32 tahun. Demikian juga secara sosial dan politik, kita tidak melihat kelompok sipil yang betul-betul terorganisasi, mempunyai agenda perubahan yang jelas, dan apalagi dengan tuntutan tingkat disiplin yang tinggi. Reformasi 1998 dirampok di tengah jalan, oleh yang kemudian kita sebut sebagai oligarki politik. Faktanya kemudian, tingkat korupsi tertinggi justeru di parlemen.

"Kita selalu ingin memilih orang yang terbaik dalam pemilihan. Tapi sayangnya orang seperti itu tidak pernah jadi kandidat,” kritik Kin Hubbard, Jurnalis AS, dalam melihat demokrasi negaranya. Yang mengerikan, seperti kritik Napoleon Bonaparte; Dalam politik, kebodohan itu bukan suatu penghambat.

Dalam perjalanan yang terseok-seok, konsolidasi otokratisme Orde Baru dan politik Islam, mendapatkan celah untuk come back. Apalagi ketika sentimen rakyat masih bergulat pada pesona individu. Padahal tidak esensial membandingkan dua kandidat yang tak sebanding. Politik identitas kembali dimainkan, karena biayanya lebih murah. Tanpa peduli bagaimana kelak, dan tanpa peduli sebagai fitrah politik kekuasaan yang bisa kotor dan keji. Dan kita lihat bagaimana paradoks itu terjadi, ketika GNPF dan barisan Khilafah mengusung capres yang sama sekali tidak mencerminkan identitas mereka. Itu yang menyebabkan kelompok ini bisa bermain akrobat, jungkir-balik, ofensif, untuk tak memberi kesempatan lawan ngomong soal visi, misi, dan program kerja. Sekian bulan kampanye, kubu Capres 01 hanya sibuk mereaksi gendang kubu Capres 02.

Sementara hilangnya suara Jokowi, karena digerus kelompok kritis, yang mengaku punya alasan kuat menjadi golput (bahkan opisisi terhadap siapapun, termasuk pada Prabowo), dalam hitung-hitungan secara keseluruhan tidak sangat significant. “Orang-orang yang memberikan vote (suara),” ujar Joseph Stalin, “tidak menentukan hasil Pemilu. Orang-orang yang menghitung vote itulah yang menentukan hasil Pemilu!"

Di situ deg-degannya. Pilpres tahun ini pertaruhan terakhir Prabowo dan kelompoknya. Sementara kelompok Islam Khilafah, hanya wait and see. Bukan hanya karena tak solid, melainkan juga karena minoritas. Namun dalam politik, satu minoritas yang terorganisasi adalah satu mayoritas politik, seperti kata aktivis HAM Jesse Jackson. Oleh karenanya, sebagai pertaruhan terakhir, Prabowo pasti akan all out. Demikian pun, Jokowi juga akan bertindak sama. Apalagi ketika Jokowi mulai agresif, dan berani menepis tawaran-tawaran untuk conformisme, karena dia pertahana untuk periode terakhir.

Satu persoalan yang bagi para pemikir independen kampus, tidak ikut ditanggungnya. Seperti sindir George Burns, too bad that all the people who know how to run the country are busy driving taxicabs and cutting hair. Semua orang yang tahu cara menjalankan negara, sibuk mengendarai taksi dan memotong rambut. Dan menurut Plato, dalam The Republic, Hukuman terberat untuk menolak untuk memerintah adalah diperintah oleh seseorang yang lebih rendah dari dirimu."

Tapi bagi mereka yang tak ingin Orde Baru kembali, dan tak ingin Prabowo menjadi penguasa, ini juga pertaruhan terakhir. Jika Prabowo, yang didukung Tommy Soeharto bersaudara, gagal dalam Pilpres 2019 tahun ini, runtuh sudah jembatan Orde Baru dengan otokratismenya yang hendak kawin-mawin dengan primodialisme dan agamisme. Pada 2024 dan seterusnya, orang-orang bernama Rizieq Shihab, Amien Rais, Kivlan Zein, akan menjadi barang antik pada periode post truth generasi milenial.

Pada sisi lain, kepemimpinan periode terakhir Jokowi, 2019 – 2024, semestinya tidak akan kompromi lagi, karena nothing to loose. Ia bisa lebih ugal-ugalan, untuk tidak mengikuti irama koservatisme. Apalagi jika kualitas Parlemen juga berubah seiring jamannya, untuk mengembalikan kedaulatan pada rakyat. Dan parpol yang oligarkis akan makin tak relevan, apalagi ketika separoh lebih rakyat Indonesia memiliki medianya sendiri, dengan yang dinamakan social-gadget sebagai netizen.

