Sabtu, September 28, 2019

Gerakan Mahasiswa: Indonesia Menggugat Indonesia


Jangan mengritik mahasiswa. Apalagi mahasiswa yang lagi bergerak. Nanti marah kakak-kakak mereka. Dan mengatakan kau jadoel. Goblog. Atau paling sial dituding buzzer bayaran Jokowi. Ini cluster baru. Steril. Tidak keracunan. Gitu deh, claiming ‘n labeling. Sembari ngaku penegak demokrasi.

Kayak gerakan kiri ngehek, atau kiri medsos. Entah di bumi pijak mana. Yang penting amplifikasi dan efek mediasi. Kayak masjid dan pendemo rindu TOA. Itu mainan paling mengasyikkan. Apalagi sembari ongkang-ongkang di café. Nongkrong? Bukan. Itu memang warung miliknya, sih! Markas perlawanan, katanya.

Apa sebetulnya pertarungan kita kali ini? Dengan triger KPK, maka Presiden dijebak dalam situasi sulit? Apalagi dengan kutbah moral para tokoh, akademisi, dan senior? Dan ajakan Jokowi, untuk menggunakan sistem serta mekanisme negara demokrasi, diabaikan. “Beri aku 10 pemuda, maka akan kucabut gunung,” kata Bung Karno. Terdengar lebih maskulin. Apalagi dengan baju army-look yang ditiru Prabowo. Padahal, safari Sukarno itu lungsuran baju tentara perempuan. Kalau kostum Jokowi ‘kan kayak room-service hotel!

Maka dengan ribuan mahasiswa bergerak, apalagi sampai menjebol pagar DPRD, di Sumbar ada yang menjarah, di Kendari ada yang tewas, cukup sudah alasan. Presiden harus segera bertindak. Terbitin Perppu. Emangnya, kalau nerbitin Perppu situasi reda? Bagaimana kalau masuk jebakan betmen session dua? Tiga? Dan seterusnya? Hingga kita bisa mencap; Presiden melanggar hukum. Dan impeachment menunggu! Segampang membalik telapak tangan? Nyebut-nyebut TAP MPR soal presiden bisa dimundurkan, ternyata askut (asal kutip).

Kini semua orang sedang mengajuk. Ini dunia digital generasi 4.0., tapi masih bisa kejebak melihat foto Najwa Shihab wefie bersama Tommy Soeharto, Lius Sungkharisma, dan Ichsanuddin Noorsy. Tokoh-tokoh legendaris dengan isu-isu anti Jokowi itu. Semua orang tahu, meski Najwa bisa bilang, “Halah, saya ‘kan public figure. Halal mejeng dengan siapa saja.” 

Disitu kita melihat kasusnya bisa nyaris sama dengan para Presiden BEM yang gencar menjelaskan kepada siapa saja, bahwa mereka tidak ditunggangi. Kalau kemudian ada Parade Tauhid ngajak-ajak mahasiswa, tentu saja para mahasiswa tak bisa disalahkan, karena yang paling mudah disalahkan adalah situasi dan kondisi, serta toleransi yang acap disingkat jadi sikontol. Di abad digital dan photosop ini, capturing dan framing tak terhindarkan. Maka yang tidak bijak, siap menerima tulahnya di abad hoax ini.

BEM se Jakarta mengatakan, aksinya murni. Tidak ditunggangi. “Yang menunggangi kami, adalah hati nurani kami.” Nah, itulah. Ditunggangi ‘kan? Meski oleh hati nuraninya sendiri? Pertanyaannya: Apa saja yang masuk dan diolah oleh hati nuraninya? Dari sejak bayi hingga mahasiswa? Kita tidak tahu. Mungkin Febri Diansyah tahu. Sebagaimana ditunjukkan dalam video di ruang KPK, bersama beberapa mahasiswa itu. Briefing? 


Dunia politik bukanlah dunia steril. Apalagi suci. Benar Anda suci, tetapi itu claiming sepihak. Sementara seputaran Anda, orang tidak budeg-bisu, apalagi buta. Tunggang-menunggang itu bukan soal transaksional semata. Itu bisa by moment. Simbiosis sebagaimana kumbang dan bunga. Terjadi dengan sendirinya. Sunatullah. Mau menguntungkan atau merugikan, itu soal nanti. Itu makanya Anies Baswedan dengan duit Rp 70 trilyun, bisa bagi-bagi sembako pada kelompok pendukung. Toh bukan duit pribadi.

