Kamis, Desember 22, 2016

Jokowi Undercover Sunardian Wirodono


Sangking hebohnya buku 'Jokowi Undercover' tulisan Bambang Tri (yang terang-terangan menuding Jokowi anak Cina dan PKI, dan nantang dirinya untuk ditangkap dengan memposting ktp-nya di medsos), saya jadi ikut kerepotan.

Saya hitung sudah seratusan lebih email masuk ke akun email saya, menanya tentang 'Jokowi Undercover'. Tapi setelah saya jawab, nggak tahunya yang mereka inginkan 'Jokowi Undercover' bukan karya saya, tapi yang karangan BT itu. Hiks.

Lagi-lagi terpaksa saya jelaskan, meski sama judulnya, buku saya yang terbit tahun 2014, berukuran 12 x 19 Cm., dengan tebal 1.000 hal, ISBN: 978-602-9087-3-0., adalah berbeda isi dan bentuknya dengan buku berjudul sama yang ditulis Bambang Tri yang terbit 2016. Saya (Sunardian Wirodono) tak mempunyai hubungan apapun dengan BT, tidak mengenalnya, juga bukan bagian darinya.

Buku saya, novel, fiksi, sementara milik BT non-fiksi (yang anehnya buku itu bisa judulnya gonta-ganti, kadang Undercover Jokowi), dan lain kali (yang terbaru, Desember 2016) covernya mirip buku saya yang sudah terbit sejak 2014. Saya heran kenapa.

Novel politik saya, 'Jokowi Undercover' adalah catatan politik Indonesia 2014, yang diterbitkan untuk mencoba memahami bagaimana masyarakat Indonesia merespons politik dengan media sosial di tangannya, dan bagaimana mungkin Jokowi bisa mengalahkan Prabowo, yang didukung kelas menengah kota dan bagian dari masa lalu itu.

Buku saya ini boleh dibilang mahal, dan bagi haters Jokowi mungkin bikin muntah-muntah, kejang perut tali kecapi. Novel 'Jokowi Undercover' Sunardian Wirodono, hanya didedikasikan bagi mereka yang hendak mengapresiasi sebuah peristiwa politik yang fenomenal, Jokowi Sang Presiden RI 2014-2019.
 
 
 

Senin, Desember 19, 2016

MUI Apa Agamanya?


Jika saya bertanya apa ‘agamanya’ MUI (Majelis Ulama Indonesia), saya akan sampai pada keraguan, dan hanya bisa bertanya-tanya; Apa sesungguhnya MUI itu? Penjunjung Islam rahmatan lil alamien, atau bukan rahmat untuk alam semesta? Kalau rahmat, kenapa tidak rahmat?

Bahwa MUI adalah ormas, yang terikat aturan hukum di Indonesia, seperti halnya ormas GMNI, FKPPI, YLKI, YLBHI, dan berbagai ormas atau lsm (lembaga swadaya masyarakat) yang ada. Secara hukum, tak ada bedanya. Hanya persoalannya, kita tahu bahwa ulama adalah cendekiawan, orang yang tahu agama (Islam), itu makna semantiknya. Tapi kalau sebagai status atau pencapaian keilmuan (dalam hal agama), siapa yang menahbiskan?

Islam tidak mengenal struktur. Tak ada yang bisa menjamin seseorang disebut tidak kafir, atau paling alim, dan mendapat jaminan sorga, kecuali amal dan perbuatannya sendiri. Dan siapa yang menilainya? Dalam berbagai rujukan Islam, hanya Allah ta’ala yang akan menilainya. Manusia satu dan lainnya tak punya otoritas, apalagi cuma MUI.

Mengapa Islam di Indonesia menjadi aneh? Karena peran MUI akhir-akhir ini? Indonesia sendiri juga aneh, jika mengklaim sebagai Negara yang punya tingkat toleransi dalam beragama, mengaku Islamnya lebih baik daripada di Arab sana. Padahal mana buktinya? Pemaksaan kehendak atas nama agama dibiarkan.

Sementara itu, jika kita mau piknik ke Palestina, di kota-kota seperti Bethlehem (tentu saja), juga di Nablus, Maghar, Beitsahour di tepi barat sungai Jordan, Nazareth dan Ramallah, suasana Natal begitu hingar bingar. Di Palestina yang dibela-bela orang Islam di Indonesia, adalah sebuah negeri yang plural, di mana orang Islam dan Kristen berbaur. Di sana banyak orang Arab Kristen.

Kota kelahiran Yesus bukan lagi menjadi wilayah Israel. Bethlehem disebut juga Kota Daud. Daud adalah Raja Israel yang diangkat sebagai raja di Hebron, ini pun sekarang menjadi wilayah Palestina. Bagaimana kita memahami ini? 