Demokrasi memang melelahkan, juga menyebalkan. Demokrasi adalah pemerintahan yang diisi dengan banyak diskusi, kata Clement Attle, mantan PM Inggris. Namun demokrasi hanya efektif bila engkau mampu membuat orang lain tutup mulut! Kerena politik menentukan siapa yang akan memiliki kekuasaan, bukan kebenaran.

Munculnya ancaman golput, tidak terlalu mengkhawatirkan. Di samping juga konyol jika mengorbankan kepentingan majoritas pemilik hak suara, untuk fokus memperhatikan kebaperan golputer. Tapi memang demikianlah dilema demokrasi, apalagi jika cara pandang kita mikroskopis. Yang keliru memandang Presiden seolah (atau mestinya) mempunyai kekuasaan yang leluasa, atau keleluasaan yang kuasa.

Pada sisi lain, kita kemudian hanya butuh banyak orang-orang baik, untuk menempatkan orang yang salah dalam kekuasaan. Benar kata George Santayana, mereka yang tidak belajar dari masa lalu, akan dihukum dengan mengulangi kesalahan yang sama. Ketika kedaulatan rakyat kembali lagi diserahkan tanpa agunan, demokrasi hanya bisa berharap pada keajaiban.

Keajaiban sebagaimana dikatakan Plato, manusia tidak pernah akan melihat berakhirnya kesulitan, sampai pencinta kebijaksanaan mendapatkan kekuasaan politik, atau pemegang kekuasaan menjadi pencinta kebijaksanaan. Karena menurut John Ingalls, the purification of politics is an iridescent dream. Pemurnian politik adalah impian yang sangat indah. Dan mimpi? Tentu saja bukan kenyataan.

Perjuangan masih panjang. Sampai kita pastikan, bahwa barisan Orde Baru dan golongan kanan menyadari kesia-siaannya. Bahwa situasi sudah berubah. Dan lagi-lagi kata Plato, “Mereka yang terlalu cerdas untuk terlibat dalam politik, dihukum melalui pemerintahan yang oleh mereka dinilai lebih bodoh." Dan tragisnya, pejabat yang jelek dipilih oleh warga negara yang baik, yang tidak ikut pemilihan umum.

Lepas dari ketidaksempurnaan Jokowi, ia penting untuk mengantar perubahan ke depan, dan bukan untuk mengembalikan Indonesia ke situasi sebelum 1998. Karena kita tidak ingin yang lebih buruk terjadi. Apalagi setback ke jaman yang enaknya hanya untuk mereka, bukan untuk bangsa dan negara.





Yogyakarta, 25 Januari 2019

Sunardian Wirodono

Kamis, Januari 24, 2019

Golput, Golongan Pucet dan Imut


Belum lama lalu, di Jakarta, ada ajakan dari kelompok LGBT untuk golput. Mereka tak peduli siapa presidennya. Dalam waktu hampir bersamaan, di gedung yang dipercaya sebagai ruang perjuangan demokrasi, hukum dan ham, seorang berlatar HTI meneriakkan hal yang sama. Ajakan golput karena dua capres tak ada beda.

Senyampang itu, bertebaran pernyataan klasik mereka: Golput bukan tindak pidana, bukan kejahatan. Ya, iyalah, semua orang sudah tahu hal itu (kecuali yang belum tahu). Tapi ketika ada ormas, komunitas atau sekelompok orang menamakan; ‘Koalisi Masyarakat Sipil”, kadang terbersit pertanyaan, masyarakat sipil yang mana? Dalam berorganisasi pun kita masih suka melakukan klaim-klaim sepihak, mengabaikan esensi demokrasi juga (sementara kalau kita membicarakan soal golput, dituding sensi).

Sama dengan klaim-klaim yang menyebut diri Front Pembela Islam, Islam yang mana? Demikian juga misal penamaan Forum Umat Islam, Perkumpulan Orang Sunda, dan lain-lain. Apalagi jika ternyata hanya untuk mendukung agenda atau tujuan satu orang semata. Penamaan kelompok, ormas, dengan nama yang seolah mewakili kepentingan publik, adalah juga bagian dari politik identitas yang sering dikritik itu.

Memilih dan tidak memilih, atau memilih tak memilih, itu bebas dalam demokrasi. Namun berkampanye untuk golput menurut saya norak. Apalagi kalau itu disuarakan oleh ormas atau LSM, karena mereka juga bagian yang ikut menyebabkan kenapa demokrasi tidak atau belum dipercaya, dalam konteks konstruksi civil society.

