Jumat, April 17, 2020

Madras Cafe dan Industri Film India

India adalah fenomena peradaban. Yang ajaib dari negeri ini, salah satunya adalah industri film. India, dengan Bollywood, satu-satunya negara yang bisa mengalahkan Hollywood dalam angka produksi. Dan yang menarik, film produksi luar, dari Amerika sekalipun, tak bisa nembus pasar umum India. Tentu saja, BM banyak. Namun negeri ini protektif dengan produk asing. Mungkin terinspirasi ajakan swadeshi Gandhi.

Produksi film India memang terbesar di dunia. Betapapun Anda mungkin akan ngetawain gaya-gaya filmnya. Penuh nyanyi dan tarian, kejar-kejaran di antara pepohonan dan tiang listrik. Tahun 70-80an, nonton film India identik dengan; ‘sudah murah, panjang, penuh nyanyi dan tari’. Juga pamer wudel.

Berpenduduk terbanyak kedua (setelah China), India adalah peradaban yang kokoh. Karya sastranya terbangun sejak lama. Bahkan menjadi referensi bangsa lain negara. Mengenai film, boleh dikata di semua kota kecamatan (distrik) India terdapat perusahaan film. Pada distrik yang miskin sekali pun. Tak hanya satu, bisa 5 s.d 10 perusahaan film. Film apa saja mereka produksi. Semua ada penontonnya, meski mungkin di bioskop kecil dan kumuh. Orang India, meski penarik becak (rickshaw) dan pengemis, mereka rela menabung untuk menonton film bioskop.

Menonton film, bagi masyarakat miskin India, memungkinkan bertemu pahlawannya. Dalam film India, tuan tanah dan polisi bisa dikalahkan orang miskin. Meski pun kalau mau melihat film-film realis India, agak susah menemu dari sutradara India aseli. Lihat saja misal film seperti City of Joy (Roland Joffe, 1992), A Passage to India (David Lean, 1984), bahkan Gandhi (Richard Attenborough, 1982). Disamping City of Joy, kalau mau melihat realitas sosial India, Slumdog Millionaire (Danny Boyle, 2009) menarik ditonton sebagai komedi pahit India.

Ada nama keren seperti Mira Nair, dengan film-filmnya seperti Monsoon Wedding (2001), Kama Sutra: A Tale of Love (1997), atau Salaam Bombay (1988, yang saya duga menjadi acuan penting film ‘Daun di Atas Bantal’ Garin Nugroho, yang diproduksi 10 tahun setelah film Nair itu). Tapi Nair perempuan India yang tinggal, sekolah dan berkarya di London, Inggris. Meski pun sekarang ada beberapa sutradara muda India, dengan genre model-model Nair, seperti Deepa Mehta yang bertema kontroversial ('Water' dan 'Fire').

Dari produktifnya perfilman India, dengan banyaknya film kelas sampah, pastilah muncul barang bagus di sana. Alah bisa karena biasa. Ada misal film PK (Rajkumar Hirani, 2014) yang menghebohkan. Atau My Name Is Khan (Karan Johar, 2010), disamping generasi baru macam Deepa Mehta, yang berani mengguncang-guncang tema sensitive, seperti agama dan gender.

Juga kalau kita lihat serbuan mereka, dengan membanjiri iklan-iklan platform medsos seperti Youtube dan Netflix. Idiom-idiom visualnya sangat keren dan menunjukkan kelas peralatan teknologinya. Apalagi India juga mampu mengembangkan Mumbai, sebagai pesaing Silicon Valey dalam pengembangan teknologi digital.

Dengan pengantar ini, saya sebetulnya cuma ingin bercerita tentang Madras Cafe. Sebuah film dengan genre berbeda dari India. Sebuah film bergenre action thriller, dengan tema spionase, tetapi setting kejadian nyata. Berlatar perang etnik di Sri Lanka, antara Sinhala dengan Tamil, yang berimbas ke India.

Secara visual, ini film cukup dahsyat. Mengingatkan pada film-film perang model Apocalypse Now (Francis Ford Coppola, 1979), Heaven and Earth (Oliver Stone, 1993), The Killing Fields (Roland Joffe, 1984), yang saya yakin menjadi referensi Madras Cafe (melihat kutipan dialog para birokrat India tentang Vietnam yang lain).

Meski posisi India (dalam soal perang etnis itu), sebenarnya nanggung juga. Bukan wilayahmya, dan “hanya” terimbas karena sebagian suku Tamil, mengungsi ke India. Rajiv Gandhi mencoba ikut campur, dengan menginisiasi pemilihan dewan propinsi. Celakanya, Perdana Menteri India ini menjadi korban pertikaian etnis itu. Belum jelas hingga kini, sebab kematiannya. Tapi banyak dugaan Rajiv tewas dibunuh milisi Tamil, persis meniru pembunuhan Mahatma Gandhi.

Sebagai film tontonan, yang memanjakan mata, film ini keren. Kolosal dan panoramic. Meski tentang perang dan getir, gambar-gambarnya “indah”. Walau pun Sircar mengaku terinspirasi film Munic (Spielberg, 2005), sayangnya tak meniru bagaimana riset untuk Munich jauh lebih detail, dan berani dalam pernyataan sikap. Pernyataan sikap, adalah hal penting untuk mengukur karya seorang seniman.

Namun meski gambar-gambarnya memukau (sandingkan dengan Apocalyse Now Coppola), film dengan durasi 2 jam 10 menit ini, hanya menarik di separoh bagian depan. Setelah terbongkarnya spionase Vikram Singh, apalagi setelah kematian Anna Bhaskaran, pemimpin LTF (bandingkan dengan komandan militer Macan Tamil; Velupillai Prabakharan dari The Liberation Tigers of Tamil Eelam, LTTE), ceritanya kedodoran. Kalau mau sebagai film tutorial cara kerja spionase, kok kayaknya enggak banget. Karena keinginan terlalu mau menjelaskan persoalan, tapi dengan akurasi data belepotan dan masih sumir, jadinya khas sutradara dan penulis skenario film Indonesia. Bertele-tele, dan suka menjelas-jelaskan secara tak jelas.

Memang cerita Madras Cafe adalah karangan, fiktif, meski berdasar kisah nyata. Tetapi ketika menyangkut dokumen sejarah yang masih gelap (atau kalau terang abu-abu), kayaknya para penulisnya lebih membelokkan ke cerita spionase yang (lagi-lagi menurut saya) terlalu menjelas-jelaskan tapi tak meyakinkan. Harus banyak membaca novel-novel Ian Fleming nih!

Tapi mungkin juga karena posisi dan sikap politik yang tidak jelas, persis posisi PM Rajiv Gandhi, yang justeru jadi korban. Film ini juga menjadi tidak meyakinkan siapa hero dan pecundangnya. Wajar jika menjadi kontroversi dan menimbulkan amarah etnis Tamil, yang dituding berada di belakang pembunuhan Rajiv Gandhi. Sementara persoalan suku Kinshala (Buddha) yang menjadi majoritas di Sri Lanka (75%), dengan etnis Tamil (dengan latar Hindu dan Islam, 25% penduduk Sri Lanka), sampai kini belum selesai. Apalagi kemudian konflik seperempat abad lebih itu berkembang menjadi konflik agama.

Namun di luar kesan (saya) di atas, film ini memberikan bukti India tak bisa dianggap remeh dalam industri film. Mereka memiliki sumberdaya luar biasa, di samping dukungan pemerintah yang memadai. Indonesia sebagai bangsa ‘terbanyak’ ke-4, mestinya bisa belajar dari hal ini.  | @sunardianwirodono

Rabu, April 01, 2020

Lockdown, Lock Don't, atau Lojon?