Natal di Mesir, dan di beberapa Negara Timur Tengah di luar Arab Saudi, memperlihatkan toleransi umat Islam. Misal ulama-ulama al-Azhar dan para petingginya (yang juga suka pakai jubah itu), mereka datang ke katedral kaum Kristen Koptik. Mengucapkan selamat natal, kemudian salim dan pelukan. Apaklah ulama di MUI mau melakukan hal yang sama, kalau mereka toleran? Tidak. Mereka takut kehilangan umat! Karena kalau kehilangan umat, siapa yang bakal percaya fatwanya?

Apakah wajah Islam Indonesia memang tidak toleran? Menurut Ismail Fajrie Alatas, mahasiswa program doktoral antropologi dan sejarah di Universitas Michigan, AS., "Banyak ulama-ulama Arab Habaib ataupun non-Habaib, mereka berjubah, bersorban, dan berjenggot, tetapi tidak mendakwahkan kekerasan," papar Fajrie yang juga keturunan Arab, dan  tengah menyelesaikan disertasinya tentang formasi sosial di kalangan Arab Alawiyin di Indonesia.

Namun demikian, Fajrie menyadari keterbatasan peran dan wewenang para ulama dalam menjalankan tuntutan peran itu. "Karena tidak ada struktur, tidak ada hirarki dalam kelompok keturunan Arab. Setiap ulama dapat membentuk jamaah masing-masing, yang kadang-kadang di antara mereka clash memperebutkan jamaah." 

Bagaimana kita memahami pertanyaan Pdt. Prof. Jan S. Aritonang, Ph.D., Guru Besar Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, atas fatwa MUI yang mempersoalkan atribut-atribut Natal dalam ritual Natal di Indonesia, dan implisit mempermasalahan keyakinan agama lain?

Dalam surat terbukanya, saya petikkan butir (6). “Di dalam fatwa itu, pada bagian konsiderans (Mengingat dan Memperhatikan), berulang kali dikutip ayat Kitab Suci Al Qur’an, Hadits Nabi Muhammad/Rasulullah SAW, dan pendapat sejumlah tokoh Islam, yang pada pokoknya menyatakan bahwa orang-orang non-muslim itu adalah kafir. Perkenankan saya bertanya: apa/siapa yang dimaksud oleh Komisi Fatwa MUI dengan kafir? Apakah semua orang non-muslim adalah kafir, termasuk umat Kristen? Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memang dikatakan bahwa kafir adalah “orang yang tidak percaya kepada Allah dan rasul-Nya”. Bila inilah pengertiannya maka lebih dari 5 milyar penduduk dunia adalah kafir.”, dan;

(7). Sepengetahuan saya (Jan S. Aritonang), Nabi Muhammad SAW bergaul dengan akrab dan bersahabat dengan banyak orang Kristen (Nasrani) dan tidak pernah menyebut mereka kafir. Di dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang dikutip pada konsiderans Fatwa MUI ini pun tidak ada hadits Nabi yang menyebut orang Kristen sebagai kafir.”

Saya menduga situasi buruk Indonesia terakhir ini, yang oleh para antropolog Indonesia disebut sebagai situasi darurat keindonesiaan, bermula dari kasus Ahok, yang memanfaatkan momen Pilkada DKI Jakarta. Di situ, banyak agenda dan kepentingan bermain, entah FPI, MUI, para peserta Pilkada, maupun para sponsor dan penumpang gelap. Pasar terbesarnya? Massa mengambang yang betul-betul terapung-apung. Dan kita tahu, benda yang terapung-apung di atas air adalah benda dengan kadar berat jenis ringan.

Kasus penghinaan yang menimpa Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu’ alaihi wa sallam, dalam cerita Fathu Makkah, sebagai pemenang perang di hadapan taklukan, Kanjeng Nabi cuma ngendika; Idzhabû fa antum thulaqâ! Silakan kalian pergi, kalian bebas. Tapi MUI bukan penerus nabi, kalau pun mau dianggep, toh bukan satu-satunya. Di luar MUI banyak ulama dengan tafsir yang berbeda-beda. Ada Gus Mus, Gus Dur, Mbah Maimun, juga ulama (dalam arti cendekiawan) Buya Syafi’e, Nasaruddin Umar Imam Besar Masjid Istiqlal, dan sebagainya?

Fatwa MUI bukan produk hukum positif di Indonesia, karena MUI memang bukan lembaga hukum (Negara). Fatwanya adalah himbauan yang bersifat khusus untuk umat Islam yang ada di Indonesia. Fatwa diminta tidak diminta akan dikeluarkan MUI apabila memang dianggap perlu demi kemasyahlatan umat Islam secara umum.

Fatwa konon diambil berdasarkan kajian yang diambil dari Alquran dan Hadist. Soal bertentangan dengan konstitusi (hukum Negara Indonesia)? Fatwa mestinya tidak pernah bertentangan dengan konstitusi, tetapi konstitusi yang terkadang bertentangan dengan keyakinan dan syariat Islam, membutuhkan ijtihad yang bijaksana. Karena Indonesia bukan Negara dengan syariah Islam. Maka, sesungguhnya, di situlah peran MUI yang menjadi kekuatan penyeimbang dalam kehidupan bernegara. Bukannya mendesakkan kepentingannya sendiri, yang berimplikasi luas secara sosial dan politik.