Yang lebih celaka lagi, berserikat untuk mengkampanyekan golput adalah aneh, apalagi dengan mengatakan yang terlibat dalam demokrasi (capres siapapun misalnya) tidak kapabel. Lantas yang paling kapabel dan bisa dipercaya siapa? Mereka? Ini sama persis dengan yang percaya khilafah, bahwa demokrasi adalah toghut. Yang kanan dan yang kiri akhirnya bersatu, bahkan sebagian ada yang tergoda, jika Prabowo menang lebih gampang menyetirnya daripada Jokowi. Kalau golput meningkat, akan lebih menggerus suara Jokowi dan menguntungkan lawannya, begitu teori yang dikembangkan.

Apakah ini ciri kita, nabok nyilih tangan, lempar batu sembunyi tangan, sebagaimana Soeharto melakukan kudeta merangkak? Bermain di belakang layar? Sebagaimana proxy war yang kini dikembangkan kekuatan dari luar untuk Indonesia?

Pragmatisme, oportunisme, juga comformisme dalam politik, hanya memakai golput sebagai taktik. Bukan sebagai ideologi murni (gerakan sadar dan personal), tetapi lebih karena ia menjadi anti demokrasi dengan menyebutkan demokrasi masih buruk, tidak bisa dipercaya. Agak mirip dengan yang meyakini khilafah; Demokrasi bukan hanya masih buruk, melainkan sangat buruk. Bukan berdasar hukum Tuhan melainkan hanya hukum manusia biasa.

Dalam UU nomor 7/2017 tentang Pemilu, sudah dijelaskan golput bukan pelanggaran pidana. Ya, lantas kenapa masih koar-koar soal golput, seolah hanya mereka yang tahu bahwa golput tak melanggar hukum? Persoalannya bukan melanggar hukum atau tidak (karena sudah jelas aturannya), tapi ngapain gembar-gembor soal golput? Ini gerakan politik untuk golput, atau mendelegitimasi demokrasi?

Dalam masyarakat impersonal, sistem sosial kita tidak cukup kuat. Disiplin masyarakat juga rendah. Kelompok-kelompok kekuatan masyarakat, juga tak memiliki ideologi yang jelas. Jadilah berhenti sebagai klaim-klaim emosional. Kualitas mereka menjadi sama saja dengan objek kritik mereka. Orang yang berkilah atas nama kepentingan.

Sering kita begitu toleran pada orang-orang pinter, yang tak jauh beda dengan pemakai bendera agama, bendera kampus, bendera partai, bendera bedil, bendera parlemen, bendera dsb. Sayangnya, terbiasa ngomong sendiri-sendiri. Dan paling merasa benar sendiri. Apakah ada jaminan orang-orang ini kalau berkuasa menjadi lebih baik? Tak ada jaminan, sejarah kekuasaan sudah membuktikan.

Pada kenyataannya, tak ada sebuah kelompok yang betul-betul terorganisasi dan mempunyai agenda perubahan. Tidak ada kelompok organisasi yang disiplin. Apalagi kita terlalu dipengaruhi yang disebut gossip politik bernama teori konspirasi.

Daripada teriak-teriak soal golput, kenapa tidak mengorganisasi masyarakat, mengedukasi masyarakat, agar memiliki pengetahuan, keberanian, inisiatif, di samping daya kritis untuk menjaga kinerja pemerintahan? Apalagi kelak, kita mungkin tak perlu lagi parlemen, ketika gadget mengambil alih semua advokasi dan assesment masyarakat ke dalam genggaman tangan masing-masing person.

Lagi pula aneh, bangga menjadi golput tetapi minta suaranya didengar. Padahal suara itu adalah suara yang tidak mempercayai lembaga yang membuatnya golput. Pusing ‘kan? Mana lebih dulu ayam dengan telor? Politik bisa membelokkan jawabannya, tetapi ilmu pengetahuan dengan tegas kini bisa menjawabnya, lebih dulu ayam!

Mau golput mau tidak, tidak penting. Tapi jika boleh pesen, jadilah golput yang logis. Golput yang tidak baperan. Golput baperan itu golput kawe. Sama nilainya dengan mereka yang tak percaya demokrasi tapi minta jatah kekuasaan. Atau bahkan memakai cara bergolput untuk tujuan revolusioner mereka.

Persoalannya pada sikap, atau cara bersikap. Dan itu pilihan yang dihadapi masyarakat sebuah negara. Bersikap terhadap partai adalah bersikap terhadap demokrasi, pemilihan umum. Sebagaimana sebaliknya bersikap terhadap pemilihan umum adalah juga bersikap terhadap partai.