Walaupun kita mungkin akhirnya tahu. Para golputers, sebagiannya kiri medsos yang kini punya pahlawan bernama Dandy Dwi Laksono, agendanya tentu beda dengan yang suka bikin Parade Tauhid. Meski merasa sama-sama jengkel dengan Jokowi, yang mereka tuding sebagai developmentalis atau agen kapitalisme. Media Tempo, setidaknya via KoranTempo, telah menggiring impresi Jokowi dalam poster epic ‘Piye Kabare,…” dengan gesture Soeharto melambaikan tangan itu.

Padahal, pertarungan Reformasi 1998 belum selesai. Upaya turn-back-soehartoisme, belum juga tuntas. Dengan agenda masing-masing, yang kadang berhadapan secara diametral, seolah bisa jalan bareng. Apalagi dengan setarikan nafas menyebut Kebakaran Karhutla, Papua Ditindas, Tolak UU KPK, Tolak Revisi KUHP, Demokrasi Dikebiri, Bebaskan Aktivis Demokrasi, seolah sebuah koor gereja yang harmonis dan sendu. Dan dalam situasi transisi itu, muncul keluhan pendemo 1998 dan pendemo 2019, ternyata masih menghadapi monster yang sama; Wiranto!

Jadi, apa yang sesungguhnya terjadi? Ketidaksabaran kita? Tetapi apa konsep yang kita sodorkan? Menolak hasil Pemilu dan Pilpres 2019? Terus diserahkan pada Sri Bintang? Atau Amien Rais? Rizal Ramli? Rizieq Shihab? Atau Tommy Soeharto? Jika bukan, dikasih siapa? Febri Diansyah? PKS? HTI? Cluster Baru? Ayo, jawablah! Siapa? Bukan semua itu? Lantas siapa? Militer? Terus, apa kata dunia? Ini semua sebenarnya kerjaan siapa?

Memangnya yang tak sabar hanya kalian, yang dulu sama-sama menolak Prabowo, dan kini beralih jadi penghujat Jokowi? Apakah kalian juga berpikir 54,5% pemilih Jokowi hanya buzzer dogol semata? Apakah Jokowi sendiri juga sabar, dengan berbagai kompromi yang mesti diambilnya, untuk menjaga pendulum demokrasi tak jadi sobat ambyar?

Kecermatan kita melihat masalah, seperti mencari jarum di timbunan suket-teki. Sampai kempot mencarinya. Ketulusan dan kemanusiaan itu, seolah ditelan agenda dan kepentingan masing-masing. Mangkanya diajak dialog pun, seolah kalah jika diterima. Karena agama juga mengajarkan kita untuk intoleran! Apalagi cuma berpolitik, yang lebih mengandalkan ego masing-masing.

Reformasi Dikorupsi, demikian yang seolah tiba-tiba ditagarkan oleh para pejuang demokrasi kita hari-hari ini. Mengapa baru teriak sekarang, ketika pertarungan 1998 itu tak pernah pudar, dari Pemilu 1999, 2002, 2004, 2009, kemudian beralih ke Pilpres 2014, bahkan hingga 2019 kemarin? Herbert Feith bahkan mencatat lebih jauh, karena sistem politik elitis kita, dari sejak Pemilu 1955. 

Artinya tidak ada perubahan mendasar, politik oligarkis selalu menindas kedaulatan rakyat. Jika kita ngomong Reformasi Dikorupsi, mestinya sistem politik kita, sistem pemilu beserta undang-undangnya, itu yang jadi dasar gugatan yang mendasar, agar kita tak selalu mengulang kesalahan yang sama. Demokrasi jalanan terus, dan politik transaksional mulu. 

Sementara itu, dengan type kepemimpinan androginis Jokowi, mungkin seolah salpos, salah posisi. Atau terlalu cepat, di tengah problem utama bangsa ini, kualitas pendidikan dan tingkat literasi yang masih mudah diruyak oleh hoax. Padahal kita hidup di jaman ketika separuh penduduk Indonesia sudah menggenggam smartphone. Meskipun juga kita masih saja percaya pada mitos-mitos keluhuran, bahwa sura dira jayaningrat - lebur dening pangastuti. Segala (kepongahan dan niat buruk dari) kekuatan, kejayaaan, dan kedudukan; akan bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati, dan sabar.

Karenanya, jangan bandingkan Sukarno di tahun 1930. Apalagi dibandingkan dengan mahasiswa sekarang. Yang sebenarnya tak lagi menggugat, tapi sekedar memanggil. Memanggil untuk menggugat juga sih secara ramai-ramai. Cuma bukan Indonesia Menggugat. Melainkan sebaliknya. 