Apa yang dilakukan MUI, terjebak dalam formalisme agama, dan bahkan, kita bisa menduga terjebak dalam ideologisasi agama di Indonesia. Akibat lebih jauh, MUI membiarkan dan memberikan karpet merah pada FPI, dengan menamakan diri sebagai GNPF-MUI, untuk melakukan berbagai sweeping Natal di beberapa kota di Indonesia. Dan itu yang terjadi sekarang.

Di mana Polisi? Polisi tidak memiliki pegangan yang tegas. Ambivalen. Apalagi kalau Kapolrinya, Kapoldanya, Kapoltabesnya, Kapolresnya, Kapolseknya, turut serta bermain dalam massa mengambang itu, dan tidak loyal terhadap hukum Negara. 

Persoalan di Indonesia sesungguhnya lebih pada soal bagaimana selama ini hukum Negara (apapun) tidak ditegakkan. Entah karena aparatur hukumnya yang tidak patuh, tidak berani, atau korup. Buat apa mereka korup? Buat main-main dapat duitkah? Karena korupsi kekuasaan, juga merupakan modus bagi beberapa oknum, apapun lembaganya, yang toleran terhadap intoleransi.

Presiden, sesungguhnya, bisa ditanya dari sini, bagaimana Negara juga mesti melindungi hak azasi warganya dari tekanan-tekanan yang mengingkari falsafah dasar Negara, Pancasila, dan pandangan hidupnya yang mengampu kebhinekaan warganya.

Rabu, Desember 14, 2016

Bung Karno: Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara



Buat nomor Maulud ini (waktu itu, 1940) Redaksi “Pandji Islam” minta kepada saya supaya saya menulis satu artikel tentang: “Nabi Muhammad sebagai Pembangun Masyarakat!”

Permintaan redaksi itu saya penuhi dengan segala kesenangan hati. Tetapi dengan sengaja saya memakai titel yang lain daripada yang dimin­tanya itu, yakni untuk memusatkan perhatian pembaca kepada pokoknya saya punya uraian nanti.

Nabi Muhammad memang salah seorang pembangun masyarakat yang maha-maha-haibat. Tetapi tiap-tiap hidung mengetahui, bahwa masya­rakat abad ketujuh Masehi itu tidak sama dengan masyarakat abad keduapuluh yang sekarang ini. Hukum-hukum diadakan oleh Nabi Muhammad untuk membangunkan dan memeliharakan masyarakat itu, tertulislah di dalam Qur’an dan Sunah (Hadits). Hadits hurufnya Qur’an dan Hadits itu tidak berobah, sebagai juga tiap-tiap huruf yang sudah tertulis satu kali: buat hurufnya Qur’an dan Sunah malahan “teguh selama-lamanya, tidak lapuk di hujan, tidak lekang di panas”. Tetapi masyarakat selalu berobah, masyarakat selalu ber-evolusi. Sayang sekali ini tidak tiap-tiap hidung mengetahui. Sayang sekali, –sebab umpama­nya tiap-tiap hidung mengetahui, maka niscaya tidaklah selalu ada konflik antara masyarakat itu dengan orang-orang yang merasa dirinya memikul kewajiban menjaga aturan-aturan Qur’an dan Sunah itu, dan tidaklah masyarakat Islam sekarang ini sebagai seekor ikan yang terangkat dari air, setengah mati megap-megap!

Nabi Muhammad punya pekerjaan yang maha-maha-haibat itu bolehlah kita bahagikan menjadi dua bahagian: bahagian sebelum hijrah, dan bahagian sesudah hijrah. Bahagian yang sebelum hijrah itu adalah terutama sekali pekerjaan membuat dan membentuk bahan­nya masyarakat Islam kelak, material buat masyarakat Islam kelak: yakni orang-orang yang percaya kepada Allah yang satu, yang teguh imannya, yang suci akhlaknya, yang luhur budinya, yang mulia perangainya. Hampir semua ayat-ayat Qur’an yang diwahyukan di Mekkah itu adalah mengan­dung ajaran-ajaran pembentukan rohani ini: tauhid, percaya kepada Allah yang Esa dan Maha-Kuasa, rukun-rukunnya iman, keikhlasan, keluhuran moral, keibadatan, cinta kepada sesama manusia, cinta ke­pada si miskin, berani kepada kebenaran, takut kepada azabnya neraka, lazatnya ganjaran syurga, dan lain-lain sebagainya yang perlu buat men­jadi kehidupan manusia umurnnya, dan pandemen rohaninya perjoangan serta masyarakat di Madinah kelak. Sembilanpuluh dua daripada seratus empatbelas surat, –hampir dua pertiga Qur’an– adalah berisi ayat-ayat Mekkah itu. Orang-orang yang dididik oleh Muhammad dengan ayat-ayat serta dengan sunah dan teladannya pula, menjadilah orang-orang yang tahan-uji, yang gilang-gemilang imannya serta akhlaknya, yang seakan-akan mutiara dikala damai, tetapi seakan-akan dinamit di masa berjoang. Orang-orang inilah yang menjadi material-pokok bagi Muhammad untuk menyusun Ia punya masyarakat kelak dan Ia punya perjoangan kelak.