Melihat operasi PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), Pak Polisi rasanya makin ganas. Tak ada kompromi. Malam-malam sebuah café yang kedapatan dipakai kumpul-kumpul, bisa langsung diminta tutup. Yang berkumpul disuruh bubar. Jangan lupa bayar dulu.
Mengenai bagaimana melindungi rakyatnya, saya sih setuja-setuju saja, apa keputusan Presiden atau pemerintah. Protes atau tak setuju keputusan itu, karena tak ikut rapat, dan kemudian koar-koar di medsos, adalah kelucuan yang biadab.
Mereka memakai istilah lucu dan menggelikan pun, saya diam saja. Tak mau protes soal tata-bahasa dan ejaan. Bukan itu prioritasnya. Prioritasnya adalah: Wahai para ahli Bahasa bikinlah protokol logika berbahasa. Didiklah rakyat bawahanmu, yang menurutmu bahasa Indonesianya buruk. Tak peduli bahwa Bahasa Indonesia memang buruk.
Saya membayangkan mengenai keluarga kami sendiri. Anak saya perempuan, tiap hari harus kerja, sebagai penyiar radio. Dia bisa kerja pagi atau bahkan malam hingga dini hari. Kalau tidak berangkat kerja? Tentu hariannya dikurangi. Sedang suaminya, juga bekerja dengan jam bisa siang atau malam, sebagai pengantar barang antarkota antarpropinsi.
Tetiba, Achmad Yurianto bilang kerja di rumah, produktif di rumah, mohon maaf, pale lu peyang! Ini hanya sekedar menunjukkan, sudut pandang pemerintah atau pemimpin acap hanya dari satu sisi. Suruhan di rumah saja, menjadi persoalan bagi sebagian besar kelompok masyarakat. Bukan takut pada virus, namun dampak ekonomi yang mengenainya.
Di situ kompleksias persoalan sosialnya, bagaimana ketika sampai pemerintahan di bawah (gubernur, bupati, walikota, camat, lurah, kepala desa, kepala dusun, bahkan RW dan RT)? Di situ ada semacam missing-link. Menjadi bagian terpisah, seolah tak ada sangkut paut. Seperti Kabupaten Sleman memunculkan smart-market, melayani kebutuhan sayur online diantar sampai rumah. Bagaimana nasib para pejuang sayur kelilingan yang kini menganggur, karena lokdan-lokdon beberapa dusun dan kompleks perumahan? Siapa yang bertanggung jawab?
Ini sekedar informasi rahasia, jangan bilang-bilang. Di lingkungan saya yang jauh-jauh hari sudah pasang portal, membatasi wilayah, pun semalam ada yang meninggal positif terpapar Covid-19. Beberapa waktu sebelumnya, pihak rumah sakit mengatakan tetangga tersebut dalam status PDP, dan diminta isolasi diri. Karena RS penuh maka dilakukan isolasi mandiri. Ini keluarga yang tertutup, jauh sebelum ada perintah ‘di rumah saja’ memang selalu di rumah saja. Tetangga saya itu mungkin meninggal ke-4 di DIY dengan status positif Covid-19, dari data formal di Pemda DIY, karena update status setiap jam 16.00.
Belum sebulan, ia bisnis makanan online dan laris. Di sini Anda tahu, konteks portal, local lockdown dan produktif di rumah? Tanpa mengurangi otoritas tuhan, saya kira dia meninggal karena tubuhnya tak kuat menahan derasnya arus virus. Kenapa daya tahan tubuhnya lemah? Cem-macem sebabnya. Tanyakan dokter ahli yang menangani, Saya bukan ahlinya, dan tidak mau menambah isu.
Yang saya persoalkan lebih pada protokol solusi masalah, protokol jalan keluar, protokol antisipasi. Bukan hanya fokus mengantisipasi merebaknya virus, melainkan bagaimana meningkatkan daya tahan sosial masyarakat atas pandemi itu.
Persoalan dasar adalah tumbuhnya kesadaran masyarakat warga, kesadaran civil society. Jika yang sakit ditangani ahlinya, maka yang belum sakit (jumlahnya jauh lebih besar dengan rasio perbandingan jumlah penduduk), bagaimana kalau malah makin lemah dengan di rumah saja?
Penguatan warga bukan hanya dengan mengisolasi diri di dalam rumah. Tetapi ngapain di dalam rumah itu? Kerja di dalam rumah, atau produktif di dalam rumah yang bagaimana? Tidak semua orang punya tabungan di dalam rumah, apalagi di dalam rekening bank. Bagaimana Pemerintah memfasilitasi kelompok marginal ini? Bagaimana system dan mekanismenya, pengawasannya? Bagaimana infrastruktur sosial kita? Di mana peran pemerintah dalam mengedukasi dan pemberdayaan masyarakat, selain menghimba-himbau?
Kalau saya sendiri, sebagai pengangguran, sudah terbiasa di rumah. Meski pun ketika ada anjuran ‘produktif di rumah’, saya tak tahu gimana cara produktif, karena di luar sana produktivitas juga turun? Ya, fesbukanlah. Mau menjual barang-barang pribadi, siapa mau membelinya sekarang ini? Atau Pak Bupati atau Pak Gubernur, mau beli? Gimana caranya ketemu mereka, nawarin barang bekas?
Apakah ini Apocalyso Now? Saya mendapat pertanyaan itu dari teman. Saya balik bertanya padanya, bagaimana kita memahami ‘pembunuhan’ Yesus’? Mengapa dalam Hindu ada Dewa Cyiwa yang perusak? Bagaimana kita meyakini hukum karma dalam Buddha? Bagaimana dengan teori the end of history, matinya kepakaran, pembusukan politik, the end of the world?
Sesungguhnya ini saat tepat, untuk me-reset tata sosial dan susila kita. Misal soal pengetahuan basis mengenai kesehatan tubuh, toleransi, saling menolong, peningkatan anti-body, pemanfaatan lahan kosong, manfaat tanaman sayuran, dan sebagainya? Agar yang sakit fokus ditangani ahlinya, dan yang sehat makin dikuatkan karena nalar dan kesadarannya. Jangan sampai maunya lockdown malah nulisnya lock don’t. Masih mending ding, bukan lojon! | @sunardianwirodono

Virus Tidak Takut Portal

Sampai kapan pandemi coronavirus ini? Jangan tanya saya. Ini bukan hanya masalah Indonesia. Melihat berbagai pemberitaan televisi dunia, yang terjadi di AS, Eropa, Jepang, dlsb, sama saja. Bedanya, di Indonesia ditambah dengan provokator dan SJW, yang suka lojan-lojon.
Tentu di beberapa negara luar Indonesia, tak ada yang benci Jokowi. Apa hubungannya? Banyak. AS mungkin juga tak begitu suka Jokowi. Apalagi dalam perebutan superioritas dengan China. Dalam Perang Dunia III ini, melampaui perang nuklir dan senjata kimia yang dikembangkan AS di Timteng, Chinalah yang memenangkan pertarungan. Jika ini lanjutan perang dagang AS-China, dua kali AS keok.
Dalam teori fisika, kalau semua turun, tak ada yang di bawah. Itu kata Mbah Einstein. Kalau semua naik, berarti tak ada yang di atas. Itu teori relativitas. Baru menjadi soal, jika ada yang naik ada yang turun. Ada yang jadi Presiden, ada yang terus cuma jadi provokator dan SJW. Karena menjadi provokator dan SJW ternyata ada yang meyakini sebagai jenjang. Jenjang kalau-kalau kekuasaan bisa direbut. Tanpa ikut Pemilu, cukup koar-koar di medsos. Mengurus negara kayak Indonesia, dikira kayak bikin film documenter atau iklan layanan funding.
Ada pula yang membuat teori kelas, teori konspirasi, teori bikin tahu bulat yang digoreng mendadak. Masing-masing orang ahli teori. Namun fakta tak terbantahkan, sistem sosial kita masih rentan. Kalau juga menghasilkan sosiolog dan SJW comberan, bisa dimaklumi. Apalagi sekedar main tebak-tebakan, bodoh baik, bodoh nggak ada abisnya, atau pinter kejam? Dalam frozen otak yang nggak adil, kesimpulannya bisa ditebak; Bodoh kejam. Frasa negative yang akan dipakai permanen.
Kemarin konon Presiden marah pada beberapa kepala daerah, yang bikin kebijakan lokal lockdown. Ayo marahlah, Pak Presiden. Saya dukung. Sekarang siapa yang mau marah pada pimpinan lingkungan masing-masing? Yang heroik nutup wilayahnya, tapi sama sekali tak bertanggungjawab memberi alternative, solusi, apalagi memfasilitasi.
Entah bagaimana kita jadi kehilangan nalar. Takut kesambet virus, takut mati . Padal mati jihad ‘kan dapet sorga? Saking takutnya, jadi paranoid. Seolah virus bisa main lompat seenak-enak jidatnya ke tubuh satu dan lain orang. Emangnya virus punya jidat?
Tidak meyakini bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk sempurna, dibanding makhluk lainnya? Emang tubuh kita kayak rempeyek, yang bisa hancur-lebur dalam genggaman buto ijo? Silakan tanya dokter atau anak D3 Kesehatan, bagaimana istimewanya tubuh manusia sampai jeroannya. Kenapa itu tidak yang didengungkan? Malah ketakutan-ketakutan yang ditebarkan. Emangnya virus takut dengan portal, atau hansip brewokan yang tak tahu persoalan medis? Spanyol yang melakukan lockdown pun jebol.
Sementara bakul sayuran keliling nangis pilu di rumahnya, ada flyer bertebar di medsos: Sebuah smart-market siap melayani pembelian sayur online, diantar sampai rumahmu. Duh kejamnya kamu, wahai, sistem! | @sunardianwirodono