Dan para proxy dalam perang asimetris ini, bertepuk tangan. Horeee, kesambet amplop juga. Bayangin kalau anak STM saja bisa berharga Rp 750 ribu. Yang doktor mungkin bisa beribu kali lipat.  | @sunardianwirodono




Yogyakarta, menjelang Gertakan 30 September 2019.

Rabu, September 25, 2019

Ada Apa dengan Jokowi?


Tidak mudah menjadi Jokowi. Sebagaimana juga tidak mudah menjadi mahasiswa, menjadi demonstran, menjadi anggota DPR, menjadi jurnalis, menjadi tukang kompor meledug, menjadi fesbuker atau bloger. Posisi yang semuanya sama-sama sulit. Kecuali dalam setiap status tersebut ditambah kata ‘ngawur’.


Menjadi fesbuker atau bloger ngawur misalnya, tentu bisa sama mudahnya menjadi presiden ngawur, komentator ngawur, copet ngawur, dan sebagainya. Dengan kadar implikasi yang berbeda-beda. Orangtua mahasiswa yang anaknya mati karena kecelakaan di kampus, pun bisa dengan gampang langsung teriak; “Turunkan Jokowi!”


Jika kita melihat dunia kepolitikan kita hari-hari ini, politik Indonesia masih belum mendapatkan format baku. Atau mungkin takkan pernah mendapatkan. Tetapi setidaknya, sistem politik kita masih berada dalam fase procedural-formal. Akan terus sangat terbuka dengan berbagai interpretasi dan sikap penjabarannya.


Coba saja lihat, perdebatan kita hingga hari ini dalam ketatanegaraan. Memakai sistem parlementer, presidential, atau presiden-sial? Belum lagi wacana penolakan atas kandidat yang sudah disahkan KPU dan MK, memenangi Pilpres 2019 lalu.


Jika kita mendengar ‘Bubarkan DPR’ dan ‘Turunkan Presiden’, dari poster-poster dan teriakan para demonstran, kita tidak tahu DPR dan Presiden yang mana? DPR dan Presiden yang sedang berjalan, yang tinggal beberapa hari berganti? Sementara DPR dan Presiden yang baru, 2019 – 2024, belum dilantik. Meski belum dilantik pun, mereka adalah produk demokrasi kita yang sah dan berkekuatan hukum.


Pertanyaannya lagi; kalau DPR dan Presiden dibubarkan dan diturunkan, yang ngganti’in siapa? Amien Rais? Sri Bintang Pamungkas? Tommy Soeharto? Rizieq Shihab? Gimana caranya?


Tentu saja, aneka tuntutan atau suara protes dalam demonstrasi adalah sesuatu yang diamplifikasi sebegitu rupa. Bukan sekedar permainan retorik atau hyperbolic, tetapi juga aspek sensasi, untuk mendapatkan perhatian. Tapi, apa yang dipermasalahkan kemudian, dalam semua tuntutan itu? Bagaimana duduk masalah sebenarnya? Di jalanan, sangat susah kita membaca literature melalui smartphone, yang smart sekali pun.


Banyak pengamat politik, khususnya pengamat demo, membanggakan gerakan mahasiswa kali ini berbeda. Murni. Cluster baru. Seberapa dalam pengamatan dan penilaian terhadap hal ini, dengan tanpa perbandingan yang tajam dan menyeluruh? Dalam setiap perubahan kekuasaan, juga berbagai situasi political-crowded, tidak pernah ada perubahan bersebab tunggal dan steril. Bahkan kemunculan Jokowi pun, tak bisa dengan garis tunggal ditarik karena tiadanya calon lain yang kompetitif.


Dalam kasus revisi UU-KPK, dan juga disusul RKUHP, serta yang lain, permasalahannya tidak sederhana dan tidak tunggal. Bahkan pihak-pihak yang selama ini memahami Jokowi, dengan langkah-langkah strategisnya, juga sama-sama heran. Mengapa langkah Jokowi kali ini berbeda? Ini bukan Jokowi’s Way! Ada apa dengan Jokowi?


Ia sedang memberi ruang tawar pada DPR, untuk apa yang hendak dimintanya dalam kaitan pemindahan Ibukota RI? Atau ia melihat bahwa KPK menjadi anak liar, yang melenceng dari tujuan reformasi? Menjadi alat politik segelintir orang dengan alasan perjuangan anti korupsi? Atau Jokowi salah mendapat informasi, seperti KPK menghambat investasi misalnya? Lantas, bagaimana "kita" yang punya informasi benar memberitahukannya? Dengan menyuruhnya turun? Turun ke jalan atau turun jabatan?


Tidak mudah untuk mengambil kesimpulan, kecuali kita melihat dan berkomentar secara ngawur. Karena kompleksitas masalah yang dibawa oleh situasi transisi ini, masih saja menyodorkan fakta getir. Angin perubahan (dari orde Soehartoisme ke jaman keterbukaan sekarang ini) bukan sesuatu yang mudah, apalagi ketika politik identitas kembali dihembuskan, dengan kencang.


Perubahan bukan situasi tunggal terjadi di Indonesia, melainkan fenomena dunia. Ketika modernisme, atau juga kapitalisme, juga gagap menghadapi perubahan konstelasi global yang cepat ini. Amerika Serikat bisa kelimpungan menghadapi RRC. Kita mengatakan tentang ekonomi global yang menyurut, tetapi di dalamnya pastilah karena perubahan tata-nilai ekonomi global sebagai kemestian tak terelakkan. Indonesia adalah bagian yang terkena imbasnya, justeru karena kita tengah berjuang untuk turut mengambil bagian, setelah sejak Soeharto hanya menjadi potential-buyers.


Indonesia memiliki keberuntungan, karena keterseokannya lebih karena bukan saja ketidakbecusan, melainkan mentalitas korup yang akut. Namun selama 17 tahun keberadaan KPK, setelah Soeharto lengser, perilaku koruptif tidak berubah. Ada apa dengan KPK? Dengan kewenangan yang besar, yang muncul justeru elite KPK sebagai selebritas. Pemberantasan korupsi menjadi nilai tawar, sebagaimana Abraham Samad dan Bambang Widjojanto kemudian memanfaatkannya.


Presiden telah membuka kotak dialog dalam RKUHP. Tinggal bagaimana masalah itu berproses di Parlemen, di mana masyarakat warga memiliki kewenangan mengetahui dan memberikan pertimbangannya. Tekanan dari demo-demo jalanan, tentu saja penting sebagai bargaining power.


Namun duduk bersama di ruang-ruang sidang, berdialog, memberikan kritik dan masukan, juga sesuatu yang mesti ditempuh (lepas apakah kita dulu ikut memberikan suara atau golput). Karena mekanisme penggodogan UU, tak bisa tidak adalah di Parlemen. Ini proses pendewasaan yang proporsional. Tak bisa kita terus bergantung, mendesak presiden dengan mengatakan; Lhah, kamu ‘kan presidennya?


Dalam kasus RUU KPK, masih ada ruang yang bisa diperjuangkan. Bagaimana membuka ruang dialog dengan Presiden. Kita akan melihat, apakah Jokowi akan menutup dialog, atau memakai kelazimannya selama ini sebagai pendengar yang baik, sebelum revisi UUKPK itu ditandatanganinya.


Meski pun kita barangkali juga boleh menduga, Jokowi mungkin sedang berfikir tentang bagaimana berkelit di antara belitan politik tawar-menawar. Bagaimana pun, ia bukanlah orang partai. Dia birokrat yang direkrut partai, atau dimanfaatkan. Pemimpin yang tidak mempunyai partai. Dari soal penentuan cawapres dalam Pilpres 2019 kemarin, semestinya kita juga tahu, bagaimana ia berkelindan dalam belitan partai. Dan aroma kompetisi, hingga hari ini pun belum usai.


Namun sampai kapan, demokrasi subjektif ini terus akan kita pakai? Dan abai membangun sistem dan mekanismenya? Demokrasi tak hanya mengandalkan kebebasan, hak azasi, tetapi juga kesepakatan akan social religion, membangun kebersamaan di dalam perbedaan. Di situ kita tetap butuh parlemen, presiden, juga lembaga-lembaga judikatif serta watchdog untuk mengawasinya. Agar masing-masing tidak ngawur.


Karena cara-cara ngawur, juga hanya akan melahirkan reaksi ngawur. Meksi pun, memang, ngawur itu gampang. Segampang mengarang itu gampang. 


Sunardian Wirodono, Yogyakarta, 25 September 2019

Selasa, September 24, 2019

Reformasi Memanggil-manggil

Adagium "Indonesia Memanggil" saya pakai pertama kali 2004, yang saya tabalkan dalam novel politik saya, "Anonim, My Hero!" (Galangpress, Februari 2004, h. 372).

Tokoh utama dalam novel itu, Anonim, lari ke Pulau Selayar, karena merasa kaki-tangan Soeharto mengejar-kejarnya. Apalagi, pacar gelap Kapten Haddock, seorang jenderal Orba, ternyata tersangkut cinta pada Anonim.

Situasi memang gawat. Soeharto memang sudah turun, tapi bagaimana jika Mbak Tutut dan Prabowo kembali menguasai Golkar? Anonim balik ke Makasar. Di sebuah hotel, dia membuat situsweb dengan nama "Indonesia Memanggil". 

Seluruh Makassar gempar waktu itu, karena Anonim nge-band semua jaringan game online. Di warnet-warnet seluruh Indonesia blank. Logo Ragnarock yang lagi hits waktu itu, berganti dengan top up "Indonesia Memanggil":

"Anak-anak muda Indonesia, jangan percayai para elite politik, birokrat, budayawan, tokoh publik, jurnalis, reporter televisi, host dan presenter infotainment, demonstran, pengacara, LSM, politikus busuk dan tidak busuk,..." (Anonim, h. 372).

Demikian saya tulis dalam novel itu, kala itu, 2004. Tapi, kenapa dengan hal itu sekarang? Itu lantaran ketika membacai isian medsos tadi pagi (kemarin seharian libur bermedsos), saya menemukan istilah "Gejayan Memanggil".

Aduh, kok Gejayan sih yang memanggil? Ada apa? Siapa nih yang berada di Gejayan yang memanggil itu? Dalam kajian, sikap dan press release aliansi rakyat bergerak, kita tidak menemukan nama-nama. 

Sebuah gerakan tak bertanggung jawab, memakai nama aliansi rakyat tapi tak ada nama person yang disebut. Bagaimana kita percaya dengan ajakannya yang gagah, agar mengosongkan kelas, turun ke jalan, untuk datang suarakan dan lawan?

Dalam kajian mereka, tak ada yang salah secara logika atau nalar akademik. Bukankah itu kesimpulan umum, yang jadi persoalan kita bersama? Persoalannya kemudian adalah pada ajakan untuk menyikapi hal itu. Mengapa mesti turun ke jalan, bukannya masuk ke gedung pemerintah dan parlemen, untuk membicarakannya? 

Seruan aksi damai boleh saja dicanangkan. Tapi tak ada aksi turun ke jalan yang berlangsung tidak berisik. Pada sisi keberisikan itulah, eskalasi sosial, politik, dan tentunya ekonomi, akan terusik. Dan akibatnya? Wamena terbakar. 17 nyawa melayang.

Mengapa Gejayan yang memanggil? Siapa Gejayan ini? Kenapa bukan Bulaksumur? Kok banyak pakai poster dengan dasar item? Apakah ini warna ideologinya, yang suka item-item kayak bendera yang dibilang tauhid itu? 

Hingga 20 Oktober 2019 kelak, seruan demo, turun ke jalan, dengan memainkan isu-isu yang sexy, bisa jadi akan banyak. Targetnya, bisa macem-macem, tapi antara lain bisa diduga; Penghadangan atas pelantikan Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia 2019 - 2024. Siapa saja di belakangnya? 

Kita bisa menduga-duga, tentu saja, yang tak suka Jokowi jadi Presiden, atau yang dirugikan karena Jokowi Presiden. Bukan sesuatu yang susah bukan?
Semoga rakyat tidak bodoh, dan tidak mudah diprovokasi oleh pihak yang menyebut nama dirinya saja tidak berani. Jangan hanya Gejayan Memanggil, yang kayaknya kok tendensius banget. Mendingan Indonesia Memanggil, mari kritisi Indonesia dengan cinta dan ketulusan nan sejati, demi Indonesia.



Sekitar 8000 mahasiswa sedang bergerak dari titik simpul UGM-Bulaksumur. Sementara seribuan massa mahasiswa sudah menunggu di titik simpul Gejayan, tak jauh dari Sadhar, dan masih ada ribuan lagi mahasiswa dari titik simpul UIN yang juga sedang bersiap hendak ke Gejayan pula, di mana 17 tahun lalu Mozes Gatotkatja kedapatan tewas di pertigaan jalan itu. 