Maka datanglah kemudian periode Madinah. Datanglah kemudian periodenya perjoangan-perjoangan dengan kaum Yahudi, perjoangan dengan kaum Mekkah. Datanglah saatnya Ia menggerakkan material itu, –ditambah dengan material baru, antaranya kaum Ansar mendina­miskan material itu ke alam perjoangan dan kemasyarakatan yang teratur. Bahan-bahan rohani yang Ia timbun-timbunkan di dalam dadanya kaum Muhajirin, kaum Ansar serta kaum-Islam baru itu, dengan satu kali perintah sahaja yang keluar dari mulutnya yang Mulia itu, menjadilah menyala-nyala berkobar-kobar menyinari seluruh dunia Arab.

“Pasir di padang-padang-pasir Arabia yang terik dan luas itu, yang beribu-ribu tahun diam dan seakan-akan mati, pasir itu sekonyong-konyong menjadilah ledakan mesiu yang meledak, yang kilatan ledakannya menyinari seluruh dunia”, –begitulah kira-kira perkataan pujangga Eropah Timur Thomas Carlyle tatkala ia membicarakan Muhammad.

Ya, pasir yang mati menjadi mesiu yang hidup, mesiu yang dapat meledak. Tetapi mesiu ini bukanlah mesiu untuk membinasakan dan menghancurkan sahaja, tidak untuk meleburkan sahaja perlawanannya orang yang kendati diperingatkan berulang-ulang, sengaja masih pendur­haka kepada Allah dan mau membinasakan agama Allah. Mesiu ini ju­galah mesiu yang boleh dipakai untuk mengadakan, mesiu yang boleh dipakai untuk scheppend-werk, sebagai dinamit di zaman sekarang bukan sahaja boleh dipakai untuk musuh, tetapi juga untuk membuat jalan biasa, jalan kereta-api, jalan irigasi,- jalannya keselamatan dan ke­makmuran. Mesiu ini bukanlah sahaja mesiu perang tetapi juga mesiu kesejahteraan.

Di Madinah itulah Muhammad mulai menyusun Ia punya masyarakat dengan tuntunan Ilahi yang selalu menuntun kepadanya. Di Madinah itulah turunnya kebanyakannya “ayat-ayat masyarakat” yang mengisi sepertiga lagi dari kitab Qur’an. Di Madinah itu banyak sekali dari Ia punya sunah bersifat “sunah-kemasyarakatan”, yang mengasih petun­juk tentang urusan menyusun dan membangkitkan masyarakat. Di Madinah itu Muhammad menyusun satu kekuasaan “negara”, yang mem­buat orang jahat menjadi takut menyerang kepadaNya, dan membuat orang baik menjadi gemar bersatu kepadaNya. Ayat-ayat tentang zakat, sebagai semacam pajak untuk membelanjai negara, ayat-ayat merobah qiblah dari Baitulmuqaddis ke Mekkah, ayat-ayat tentang hukum-hukum­nya perang, ayat-ayat tentang pendirian manusia terhadap kepada manusia yang lain, ayat-ayat yang demikian itulah umumnya sifat ayat-ayat Madinah itu.

Di Mekkah turunlah terutama sekali ayat-ayat iman, di Madinah ayat-ayat mengamalkan itu iman. Di Mekkah diatur perhubungan manusia dengan Allah, di Madinah perhubungan manusia dengan manusia sesama­nya. Di Mekkah dijanjikan kemenangan orang yang beriman, di Madinah dibuktikan kemenangan orang yang beriman. Tetapi tidak periode dua ini terpisah sama sekali sifatnya satu dengan lain, tidak dua periode ini sama sekali tiada “penyerupaan” satu kepada yang lain. Di Mekkah adalah turun pula ayat-ayat iman. Tetapi bolehlah kita sebagai garis-umum mengatakan: Mekkah adalah persediaan masyarakat, Madinah adalah pelaksanaan masyarakat itu.