Pertanyaannya kemudian, apakah harus diboikot pemilihan umum, agar tidak melahirkan birokrasi baru yang sama bodoh atau teruknya? Mengambil jalan ini, akan semakin jauh rasanya dari pembelaan nilai-nilai republikan, untuk membentuk lembaga politik sembari menjaga martabat. Semakin jauh pula dari nilai demokratik, yaitu berusaha menjaga kepastian, bahwa suara seorang pemilih, ikut serta dalam proses mengambil keputusan yang menyangkut dirinya.

Semua yang kita kerjakan selama ini adalah menemukan yang tidak mungkin ditemukan, yaitu demokrasi. Namun siapa tahu, tindakan waktu mencari itulah, entah itu membangun partai, memilih, mendidik para pemilih, voter’s education, membedakan mana politikus busuk dan tidak, menjadi tujuan dalam diri kita sendiri, dan sambil menjalankannya menyuburkan lahan demokrasi.

Saya bukan penentang golput, tapi saya menentang (golput atau bukan) yang mendeligitimasi demokrasi, tapi tak mampu menyodorkan alternatif, kecuali hanya menyodorkan dirinya sebagai ganti kekuasaan. Pernyataan bahwa demokrasi ini buruk, sementara yang baik seperti apa juga tak diketahuinya, hanya menunjukkan sebagai kelompok pecundang yang ingin menjadi pahlawan. 

Kalau mau jadi golput yang baik, mungkin bisa meniru poster golput 1971 yang dilakukan Arief Budiman, 'Golput, Penonton yang Baik', bukannya mencuri di tikungan atau menggunting dalam lipatan. 




Sabtu, Januari 19, 2019

Mengapa Jokowi Membebaskan Abu Bakar Ba'asyir?