Drama-drama Protokol & Virus Anti Portal

Kemarin seorang teman dikeluhi ‘tukang go-food’, gegara pesen makanan; bahwa di pintu gerbang perumahan dia diinterograsi sampai satu jam. Si ‘tukang go-food’ tetap bersikeras mengantar ke tujuan, karena kalau pesanan itu cancel, dia nombok. Padal, dalam sehari baru dua kali dia dapat pesanan.
Cerita lain lagi, seorang bakul gethuk di daerah Kulon Progo, sampai sore dagangannya masih utuh. Gara-gara ia tak bisa lagi keluar masuk pemukiman, karena di beberapa tempar ia biasa berdagang tak boleh masuk. Dan yang melarang masuk tak membeli dagangannya. Cerita ini mirip di pemukiman saya, menimpa bakul sayuran keliling yang jauh sebelum Nadiem Makarim dan Ali Baba bisnis online, dia sudah bisnis jemput bola.
Drama-drama itu bisa sangat panjang. Lantas, apa kebijaksanaan Anda? Saya ingin melemparkan bahan diskusi remeh, dan sangat teknis. Tanpa harus ngomong politik atau teori konspirasi. Karena apapun, dampaknya sudah mewabah, berantai, dan nyata.
Jika daerah Anda melokalisasi (atau mengisolasi) dari lalu-lintas “orang asing” (orang dari luar wilayah Anda), sebaiknya buatlah SOP yang manusiawi. Menutup wilayah tak seharusnya menutup pula pintu hati, apalagi menutup nalar dan empati Anda.
Buatlah protokol yang kreatif, inovatif, inklusif, dengan beberapa pengembangan:
(1) Jika ada “orang asing” masuk daerah Anda, tanyakan identitas dan keperluannya. Dia bisa saja ojek online yang dipesan tetangga Anda, atau bakul sayur keliling yang menolong tetangga Anda tanpa perlu ke pasar. Jangan sampai kehati-hatian yang paranoid, justeru mencelakakan tetangga Anda sendiri, yang karena tak boleh keluyuran jadinya mati kelaparan disebabkan kebutuhannya Anda hambat.
(2) Setelah jelas persoalannya, periksa atau cek kesehatan “orang asing” tersebut. Artinya Anda mesti punya alat untuk memeriksa tubuh “orang asing” itu. Jika diketahui suhu badan “orang asing” itu di atas normal (lha, ini ngerti nggak ukuran-suhu manusia normal dan abnormal? Apa saja indikator orang terpapar virus Corona?), rujukkan ke tempat pemeriksaan kesehatan terdekat (dokter atau Puskesmas), untuk memastikan. Alangkah mulia, jika di pintu gerbang pemeriksaan dilengkapi tenaga ahli atau medis. Sehingga “orang asing” yang terperiksa bisa tertolong lebih dini. Kalau tak mau susah, “orang asing” itu tetap dilarang masuk, tapi sampeyan tolong mengantar barang pesanan tetangga Anda, atau jadi calo penjual sayuran keliling. Siapa tahu kebaikan Anda mendapatkan balasan setimpal. PS: Jangan lupa, nuntut Presiden Jokowi menyediakan APD. Kalau mau yang modis, minta ke Anie Avantie.
(3) Misal dari pemeriksaan si “orang asing” dinyatakan sehat, tak terpapar Corona, ijinkan masuk, dengan mekanisme standar; Suruh cuci tangan, jangan Anda doang yang suka cuci tangan. Sediakan hand sanitizer, atau pancuran air dengan sabun. Virus itu takut sabun. Makanya orang yang suka lojon, eh lockdown ding, katanya sehat karena suka ngabisin sabun.
(4) Setelah Anda memeriksa dengan canggih (seperti nomor 2), sudilah memberikan keterangan tertulis, mengenai data atau kondisi “orang asing terperiksa itu. Bahwa tanggal sekian, di sini, si anu yang terperiksa itu, kondisinya begini-begini-begini. Berikan surat keterangan itu padanya. Bubuhkan nama Anda sebagai abdi masyarakat yang baik dan mulia, sertakan nama lembaga kalau ada, otoritas pejabat setempat, sertakan stempel atau cap jempol. Agar sejarah punya bukti betapa bijaksananya Anda. Nggak usah sinis, jika dengan surat itu mungkin “orang asing” tadi karena luas teba-nya, bisa punya bertumpuk surat keterangan, seandainya semua wilayah punya SOP sama.
(5) Tapi juga nggak usah baper, kalau sampeyan yang penguasa daerah sampeyan, ketika mau berkunjung ke wilayah lain, entah ngunjungi orangtua atau mau nganter obat, atau apalagilah, juga akan diperlakukan sama sebagaimana Anda memperlakukan orang lain.
Hati-hati itu baik, tapi paranoid dan menutup wilayah, tak harus dengan menutup nurani, menutup nalar, menutup empati pada liyan. Kecuali pada dasarnya emang nggak punya nalar atau empati, apa yang mau ditutup?
Syukur bage, nggak perlu nutup wilayah. Buka wilayah Anda, dengan syarat dan ketentuan berlaku berkait pandemic Corona ini. Buka dapur umum, bagikan sembako atau makanan higienis untuk masyarakat terdampak karena semua orang disuruh di rumah saja. Para sahabat dan saudara kita yang mengais nafkah di jalanan atau ruang-ruang publik, mungkin pihak pertama yang stress, setelah Anda.
Nggak usah malu, di New York dan Washington DC pun, terjadi hal yang sama, juga ada dapur umum serta bagi-bagi makanan serta sembako. Sementara Anda tahu, di India yang baru seminggu lockdown, terjadi kekacauan massal.
Semoga Anda dan keluarga sehat sentausa. Jangan lupa bahagia dan bersyukur.