Itu semua terjadi di dalam kabutnya zaman yang purbakala. Hampir empatbelas kali seratus tahun memisahkan zaman itu dengan zaman kita sekarang ini. Ayat-ayat yang diwahyukan oleh Allah kepada Muhammad di Madinah itu sudahlah dihimpunkan oleh Sayidina Usman bersama­-sama ayat-ayat yang lain menjadi kitab yang tidak lapuk di hujan, tidak lekang di panas, sehingga sampai sekarang masihlah kita kenali dia presis sebagai keadaannya yang asli. Syari’at yang termaktub di dalam ayat-ayat serta sunah-sunah Nabi itu, syari’at itu diterimakanlah oleh angkatan­-angkatan dahulu kepada angkatan-angkatan sekarang, turun-temurun, bapak kepada anak, anak kepada anaknya lagi. Syari’at ini menjadilah satu kumpulan hukum, yang tidak sahaja mengatur masyarakat padang­ pasir di kota Jatrib empatbelas abad yang lalu, tetapi menjadilah satu kumpulan hukum yang musti mengatur kita punya masyarakat di zaman sekarang.

Maka konflik datanglah! Konflik antara masyarakat itu sendiri dengan pengertian manusia tentang syari’at itu. Konflik antara masya­rakat yang selalu berganti corak, dengan pengertian manusia yang beku. Semakin masyarakat itu berobah, semakin besarlah konfliknya itu. Belum pernah masyarakat begitu cepat robahnya sebagai di akhir abad yang kesembilanbelas di permulaan abad yang keduapuluh ini. Sejak orang mendapatkan mesin-uap di abad yang lalu, maka roman-muka dunia bero­bahlah dengan kecepatan kilat dari hari ke hari. Mesin-uap diikuti oleh mesin-minyak, oleh electriciteit, oleh kapal-udara, oleh radio, oleh kapal­kapal-selam, oleh tilpun dan telegraf, oleh televisi, oleh mobil dan mesin-tulis, oleh gas racun dan sinar yang dapat membakar. Di dalam limapuluh tahun sahaja roman-muka dunia, lebih berobah daripada di­ dalam limaratus tahun yang terdahulu. Di dalam limapuluh tahun inipun sejarah-dunia seakan-akan melompati jarak yang biasanya dilalui sejarah itu di dalam limaratus tahun. Masyarakat seakan-akan bersayap kilat. Tetapi pengertian tentang syari’at seakan-akan tidak bersayap, seakan-akan tidak berkaki, –seakan-akan tinggal beku, kalau umpamanya tidak selalu dihantam bangun oleh kekuatan-kekuatan-muda yang selalu mengentrok-entrokkan dia, mengajak dia kepada “rethinking of Islam” di waktu yang akhir-akhir ini. Belum pernah dia ada konflik yang begitu besar antara masyarakat dan pengertian syari’at, seperti di zaman yang akhir-akhir ini. Belum pernah Islam menghadapi krisis begitu haibat, sebagai di zaman yang akhir-akhir ini. “Islam pada saat ini,” –begitulah Prof. Tor Andrea menulis di dalam sebuah majalah-, “Islam pada saat ini adalah sedang menjalani “ujian-apinya” sejarah. Kalau ia menang, ia akan menjadi teladan bagi seluruh dunia; kalau ia alah, ia akan me­rosot ke tingkatan yang kedua buat selama-lamanya”.

Ya, dulu “zaman Madinah”, –kini zaman 1940. Di dalam ciptaan kita nampaklah Nabi duduk dengan sahabat-sahabatnya di dalam rumah­nya. Hawa sedang panas terik, tidak ada kipas listrik yang dapat menyegarkan udara, tidak ada es yang dapat menyejukkan kerongkongan, Nabi tidak duduk di tempat penerimaan tamu yang biasa, tetapi bersan­darlah Ia kepada sebatang puhun kurma tidak jauh dari rumahnya itu.

Wajah mukanya yang berseri-seri itu nampak makin sedaplah karena rambutnya yang berombak-ombak dan panjang, tersisir rapih ke belakang, sampai setinggi pundaknya. Sorot matanya yang indah itu seakan-akan “mimpi”, –seperti memandang kesatu tempat yang jauh sekali dari alam yang fana ini, melayang-layang di satu alam-gaib yang hanya dikenali Tuhan.

Maka datanglah orang-orang tamunya, orang-orang Madinah atau luar ­Madinah, yang sudah masuk Islam atau yang mau masuk Islam. Mereka semuanya sederhana, semuanya membawa sifatnya zaman yang kuno itu. Rambutnya panjang-panjang, ada yang sudah sopan, ada yang belum sopan. Ada yang membawa panah, ada yang mendukung anak, ada yang jalan kaki, ada yang naik onta, ada yang setengah telanjang. Mereka datanglah minta keterangan dari hal pelbagai masalah agama, atau minta petunjuk ditentang pelbagai masalah dunia sehari-hari. Ada yang mena­nyakan urusan ontanya, ada yang menanyakan urusan pemburuan, ada yang mengadukan hal pencurian kambing, ada yang minta obat, ada yang minta didamaikan perselisihannya dengan isteri di rumah. Tetapi tidak seorang­pun menanyakan boleh tidaknya menonton bioskop, boleh tidaknya mendirikan bank, boleh tidaknya nikah dengan perantaraan radio, tidak seorang­pun membicarakan hal mobil atau bensin atau obligasi bank atau telegraf atau kapal-udara atau gadis menjadi dokter …

Nabi mendengarkan segala pertanyaan dan pengaduan itu dengan tenang dan sabar, dan mengasihlah kepada masing-masing penanya jawabnya dengan kata-kata yang menuju terus ke dalam rokh-semangatnya semua yang hadir. Di sinilah syari’atul Islam tentang masyarakat lahir kedunia, di sinilah buaian wet kemasyarakatan Islam yang nanti akan dibawa oleh zaman turun-temurun, melintasi batasnya waktu dan batasnya negeri dan samudra.

