Minggu, Desember 29, 2013

Komunikasi Dunia Maya, Mengukur Sebuah Nilai Kepantasan

Salah satu poin yang dikemukakan para penasehat hukum pribadi Susilo Bambang Yudhoyono, berkait seringnya muncul kritik dan fitnah di media sosial (internet khususnya), kritik itu harus bisa dipertanggungjawabkan, beretika, terukur, dan sejenisnya.
Bagaimana itu kriteria bisa dipertanggungjawabkan, beretika, terukur, dan sejenisnya itu? Siapa yang mempunyai otoritas untuk menilai semuanya itu?
Jelas saja, jika menurut sisi pandang para penasehat hukum itu, pastilah dari sisi kepentingan client mereka, sebagaimana juga tentu bagi para pengritik atau yang menilai kualitas kerja SBY selaku presiden, maupun sebagai pribadi yang berada di ranah publik.
Jika demikian, tentu saja, kita hanya akan sampai pada debat kusir, yang pada akhirnya, ujung-ujung asu gedhe menang kerahe. Siapa yang lebih berkuasa, itulah yang akan menentukan 'nilai' kebenaran.
Di situ persoalan penting kita sekarang ini. Apalagi ketika seorang tokoh publik, berada di ranah publik, dan menentukan hajat hidup sebegitu banyak individu alias masyarakat banyak alias rakyat.
Pada sisi ini, yang kemudian terasa bahwa rakyat hanyalah obyek dari tokoh-tokoh publik, tanpa dibuka akses bagi publik sebagai subyek yang juga berhak melakukan reaksi.
Dalam alam demokrasi, kita tentu akan segera menyodorkan bahwa ada legislatif di sana, dan ada yudikatif di ujungnya. Tetapi mekanisme dan sistem trias politika itu, tidak sebagaimana yang diidealkan.
Bagi siapa pun, dikritik tentulah sangat tidak enak. Tetapi, bagi siapa pun yang berada di ranah publik, dan kehadirannya menentukan hijau-hitamnya publik, maka sadar dan tidak dia akan berada dalam interaksi dan dialektika komunikasi. Ada pro dan kontra, ada setuju dan tidak setuju, ada suka dan benci.
Itu semuanya adalah keniscayaan, sebagaimana bunyi pepatah Belanda yang kita kenal baik, semakin tinggi pohon semakin kencang angin menggoyangnya.
Sayangnya, mereka yang menggapai ketinggian, sering mengabaikan hukum alam itu. Mau tingginya namun tidak mau anginnya.
Yang sering muncul kemudian adalah kontra kritik dalam ujud tudingan balik seperti; "Kamu hanya bisa mengritik, kalau kamu di posisi dia, apakah kamu akan lebih baik?", "Ngaca, kalau kamu ngritik orang lain, apakah kamu lebih baik, mana karyamu,..." dan seterusnya, dan sejenisnya.
Kita memang tidak terdidik dalam diskusi, sehingga kita tidak terlatih dengan negosiasi. Maka kemudian kehadiran kritik hanyalah diletakkan pada aroma kebencian, ketidaksenangan. Perdebatan adalah sesuatu yang negatif dan tidak menumbuhkan.
Kita terdidik sejak jaman Orde Baru sebagai generasi yang hanya mengenal kebenaran mutlak, kemenangan mutlak. Orang yang mengritik kita adalah orang yang tidak suka kita. Orang yang berbeda dengan kita adalah bukan bagian dari kita.
Dan dalam pada itu, kita tidak terdidik dan terlatih bagaimana kita melakukan semuanya itu, kecuali dengan ketidaksukaan, kebencian, dan kemarahan kita. Hal itu akan sangat terasa dalam "perdebatan" tertulis kita di media, berpendapat dengan tulisan, namun dengan bahasa lisan dan membawa karakter kelisanan kita yang spontan, sering verbal, dan kadang vulgar.
Menulis, ternyata bukan muncul dari perilaku atau adab yang berfikir, namun muncul dari emosionalitas kita yang penuh kespontanan. Hasilnya, adalah perdebatan yang sering bias dan tidak fokus, karena jarang hadir dari pengendapan pemikiran.
Pada akhirnya, media sosial (media online) sering justeru menjadi pemantik dari perdebatan-perdebatan yang melelahkan, tidak perlu, karena lebih banyak muncul karena kementahan dan keterburuan kita dalam berfikir.
Dan ketika kita sama-sama belum siap mengenai hal itu, tiba-tiba muncul UU ITE, dan akan banyak jatuh korban lebih karena kita sendiri sebenarnya juga tidak mempunyai pedoman dalam berkomunikasi secara online. Di samping tentu, lebih sering kita muncul bukan sebagai bangsa pembelajar.
Celakanya, di area publik yang terbuka, banyak tokoh publik yang sebenarnya juga tidak cukup siap dengan psikologi komunikasi dunia maya ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...