Senin, Desember 16, 2019

Memandang dari Sisi Negatif. Sikap Politik Kita.

Hafal dengan nama-nama yang suka disebut, atau bahkan menyebut diri sebagai SJW? Social Justice Warior? Atau pahlawan super kebenaran kita?

Tak usah disebut-sebut siapa mereka, nanti tambah nge-hit mereka. Demikian juga beberapa lembaga atau institusi yang sejenis dengan hal itu. Cirinya sama; tidak memiliki sisi pandang lain dalam hal melihat Pemerintahan, atau tepatnya memandang Jokowi, selain sisi buram atau negatifnya mulu?

Tentu saja para SJW punya, sekiranya jujur. Karena hidup, apalagi kehidupan (ditambah kata politik), tidaklah ramping lurus. Kalau nganggep gitu, tanpa dinamika, maka bohonglah mereka. Kalau bohong, bagaimana? Ya, tidak jujur tentunya.

Contoh paling faktual, apa komentar sadar dan tidak sadar ketika Jokowi di satu sisi mendapat penghargaan Asian of The Year 2019 dari The Straits Times, dan senyampang itu juga digugat (secara hukum dagang internasional) ke WTO oleh negara-negara Uni Eropa soal nikel? 


TERPERANGKAP JARGON MASA LALU. Begitulah, dalam hal tertentu, political frozen adalah bukti nyata bagaimana Soeharto bukan saja sebagai penjahat ekonomi, melainkan (juga) penjahat kemanusiaan dan kebudayaan. Hal itu yang memerangkap kita dalam jargon masa lalu. Mengritik atau kritis pada pemerintah itu keren, sementara memuja atau memuji Pemerintah dianggap menjilat. Sementara framing masalahnya, tak mereka sertakan.

Persis para peneliti fosil di laboratorium dengan memakai alat mikroskop. Pandangannya mikroskopik. Hanya fokus pada yang berada dalam jangkauan lensa, sementara masalah kitarannya sengaja dikaburkan, atau diabaikan. Organisasi atau asosiasi profesi ditabukan, takut diperalat sebagai kendaraan politik.

Namun senyampang itu organisasi massa, dan organisasi keagamaan, dibanggakan dan dibiarkan tumbuh subur. Pembiaran terhadap anomali semacam itu, mengherankan dan membuat kita bertanya, bagaimana kita bisa tidak adil sejak dalam pikiran? Kemalasan mencari kebenaran substansial? Tapi adakah itu, di luar kepentingan?

Dari soal utang luar negeri, orientasi pembangunan, persoalan hukum dan HAM, dan paling mutakhir soal kurikulum pendidikan. Dari semua itu, yang lebih sering muncul hanyalah perdebatan. Perdebatan demi apa? Demi perdebatan itu sendiri. Apakah perdebatan itu tidak bagus?

Tidak bagus, jika ternyata memang tak ada jalan komprominya. Sedangkan kita anti kompromi. Anti toleransi. Karena yang terjadi hanyalah perang antarpihak, yang memang sudah terbelah dari sononya. Dan keputusan yang diambil, tetap saja dalam jargon klasik; Kebenaran (atau keputusan politik dan hukum yang berjalan) adalah pihak yang menang.

Lihat saja kesan sebagian besar mereka, ketika Jokowi mengajak serta Prabowo, juga Sandiaga Uno meski ditolak, dalam pemerintahan? Kontestasi politik dilihat sebagai pertarungan yang sangat ideologis. Padahal apa beda antara Jokowi dengan Prabowo, secara instrinsik? Toh penilaian terakhir hanyalah soal percaya tidak percaya, suka tidak suka.

Ketika akhirnya Ahok bisa tersingkirkan digantikan Anies, apa yang terjadi di Jakarta? Bagaimana reaksi warga Jakarta, dan apa langkah mereka kemudian? Bagaimana pula kita memandang antara Susi dan Eddy yang memimpin KKP? Kita hanya bisa memperbincangkan doang, tanpa tidak bisa menggerakkan apa-apa, kecuali melepaskan kemendengkolan kita. Dan diam-diam kita berterima-kasih pada Mark Zuckerbergh, dan para pembuat platform medsos.

Hingga mereka merasa perlu untuk mempertahankan informasi negatif. Isu negatif, harus tetap terjaga. Tapi untuk apa, kalau semboyan mereka hanyalah pokoknya kritis pada kekuasaan? Dan sibuk berkilah, membangun wacana kritis, sebagai sering dipakai ngeles jika Rocky Gerung terpojok dari sisi logika dasarnya? Dengan keywords; Anda nggak paham yang saya maksud! 