Demikian reportase jurnalis beberapa stasiun televisi (sialan UNY kok nggak disebut?), yang saya lihat sembari tiduran di sofa. Saya sakit, maafkan, untuk jalan kaki terasa panas di kepala dan kaki. Beda dengan dulu, ketika saya dan warga masyarakat biasa, bukan mahasiswa, jalan kaki dari rumah masing-masing, ke titik kumpul Pagelaran Kraton Ngayogyakarta, pada 20 Mei 1998. Ikut-ikutan teriak 'turunkan Soeharto!" 

Jaraknya waktu itu, lebih dari 25 kilometer. Pulang pergi, Minomartani - Alun-alun Lor, jalan kaki. Melintasi jalan Gejayan pula. Di sepanjang jalan itu, di dekat susteran, para suster Katolik menyediakan air mineral yang melegakan tenggorokan. Nggak ada satu pun yang bawa poster waktu itu. Sehari sebelumnya, di tempat yang sama, saya baca puisi "Sudah Gaharu Cendana Pula". Dan satu puisi "Doa untuk Soeharto", yang saya masih ingat bunyi syair utuhnya; "Tuhan, turunkan dia, Amien!"

Sedang membandingkan, atau sedang narsis? Mungkin keduanya. Pertigaan Gejayan, adalah pilihan strategis untuk hokya-hokya, ketika Yogyakarta mengalami bonus demografi. Panen generasi kost-kostan di segi tiga emas bulaksumur-gejayan-jalansolo. Di mana bisnis modern dan tradisional berbaur padat merayap. Pertumbuhan ekonomi high-class, yang tak hanya butuh satu korban bernama Mozes Gatotkatja. Bisa ribuan mahasiswa, utamanya yang hanya bisa ngopi di angkringan Nalagaten.

Tiduran di atas sofa, dalam batuk kering yang nankring sebulanan lebih, saya ngungun. Saya mengerti, setidaknya mencoba mengerti, apa yang diteriakkan para mahasiswa itu. Bayangkan; KPK dilemahkan. Hutan dibakar. Papua ditindas. Tanah untuk pemodal. Petani digusur. Buruh diperas. Privasi terancam. Demokrasi dikebiri. 

Keprihatinan mereka begitu lengkap, maka rakyat perlu bergerak. Dan posternya, bentuk serta isinya bisa sama persis dengan apa yang dilakukan mahasiswa Malang, Jawa Timur, juga Makassar, dan entah mana lagi. Mereka tak percaya DPR, elite politik, oligarki, pemerintah. Pokokmen kabeh sing lagi kuwasa. Saya lupa. Ini jaman digital. Copy paste begitu mudah. Demonstrasi bisa ber-tagar dan viral di medsos.

Saya baru nyadar, saya bagian dari generasi analog. Mungkin kecemasan saya berlebihan. Reformasi politik 20 tahun lalu hanya melahirkan anomali? Atau pro-kontra? Sembari diam-diam menyesali pilihan yang berbeda? Dan kita belum jua dewasa? Hingga mudah terbakar? Benarkah ini hanya soal Jokowi dan no Jokowi? Atau ada soal setan belang yang lain? "Kagak ye!" bentak setan belang, sembari nge-cek rekeningnya di android.

Gejayan Memanggil. Memanggil Apaan?

Seorang bekas aktivis mahasiswa yang terhormat, walau sampai kini masih suka jadi aktivis (dan berbisnis politik juga), mengatakan goblog saja mereka yang masih percaya teori konspirasi (dalam konteks melihat peristiwa ‘Gejayan Memanggil’ kemarin).

Duh, yang paling pinter. Mereka yang tak belajar dari masa lalu, akan dihukum dengan mengulangi kesalahan yang sama, ucap George Santayana. Dan kita sering melihat, para penari lebih sering hanya bergerak karena gendang orang lain. Sementara para penari selevel RM Wisnoe Wardhana, Ben Soeharto, atau Suprapto Suryodharmo, adalah sebuah pencapaian. Tak sekedar ditemu di jalanan, melainkan sepanjang perjalanan.

Cilakak banget jika meyakini tunggang-menunggang adalah semata teori konspirasi. Itu artinya, hanya melihat dunia dalam egosentrismenya. Dalam intersubjektivitas, seorang individu selalu memiliki handicap (halangan), ketika berhadapan langsung dengan konspirasi yang begitu besar. Yang bahkan dia sendiri tak menyangka konspirasi sebesar itu ada. Pada level mana?

Pada level konten ketika permainan isyu hanyalah dagangan di permukaan. Tuntutan para mahasiswa bergerak (dengan memviralkan via medsos dan digital printing: KPK Dilemahkan. Hutan Dibakar. Papua Ditindas. Tanah untuk Pemodal. Petani Digusur. Buruh Diperas. Privasi Terancam. Demokrasi Dikebiri), begitu mudah diduplikasi. Hingga kemudian tiba-tiba muncul flyer dan poster di medsos dan jalan-jalan, DPP FPI dengan gambar Rizhieq Shihab mengajak mahasiswa bergabung dengan ulama dan tokoh nasional, melawan kekuasaan yang dzalim. Tuntutannya? Ya, itu tadi, soal RUU-KPK, R-KUHP, Papua Ditindas, Demokrasi Dikebiri, dan seterusnya. Copy paste!

Diksi dan narasi yang tampak gagah, tapi bukan sebuah tesis dari dialektika atau ideologi perjuangan. Tidak ada tuntutan radikal, darimana semuanya itu berasal. Hingga tunggang-menunggang, dalam perilaku politik penuh claiming itu, menjadi sebuah simbiose tanpa disadari. Padahal, tak ada akar permasalahan yang sama, untuk berbagai tuntutan itu. Apalagi sampai pada pertanyaan benar dan relevankah tunutan itu, tanpa memahami akar masalahnya? Mari belajar trias-politica jika dirasa relevan.

Radikalisme hanya dalam aksi, namun konvensional dan bahkan puritan dalam berpikir, adalah sebuah kejumudan tersendiri. Hingga kita juga tak bisa kritis, diam saja, ketika melihat paradox atau anomaly. Mengaku berpaham radikal, tapi yang diperjuangkan konvensionalisme, atau bahkan puritanisme!

Bagaimana kita bisa menuntut keadilan, jika dari dasar pemikiran kita juga tak ada prinsip keadilan? "Kalau engkau berharap orang lain akan adil terhadapmu karena engkau sudah adil kepada mereka,” ujar Pravine Hurbungs, “itu sama saja mengharapkan seekor singa tidak menelanmu karena engkau tidak memakan dia!”

“Dalam politik tak ada kejadian yang tak direncanakan, atau insidentil (atau persamaan kebetulan). Meskipun (jika) itu terjadi, maka yakinlah, itupun direncanakan agar terlihat seolah insidentil,” sebagaimana pidato politik Franklin Roosevelt. Karena politik sangat cair, dan musim bisa berganti sangat cepat.

Kita akan terus mengulang-ulang tuntutan yang sama, artinya kesalahan yang sama, sepanjang tak ada perubahan dalam sistem politik kita. Politik yang elitis, sejak dari awalnya, seperti ditulis Herbert Feith dalam Catatan Pemilu 1955, tidak pernah memberi ruang pada kedaulatan rakyat. Oligarki politik bukan hanya sekarang, meski memang makin parah paska Reformasi (Semu) Politik 1998.

Jika tuntutan hanya sebagaimana poster yang diacung-acungkan kemarin (ada juga yang mengacungkan poster bantuan pembuatan skripsi), kita tak pernah sampai pada perubahan sampai ke akar yang dimaksud.

Demokrasi masih akan tetap pada formalitas dan kelamisannya. Yang menuntut dan dituntut sama-sama kunyuknya. Partai politik tetap hanya konspirasi untuk merebut kekuasaan. Sementara kita selalu ingin memilih orang yang terbaik dalam pemilihan, sayangnya orang seperti itu tak pernah jadi kandidat. Apalagi ketika Mahkamah Konstitusi pun memperkuat sistem politik kita yang elitis itu. Dengan ambang batas dan dipersulitnya calon independen atau alternatif.

“Orang-orang yang memberikan vote (suara), tak menentukan hasil dari pemilu. Namun orang-orang yang menghitung vote itulah yang menentukan hasil pemilu,” pidato Joseph Stalin. Dan politik menentukan siapa yang akan memiliki kekuasaan, bukan memiliki kebenaran. Charles de Gaulle sampai pada kesimpulan paling tragis; “ Politik adalah urusan yang terlalu serius untuk ditangani para politikus.”

Tapi, rasanya, lebih tragis lagi, kalau para mahasiswa bergerak juga cuma berada di ranah politik praktis, hasil arahan kakak-kakak senior mereka belaka! Sama aja, Bung!
 
 
SIAPA MEMANGGIL 
APA

Oleh beberapa teman, saya diingatkan, berkait Gejayan Memanggil. Ada yang mengatakan, jangan terlalu (mudah) curiga pada para mahasiswa. Karena di sisi lain, faktanya tetap harus ada peran watchdog bagi para penguasa pongah tapi bego, juga jahat. Baik bagi mereka yang di parlemen, maupun yang pemerintahan.