Di sinilah Muhammad bertindak sebagai pembuat wet, bertindak sebagai wetgever, dengan pimpinannya Tuhan, yang kadang-kadang langsung mengasih pimpinannya itu dengan ilham dan wahyu. Wet ini harus cocok dan mengasih kepuasan kepada masyarakat di waktu itu, dan cukup “karat”, –cukup elastis, cukup supel, –agar dapat tetap dipakai sebagai wet buat zaman-zaman di kelak kemudian hari. Sebab Nabi, di dalam maha-kebijaksanaannya itu insyaflah, bahwa Ia sebenarnya tidak mengasih jawaban kepada si Umar atau si Zainab yang duduk di hadapannya di bawah puhun kurma pada saat itu sahaja, –Ia insyaf, bahwa Ia sebenarnya mengasih jawaban kepada Seluruh Peri- kemanusiaan.

Dan seluruh peri kemanusiaan, bukan sahaja dari zamanNya Nabi sendiri, tetapi juga seluruh peri kemanusiaan dari abad-abad yang ke­mudian, abad kesepuluh, abad keduapuluh, ketigapuluh, keempatpuluh, kelimapuluh dan abad-abad yang masih kemudian-kemudian: Lagi yang masyarakatnya sifatnya lain, susunannya lain, kebutuhannya lain, hukum perkembangannya lain.

Maka di dalam maha-kebijaksanaan Nabi itu, pada saat Ia mengasih jawaban kepada si Umar dan si Zainab di bawah puhun kurma hampir seribu empat ratus tahun yang lalu itu, Ia adalah juga mengasih jawaban kepada kita. Kita, yang hidup ditahun 1940! Kita, yang hajat kepada radio dan listrik, kepada sistim politik yang modern dan hukum-hukum ekonomi yang modern, kepada kapal-udara dan telegraf, kepada bioskop dan universitas! Kita, yang alat-alat penyenangkan hidup kita berlipat­-lipat ganda melebihi jumlah dan kwaliteitnya alat-alat hidup si Umar dan si Zainab dari bawah puhun kurma tahadi itu, yang masalah-masalah hidup kita berlipat-lipat ganda lebih sulit, lebih berbelit-belit, daripada si Umar dan si Zainab itu. Kita yang segala-galanya lain dari si Umar dan si Zainab itu.

Ya, juga kepada kita! Maka oleh karena itulah segala ucapan-ucapan Muhammad tentang hukum-hukum masyarakat itu bersifat syarat-syarat minimum, yakni tuntutan-tuntutan “paling sedikitnya”, dan bukan tuntutan-tuntutan yang “musti presis begitu”, bukan tuntutan­-tuntutan yang mutlak. Maka oleh karena itulah Muhammad bersabda pula, bahwa tentang urusan dunia “kamulah lebih mengetahui”. Halide Edib Hanum kira-kira limabelas tahun yang lalu pernah menulis satu artikel di dalam surat-surat-bulanan “Asia”. Yang antaranya ada berisi kalimat: “Di dalam urusan ibadat, maka Muhammad adalah amat keras sekali. Tetapi di dalam urusan yang lain, di dalam Ia punya sistim masya­rakat, Ia, sebagai seorang wetgever yang jauh penglihatan, adalah menga­sih hukum-hukum yang sebenarnya “liberal”. Yang membuat hukum–­hukum masyarakat itu menjadi sempit dan menyekek nafas ialah con­sensus ijma’ ulama.”

Renungkanlah perkataan Halide Edib Hanum ini. Hakekatnya tidak berbedaan dengan perkataan Sajid Amir All tentang “kekaretan” wet-wet Islam itu, tidak berbedaan dengan pendapatnya ahli-tarikh-ahli-tarikh yang kesohor pula, bahwa yang membuat agama menjadi satu kekuasaan reaksioner yang menghambat kemajuan masyarakat manusia itu, bukan­lah pembikin agama itu, bukanlah yang mendirikan agama itu, tetapi ialah ijma’nya ulama-ulama yang terkurung di dalam tradisi-pikiran ijma’-ijma’ yang sediakala.

