Menurut
lawyer Firman Wijaya, Ratu Atut bukanlah orang liar, sehingga dengan
demikian tidak patutlah KPK kemudian melakukan penahanan seperti
kemarin, bla-bla-bla,...
Tentu saja, kita tidak akan memasalahkan
kenapa Firman Wijaya membela Ratu Atut, karena tentulah Firman sebagai
kuasa hukum RAC akan membela orang yang membayarnya. Point tulisan ini
bukan masalah ecek-ecek seperti itu.
Namun kesan umum kita terhadap orang-orang hukum, adalah
ketidakkonsistenan mereka terhadap pemaknaan kata. Kata itu bisa
bermakna konotatif (bukan hanya denotatif) sesuai kepentingan.
Akibatnya, kalimat yang dipakai sering berbolak-balik dan dibolak-balik.
Kalau ahli bahasa mengamati bahasa ahli hukum, mungkin akan didapatkan
fakta menarik. Bahwa yang bernama interpretasi bukan hanya di kalangan
penyair, apalagi kalau membaca kalimat-kalimat hukum dalam setiap UU
kita, begitu belibet dengan kalimat majemuk yang bertumpuk-tumpuk.
Kalimat "Ratu Atut Tidak Liar", tentu dimaksudkan yang bersangkutan
ialah seorang gubernur, muslimah (artinya beragama, lihat saja
pakaiannya), perempuan, educated, sepatu dan kerudungnya buatan luar
negeri (orang kaya biasanya lembut, tidak berangasan kayak orang
kelaparan). Dan karena itu tidak mungkin melarikan diri. Tidak liar
barangkali dalam pengertian lawyer itu (khususnya Firman Wijaya), lebih
dengan kategori tersebut.
Sementara, bagaimana jika kata itu
dimaknai yang lain, bahwa keliaran tidak harus dalam bentuk perilaku
fisik atau verbal, melainkan perilaku pikiran, sikap, dan orientasinya,
sehingga ia tega melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, menguntungkan
kelompok dan keluarga, dan mencelakakan rakyat yang memberinya amanah?
Apakah itu bukan keliaran?
Lho, itu kan sangkaan, belum fakta hukum?
Ya, makanya, ini sedang disidik, untuk kemudian kelak diproses hukum,
Fir. Lu sabar aja, nggak usah mencak-mencak di media untuk menunjukkan
pada client-mu bahwa kamu bekerja keras. Meski kerja kerasnya justeru di
bidang bahasa, bukan di bidang hukum. Karena banyak lawyer hitam lebih
menunjukkan kepiawaian mereka dalam berdebat kata-kata, daripada
menyodorkan fakta-fakta hukum.
MEDIA
DAN LAWYER | Kadang-kadang kita nggak ngerti, siapa yang bodoh, media
atau lawyer. Media selalu dengan semangat heroik mewawancarai lawyer
dari tersangka, atau terdakwa, atau bahkan kemudian terpidana dalam
suatu peristiwa hukum yang sedang berlangsung atau aktual. Para lawyer
itu akan dengan gagah-perkasa ngomong bahwa client-nya baik dan benar,
sementara yang menjerat hukum client-nya dalam posisi salah atau dipertanyakan kebenarannya. Kata-kata normatif, demi hukum, presumption of innocence, akan bertaburan.
Yang menjadi pertanyaan saya yang awam hukum, buat apa lawyer itu
ngomong di media tentang kasus hukum yang sedang berproses? Mengapa
mereka tidak ngomong nanti dalam proses pengadilan saja? Bukankah akan
sia-sia ngomong di media? Mengapa di pengadilan ngomongnya justeru beda,
nggak gagah-gagah banget seperti waktu ke media?
Semula saya pikir,
lawyer ini bodoh ngomongin kasus di media. Mestinya ya di pengadilan.
Tapi kemudian saya pikir lagi, lawyer ini pinter juga. Karena dengan
ngomong di media, dia mendapatkan media promosi gratisan. Dan media
dengan senang hati menyediakan panggung itu, seolah mendapatkan sumber
berita eksklusif. Semakin canggih ngomongnya, semakin calon client yang
nonton akan tersepona.
Pada sisi ini, saya kemudian berfikir, kalau
begitu, siapa yang bodoh, media atau lawyer? Kalau lawyer ngomongin
client, tentu saja lawyer akan membela client-nya. Itu mah biasa, apa
hebatnya berita semacam itu? Sementara, kalau akhirnya client-nya kalah,
biasanya para lawyer ngeloyor diem-diem, menghindari media.
Mudah-mudahan para penikmat media jauh lebih pintar, dari kedua belah pihak tersebut di atas. Itu doa terpenting.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar