Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedikit Nakal Banyak Akal”. Tapi karena tulisan itu bukan hanya diedit, melainkan diubah-ubah, dan akhirnya memang sempat dimuat (12/11/2015), saya keberatan karena tulisannya menurut saya jadi ngaco. Saya minta tulisan itu dicabut atau dimuat utuh. Saya senang mereka akhirnya memilih mencabutnya, meski lagi-lagi mereka melakukan begitu saja tanpa menghubungi saya lagi. Itu soal etika sih, karena saya tidak cari perkara kirim tulisan ke mereka, tapi mereka yang meminta tulisan saya. Untung saya sama sekali tak menggubris pertanyaan mereka soal nomor rekening saya. Karena bagi saya menulis adalah kebahagiaan, bukan soal honorarium. Untuk mengobati kekecewaan, karena saya menulis artikel ini serius dan menghabiskan energi, saya muat di sini seutuhnya, kecuali mencoret dan mengganti kata atau nama yang berkait dengan peminta tulisan saya tersebut. SW
1. Biar kelihatan serius, pakai angka-angka. Enny Arrow
adalah fenomena, setidaknya fenomena rusuh, lebih spesifik lagi; rusuh seks.
Rusuh seks atau seks rusuh? Seks memang rusuh, karena itu rusuh seks nilainya
lebih rusuh lagi, complicated. Jika di dunia sepakbola ada bonek atau aremania,
ini lebih rusuh dari itu. Apalagi dibanding pendemo profesional, atau kaum
haters yang belum juga bisa move on.
Jagat Enny Arrow adalah jagat pinggiran, di seputar Pasar
Senen dan Pasar Baru, Jakarta, pada penerbit lapakan. Benar-benar hanya berdagang
buku dengan satu lapak meja. Buku siapa? Buku yang mereka terbitin sendiri,
cetak sendiri, meski tentu penulisnya bukan mereka. Itu persis para penerbit
komik di Los Mini Topsy (Pasar Baru). Cara jual beli naskah, novel atau komik,
benar-benar dengan transaksi amat biasa. Pembelinya, para taoke toko buku itu, tak
perlu melihat atau membacanya.
Sebuah naskah novel dari nama yang tidak terkenal, pada
tahun 1980an, bisa hanya ditawar antara 10.000 s.d 20.000 rupiah. Untuk penulis
novel, bukan hanya judul, bahkan nama pengarangnya pun bisa diganti. Apakah
Anda tak pernah menduga, jika teman Anda pernah menulis novel gituan, dan nama
yang ditabalkan atas buku cerita itu menjadi Enny Arrow? Jika tak pernah,
cobalah menduga. Sesekali.
Itulah fenomena novel seks atau cerita stensilan (padahal
dicetak handpress) jaman itu, dalam hampir tiga dekade 1970-1990. Jaman sebelum
internet dan era digital merangseks (artinya = merangkul seks).
2. Meski kita masuk era teknologi dan komunikasi modern,
bukan berarti kita gampang akses informasi. Bahkan sampai kini, jika pun ada
yang menulis biografi Enny Arrow, tak pernah jelas sumber informasinya.
Konon Enny Arrow dulunya ‘hanyalah’ pekerja di toko usaha
tukang jahit bernama ‘Arrow’ di Kalimalang, Jakarta Timur. Entah karena suntuk
kerja sebagai penjahit, ia menulis novel pertama pada 1965. Judulnya agak seram
juga; Sendja
Merah di Pelabuhan Djakarta. Judul yang oleh para communistofobi akan dituding
kiri. Nama Arrow di belakang nama aselinya, Enny (Sukaesih Probowidagdo) memang
diambilkan dari nama tempatnya bekerja waktu itu.
Entah berhubungan atau tidak, antara novel yang berjudul
kekiri-kirian dengan situasi jamannya (pecah peristiwa 30 September 1965), pada
akhir tahun itu Enny Arrow kabur ke Filipina, untuk kemudian ke Hong Kong, dan akhirnya
ke Seattle, Amerika Serikat, April 1967.