Maka jikalau kita, di dalam abad keduapuluh ini, tidak bisa mengunyah dengan kita punya akal apa yang dikatakan kita punya oleh Nabi kepada si Umar dan si Zainab di bawah puhun kurma hampir seribu empat ratus tahun, -jikalau kita tidak bisa mencernakan dengan akal apa yang disabdakan kepada si Umar dan si Zainab itu di atas basisnya perbandingan-perbandingan abad keduapuluh dan kebutuhan-kebutuhan  abad keduapuluh, –maka janganlah kita ada harapan menguasai dunia, seperti yang telah difirmankan oleh Allah Ta’ala sendiri di dalam surat-surat ayat 29. Janganlah kita ada pengiraan, bahwa kita me­warisi pusaka Muhammad, sebab yang sebenarnya kita warisi hanyalah pusaka ulama-ulama faqih yang sediakala sahaja. Di dalam penutup saya punya artikel tentang “Memudakan Pengertian Islam” saya sudah peringatkan pembaca, bahwa segala hal itu boleh asal tidak nyata dilarang.

Ambillah kesempatan tentang bolehnya segala hal ini yang tak ter­larang itu, agar supaya kita bisa secepat-cepatnja mengejar zaman yang telah jauh meninggalkan kita itu. Dari tempat-tempat-interniran saya yang terdahulu, dulu pernah saya serukan via tuan A. Hassan dari Per­satuan Islam, di dalam risalah kecil “Surat-surat Islam dari Endeh”:

“Kita tidak ingat, bahwa masyarakat itu adalah barang yang tidak diam, tidak tetap, tidak “mati”, –tetapi hidup mengalir, berobah senantiasa, maju, dinamis, ber-evolusi. Kita tidak ingat, bahwa Nabi s.a.w. sendiri telah menjadikan urusan dunia, menyerahkan kepada kita sendiri perihal urusan dunia, membenarkan segala urusan dunia yang baik dan tidak nyata haram atau makruh. Kita royal sekali dengan perkataan “kafir”, kita gemar sekali mencap segala barang yang baru dengan cap “kafir”. Pengetahuan Barat – kafir; radio dan kedokteran – kafir; sendok dan garpu dan kursi – kafir; tulisan Latin – kafir; yang bergaulan dengan bangsa yang bukan bangsa Islam-pun – kafir! Padahal apa,- apa yang kita namakan Islam? Bukan Rokh Islam yang berkobar-kobar, bukan Amal Islam yang mengagumkan, tetapi … dupa dan karma dan jubah dan celak mata! Siapa yang mukanya angker, siapa yang tangan­nya bau kemenyan, siapa yang matanya dicelak dan jubalmya panjang dan menggenggam tasbih yang selalu berputar, –dia, dialah yang kita namakan Islam. Astagafirullah, inikah Islam? Inikah agama Allah? Ini?

Yang mengkafirkan pengetahuan dan kecerdasan, mengkafirkan radio dan listrik, mengkafirkan kemoderenan dan ke-uptodate-an? Yang mau tinggal museum sahaja, tinggal kuno sahaja, tinggal terbelakang sahaja, tinggal “naik onta” dan “makan zonder sendok” sahaja, seperti di zaman Nabi-nabi.

Islam is progress, –Islam itu kemajuan, begitulah telah saya tuliskan di dalam salah satu surat saya yang terdahulu. Kemajuan karena fardhu, kemajuan karena sunah, tetapi juga kemajuan karena diluaskan dan dilapangkan oleh jaiz atau mubah yang lebarnya melampaui batasnya­ zaman. Progress berarti barang baru, yang lebih tinggi tingkatnya daripada barang yang terdahulu. Progress berarti pembikinan baru, ciptaan baru, creation baru,-bukan mengulangi barang yang dulu, bukan mengcopy barang yang lama. Di dalam politik Islam-pun orang tidak boleh mengcopy sahaja barang-barang yang lama, tidak boleh mau mengulangi sahaja segala sistim-sistimnya zaman “khalifah-khalifah yang ‘besar”. Kenapa orang-orang Islam di sini selamanya menganjurkan political system “seperti di zamannya khalifah-khalifah besar” itu? Tidakkah didalam langkahnya zaman yang lebih dari seribu tahun itu peri-kemanusiaan mendapatkan sistim-sistim baru yang lebih sempurna, lebih bijaksana, lebih tinggi tingkatnya daripada dulu? Tidakkah zaman sendiri menjel­makan sistim-sistim baru yang cocok dengan keperluannya, –cocok dengan keperluan zaman itu sendiri? Apinya zaman “khalifah-khalifah yang besar” itu? Akh, lupakah kita, bahwa api ini bukan mereka yang menemukan, bukan mereka yang “menganggitkan”? Bahwa mereka “menyutat” sahaja api itu dari barang yang juga kita di zaman sekarang mempunyainya, yakni dari Kalam Allah dan Sunahnya Rasul?