Pemimpin Cuci Tangan, Rakyat Kalap

Menghadapi Coronavirus (Covid-19), apa yang dianjurkan pemimpin di semua level? Dari Presiden hingga ketua RT? Ajakan cuci tangan mungkin yang paling kerap.
Di lingkungan saya, masyarakat panik. Bergerak sendiri-sendiri. Pemerintah Pusat mengatakan protokal-protokol, tapi sampai di manaitu protocol? Belum lama lalu, di lingkungan saya beredar berita 1 orang positif Corona. Info itu sudah menyebar sampai ke kota. Biasa, melalui berbagai WAG yang liar nembus ke mana-mana. Masyarakat kita amat ringan tangan mencet-mencet keypad ponsel mereka. ‘Saring sebelum share’ mungkin dimaknai share before sare, nyebar sakderenge bobo.
Untung ada teman dokter di Puskesmas Kecamatan, dan ketika dikonfirmasi orang yang diisukan terkena itu, sama sekali negative. Itu sekedar contoh, di antara rakyat sendiri, saling salang-tunjang, Baik karena ketidaktahuan atau sengaja memancing di air comberan. Di dunia digital ini ada anggota masyarakat yang juga anggota penjahat.
Beberapa wilayah melakukan “semacam” lockdown. Tapi tak ada SOP yang mereka pegang. System dan mekanisme atas inisiatif dan kreativitas masing-masing. Padal, dalam perkembangan, para ahli medis dunia semakin banyak yang mengakui lockdown sama sekali kagak ngaruh. Spanyol, negara yang melakukan lockdown, jebol juga. Prestasinya cukup nggegirisi, negara itu nomor dua terbanyak kena Corona setelah Italia. Jadi Mardani Ali Sera dan segerombolannya, yang suka teriak lokdan-lokdon, karena bukan ahlinya tak perlu didengarkan.
Ada beberapa wilayah yang bagus dalam antisipasi pandemi. Beberapa melakukan gerakan sosial, baik itu tingkat desa, dusun, kampung, pemukiman perumahan, dan sebagainya. Ada yang bertanggungjawab, bahkan sebuah dusun Jawa Tengah, memberi insentif Rp50ribu tiap hari per-KK. Ada yang melakukan mitigasi pandemi secara mandiri seperti salah satu desa di Bantul. Mengajak masyarakat berbudidaya toga (tanaman obat keluarga, seperti tanaman kelor) di salah satu desa Kawasan Pantura. Mereka menerapkan SOP untuk orang keluar masuk wilayahnya, meski dengan alat sederhana. Itu lebih beradab, dibanding menutup wilayah dari orang lain.
Manusia adalah makhluk sosial, itu kata para sosiolog dan mungkin budayawan. Tapi ketika semua orang menghimbau ‘tinggal di rumah saja’, ‘keluar rumah jika ada keperluan saja’, lantas bagaimana manusia memenuhi hajat hidup atau keperluannya? Tak ada manusia hidup tanpa keperluan. Karena kalau nggak ada keperluannya, ngapain hidup? Apalagi kini masalah baru muncul, beberapa orang stress, karena ekonominya hancur. Dan itu memperlemah imunitasnya.
Kita punya modal dasar menghadapi semua itu. Ialah tubuh kita sendiri. Bagaimana agar tubuh punya daya imunitas tinggi, daya tahan banting. Melakukan gerakan antisipasi, agar tidak antisosial, untuk meningkatkan antibodi, dan antihoax. 



Kita tinggal di negara tropis, meski sekarang musim penghujan. Kita terlatih hidup tidak higienis, jorok. Kita punya berbagai macam tanaman sayuran dan buah-buahan, yang menurut berbagai ahli ilmu gizi kuno dan modern, hingga saat ini, tetap relevan sebagai pemasok material tunggal produktivitas antibodi kita. Mudah dibudidayakan, juga murah.
Jika antibodi kita kuat, segala macam virus bisa dikalahkan oleh manusia. Hanya kebetulan, virus yang dinamai Covid-19 ini, belum terdeteksi dengan baik karakter dan polanya. Juga karena belum ditemukan vaksinnya. Masih terus dikembangkan para ahli di bidang itu.
Karenanya, para pemimpin jangan seperti Petruk jadi raja. Tudang-tuding, main perintah, tapi tidak memberi teladan. Karena sama-sama takut terimbas virus (bukan hanya karena antibodi buruk, tapi mungkin sikap-mentalnya). Semestinyalah, dari Presiden sampai ketua RT, lebih mengajak rakyat bergerak menguatkan antibodi masing-masing.
Caranya? Hampir semua orang sebenarnya tahu. Tinggal merumuskan alur logikanya, agar tumbuh kesadaran. Bahwa di dalam tubuh kita ada modal sangat besar. Yakni kemampuan otomatis sebagaimana sempurnanya tuhan menciptakan manusia.
Virus, bukan barang baru. Juga bakteri, jamur, dan sebagainya, yang bisa jadi musuh manusia. Ia ada di mana-mana. Bahkan di keyboard atau keypad, dalam genggaman tangan, bahkan dalam tubuh. Namun sebagaimana manusia ada yang baik dan ada penjahat, dari sana peradaban berkembang sebagai keniscayaan. Dalam tubuh kita juga sudah bersiaga berbagai kekuatan pelawannya. Tergantung bagaimana kita merawat dan memfasilitasi. Antara lain dengan pola hidup dan pola makan sehat.
Mengenai yang (maaf) sudah terpapar, positif terkena virus Corona, hanya para ahli medis dan pasienlah yang bisa menolong. Kita yang awam, termasuk pemerintah, hanya bisa memfasilitasi. Mungkin bukan me-lockdown wilayah. Namun tindakan mengisolasi atau mengkarantina yang terpapar, lebih terasa strategis. Sebagaimana dulu (Februari 2020 di Natuna), ketika Pemerintah Indonesia menangani seratusan orang yang terindikasi Corona dari China. Mungkin lho, saya bukan ahlinya. Para yang mulia stake-holderlah yang mesti memikirkan.
Tinggal bagaimana mitigasi pandeminya, untuk mengetahui seseorang terpapar dan tidak. Semoga IDI dan Puskesmas bisa bekerja sama. Jangan hanya ngancam mogok dengan alasan Pemerintah lamban mengadakan kelengkapan. Dengan segala hormat, saya mengutuk ancaman itu. Jika IDI mogok kerja, kalian masuk dalam daftar kelompok tak berguna, setelah partai politik dan agama sama-sama ambyar menghadapi pandemi ini. Alih-alih berguna, beberapa malah menggunakan agama untuk berhoax dan riya.
Ini saatnya pemimpin di semua level bergerak. Mengajak kita bersama untuk bahu-membahu, bergotong royong. Kalau pemimpin diam saja, karena juga takut terkena virus, buat apa jadi pemimpin? Apalagi cuma teriak-teriak cuca-cuci-cuca-cuci tangan mulu. Biasa cuci tangan sih! | @sunardianwirodono