Perempuan kelahiran Hambalang, Bogor tahun 1924 itu, pada
awalnya memang wartawan. Memulai karir kewartawanan pada masa pendudukan
Jepang, belajar Steno di Yamataka Agency, kemudian direkrut menjadi salah satu
propagandis Heiho dan Keibodan. Pada masa Revolusi Kemerdekaan, Enny Arrow
bekerja sebagai wartawan Republikein, yang mengamati jalannya pertempuran di
seputar wilayah Bekasi.
Soal riwayat Enny Arrow, masih simpang-siur. Ada yang
mengatakan, Abdullah Harahap (penulis novel-novel horor sejaman Motinggo Boesje)
konon tahu persis Enny Arrow adalah nama samaran penulis lelaki, dan masih
hidup hingga sekarang. Siapa? Sialnya, Abdullah Harahap sudah almarhum, sehingga
tak bisa dikonfirmasi.
Di Amerika Serikat Enny Arrow belajar penulisan kreatif bergaya Steinbeck. Menemukan irama Steinbeck, Enny Arrow mencoba menulis untuk beberapa koran terkenal AS. Salah satu yang dimuat, novel (cerber) berjudul "Mirror Mirror".
Tahun 1974 kembali ke Djakarta, bekerja di salah satu perusahaan asing di Jakarta, sebagai copy-writer atas kontrak-kontrak bisnis, Enny Arrow kembali tergoda menulis. Dalam pertengahan dekade 70-an, nama Enny Arrow melambung melampaui popularitas Teguh Esha dengan Ali Topan. Selama satu dekade ke depan, hingga pertengahan 80-an, Enny Arrow merajai bacaan remaja Indonesia, bersamaan dengan jaman keemasan komik-komik roman seperti Zaldy, Sim, Jan, dan seterusnya, termasuk kemudian disusul komik-komik silat Ganes TH, Man, Djair, Hans dan lain-lainnya.
Di Amerika Serikat Enny Arrow belajar penulisan kreatif bergaya Steinbeck. Menemukan irama Steinbeck, Enny Arrow mencoba menulis untuk beberapa koran terkenal AS. Salah satu yang dimuat, novel (cerber) berjudul "Mirror Mirror".
Tahun 1974 kembali ke Djakarta, bekerja di salah satu perusahaan asing di Jakarta, sebagai copy-writer atas kontrak-kontrak bisnis, Enny Arrow kembali tergoda menulis. Dalam pertengahan dekade 70-an, nama Enny Arrow melambung melampaui popularitas Teguh Esha dengan Ali Topan. Selama satu dekade ke depan, hingga pertengahan 80-an, Enny Arrow merajai bacaan remaja Indonesia, bersamaan dengan jaman keemasan komik-komik roman seperti Zaldy, Sim, Jan, dan seterusnya, termasuk kemudian disusul komik-komik silat Ganes TH, Man, Djair, Hans dan lain-lainnya.
Era itu, Orde Baru sedang berjualan moralitas Pancasila. Belum ada FPI dan sejenisnya, namun sudah ada ritual ‘gropyokan Enny Arrow’ dan membakar komik-komik roman yang dianggap meracuni moral generasi muda. Pelakunya, para penegak hukum, dan para moralis, meski belum ada Surat Edaran Kapolri Badrodin, yang waktu itu masih kanak-kanak.
Jaman itu, pornografi jadi musuh Negara. Sampai Motinggo
Boesje, sastrawan yang terpeleset ke novel seks pun, pada dekade 1980-an putar
haluan. Masih menulis roman sahdu, tetapi dengan baluran agama. Sehingga banyak
adegan di mana tokohnya bentar-bentar mandi junub, bentar-bentar mandi junub.
3. Persoalannya, jika ini dianggap persoalan, Enny Arrow
lahir di jaman itu. Jaman ketika yang namanya komunitas anti hegemoni belum
tumbuh. Itu jika dianggap persoalan. Tapi jika tak dianggap, ya, buat apa
paragraph ini ditulis, apalagi sampai dibaca?