Tetapi apa yang kita “catat” dari Kalam Allah dan Sunah Rasul itu? Bukan apinya, bukan nyalanya, bukan! Abunya, debunya, akh ya, asapnya! Abunya yang berupa celak mata dan sorban, abunya yang menyintai ke­menyan dan tunggangan onta, abunya yang bersifat Islam-muluk dan Islam ibadat-zonder-taqwa, abunya yang cuma tahu baca Fatihah dan tahlil sahaja,- tetapi bukan apinya, yang menyala-nyala dari ujung zaman yang satu keujung zaman yang lain.”

Begitulah saya punya seruan dari Endeh. Marilah kita camkan di­ dalam kita punya akal dan perasaan, bahwa kini bukan masyarakat onta, tetapi masyarakat kapal-udara. Hanya dengan begitulah kita dapat me­nangkap inti arti yang sebenarnya dari warta Nabi yang mauludnya kita rayakan ini hari. Hanya dengan begitulah kita dapat menghormati Dia di dalam artinya penghormatan yang hormat sehormat-hormatnya. Hanya dengan begitulah kita dengan sebenar-benarnya boleh menamakan diri kita umat Muhammad, dan bukan umat kaum faqih atau umat kaum ulama.

Pada suatu hari saya punya anjing menjilat air di dalam panci di­ dekat sumur. Saya punya anak Ratna Juami berteriak: “Papie, papie, si Ketuk menjilat air di dalam panci!” Saya menjawab: “Buanglah air itu, dan cucilah panci itu beberapa kali bersih-bersih dengan sabun dan kreolin.”

Ratna termenung sebentar. Kemudian ia menanya: “Tidakkah Nabi bersabda, bahwa panci ini musti dicuci tujuh kali, diantaranya satu kali dengan tanah?”

Saya menjawab: “Ratna, di zaman Nabi belum ada sabun dan kreolin! Nabi waktu itu tidak bisa memerintahkan orang memakai sabun dan kreolin.”

Muka Ratna menjadi terang kembali. Itu malam ia tidur dengan roman muka yang seperti bersenyum, seperti mukanya orang yang mendapat kebahagiaan besar.
 
Maha-Besarlah Allah Ta’ala, maha-mulialah Nabi yang Ia suruh!

“Pandji Islam”, 1940

Kamis, Desember 01, 2016

Jokowi Undercover Novel Politik Sunardian


Devi Kiriani melarikan diri dari Bukit Hambalang. Meloncat dari atas truk dan nyungsep di sawah milik kakek tua petani aneh, yang tinggal berdua bersama isteri di sebuah hutan. Meski ditolong sang kakek, DK malah menuding kakek tua sebagai pendukung Prabowo.
“Aha, politik! Jangan bicara seperti itu padaku anak muda!” Kakek menyergah dengan ketawanya yang sinis.
“Bagaimana kalau saya curiga kakek ini pengikuti Kartosuwiryo? Boleh?” sosok miterius itu balik bertanya.
“Baik. Curigalah.”
“Bagaimana saya tidak curiga!” kata si misterius sembari menyeruput secangkir teh hangat yang disodorkan Nenek. “Kakek berdiam diri di tengah hutan ini. Menghindari keramaian. Kakek dan Nenek pasangan romantis. Sudah tua masih doyan ciuman segala. Hanya orang yang punya ideologi tertentu mau hidup dengan cara aneh seperti kakek dan nenek itu.”
“Tudingan ngawur. Apa hubungannya ciuman dengan ideologi tertentu? Ideologi tertentu itu apa? Bagaimana aku bisa mempercayaimu.”
“Kalimat-kalimat Kakek sangat dialektik. Kakek pasti seorang yang terdidik secara politik!” sosok misterius tampak tak mau kompromi. Ia hanya mengenal stereotype sebagaimana demikian ajaran yang diterimanya. “Ngaku. Kakek ini seorang takfiri, seorang penganut wahabi yang mimpi mengislamkan Indonesia bukan?”
Sang Kakek terdiam. Cukup lama.
“Nah, tak bisa membantah bukan?” sosok misterius terus merangsek.
“Minumlah!” Kakek mencoba mengalihkan perhatian.
“Hilang rasa haus saya, Kek!” tukas si misterius cepat. “Bahkan, saya bisa ramalkan, Prabowo bakal menang di daerah Jawa Barat ini,...”
“Apa hubungannya? Menang dari apa?”
“Kakek jangan pura-pura tidak tahu, Prabowo Subianto maju jadi calon presiden, dan seperti yang sudah-sudah, ia akan memanfaatkan kelompok Islam garis keras, sebagaimana Soeharto waktu itu memanfaatkan, hingga munculnya partai politik macam PKS atau pun ormas macam FPI!”

Demikian kutipan dalam novel ‘Jokowi Undercover’, karya Sunardian Wirodono. Ukuran Buku: 12x19 Cm, 1.000 halaman, bookpaper | ISBN: 978-602-9087-13-0 | Harga + ongkir Rp150.000. | Ini penerbitan buku indie, tidak dijual di toko buku. Pemesanan melalui pm/inbox akun fb ini, atau ke email
sunardianwirodono@yahoo.com.

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...