Dalam doktrinnya, Gus Dur mengatakan “yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan”. Sebagaimana dalam tulisannya yang paling sohor, ‘Tuhan Tak Perlu Dibela’, agama tidak boleh jauh dari kemanusiaan.
Politik dan agama, dua hal yang hampir serupa tapi tak sama. Tapi keduanya membuka kemungkinan sama, yakni militansi atas nama keyakinan. Dan keyakinan yang buta, sebagaimana kata Friedrich Nietzsche (1844-1900), bisa lebih berbahaya daripada sebuah kebohongan.
Dua paragraf itu penting dikemukakan, untuk membuka wawasan kita, menghadapi simpang-siur pendapat mengenai kabar keputusan Presiden Jokowi, untuk pembebasan tanpa syarat Abu Bakar Ba’asyir. Sebuah terobosan hukum yang kontroversial, lebih-lebih Presiden Jokowi adalah capres pertahana Pilpres 2019 yang sedang berlangsung.
Bangsa Indonesia tak mempunyai pengalaman bagus dalam mengelola kontestasi politik juga konflik ikutannya. Pemilu 1955 yang dibilang paling demokratis, juga tak sepenuhnya aman dan damai. Dalam catatan Herbert Feith, tak sedikit benturan di akar rumput, lebih karena ketidakmampuan mengelola perbedaan pilihan.
Sejak Pilpres 2004 di mana rakyat langsung yang menentukan pilihan presidennya, kematangan demokrasi kita tak secara akseleratif menunjukkan peningkatan. Bahkan dalam Pilpres 2014, juga pada Pilkada di berbagai daerah, apalagi Pilkada DKI Jakarta 2017, kontestasi demokrasi makin diwarnai agregasi politik identitas yang menguat.
Dalam situasi itu, menjadi Presiden, Kepala Negara, di Indonesia, sungguhlah tidak mudah. Baik dalam proses pencapaian maupun ketika menjalaninya. Situasi kepolitikan sekarang ini, apalagi dengan maraknya media sosial, tak semudah jaman Soeharto yang memakai cara-cara otoritarian.
Kini cara berpikir sistem block justeru makin dikembangkan, senyampang maraknya politik identitas. Kini pula masing-masing lembaga negara seperti judikatif, legislatif dan eksekutif, tak lagi secair pada awal mula republik ini berdiri. Apalagi dengan hadirnya politikus masa kini, yang wawasan kebangsaannya tergerus kesadaran-kesadaran sektoral dan parsial.
Kini, entah karena perkembangan demokrasi atau teknologi komunikasi, membuat siapa saja bisa mengomentari tindak-tanduk presiden. Bahkan secara lebih jauh bisa berupa penghinaan, ujaran kebencian, meme, fitnah, bahkan hoax. Presiden Jokowi bisa dituding lemah ketika selalu mengatakan tak bisa mengintervensi hukum. Namun senyampang itu, ketika hendak membebaskan Abu Bakar Ba’asyir, juga tak dengan sendirinya disambut gembira oleh semuanya.
Musuh politik akan mengatakan Jokowi melakukan pencitraan. Sementara keluarga dan yang bersimpati pada korban (dari perbuatan ABB), bisa menuding Jokowi justeru tak berperikemanusiaan. Tidak mengingat bagaimana korban menjadi cacat seumur hidup, atau kehilangan orangtua serta sanak saudara.
Sama dengan tudingan yang muncul dalam Debat Presiden kemarin, soal penahanan tersangka (entah itu korupsi atau terorisme) yang dituding tidak manusiawi. Jokowi menjawab dengan tepat. Kita diminta membedakan antara penegakan hukum dan prosedur hukum untuk kepentingan semua orang, dengan masalah HAM di sisi lain dengan tolok ukur orang-perorang. Antiknya, pengritik Jokowi, yang juga pengritik BTP (d.h. Ahok), bisa melihat celah itu dan menyodorkan pertanyaan retorik; Bukankah BTP juga manusia? Kenapa dulu tidak dibebaskan ketika dijerat oleh pasal-pasal karet?
Kita sering dalam pernyataan seperti itu. Membandingkan kasus yang berbeda-beda. Kenapa? Karena kita cenderung berada dalam pandangan normatif, sebagaimana dilatihkan oleh Soeharto dalam satu generasi. Tak mudah keluar dari doktrin formalisme dalam berpikir dan bersikap. Akibatnya, sering kita tidak punya konsistensi. Karena pada satu sisi kita bisa normatif, sisi lain di mana kepentingan kita dirugikan membuat pikiran kita satu sama lain bertabrakan, paradoksal, tidak integrated.
Para pendukung Capres 02, sering dalam sikap seperti itu. Jokowi diserang karena pakai teks dalam debat kemarin. Sementara setelah melihat Capres 02 juga membawa teks, bahkan lebih gede, mereka mingkem. Atau kalau tidak, mereka mencoba berkilah dan cari-cari kesalahan lain. Persis dengan menuding Jokowi jirih karena selalu ngomong tak mau intervensi hukum, tapi ketika membebaskan ABB dituding pencitraan.
Sama persis dengan kelompok umat tertentu, yang mengritik habis orang pakai jas dan pantalon (yang tak ada dalam tuntunan nabi), tapi senyampang itu ngotot memakai TOA (walau pun juga tak ada tuntunannya, dan itu pun masih ditambah TOA made in Cina, negara yang dikutuknya sebagai kafir).
Keputusan mengenai pembebasan ABB, tentu lebih merupakan langkah politik, diskresi Presiden. Dan tidak ada yang salah di situ. Karena jika di atas politik adalah kemanusiaan, maka politik presiden bukan hal yang buruk. Pada sisi ini, kita yang balik tak bisa mengintervensi.
Mengenai keadilan, tentu ini yang paling sulit diukur. Ketika dua orang bertikai, seorang hakim mendengarkan siapa saja, para pihak yang bertikai, juga jaksa dan penasihat hukum. Tapi ketika memutuskan, ia harus imparsial. Tak mendengarkan siapapun kecuali pertimbangan hukum atas dasar keyakinan. Celakanya, memang, bagi yang menang hakim bisa dinilai adil, sementara yang dikalahkan bisa menuding hakim berat sebelah. Dan seterusnya.
Bagi korban dari pikiran dan tindakan ABB, tentu saja tindakan Presiden bisa saja, atau mungkin, menyakitkan. Tidak adil, dan seterusnya. Tetapi ABB dalam prosedur hukum sudah menjalani resikonya. Menanggung akibat perbuatannya sesuai aturan hukum yang berlaku. Aturan hukum yang berlaku inilah yang mesti ditaati, sebab jika tidak hukum yang ditafsir seenaknya oleh masing-masing pihak akan menimbulkan kekacauan.
Apalagi jika kita ngomong tentang hukum langit, yang tak bisa dikonfirmasi karena kadar imanensi manusia berbeda-beda. Bagaimana pendapat Anda ketika Amien Rais meyakini jagoannya utusan dari langit, dan pasti menjadi Presiden RI kelak? Padahal tahun-tahun sebelumnya, ia minta jagoannya itu harus dimahmilubkan!
Hukum adalah aturan sosial untuk kebersamaan. Sebagai social religion, untuk mereduksi kekacauan sosial yang sangat mungkin terjadi. Karena tafsir atau interpretasi orang, bisa sangat beragam. Bahkan pada mereka yang satu partai politik atau pun satu agama. Aturan sosial adalah berdasar kesepakatan-kesepakatan yang mengikat.
Sementara itu Presiden Jokowi ketika dikabarkan memutuskan pembebasan ABB, juga bukan tanpa proses. ABB dijebloskan penjara di jaman SBY, dan sudah menjalani 9 tahun masa tahanan. Presiden Jokowi melakukan kajian dan koordinasi dengan Polri dan TNI, juga dengan Kemenkumham, serta kemudian Yusril Ihza Marhendra sebagai penasihat hukum TKN Jokowi-Ma’ruf, yang kebetulan juga pengacara ABB.
Kita tidak tahu bagaimana prosesnya. Pasti tidak mudah, sebagaimana kasus divestasi Freeport. Tahu-tahu saja, seolah mak-bedundug, semuanya diputuskan dengan gampang. Pada sisi itu, dupeh kita menggenggam medsos, kemudian membuat mudah berkomentar dan pikir kemudian, tanpa data tanpa mengetahui proses. Sementara dalam posisinya, Presiden Jokowi dengan segala kekuasaan dan fasilitasnya, justeru bukan merupakan posisi yang mudah secara politik makro, ketika yang kita pergunjingkan selaku isu-isu politik mikro yang kasuistis sifatnya.
Pada sisi itu, Presiden mempunyai kekuatan politik untuk melakukan keputusannya. Hal itu bisa membuat kita menilainya sebagai tindakan benar atau salah. Tetapi pada sisi lain, Presiden memutuskan berdasar berbagai pertimbangan yang lebih luas. Di luar jangkauan kepentingan masing-masing pribadi. Entah itu korban ABB maupun lawan politik Jokowi. Di situ masalahnya menjadi tak sederhana. Mengutip omongan Dilan; Menjadi presiden itu berat, Wok, makanya biar Jokowi saja, untuk sekali lagi!
Jika di atas kepentingan politik adalah kemanusiaan, dan agama jangan jauh dengan kemanusiaan, tentu boleh kita juga belajar memahami masalah ini dari sisi yang sama? Apakah pandangan Jokowi ini menginfluens pihak lain? Kita tidak tahu. Karena kita bukan orang yang tahu segalanya.
Meskipun kita tahu kemudian, pada tanggal yang dijanjikan (seperti yang selalu dikatakan oleh Yusril Ihza Mahendra, yang juga selalu mengatakan bertindak atas instruksi Presiden di mana ia selaku penasihat pribadi Presiden), pembebasan itu belum benar-benar terjadi. Ada benturan aturan hukum yang tak bisa dilanggar. Ialah ketika ABB berkukuh tak mau menandatangani ikrar kesetiaan pada Pancasila dan NKRI, juga tak akan mengulangi perbuatannya. Hal itu, yang membuat Jokowi juga tak bisa melakukan intervensi, karena berkait dengan prasyarat hukum atas pembebasan itu sendiri. Bola ada di tangan ABB, meski alasan kemanusiaan menjadi wacana bersama.
Beserta simpati saya, pada korban dan keluarganya, akibat dari apa-apa yang telah terjadi karena Abu Bakar Ba’asyir. | @sunardian