Seandainya Enny Arrow hidup di komunitas Salihara, dan GM
tidak mengenal Ayu Utami, misalnya, bagaimana coba? Atau misalnya, di jaman
efek mediasi ini, Enny Arrow hidup sejaman Eka Kurniawan, sama-sama belajar
John Steinbeck, apakah nasib Enny Arrow akan penuh luka, meski tidak cantik?
Ayu Utami, atau Eka Kurniawan, bisa menulis soal kelamin
dengan leluasa. Atas nama peradaban atau keterdidikan? Itu sih pinter-pinternya
para juru tafsir saja. Yang pasti, para juru tafsir Enny Arrow, hanyalah
pedagang lapak buku yang merangkap penerbit di Pasar Senen dan Pasar Buku. Tak
satu pun yang ikut komunitas sastra, apalagi ikut nongkrong di angkringan
komunitas bloger.
Pertama kali, buku-buku Enny Arrow diterbitkan oleh
penerbit ‘Mawar’. Padahal, di beberapa koran dan televisi, ‘Mawar’ selalu
identik dengan nama korban perkosaan. Apakah para penulis berita itu dulu
penggemar Enny Arrow? Biarlah itu jadi rahasia dunia. Selebihnya, hampir semua
penerbit di Pasar Senen tanpa perlu menyebut nama penerbitannya. Cukup
menuliskan nama Enny Arrow doang, dan itu jaminan best-seller.
Mereka hanya tahu, setelah 1965 dan Mbah Soeharto tampil,
dunia sosial-politik melulu milik Negara. Sementara, siapa yang mengisi moral
dan rohani masyarakat? Agama belum laku diperdagangkan waktu itu. Satu-satunya
hanyalah hiburan pop, musik ngak-ngik-ngok, termasuk di dalamnya novel kelas
stensilan dan komik-komik.
Generasi yang tumbuh pada jaman itu,
menurut survei yang pernah dilakukan majalah "Men's Health” edisi
Indonesia (2003), mengungkap mereka (17,2% responden) adalah pembaca karya Enny
Arrow, sebagai sumber pertama pengetahuan tentang seks. Para pembaca Enny Arrow
itu, saat ini adalah para pembuat keputusan puncak, dalam institusi sosial
politik masing-masing. Mereka berumur kisaran 40-60 tahun. Mungkin ada yang
jadi menteri, anggota parlemen, atau mendirikan angkringan sebagai life-style.
4. Namun yang dahsyat dari Enny Arrow, mungkin juga
Freddy S, Nick Carter (ini konon dari Amerika aseli), nama-nama mereka menjadi
nama generik. Sama seperti cerita komik anak-anak waktu itu. Ada banyak komik
cerita HC Andersen, tapi sumpah mampus, pemilik nama itu sangat bisa jadi tidak
tahu menahu. Bukan karyanya dijiplak, cukup namanya saja yang dipakai, sebagai
merk dagang dan tanpa ijin, apalagi membayar copy-right.
Ketika menjadi redaktur ‘Optimis’, majalah perbukuan, dan
bekerja di Pengembangan Minat Baca Masyarakat (1984) Jakarta, saya mengadakan
survey penerbitan pinggiran ini, yang semuanya berpusat di Pasar Senen dan
Pasar Baru. Buku, entah novel stensilan atau komik, pada jaman itu pernah
menjadi penanda jaman, bahkan mewarnai perjalanan satu generasi.
Enny Arrow adalah merk dagang, hingga periode
terakhirnya, pertengahan dekade 80-90, namanya bukan mulai menyurut melainkan
me-rusak (menuju rusak). Enny Arrow yang asli makin tak banyak berkarya, karena
penerbit abal-abal memakai nama itu sebagai merk patent atau jaminan laris,
dari berbagai penulis lain yang bisa dibayar lebih murah. Hingga kemudian,
matilah Enny Arrow pada 1995.
Kisah Enny Arrow sesungguhnya tragis, tetapi ia adalah
fenomena. Nama kepenulisannya bisa menjadi merk dagang. Itu sesuatu yang tak
bisa dilakukan oleh Goenawan Mohamad, Ayu Utami, Eka Kurniawan, atau siapalah.