Mengunci Hidup di Dalam Rumah

Bukan hanya kepala daerah yang memakai istilah varian dari lockdown (entah local-lockdown, pembatasan wilayah, isolasi, dan sebagainya). Tingkat desa pun, bahkan hingga RT, ada beberapa melakukan “semacam lockdown”. Misal, membatasi lalu-lintas keluar masuk wilayah. Beberapa pemukiman perumahan, melakukan isolasi menolak kedatangan orang luar.
Mulailah situasi chaos ini terasa secara akumulatif. Bangsa ini sejak Soeharto berkuasa, tidak dididik untuk melakukan gerakan sosial secara mandiri. Apa yang dilakukan, baik oleh pemimpin nasional maupun pemimpin lokal, lebih banyak himbauan mengantisipasi, atau tepatnya bereaksi terhadap kasus virus Corona (Covid-19). Himbauan lebih banyak ke mekanisme “penghindaran” daripada “penghadapan.” Jalan termudah sebagaimana himbauan WHO, adalah social distancing (organisasi kesehatan dunia itu kemudian mengubah menjadi physical distancing).
Istilah terakhir, physical distancing saya kira lebih tepat. Lebih teknis dan tidak multi-interpretable. Saya lebih mengartikan pada pen-jarak-an fisik, bukan pen-jarak-an sosial. Pen-jarak-an sosial, saya kira lebih mirip penjara-kan fisik (antara lain di rumah saja, jangan ke mana-mana).
Lho, katanya kita makhluk sosial, seperti kata para sosiolog dan budayawan? Lho, katanya kita harus menjaga silaturahmi, kata para kyai dan ustadz dan ustadzah? Meski pun ada yang nyolot, silaturahmi pada yang seiman saja. Celetukan semacam itu biasanya muncul dari penjahat agama. Agama apa saja, nggak usah baper.
Dari hal itu, yang acap banyak dilupakan, sebenarnya hampir semua ahli kesehatan dunia (setidaknya saya bacai dari medsos, media online kredibel, beberapa jurnal kesehatan, hingga buku manual Covid-19 dari Henan Provincial Center for Disease Prevention and Control --untuk ini terimakasih Heru Marwata atas informasinya), intinya bukan lockdown. Lebih tepatnya karantina, sebagaimana ketika Pemerintah Indonesia menangani korban Covid-19 pada awalnya. Yakni melakukannya isolasi atau karantina di wilayah Natuna. Masih ingat bukan Februari lalu, waktu terjadi penolakan masyarakat dan pemda setempat?
China sebelumnya juga melakukan, dengan cara mengunci (lockdown) Wuhan, untuk karantina khusus terwabah Corona. Indonesia, sebagai negara kepulauan, pasti akan kepingkel-pingkel, pusing delapan keliling, gimana cara lockdown? Tolong para penjahat agama dan penjahat politik, yang suka teriak-teriak lokdan-lokdon menjelaskan pemahaman dan konsep mereka. Kalau lojon, temen saya ngerti. Saya mah nggak ngerti, karena alim.
Beberapa negara yang melakukan lockdown, sama sekali tak bisa menahan laju virus Corona. Intinya, karena memang belum ketemu vaksinnya. Yang bisa menjawab hal itu, tentu dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. Kita masih menunggu kerja keras mereka. Dunia politik, apalagi dunia agama, tak bisa berbuat apa-apa, selain menghimba-himbau. Himbauannya khas, menghindari bukannya menghadapi.
Padal negeri ini adaptif. Tidak hancur karena disrupsi teknologi digital. Walau pun adaptif yang tidak akseleratif, karena bukan bangsa produktif melainkan konsumtif. Dan tif-tif lainnya lagi, banyak. Tapi gara-gara virus Corona, Covid-19, hancur semua tatanan kehidupan kita. Bukan hanya mereka yang berbekal lembaga akademik, lembaga politik dan lembaga agama pun semuanya abyar. Mana yang bisa melawan kedigdayaan virus Corona? Italia, yang meniru strategi sepakbola mereka dulu, cattenacio, kebobolan juga dan membuat frustrasi sosial warganya.
Hidup kita di alam raya ini, dipenuhi berbagai virus yang tak kita ketahui. Hanya para ahli yang mengetahui. Virus Corona juga bukan barang baru. Hidup kita sendiri penuh virus. Bukan hanya disekitar kita, tapi bahkan dalam tubuh kita. Belum ada teori baru yang membantah, di dalam tubuh kita juga tersedia berbagai antibodi. Ada virus jahat ada virus budiman. Nyatanya, ada orang sehat ada orang sakit dalam situasi, waktu dan ruang yang sama. Kenapa? Karena antibodinya beda-beda. Imunitas individu ditentukan kondisi jiwa-raga masing-masing orang.
Bagi individu yang sudah terserang, atau terindikasi, itu bagian para ahli kesehatan. Masyarakat awam tak banyak bisa membantu, mestinya mempercayai otoritas mereka. Bagi yang tak percaya, sudah ada bukti. Mayat yang terkena Covid-19 dibongkar dan dimandikan sendiri oleh keluarganya yang awam. Hasilnya, mereka yang memandikan jenazah tertulari virus. Itu takdir? Tentu saja, karena takdir kesehatan dan kematian juga bisa dipercepat dengan kebodohan.
Persoalannya, terjadi penurunan kualitas anti-body manusia secara umum. Karena apa? Karena tumbuhnya gaya hidup dan berkembangnya pola konsumsi, yang mengakibatkan situasi makin tak sederhana. Banyak ditemu berbagai jenis penyakit baru, karena tumbuh varian baru dalam gejala ketubuhan manusia.
Orang miskin yang pola konsumsinya sederhana (sudah miskin, bodoh, tinggal di desa --untuk menyangatkan perbandingan), ternyata lebih kuat imunitasnya, daya tahan tubuhnya, antibodinya, dibanding orang kota yang berpendidikan, kaya, tetapi pola konsumsinya amburadul. Kalau mengenai orang gila, gelandangan gila terutama, kok sehat-sehat saja? Sok tahu. Jika ada dokter yang jadi relawan memeriksanya, bisa dipastikan lain lagi soalnya.
Dari berbagai himbauan pemerintah, juga para ahli medis, masyarakat perlu cara hidup sehat. Apa saja yang mesti dikonsumsi. Bagaimana gaya hidupnya. Namun mengapa soal penguatan kesadaran mengenai hal ini tak banyak disuarakan? Mengapa para pemimpin dan tokoh masyarakat seolah tak mau mengedukasi masyarakat, dalam melakukan perlawanan terhadap virus Corona dengan ajakan ola hidup dan makan sehat itu? Apakah nyuruh tinggal di rumah saja juga sehat? Gimana kalau makin stress?
Padal, jika yang dimunculkan penguatan daya tahan tubuh, imunitas, atau penguatan produksi anti-body di tubuh kita, hal ini lebih “mudah dilakukan”. Yang sudah terkena virus tentu hanya ahli yang bisa menangani. Jika tenaga mereka terbatas, karena masyarakat mengalami pandemi. Penderita muncul banyak dan serentak. Covid-19 hanya butuh berapa jam untuk menghentikan paru-paru manusia jika tanpa perlawanan.
Himbauan kegiatan di rumah saja, atau local lockdown, membatasi wilayah kemudian menjadi berlebihan. Sementara bagaimana antisipasi dari seruan yang “anti sosial” itu? Pemerintah bertanggungjawab? Sudah dihitung?
Jika gerakan melawan virus Corona juga mengedukasi masyarakat untuk peningkatan anti-body, masyarakat tidak perlu panik atau paranoid. Ketakutan berlebihan, juga bisa menimbulkan stress, dan itu artinya penurunan anti bodi yang makin menyukseskan virus Corona beraksi. Lagi pula, mengunci kehidupan sosial adalah juga pengkhianatan pada kemanusiaan kita. Achmad Yurianto sendiri, yang kayak malaikat Izrafil di TV itu, selalu ngomong mengkonsumsi buah dan sayuran adalah penangkal virus yang efektif, gitu kan?
Jangan sampai pemimpin hanya bisa ngajak gerakan cuci tangan mulu. Hanya karena mereka memang hobi cuci tangan, | @sunardianwirodono