Sabtu, Januari 12, 2019

Jokowi Sebagai Jembatan Perubahan


Sempurnakah Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia? Belum. Tapi ia membawa Indonesia lebih jelas dan terarah. Tentu saja kita bisa berdebat sengit soal itu, tapi ia Presiden yang memiliki tendensi lebih sedikit.

Ia lebih bisa melepaskan diri dari jebakan betmen kekuasaan. Lebih bisa melepaskan diri dari isu militer-sipil, nasionalisme-agamaisme-komunisme, teknokrat-birokrat, dan berbagai isu yang sering dikedepankan, ketika diskusi kita macet dalam kepentingan kelompok masing-masing.

Hal itu karena type atau model kepemimpinan androginies, sebagai karakter kepemimpinan yang berangkat dari karakter individualnya. Sebagaimana watak perubahan dunia yang semakin adaptif, lebih karena hukum dari komunikasi adalah membangun sinergitas. Semakin dibutuhkan kepemimpinan yang mau mendengarkan, dan kemudian mengkoordinasi atau bahasa kerennya mensinergikan.

Gambaran mengenai kepemimpinan macho, tegas, berani, gagah-perkasa, mengalami perubahan dan pergeseran significant. Mitologisasi, sakralisasi, mistifikasi mengenai tokoh, digantikan oleh yang bernama jejak digital yang disebut track-record.