Mana ada penerbit meminta penulis murahan, terus kemudian tulisannya diberi
merk Ayu Utami atau siapalah! Tak ada ‘kan? Karena peradaban sudah tumbuh di
Indonesia. Kalau pun masih berlangsung, modusnya lain, misal jadi ghost-writer
penulis laris (di dunia sinetron, praktik seperti ini marak).
Misal pembajakan, penjiplakan, atau meniru-niru. Baik di
dunia musik, film, penulisan, dan sejenisnya. Kalau kita nonton film ‘Pendekar
Tongkat Emas’ karya Isa Isfansyah, kita mungkin kayak pernah melihatnya di film
Hero, Crouching Tiger Hiden Dragon’ atau ‘Red Cliff’-nya John Wo. Atau musiknya
Koes Plus, Ahmad Dhani, dan sebagainya. Atau novelnya si anu yang
menggemparkan, tapi sangat dipengaruhi Steinbeck, dan sebagainya. Gitu-gitulah.
Kalau nggak gitu-gitulah, ya, berarti gini-ginilah.
5. Di Indonesia yang sangat kaya raya ini, pada setiap
generasinya, cenderung dididik oleh generasi KW atau generasi generik. Itu
bukanlah sebuah aib benar. Sesuatu yang wajar-wajar saja.
Ketika di Jawa masih terjadi Perang Diponegoro
(1825-1830), di Eropa sono Charles Darwin sudah mengungkapkan teori evolusi, Karl
Marx berduet dengan Friederich Engels menerbitkan Communist Manifesto (1847). Atau
jauh sebelumnya, Jane Austin (1775-1817) novelis Inggris, meluncurkan novelnya
‘Sense and Sensibility’. Meski di tanah
Jawa pada 1817, Sri Susuhunan Pakubuwana V, raja Karaton Surakarta, telah
menulis Serat Centhini yang lebih vulgar dari semua pakar penulis sastra
perkelaminan.
Maka, jika sebuah survey menyebut 17,2% respondennya
mengaku mengetahui seks dari Enny Arrow, mantan penjahit itu telah berjasa
sebagai pejuang pendidikan seks, justeru ketika masih dianggap tabu-tabunya. Padahal
kata beberapa kyai di pesantren, dunia berputar karena selangkangan. Sampai
Enny Arrow wafat dalam keadaan miskin, namanya sangat melegenda atas pengalaman
empirik generasi bangsa. Ia pernah menjadi sebuah outlet, katarsis
perkelaminan. Semoga khusnul qotimah. Alfatehah!
6. Tapi sikap kepenulisan Enny Arrow menarik, ketika ia
tidak mau masuk ke penerbit besar, dan menjual bukunya ke toko-toko buku besar.
Ini masih konon, benar-tidaknya masih butuh bantuan CIA, secara Enny Arrow
memang agak misterius. Sementara mengharap BIN bertindak, seperti mengharap
Sutiyoso pit-pitan dengan saya. Bukan karena saya tak punya sepeda, tapi tentu
saya punya alas an ogah diajak Sutiyoso.
Jangan-jangan, dengan novel pertamanya dulu, yang agak
kekiri-kirian, beliaunya memang kiri. Hingga harus tersingkir atau menyingkir.
Jika benar, sikap itu menarik, justeru ketika banyak penerbit takluk dalam
aturan toko buku. Bahwa 50% lebih, dari harga buku, adalah hak toko buku.
Selagi penerbit saja takluk, apalagi penulisnya, yang hanya mendapat 10% dari
harga buku.
Maka para penulis yang anti asosiasi profesi, mending
memilih semi-flat, dapat bayaran cash per-1000 eks dapat Rp 1.000.000, atau
jual putus karena kebelet kawin!
Angka itu, sungguh tak sebanding dengan menerbitkan
sendiri model indie. Jika laku 10-20 eks, bisa dapetin uang yang sama dengan
yang 1.000 eks tadi. Tentu saja, jika laku dan tidak diminta gratisan
teman-temannya.