INDUSTRIALISASI ISU NEGATIF. Pada dasarnya, semua pihak tentu suka jika mendapat kekuasaan. Tapi ada yang dengan sadar memakai cara sambilan. Sambil menyelam minum air. Jika pun kalah, toh ada yang membiayai.

Atau nanti senyampang itu reputasi naik, setidaknya kalau nasib baik, jadi apa kek. Wamen, Komisaris BUMN, KSP, Wantimpres, Stafsus, dan seterusnya dan sebagainya. Kalau tidak? Terus saja kritis, karena hal itu juga bisa sebagai profesi. Toh sekarang ada istilah industrialisasi hukum. Mengapa tidak sekalian dengan istilah industrialisasi isu negatif?

Ada banyak produk undang-undang, aturan hukum, yang diproduksi oleh lembaga negara produk demokrasi yang disepakati. Namun rendahnya kepatuhan hukum, dan tidak adanya disiplin dalam berdemokrasi, menjelaskan bahwa jargon politik kita masih semata kekuasaan. 

Demokrasi bukan dianggap sebagai konsolidasi kekuatan politik, melainkan arena pembantaian, dan akan terus berlanjut meski pemilu dinyatakan usai dan pemerintahan baru terbentuk. Walaupun ada juga sikap konyol, tak mau ikut kontestasi pemilu, namun terus berteriak-teriak menggugat pemerintah. Menunggu durian runtuh?

Kaum revolusioner romantik, menjadi kaum delusif dan ilusionis. Terus bermimpi bagaimana menegakkan demokrasi dengan revolusi. Sementara politik kebersamaan yang muncul, seperti disinggung Gilbert Keith Chesterton dari Inggris, "Engkau harus menggunakan demokrasi untuk melakukan revolusi!" Bukan sebaliknya, revolusi untuk demokrasi, yang nyata selama ini gagal. Revolusi hanya memunculkan diktator baru!

Tapi jaman terus bergerak, serta ditentukan oleh mereka yang berada dalam mainstream politik. Sementara semassif apapun, demontrasi besar-besaran di Hong Kong pun kini senyap. Sedang di sisi lain, anak-anak muda dengan prestasi seperti Nadiem Makarim, Billy Mambrasar, William Aditya, dan anak-anak muda yang terus bergerilya melakukan kerja-kerja sosial pendampingan di seluruh pelosok negeri; juga terus dicurigai, tidak dipercaya, bahkan dihina-dina.

Lantas maunya apa? Apa-apa mau! Ngomong paling ngerti Pancasila tapi tidak pancasilais, itu sama saja bohong. Ngaku paling ngerti Islam tapi tidak islami, itu sama saja bohong. Ngerti agama tapi tidak agamis, itu sama saja bohong. Wong kata gotong-royong saja nggak ngerti maknanya. Ngapain juga ngurusin Jokowi? Bukankah Jokowi sudah kurus? Atau sedikit agak gemukan? | @sunardianwirodono

Rabu, Desember 11, 2019

Lantas di Mana Peran Agama, Antara Radikalisme & Korupsi


Setelah ngomong soal dampak buruk korupsi, Saut Situmorang dalam Hari Anti Korupsi Sedunia (8/12) mengatakan, “Korupsi juga ternyata menjadi salah satu penyebab radikalisme.” Pimpinan KPK yang sebentar hari lagi diganti itu, antara lain menambahkan, “Ketidakadilan bahkan isu radikalisme itu banyak dari isu korupsi di depannya.”

Tak jelas maksud kalimatnya. Penguasaan bahasanya perlu dibenahi, agar tidak korup bahasa. Menurut Saut, bentuk radikalisme itu berbeda-beda. Mulai dari radikalisme agama hingga ekonomi. Kita tidak tahu, bagaimana itu radikalisme ekonomi. Apakah ngamuk dengan meledakkan bom, yang di dalamnya berisi duit? Sehingga orang miskin suka-cita menyambutnya?

Pernyataan korupsi, ketidakadilan, yang kemudian menyebabkan munculnya bibit kawit radikalisme, bahkan terorisme, bukan hal baru dari KPK. Dulu Busyro Muqodas juga menyatakan hal yang sama. “Ketimpangan ekonomi, bisa sangat mudah memunculkan radikalisme yang bisa berujung pada tindakan terorisme,” kata Busyro dalam sebuah diskusi ilmiah (2018). Kita tak tahu, apakah pernyataan-pernyataan itu memiliki hubungan dengan isyu yang menyebut adanya KPK Thaliban di sana.