Indonesia berada dalam situasi transisi itu. Jika Jokowi kompromis, terpaksa harus mengampu orang-orang lama (yang, mungkin menurut kita sendiri, bermasalah), hal itu lebih menunjukkan bahwa ia memiliki proyeksi atau arah yang jelas. Itu menunjukkan kelasnya sebagai politisi, bukan sekedar politikus. Ada situasi yang harus diselamatkan. Jika tak bisa ambil semuanya, jangan lepas semuanya.

Di situ kelas Jokowi menjadi lebih matang dan dewasa. Ia contoh yang pas mewakili pandangan generasi baru Indonesia. Kepemimpinan bukan sekedar sejarah, tetapi juga arah. Tentu saja, ini mengundang masalah bagi yang tak ingin berubah. Ingin tetap berada dalam zona nyaman, karena hanya memikirkan kepentingan diri-sendiri.

Dua periode atau 10 tahun kepemimpinan SBY, Indonesia berada dalam situasi ekonomi global yang tidak buruk. Namun justeru Indonesia sama sekali tak beranjak. Kebalikannya dengan periode kepemimpinan Jokowi, Indonesia berada di tengah pertumbuhan perekonomian dunia yang secara umum cenderung melambat, namun pertumbuhan ekonomi Indonesia 2018 mengalami peningkatan sebesar 5,15%.

Laju inflasi juga terjaga. Utang Negara yang selalu digemborkan kubu Prabowo sebagai membesar, juga lebih terjaga. Apalagi mengingat peruntukan dan pemakaiannya. Level utang dalam batas aman dengan rasio APBN. Sebagaimana diamanatkan pasal 12 ayat 3 Undang-Undang tentang Keuangan Negara, maksimal utang pemerintah maksimal 60% terhadap PDB. Saat ini pemerintah selalu menjaga rasio utang terhadap PDB dalam batas psikologis, pada kisaran 30%.

Merujuk realiasi sementara APBN 2018, pendapatan negara melampaui target APBN (102,5%), pertama kali sejak 2011. Efeknya, realisasi defisit anggaran negara mengecil, hingga menjadi yang terkecil sejak 2012. Isu tentang gali lubang tutup lubang, sebagaimana acap dilakukan pemerintahan SBY, juga dengan mudah dibantah dengan data dan fakta karena posisi APBN yang aman.

***

Berbagai hoax yang ditembakkan ke arah Jokowi, hanya berdasar keputus-asaan karena susah menemukan titik lemah Jokowi. Hoax soal tingginya pengangguran dan kemiskinan di jaman Jokowi, seperti ditudingkan PKS dan Titiek Soeharto serta koalisi oposisi, terpatahkan dengan capaian pemerintah. Bahwa tingkat kemiskinan dari 11,25% (Maret 2014) menjadi 9,82% (Maret 2018). Tingkat kemiskinan satu digit itu, pertama kali dicapai Pemerintah Indonesia sejak Indonesia merdeka.

Ketika Jokowi dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia, Oktober 2014, ekonomi Indonesia berada dalam situasi buruk. Secara akuntansi sudah insolvent. Berada di jurang kebangkrutan. Sejak 2012 total penerimaan (dikurangi belanja) negara, sudah defisit. Tak tersisa untuk bayar hutang dan bunga. SBY melakukan gali lobang tutup lobang dengan permainan anggaran pada tingkat pencapaian di bawah 70%, agar hutang lebih dulu dibayar.

Pihak Pasar Uang mengetahui fundamental ekonomi Indonesia lemah. APBN kita dinilai tidak kredible. Sama dengan Turki, lebih banyak ‘politik’-nya daripada tindakan berdasar kepentingan ekonomi. Apalagi dalam APBN Perubahan 2014, defisit primer berada di angka Rp 111 triliun.

Usulan untuk menerbitkan Global Bond melalui 144A, untuk mendapatkan uang cepat guna mengatasi defisit, demikian juga tawaran World Bank memberikan standby loan, semuanya ditolak Jokowi. Mungkin latar belakangnya sebagai pengusaha membuat Jokowi bisa sangat praktis dan realistis. Ini bukan soal financial resource atau revenue resource. Masalah Indonesia ialah masalah mental. Mudah ngutang tapi tak bisa mengelola. Bukan hanya salah belanja, tapi juga korupsi.

Jokowi melakukan reformasi APBN. Dan ini benar-benar terpaan angin puting-beliung bagi dunia usaha dan elite politik. Kebijakan ekonomi harus bertumpu kepada pendapatan real, tak ada distorsi dengan bisnis rente. Hasilnya? Dalam tiga tahun pemerintahan Jokowi, APBN kita dinilai kredible oleh Financial Community. Belanja dan penerimaan secara  dapat dimonitor oleh pemain pasar. Ketika APBN sehat, pasar akan bereaksi positif.