7. Benarkah era Enny Arrow pudar di jaman dvd, blue-ray
atau teknologi digital ini? Justeru tidak. Sepanjang masih bernama manusia
rindu berproduksi, beregenerasi, atau prokreasi, cerita-cerita lendir terus
bergulir. Buku-buku Enny Arrow dalam bentuk pdf, e-book, mudah ditemui di
internet.
Bahkan regenerasi cerita model Enny Arrow, mewabah dan
punya laman-laman khusus di berbagai media internet. Malah ada yang membuka
interaksi antara penulis dan pembaca cerita-cerita soal perkelaminan ini. Buruan
googling deh!
Enny Arrow, setidaknya membuktikan kekuatan genre, yang
ketika dibalut dengan teknik-teknik pencanggihan model Ayu Utami, atau Eka
Kurniawan, akan sangat tergantung pada para penopang atau juru tafsirnya.
Setidaknya, era tulisannya sangat dikenal, tapi penulisnya tidak.
Itu sungguh sangat susah be’eng dijalankan saat ini. Karena
popularitas bukan sekedar effect samping, tapi juga effect depan, dan belakang.
Ikutan di Frankfurt BF (book fair, bukan blue film) misalnya, itu sesuatu
banget, meski harus nombok-nombok. Wong GM pun sebagai ketua panitia, juga harus
nombok.
8. Masih membacanya? Untuk tulisan bertele-tele ini,
karena setelah ditunggui sekian paragraph tak ada desah-desahnya, saya ingin
menutupnya dengan mengutip novel pendek karya Agus Mulyadi, dari blognya 13
November 2014, berjudul “Mengelak dan Harga Diri”, dengan
kategori "Ra Jelas', yang kalau dilafalkan lidah cedal menjadi 'la-jel-as'.
Diceritakan suami-isteri Johnson dan Sri, ingin mencoba
gaya baru dalam bersenggama. Mereka ingin bercumbu secara outdoor. Malam adalah
waktu yang dipilih karena aman. Tapi, karena penulisnya mungkin masih imut
(item dan ngemutan), Jonhson dan Sri masih malu-malu. Kurang liar, tak
sebagaimana Ayu Utami. Atau kurang nyeteinbeck ‘Seperti Dendam’-nya Eka
Kurniawan.
Johnson dan Sri fullnaked, masuk dalam satu sarung dan
bergumul. Eh, tiba-tiba, muncul Bagyo mengonangi mereka. Agus Mulyadi seperti
stand-up comedian yang tak sabar dalam punch-lines, buru-buru menutup dengan
semprotan Bagyo; “Krukupan
sendiri ndasmu, Krukupan
sendiri kok kakinya ada empat!”
Tapiii, bisa jadi itu bukan Agus Mulyadi aseli. Bisa jadi
namanya di-hack, atau Agus Mulyadi generic. Karena hampir mirip dengan gaya
penutup novel-novel stensilan Enny Arrow, setelah ah-uh-ah-uh sepanjang
halaman, tiba-tiba di halaman akhir bisa muncul 2-3 paragraf dengan ajaran
moral khas Indonesia, semacam permintaan doa pada yang kuasa. Walau cuma satu
ayat atau satu kata, tapi ‘kan sudah berkutbah. Artinya, moralnya nggak
ancur-ancur banget.
Meski jaman dulu kala, di jaman kejayaan Enny Arrow,
selalu ada the first reader. Tugasnya, memberi kode-kode tertentu di halaman
berapa bagian hotnya. Pembaca berikutnya, langsung membaca bagian hot itu.
Tidak penting segala macam lead, set up atau pun premis-premis. Emangnya
menulis di blog lucu, harus pakai teori-teori teknis?
9. Sebetulnya poin terakhir ini, tidak ada. Tapi, untuk
pantes-pantes, agar terlihat gusdurian yang NU-nya berbintang 9, maka angka ini
diadakan. Biar kelihatan agak taklim-muta'alim,
sebagaimana stensilan kitab-kitab kuning. Sekian.
Ha..ha..ha..
BalasHapusHa..ha..ha..
BalasHapusbahagianya jadi anak 80an :D
BalasHapuswaaakakakak
BalasHapus