Masyarakat Sebagai Pelaku, Lawan Corona

Jika kita mendadak mati, selesai persoalan. Tak ngerti apa-apa lagi. Tidak ngerasa apa-apa lagi. Setidaknya mereka yang telah mati tak pernah bikin review atas kematiannya. Bukan soal ‘gimana rasanya mati, tapi kenapa mati?
Para ahli ketubuhan, mungkin bisa menjelaskan. Setidaknya post-factum mengenai sebab dan akibat. Namun kenapa ada dokter meninggal, saat menangani pasien terkena Covid-19? Mengapa ada tenaga medis mati bunuh diri, karena stress menangani pasien Covid-19, dan dia sendiri terkena virus itu?
Kecemasan paling menggelisahkan, juga kegelisahan paling mencemaskan, adalah kegamangan kita menjalani hari-hari ke depan. Baik bagi yang memiliki deposito pembagian ortu dan leluhur, memiliki tabungan minimal 12 bulan ke depan, apalagi bagi yang hidup day for day, jobless, yang proyek-proyek pekerjaannya mengalami cancel (dibatalkan) mulu.
Terbayang teman-teman saya, di sektor paling tak jelas. Tanpa asosiasi profesi. Tak ada aturan pasti. Terbiasa dalam improvisasi. Demikian pula mereka yang berdagang umroh, sorga, kata-kata, juga mengalami penurunan pendapatan. Meski saya kira untuk teman-teman ini jika menjalani lock-down 12 bulan, tak apa. Sebagaimana Mardani Ali Sera, yang tak lelah menyeru lokdan-lokdon, karena lima tahun hidupnya dijamin negara, sebagai anggota parlemen.
Tapi pasti orang seperti itu akan mencak-mencak, kalau Pemerintah melakukan utang luar negeri. Padal ia tahu anggaran negara sangat rentan gara-gara virus. Padal kita tahu, berapa persen rakyat yang mesti jadi tanggungan negara, dengan biaya langsung tunai, jika lokdon dilakukan. Hanya kurang dari 0,01 persen manusia seperti Budi Hartono, boss Djarum, yang konon merugi 72 trilyun rupiah gegara Covid-19, tapi toh masih senyam-senyum sembari main bridge.
Membacai “arah ekonomi” (bukan makro, tapi soal kendil sendiri), bisa bikin gamang. Membacai fenomena Covid-19, bukan hanya Indonesia. Negara-negara yang lebih baik ekonomi dan sosial-politiknya pun, terdampak. Tapi hanya di Indonesia orang bangga menjadi oposan, dengan memanfaatkan situasi. Namanya oposan ecek-ecek.
Sementara di beberapa negara yang tingkat kebahagiaannya tinggi (Nordik, Finlandia, Denmark, Norwegia, Swedia dan Islandia), tingkat penyebaran Covid-19 tak seganas negara lain. Di negara-negara itu, tingkat kepercayaan publik begitu tinggi. Juga relasi sosial mereka. Kepercayaan pada liyan, membuat relasi sosial menjadi penguatan imunitas mereka.
Memang menurut dokter ahli, pembacaan yang berlebihan (atas berbagai informasi Covid-19), bisa menimbulkan ketegangan tersendiri. Amygdala kita akan bekerja ekstra keras, menyebabkan stress. Akibatnya daya imunitas kita justeru menurun karena psikosomatik yang ditimbulkan. Sensasi (atau fantasi) rasa sakit, jadi seolah nyata.
Dalam masyarakat kita, himbauan untuk “menghindari” jauh lebih tinggi. Entah dengan social distancing, phisycal distancing, jaga jarak, di rumah saja, dan seterusnya. Tapi di mana sektor-sektor penguatan diri, daya imunitas, dan ketahanan sosial ekonomi kita menjadi himbauan bersama? Itu masalahnya. Karena menyangkut karakter, perilaku sosial, life-style, dan tingkat pengetahuan serta kepatuhan, berkait aturan dan disiplin masyarakat.
Festival Film Canes yang mestinya dihelat 12-23 Mei, diundur karena lockdown. Tapi pengurus festival, membuka venue-venue yang telah didirikan untuk para tunawisma (gelandangan). Setiap malam mereka menampung 50 hingga 70 orang di Cannes Town Hall. Dampak Covid-19 di Italia, bisa menimpa 12.000 gelandangan, yang tak punya akses sanitasi dan kondisi kesehatan mereka.
Andrew Wong, seorang koki di London, Inggris, terpaksa menutup restorannya karena Covid-19. Tapi kemudian dia menyiapkan kotak makan khusus, dan dibagikan secara khusus bagi masyarakat yang membutuhkan. "Apa pun yang bisa kami lakukan di masa depan, jika kami bisa membantu mereka dengan makanan dan mereka tersenyum, itu sudah cukup," kata dia. Wong mengatakan, dirinya bekerja sama dengan gereja maupun komunitas lokal untuk menyalurkan boks ke bank makanan atau tunawisma. "Ada hal di dunia yang jauh lebih penting dari pada untung atau uang. Jika kita hendak membantu, maka lakukanlah dengan sepenuh hati," katanya (reuters, 23/3).
Di Kanada, pengungsi asal Suriah membalas perempuan yang pernah membantu mereka dengan mengirim parsel makanan, saat si perempuan itu mengisolasi diri karena terdampak Covid-19. Robin Stevenson mengungkapkan, dia menerima telepon dari keluarga yang pernah dia bantu pada 2016, "Mereka menaruh berkat makanan di teras saya. Mereka melambai dari trotoar, dan menyebut bisa membawakannya dalam beberapa hari jika saya membutuhkannya," ujar dia.
Di AS, bintang film sekaligus mantan Gubernur California, Arnold Schwarzenegger, mendonasikan 1 juta dollar AS, atau Rp 16,1 miliar, untuk pemenuhan kebutuhan perlengkapan tim medis. Tulisanya di twitter, dia percaya masing-masing harus menjalankan bagiannya, daripada hanya duduk dan sekadar mengeluh.
Di Indonesia, mungkin juga banyak. Seperti di Jakarta, Buddha Tzu Chi Indonesia, memberikan bantuan 100 ribu alat rappid test dan 50 ribu masker. Semoga dibagikan gratis oleh Pemda DKI Jakarta. Kita meyakini, orang baik di Indonesia jauh lebih banyak. Hanya sering disingkirkan oleh media, yang sibuk mencermati persoalan-persoalan teknis semata.
Lupa mengabarkan persoalan-persoalan substansial, yang bisa mengajak masyarakat menjadi pelaku perubahan. Karena hanya diperalat terus-menerus sebagai bagian dari teori pressure group. Atau sebagai panggung belaka, untuk sekedar mengatakan mereka ahli. Meski tak tahu agenda dan prioritas.
Semoga dikuatkanlah Indonesia, dengan berbagi kebaikan dan bergotong-royong. “Rakyat kuat, Negara kuat,” gitu teriak Bung Karno. Asal jangan diperalat! | @sunardianwirodono