Di situ bisa dibuktikan, Jokowi pemimpin yang tegas dan teguh. Memiliki prinsip dan integritas. Tak ada hubungan dengan tubuh cungkring, ngomong klemar-klemer, bahasa Inggris tidak faseh. Tapi ia berada di luar gambaran jagoan yang dibayangkan kelompok kelas menengah, dan para penganut Soehartoisme. Jokowi juga bukan tentara, apalagi tentara yang dipecat, tapi ia bisa membuktikan kepemimpinan yang lebih firm dan disiplin dibanding Soeharto dan SBY yang bekas tentara.

Kalaupun pemerintah Jokowi berhutang ke pasar, itu murni business. Tak ada perselingkuhan politik kecuali yield dan trust market. Jokowi melakukan serangkaian kebijakan ekonomi dengan fokus membuat APBN kredibel. Dan itu membuat elite politik dan pengusaha pening. Apakah itu kemauan Jokowi, karena dendam kemiskinan masa lalunya? Bukan. Karena Indonesia memang tidak punya pilihan lain, agar bisa maju dan mandiri secara terhormat.

***

Ini tentang dunia yang berubah. Jika ingin pemerintah memiliki financial freedom melaksanakan agenda besarnya, agar pasar uang dan pasar dunia percaya, negara harus diurus dengan profesional. Bukan karena tak becus ngurus kemudian nyebar fitnah, dengan jualan isu agamalah, komunislah, asenglah. Itu hanya bisa dilakukan oleh para pecundang.

Era telah berubah. Pola kepemimpinan dan pemikiran yang dijanjikan Prabowo, bahkan oleh Sandiaga pun, sudah lewat. Bukan jamannya lagi. Apalagi jika hal itu lebih karena ketidakmampuan mereka merumuskan masalah. Atau bahkan hanya ingin membuat masalah baru, dengan bayangan demi keuntungan kelompok mereka sendiri.

Jokowi sendiri tentunya bukan manusia sempurna, bukan orang pinter. Mungkin pinteran Rocky Gerung, atau Neno Warisman. Tapi Jokowi manusia yang mau mendengarkan, dan bisa mensinergikan potensi-potensi baik. Lihat para menteri pilihannya yang bekerja. Prestasinya lebih bagus daripada beberapa menteri yang masih bau-bau Soehartoisme.

Sudah barang tentu, prestasi-prestasi Jokowi akan ditolak oleh yang tidak berpretasi (atau tidak suka prestasi, tapi sukanya memburu prestise). Perubahan-perubahan yang dilakukan Jokowi, juga akan ditentang mereka yang tak mau berubah. Kenapa tak mau berubah? Karena kalau berubah mereka akan tersingkir, atau kehilangan lahan suburnya. Tak ada pertimbangan ideologis, tapi lebih sekadar kepentingan diri-sendiri, keluarga, dan kelompok, yang hanya sebatas perut dan selangkangan.

Jokowi adalah jembatan perubahan, untuk mengantar ke generasi baru dengan dunia baru. Ia penting untuk mengantar transisi generasi. Dari yang masih berwarna obar-abir, di mana masih ada warna orde-bauk Soehartoisme, ke warna Indonesia Baru yang lebih dominan dengan generasi baru dan pandangan baru.

Dalam periode pertama, Jokowi mungkin saja masih terlalu kompromis, entah karena masih punya kepentingan dengan kemungkinan kepemimpinan periode kedua, atau karena all the president mens yang ada di sekitarnya bukan hal mudah untuk ditaklukkan.

Tentu akan menjadi berbeda ketika berada di periode terakhir atau kedua, Jokowi akan lebih kuat negosiasinya karena nothing to loose. Karena jika berkait revolusi mental sebagaimana dicanangkan dalam Nawa Cita, bukan perkara sulapan. Butuh proses dan kebersinambungan. Padahal, itulah masalah terbesar bangsa dan negara Indonesia, yakni keterbelakangan mental, karena terlalu lama diperbudak oleh para politikus sontoloyo.

Ke depan, dengan pemerintahan yang on-the track, akselerasi perubahan akan lebih kencang dan tak terbendung. Keep rock ‘n roll, Mr. President!

@sunardian, dengan mengolah data Kementerian Keuangan Republik Indonesia, dan Finansial Community, 2018, dan dari berbagai sumber sekunder.

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...