Sementara itu, di sisi lain, belum lama lalu, anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Said Aqil Siradj mengatakan, tak sedikit universitas yang terpapar paham radikalisme. Tak sedikit itu artinya bukan hanya banyak, melainkan menurut Said Aqil, semua universitas sudah terpapar radikalisme (10/12).

Pernyataannya yang paling menarik, hal itu karena ketimpangan ekonomi, ketidakadilan dalam ekonomi, yang menjadikan tumbuhnya radikalisme. Tak usah ditanyakan padanya, jika semua universitas, itu apakah hanya mahasiswa miskin atau juga mahasiswa yang kaya? Termasuk dosen yang miskin dan dosen yang kaya. Karena premis Said Aqil adalah ketimpangan ekonomi.

Dari KPK dikatakan korupsi bisa menyebabkan radikalisme, sementara Said Aqil mengatakan kesenjangan ekonomi bisa jadi akar radikalisme. Di antara keduanya tak ada yang menyatakan kesenjangan ekonomi menyebabkan korupsi. Mungkin dalam pengertian mereka korupsi hanya bisa dilakukan oleh orang kaya, yang punya kekuasaan. Mereka tidak tahu, bagaimana tukang parkir kaki-lima, yang tidak kaya, juga bisa melakukan korupsi. Artinya, mereka (KPK maupun Said Aqil dan yang diwakili atau mewakili), tak pernah mengaitkan perilaku korupsi dengan soal adab, akhlak, karakter, atau watak manusia. 

Saya mengabaikan omongan Saut Situmorang dan Busyro Muqodas. Anggap saja itu pengakuan kegagalan mereka dalam upaya pemberantasan korupsi. Claim mereka mengatakan index korupsi kita turun. Tapi dalam menilai pemerintah, mereka memberi label Pemerintah kurang serius dalam pemberantasan korupsi. Di mana korelasinya? Korelasinya ada dalam inkonsistensi mereka. Claiming dan labeling dipakai sebagai senjata untuk membela diri (dan menyerang liyan). 


KEMISKINAN SEBAGAI KORBAN. Yang paling menggelitik, tentu ucapan Said Aqil. Dikatakan; ketimpangan ekonomi menjadikan radikalisme merebak. Dari semula bernama intoleran, kemudian berpaham radikal, terus ke bentuk terorisme. Saya (jika tak boleh menyebut kita) merasa aneh dengan argumentasi itu. Jika demikian, lantas di mana peran agama, yang konon seusai Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu’ alaihi wassallam dipegang oleh kaum ulama, sebagai pewaris nabi? Ini kalau kita ngomong dalam konteks Said Aqil, dengan pemahaman keislamannya. Kalau Rama Magnis Suseno ngomong kayak gitu, mungkin kita akan ngomong juga dalam komteks kekatholikan.

Bukankah menurut Al Baihaqi, Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam ngendika; “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan keshalihan akhlak”? Apa itu akhlak? Kata akhlak berasal dari kata khuluk (Arab), artinya watak, kelakuan, tabiat, perangai, budi pekerti, tingkah laku dan kebiasaan. Pengertian akhlak dalam Islam adalah perangai serta tingkah laku yang terdapat pada diri seseorang yang telah melekat, dilakukan dan dipertahankan secara terus menerus.

Kalau orang miskin melihat orang kaya kemudian iri, dengki, jengkel, marah, apalagi marah pada tuhan, bagaimana agama yang dibawa Kanjeng Nabi tadi ditransformasikan dalam ajaran-ajaran pengikutnya kemudian? Menjadi tanggung jawab siapa? Kalau para ulama mengaku sebagai pewaris nabi, bukanlah itu artinya kegagalan mereka, dalam meneruskan ajaran? Apakah karena itu, kemudian mencari kambing hitam atas nama ketimpangan ekonomi, atau korupsi?

Sekali lagi, jika demikian halnya, lantas apa peran agama? Setidaknya dalam mereduksi situasi social chaostic dengan isyu-isu ratu adil, imam mahdi, messiah sang penyelamat, atau sorga yang dijanjikan? Kenapa sorga justeru lebih banyak dijanjikan pada mereka yang berjihad dengan paham radikalisme, dan melakukan terorisme?

