Namanya Gak, 37, anak suku Dayak Sukung.
Wajahnya keras, tapi tampilannya modern. Baru tiga bulan dilantik
sebagai Kepala Desa Suruh Tembawang, Kecamatan Entikong, Kabupaten
Sanggau, Kalimantan Barat. Daerah kekuasaannya sangat luas, membawahi
10 dusun yang berpencaran dari bukit ke bukit, jauh lebih luas dari
daerah kekuasaan walikota atau bupati di Jawa. Di antaranya beberapa
dusun yang berbatasan langsung dengan Malaysia.
Dari Entikong,
dibutuhkan waktu 5-6 jam perjalanan, melalui jalur sungai Sekayam. Bukan
hanya jarak tempuh yang jauh, namun karena medannya tidak mudah. Selain
melawan arus, juga harus pintar menghindar dari pusaran air dan
bebatuan besar yang bisa menghancurkan sampan atau merompalkan
baling-baling speedboat mereka. Butuh sekitar 60 liter bensin untuk itu,
dan karenanya biaya perjalanan ini sekali tempuh bisa menghabiskan
ratusan ribu rupiah. Utuk mereka yang dagang, berbelanja dari Entikong,
butuh biaya sekitar Rp 750.000 sekali jalan. Jika harga 1 zak semen di
Entikong Rp 76.000, di Suruh Tembawang bisa jadi Rp 200.000.
Gak
dalam Pilkades lalu, menang mutlak 90% suara. Katanya, para ibu-ibu
mutlak memilihnya. Bapak dari dua anak ini memang keren, gagah, tapi ia
tidak peragu, meski tak bisa mencipta lagu.
Kenapa namanya Gak?
Dulu katanya, sejak kecil bandel. Kalau diperintah oleh mak-nya,
jawabnya hanya 'nggak', dan jadilah itu nama panggilan kemudian. Pernah
mengikut pada keluarga Jawa, pejabat polisi, namanya menjadi Gak
Mulyadi. Tapi pendidikannya kandas waktu SMP. Bukan tak mampu, tapi
karena jaraknya memang makan tenaga dan uang.
Yang asyik dari kades
ini, ia seorang terbuka dan jagoan minum. Segala jenis minuman, yang
kadang dibelinya dari Malaysia, sudah dirasainya. "JD di Malaysia cuma
150 ringgit, di kita bisa 700 ribu, Bang!" katanya.
Tapi malam
menginap di rumahnya, kami berombongan hanya disuguhi tuak air tape
buatan sendiri, bukan JD. Demi sopan-santun, ia hanya menghabiskan dua
botol besar, dari tiga botol yang dihidangkan. Itu pun, yang minum hanya
beliau dan aku.
Dan kami pun kemudian berdua di teras, ngobrol
ngawur-ngawuran, sementara yang lain tidur kecapekan. Tak sampai pagi,
karena listrik dari tenaga diesel mikrohidro, yang mestinya tiap malam
nyala, justeru malam itu mampus, dari sejak sore. Sebuah pelita minyak,
yang dibuat dari botol Benson kaleng, menemani.
Jam 21.00 jadi
terasa pekat, apalagi hujan begitu derasnya. Geresah sungai Sekayam,
yang hanya berjarak 20 meter di depan kami, terdengar keras. Pada Gak
kubilang, "Isteri kamu sudah nungguh tuh,..." dan dia ketawa ngakak,
membiarkan aku termangu di teras rumah kayunya.
Paginya, Gak memberi
tahu, turbin dieselnya kemasukan sampah, jadi tak bisa berputar. Itu
sebabnya listrik tak beroperasi. Kubilang padanya, "Ah, kau bersekongkol
dengan petugas turbin, biar bisa tidur awal ama isterimu,..."
Dia ngakak sambil menyodorkan segelas teh hangat padaku.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Sebagai Orang yg lebih Faham daerah sendiri maka saya menyatakan tidak setuju dan keberatan dengan tulisan ini karena ada beberapa cerita yang tidak sesuai dengan dengan fakta yang sesungguhnya. Kalau bisa tolong di hapus aja.
BalasHapussetuju
Hapus