Okay, saya setuju. Saya dengarkan baik-baik keterangan mereka. Bahwa para pemain di Gejayan Memanggil ini cluster baru. Sama sekali berbeda. Apa bedanya? Kalau mengenai pola permainan, sama saja. Cuma tukang tiru-tiru. Bedanya, yang sedang dipraktikkan adalah pola pergerakan mahasiswa Hong Kong. Berangkat dari titik simpul berbeda-beda. Bergerak memusat, tanpa pucuk-pucuk pimpinan. Semuanya setara. 

Apa yang hebat dari pola ini, ketika dicobakan di segi-tiga emas Bulaksumur-Gejayan-Bataskota? Apalagi kalau cluster baru ini cuma jadi ajang percobaan seniornya (entah itu Angkatan 98 atau para komandan abadinya). Namun dari setting geo-politik, para aktivis boleh dikata bego kalau menari dalam gendang pihak lain. Dari sisi konten, juga timing, tak ada yang bisa menjamin gerakan Gejayan Memanggil steril. Naif saja jika mereka ngomong tidak ditunggangi atau tanpa penunggang. 

Ada konsultan politik di Yogya bilang, tak ada teriakan ‘turunkan Jokowi’. Sayangnya, dia cuma melihat skala Yogyakarta. Tak melihat bagaimana yang terjadi di Makassar, Purwokerto, Cirebon, Riau? Kalau beberapa dosen, teman mereka, ikutan berdemo menjadi dasar penilaian gerakan ini didukung civitas akademika secara massif, juga terlalu naif. 

Dikira dunia politik (praktis) bisa dibentengi oleh imajinasi. Sementara bermain-main politik (seperti Gejayan Memanggil) misalnya, tanpa mengurutkannya dengan timeline Orde Baru, Reformasi 1998, Pilpres 2014, Pilkada DKI Jakarta 2017, Pilpres 2019, saya kira hanya menunjukkan anomali. Apalagi dengan mengabaikan aktor-aktornya. Walau pun RUU KPK dan KUHP tampak logis dipakai alas.

Masyarakat yang semula ‘hanya’ terbelah dalam Orde Baru vs Orde Post Reformasi, menginti pada Prabowo versus Jokowi, kini kemudian mengental dalam platform yang sebenarnya sudah dijawab Sukarno (dalam pidato 1 Juni 1945), dan terus digemborkan hingga kini, dengan berbagai variannya. Apalagi sejak pembubaran HTI.

Persoalannya menjadi tidak sederhana. Tak hanya sekedar korupsi dan bukan korupsi. Pada kenyataannya, Reformasi 1998 lebih banyak melahirkan oknum baru, tinimbang hal-hal baru yang menjanjikan. Ada begitu banyak komisi negara, seperti KPK, KPI, KPAI, KY, atau sebelumnya lembaga negara seperti Mahkamah Konstitusi, tapi seberapa besar perubahan significant dihasilkan, dengan justeru meruyaknya praktik KKN lembaga-lembaga negara itu? Perubahan politik 1998, tak dibarengi perubahan mendasar mengenai sistem politik kita, yang tetap saja elitis, sebagaimana kelahirannya dalam Pemilu 1955. Kedaulatan Rakyat hanya omong kosong. 

Mengapa medan pertempuran disebar ke berbagai daerah? Jika benar bahwa ini cluster baru, yang pendanaannya transparan lewat kitabisadotcom (konon sudah mencapai di atas Rp 80 juta), mengapa tak semua mahasiswa menyerbu ke Jakarta? Ke Senayan dan ke Istana Presiden sekaligus, untuk mendesakkan agar DPR dan Presiden tidak nyampah? Kenapa masih tertarik dengan permainan efek mediasi? Ada setting, timing, ada juga acting, dan kita masih suka gaya Affandi yang impresionistik. 

Kita selalu pura-pura tak tahu, atau memang bego. Tidak ngerti sedang ngapain sekarang ini, padahal dengan alasan demokrasi dan heroisme. Maka gaya bertahan Jokowi, yang telah mengupayakan penundaan pengesahan RUU KUHP, bisa jadi tidak menarik perhatian para mahasiswa, untuk mendesak ke Senayan. Takut dituding ditunggangi atau tidak murni. Kurang heroik ‘kan?

 

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...