Ketika Engkau gelisah

Suatu hari, Benny Moerdani dibentak-bentak. Oleh lelaki yang jauh lebih muda. Bukan dari militer. “Ayo jalan! Terus angkat! Jangan diam,…!” teriaknya memberi aba-aba.
Saya menyaksikannya langsung. Di kawasan Jakarta Selatan. Waktu itu tahun 2002. Tentu Benny Moerdani sudah pensiun dari ketentaraan. Tak lagi berkuasa dan ‘mengerikan’. Ia saya temui sedang menjalani therapy untuk derita stroke-nya.
Memandangi sang jenderal, yang wajahnya sangat tentara, saya bayangkan tingkat keganasannya di medan perang. Ia punya reputasi baik. Juga disegani. Bahkan oleh Soeharto, yang mungkin menganggapnya sebagai anak macan. Berbahaya.
Menyaksikan Benny Moerdhani, yang susah payah mengangangkat kakinya, meski cuma beberapa senti, saya ingat Soeharto. Bagaimana orangtua itu? Lebih sentausa karena anak-anaknya konglomerat sukses? Soeharto baru 2008 meninggal, setelah empat tahun sebelumnya Leonardus Benjamin Moerdani mendahului.
Tak terbayang. Dua tangan Pak Benny susah payah menyangga tubuh rentanya, di antara dua batang besi yang mengapit. Hampir satu jam saya menunggui, bagaimana ia berjalan setengah meteran saja.
Begitulah manusia. Dan mungkin semua yang hidup. Akan mengalami proses dari kemunculan, kelahiran, pertumbuhan. Hingga saat menua, untuk kemudian lampus. Menguap. Sirna. Mengeja tiga huruf, sebagaimana mantra Darmanto Jatman; Ra dipepet, ka, sa. Rekasa. Samsara. Meski kata ‘samsara’ adalah bagian tak terpisahkan dari ‘baraka’, sebagaimana tergambar dengan puitis dalam film dokumenter Ron Fricke.
Dan kematian senyatanya sungguh menakutkan, ketika disadari. Sebetapapun nalar dan iman mencoba gagah memahami. Apalagi ketika bayang-bayang kematian muncul dalam kesadaran. Ketika manusia mengetahui ketidaktahuannya. Termasuk bagaimana menghindarkan diri dari Corona Virus Disease 19.
Para kadrun yang berlagak jumawa pun, saya kira juga takut mati. Meski meyakini kematian adalah jihad. Sekalipun di sorga dijemput 77, atau 200.000 bidadari, atau berapalah suka-suka mereka. Tujuh juta juga boleh. Meski saya tak sampai hati, membayangkan Fahira Idris disambut 7 bidadari saja. Apa yang akan terjadi?
Dalam hal misteri kematian, Aristoteles pun mungkin putus asa. Sehingga dengan sedih ia berkata, “Doa memberikan kekuatan pada yang lemah. Membuat orang yang tak percaya menjadi percaya. Dan memberikan keberanian pada yang ketakutan!” Bila kau tetap cemas dan gelisah? “Masuklah ke dalamnya,” berkata Ali anak Pak Thalib. “Ketakutan menghadapinya, lebih mengganggu daripada rasa takut itu sendiri.”
Namun ketika agama tak bisa menjawab apa-apa? Politik bisu-tuli? Ilmu pengetahuan seolah lumpuh? Kemanusiaan pelahan beku? Lieben heißt, unser Glück in das Glück eines anderen zu legen, tulis Gottfried Wilhelm von Leibniz (1646 – 1716), ahli matematika dan diplomat Jerman. Tapi, masih adakah cinta untuk berbagi kebahagiaan? Demi kebahagiaan orang yang kita cintai? | @sunardianwirodono

Fakta atau Opini? Atau Fakta tentang Opini?

Media massa, mau cetak, online, audio-visual di Indonesia, masih merupakan bagian dari masalah bagi bangsa dan negara. Walaupun semua lembaga publik, yang jualan apapun di ruang publik, pasti menyantumkan visi dan misi kemuliaan mereka. Tapi kalau praktiknya sering berlawanan, atau bahkan ingkar?
Celakanya, ada yang ingkar karena sengaja dan ingkar karena bodoh. Dan itu bisa terjadi untuk yang bernama Tempo, Kompas, CNN, atau BBC, apalagi berbagai media online abal-abal yang pakai web gratisan.
Mungkin karakter medianya, namun menulis berita hanya dengan mengutip satu narasumber, untuk sesuatu yang interpretative dan menyangkut hajat-hidup orang banyak, saya kira hal itu masuk kategori dekaden. Jika jaman dulu ada yang dinamakan mengutip press-release, jaman kini bedanya melalui interview, meski tak jarang pula wawancara via telpon, atau bahkan sambil lalu via whatsapp.
Di situ tragedi ‘fakta adalah suci’ dalam sebuah pemberitaan. Bahwa wartawan mengutip omongan orang, adalah fakta (artinya, bukan opini wartawannya). Tetapi bahwa yang dikutip adalah opini, dan tanpa perimbangan dengan opini lain, hal itu merupakan penodaan kesucian fakta. Karena fakta yang dimaksud tidak dalam konteks, melainkan hanya sebatas teks.
Belum lama lalu, ada berita cukup bagus sepertinya, setidaknya dengan argumentasi narasumber. Bahwa jika Presiden Jokowi tidak melakukan lockdown, ia berpotensi melanggar konstitusi. Demikian berita yang saya maksud, mengutip omongan juru bicara PKS (yang katanya juga disuarakan presiden PKS).
Pernyataan nara-sumber itu bagus, karena berdasar pembacaannya atas UU No 6/2018 tentang Kekarantinaan dan Kesehatan (istilah lain untuk lockdown). Sayangnya, meski disebutkan pasal-pasal, berita tersebut sama sekali hanya bersumber dari satu pihak, atau tepatnya satu orang. Jika pun disebut pihak lain, hanya dikutipkan dengan kata “di satu sisi Jokowi menyatakan,…”.
Apa yang dikatakan nara-sumber bukanlah fakta, tetapi interpretasi. Fakta dalam dunia pers bukan bagaimana peristiwa wartawan mendapat data. Namun apa yang disampaikan oleh data. Itu persoalannya. Bahwa ada “peristiwa pernyataan”, memang. Tapi pernyataan dari opini atau interpretasi narasumber bukanlah fakta. Dan karena itu, bisa tidak suci.
Interpretasi narasumber yang superlative, bisa lamis dan amis (sekalipun faktual ia mengatakan ‘itu’). Apalagi dalam kasus penyebutan pasal UU Kekarantinaan itu, narasumber hanya berdasar satu-dua pasal yang menguatkan agumennya. Ia sama sekali tak menyinggung pasal lain, bahwa hal tersebut menuntut syarat dan ketentuan berlaku. Pada sisi itu, membicarakan UU dari satu pihak, apalagi satu orang, menjadi tidak kredibel untuk sebuah ‘kebenaran’ yang dibayangkan sebagai fakta.
Jika saya tak begitu kecewa pada PKS, karena saya kira demikian karakter partai itu. Sah-sah saja secara demokratis, meski tidak bijak. Yang lebih saya kecewakan, media yang menulis berita itu. Saya tidak tahu siapa yang bodoh, reporter atau redakturnya. Atau memang niatnya mau memakai hal itu sebagai framing? Mangkanya kini banyak artis media yang lebih banyak muncul karena kontroversinya? Saya tidak berani mengritik media. Nanti saya bisa dibunuh dan tidak popular. Mending ngritik penyanyi ndangdhut saja!

Gersos versus Medsos, dan OKB (Orang Kaya Bodoh)