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, kita acap ambivalen antara lari dari dan lari ke agama. Ketidakbecusan dalam national and character building, menyalahkan persoalan ekonomi. Ketidakmampuan mengatasi persoalan korupsi, lari ke nilai-nilai agama. Sementara buat apa kita membuat cem-macem undang-undang, aturan negara? Karena kita enggan menganggap semua aturan manusia sebagai social religion. Padahal, senyampang itu, agama langit tidak pula operasional dalam membangun nilai-nilai kemuliaan manusia.

Menjadi menggelikan jika orang miskin menjadi kambing hitam dalam persoalan ini. Sudah miskin dikutuk pula jadi biang radikalisme. Sementara kita pura-pura tidak tahu, bagaimana agama dipakai kedok. Bahkan sangat tidak jarang, para pelaku terorisme dan intoleransi hapal ayat-ayat kitab suci masing-masing. Tapi apakah mereka paham maknanya?

Kebanyakan orang miskin, yang tak punya akses dan tak banyak pilihan, menjadi korban kiri-kanan. Termasuk korban dari mereka yang suka claiming dan labeling tadi. Dan biasanya pula, orang miskin lebih acap diam saja, pasrah ngalah. Lantas siapa yang menjadikan mereka berani, dan memberontak? Pertanyaan kritisnya; jangan-jangan justeru agama itu sendiri!

Radikalisme yang kita maksudkan di sini, bukan dalam persoalan semantik. Melainkan lebih pada istilah politik. Sebagai suatu paham atau aliran, yang menginginkan  perubahan atau pembaruan politik dengan cara-cara kekerasan, ekstreem, dan drastis.


NILAI KEADILAN DAN MASA KINI. Tapi mungkin juga kita kadang terlalu mendewa-dewakan pahlawan. Termasuk soal tafsir yang berlebihan atas nama keyakinan. Bayangkan, Pangeran Dipanegara (1785 – 1855), yang dalam beberapa hal mengaku sebagai Imam Mahdi atau Herucakra, menuliskan dalam diarynya: “Hidup dan mati ada dalam genggaman Illahi. Takdir adalah kepastian, tapi hidup harus tetap berjalan. Proses kehidupan adalah hakikat, sementara hasil akhir hanyalah syariat. Gusti Allah akan menilai ketulusan perjuangan manusia, bukan hasil akhirnya. Kalaupun harus menjumpai kematian, itu artinya mati syahid di jalan Tuhan.”

Bagaimana jika generasi kini, atau kemudian, tidak mampu mengaktualisasikannya, dalam bahasa dan cara masa kini? Yang tak lagi sederhana, sebagaimana jaman Dipanegara, atau bahkan jaman Kanjeng Nabi nun dahulu kala? Tapi jika persoalannya adalah keadilan, menurut Anatole France, peraih Nobel Sastra (1921) dari Perancis; “Keadilan berarti menegakkan hukum terhadap ketidakadilan.” Sederhana bukan?

Persoalannya, “Ada yang membunuh. Ada yang dibunuh. Ada peraturan. Ada undang-undang. Ada pembesar, polisi, dan militer. Hanya satu yang tidak ada: Keadilan,” sebagaimana dituliskan oleh Pramoedya Ananta Toer (1925 – 2006), sastrawan sohor Indonesia. Dan disitulah masalahnya.

Karena, apapun aturannya, juga agamanya, “dalam keadaan terbaik, manusia binatang yang paling mulia; dipisahkan dari hukum dan keadilan, manusia adalah yang terburuk,” ujar Aristoteles (384 - 322 SM). Lantas, lagi-lagi, di mana peran agama, jika tak bisa turut memperbaiki akhlak? Termasuk dalam hal tidak mau introspeksi? Mengakui kegagalan atau ketidakmampuan mengatasi masalah? Kecuali agama memang hanya sebatas ormas, yang lebih sibuk dengan kekuasaan manusia, daripada kekuasaan illahiah. 

Itu mah, memang lain lagi. Maka sering ada sebutan elite agama, dan rebutan kursi deket Presiden. Sesuatu yang sudah jadi persoalan sebagaimana dikatakan Imam Al Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, pada abad 12 tentang ulama ‘su. Tentang mereka yang palsu, yang ilmunya hanya untuk mendapatkan uang dan kekuasaan.

Di situ, agama tak berperan apa-apa, kecuali hanya sebagai legitimasi politik. Dan tak berkaitan dengan akhlak, sebagaimana awal kelahirannya ketika ada yang diutus untuk menyempurnakan hal itu.







Yogyakarta, 10 Desember 2019

Sunardian Wirodono, adalah penulis. Tinggal di Yogyakarta.

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...