Mungkin maksudnya baik, namun yang terjadi dalam Operasi Pangan Murah di DKI Jakarta kemarin (22/3), adalah kekonyolan. Penyelenggara tak memahami psikologi sosial masyarakat.
Pejabat publik masih memposisikan diri seperti OKB (Orang Kaya Bodoh), yang suka bagi duit tiap Lebaran, atau apalah. Ngundang wartawan pulak! Coba ingat, yang terjadi selalu kekacauan, dengan satu-dua tewas karena terinjak-injak.
Cara-cara semacam itu, mungkin ditiru dari raja-raja jaman dulu, kayak ritual nyebar udik-udik. Mungkin sang raja seneng ngelihat rakyat uyuk-uyukan berebut receh. Kayak pedagang bakso di Jateng beberapa bulan lalu. Untuk rasa syukurnya nyebar duit dari teras lantai dua rumahnya. Tetangganya berebut uang itu di bawah.
Meski Pemda DKI Jakarta sudah mengatur begitu rupa, entah pakai kartu ini-itu, atau berbagai himbauan, toh warga tetap berupaya saling dulu. Takut kehabisan. Bangsa kita tak disiplin bukan karena tak bisa diatur, namun kemiskinan bisa menimbulkan kebodohan, dan keduanya bisa memunculkan berbagai efek penyakit sosial. Antara lain tak sabaran dan tak menghargai liyan.
Makanya dalam ajaran agama sering dikatakan kefakiran bisa mengundang kekafiran, meski kekayaan juga bisa mengundang kekufuran. Dalilnya jelas, manusia pada bawah sadarnya adalah homo-homini-lupus, sebagaimana ditulis Plautus ribuan tahun lampau.
Fakta global Covid-19 menjadi pandemi. Artinya ahli-ahli medis kelas dunia pun kewalahan. Menjadi norak dalam situasi itu, mengamini komentar miring orang yang nggak ngerti sama sekali soal kek gituan. Entah itu bernama Gatot Nurmantyo, apalagi Tengku Zul. Wong soal agama pun mereka tak meyakinkan.
Sekarang teknologi sudah sangat maju. Pengguna aktif internet di Indonesia 171 juta, sementara jumlah ponsel mencapai 236 juta, dengan 270-an juta penduduk Indonesia. Tinggal para pejabat publik dan para pejuang relasi sosial membangun sistem dan mekanisme, jika orientasinya adalah mengantisipasi penyebaran virus Corona berkait himbauan ‘social distance’.
Pada situasi-situasi darurat itulah, saya kira, fungsi atau tugas pejabat publik dimaksimalkan. Bagaimana bukan hanya mendata, tapi mendatangi rumah-rumah warga. Bukan warga disuruh berduyun-duyun, ngantri di ruang-ruang terpusat, apalagi di rumah dinas. Cara-cara kuno itu mesti ditinggalkan. Kecuali memang sengaja menjadi agen penyebar Covid-19. Agar terjadi situasi chaos. Kematian massal. Muncul ketidakpercayaan pada pemerintah. Dan kudeta.
Meski pun yakinlah, para pelaku seperti itu akan dikutuk sejarah. Karena bisa dipastikan tak akan membawa situasi lebih baik, semengaku lebih pinter kayak apapun daripada Jokowi. Dalam situasi dunia seperti ini, Rizal Ramli pun yang konon ahli ekonomi, tak akan bisa mengerem pertumbuhan ekonomi yang menurun. Bisa jadi lebih buruk, karena yang percaya ia ahli adalah Fadli Zon. Padal Zon tak tahu apa-apa, kecuali kebaikan Soeharto, setelah sekarang merasa ditinggalkan Prabowo.
Tanpa harus menunggu inisiatif pemerintah, apalagi parpol dan elitenya, kita semua bisa melakukan gerakan sosial itu, dengan telpon digenggaman kita. Setidaknya 3 atau 5 orang pun, bisa melakukan gersos (gerakan sosial) melalui medsos. Bukankah kita punya menteri Dikbud yang dulu sukses bikin start-up per-ojol-an yang bisa ditiru dalam skala kampung atau desa? Ini saat mengubah WAG tak hanya ajang perdebatan ecek-ecek, kayak soal sorga dan neraka itu.
Memutar distribusi sembako dan sirkulasi uang, agar tak berhenti di deposito orang kaya yang nyaman di rumah saja. Persediaan uang nasional kita cukup. Yang menjadikannya cupet karena distribusi tidak adil, dan sirkulasinya makin menyempit dengan adanya Covid-19.
Social distance secara perhitungan medis bagus. Tetapi secara ekonomi, harus diantisipasi. Konon di Rusia, orang yang keluar rumah bisa dipenjara oleh Putin. Tapi di Indonesia, bagaimana jika ada orang mati bukan karena terjangkit Covid-19, tapi kelaparan di dalam rumah?
Kalau tak diantisipasi, ekonomi riel kita bisa melumpuh, dan perlahan korban berjatuhan. Kita perlu gersos dengan medsos. Saatnya membuktikan medsos benar-benar media sosial. Karena mengutip ungkapan Joel Stein, setiap anggota masyarakat adalah tokoh masyarakat. Kita tak butuh pahlawan, yang cuma bisa berpose dan ngapusi. | @sunardianwirodono

Saatnya Turun ke Jalan, Bukan Antisocial tapi Antibody!

Tadi pagi, ada sepasang suami-isteri sudah sepuh, dengan sepeda motor mereka berboncengan. Menawarkan dagangan sayuran mateng dari pintu ke pintu. Dan belum ada yang membeli. Saya hanya bisa jatuh kasihan, tak bisa menolong dengan membeli dagangan mereka, karena juga tak punya duit.
Saya hanya punya imajinasi. Membayangkan, anak-anak muda di komunitas tertentu, di kampung atau desa-desa, berhimpun untuk menolong saudara-saudara selingkungan (model-model sepasang suami-isteri yang saya ceritakan itu). Orang-orangtua dan para pencari nafkah konvensional itu, saya kira akan tertolong sekiranya di lingkungan ada yang mampu menggunakan medsos untuk ‘sos’ dalam arti sebenarnya.
Misal membuatkan aplikasi atau secara terkoordinasi membantu promosi dan menawarkan dagangan yang miskin dan buta teknologi itu. Menawarkan ke relasi mereka, para netizen, untuk membeli sebagai aksi kepedulian, apalagi dengan deposito berlimpah.
Karena yang kita butuhkan sekarang, bagaimana mengatasi dampak ekonomi bagi rakyat kecil. Covid-19 yang memporak-porandakan semuanya. Tidak di Indonesia saja, meski dampak ekonominya selalu khas, masyarakat kecil sebagai korban. Bagi masyarakat besar, yang nerima gaji bulanan, tak begitu terdampak.
Untuk orang-orang seperti Rizal Ramli, Fadli Zon, Fahira Idris, dan orang-orang sejenis itu beserta komplotannya, pun saya kira Covid-19 tak berdampak apa-apa. Kecuali mereka juga jadi korban virus itu. Namun, yang ada, mereka justeru memanfaatkan situasi untuk menghantam pemerintah. Lihat saja cuitan orang-orang jenis ini di medsos. Frasa ‘menyalahkan’ jauh lebih kuat daripada empati terhadap situasi.
Saya mencoba membacai beberapa berita dari negara-negara luar. Belum saya temui kalangan oposisi memanfaatkan situasi. Atau karena media-media mereka lebih tahu diri, untuk prioritas bangsa dan negara? Sementara di sini media menerbitkan kontroversi, seperti memviralkan cuitan jenderal bekas, ngompori majoritas dengan sentimen agama. Apa tujuannya? Karena begitu ‘tugas’ jurnalistik?
Mendesak pemerintah melakukan lockdown? Jangankan lockdown, himbauan social distance pun, kini sudah terasa dampaknya. Dampak ekonomi, khususnya bagi rakyat miskin yang berada di sektor informal atau ekonomi mikro. Ibu-ibu buruh gendong di Pasar Beringharjo, lebih banyak duduk manyun. Volume orang belanja turun drastis.
Kemarin saya sempatkan masuk ke kota, siang dan juga malam. Suasana Yogyakarta sungguh lengang. Lalu-lintas lancar. Udara terasa cerah dan longgar. Menyenangkan tapi sekaligus mendebarkan. Semua itu karena Covid-19.
Semua orang tampak benar-benar ketakutan. Apalagi yang terpapar justeru kebanyakan bukan kalangan bawah. Ada Menteri, Walikota, kepala kejaksaan, dokter, guru besar, penari, dan lain sebagainya.
Pemerintah Indonesia, saya kira tak tinggal diam. Mereka bekerja keras dengan dukungan mentalitas para aparat yang beberapa keparat juga. Tidak mungkin tidak mereka mengantisipasi. Karena dampak Covid-19 itu nyata dalam pertumbuhan ekonomi. Sementara dengan enteng saja, Rizal Ramli ngetuit di medsos. Menceracau seperti tak pernah mendapat ajaran etika.
Saya kira Sukarno benar, negara kuat karena rakyat kuat. Bukan sebaliknya. Jika di antara kita, masyarakat warga ini, juga masyarakat warga dunia maya, tumbuh kesadaran untuk saling membantu. Ini saat yang tepat untuk kembali ke fitrah. Yang kuat menolong yang lemah. Yang kaya menolong yang miskin. Yang punya banyak kesempatan menolong yang kepepet dan kehilangan akses.
Karena kondisi ekonomi kita memang masih timpang, dan tidak adil. Ada simbok rakyat kecil yang jualan kayu bakar ke pasar kota. Jalan kaki sejauh 25 km pp, untuk Rp 30 ribu. Tapi ada pula Tommy Soeharto, yang tanpa kerja pun duit bisa nambah sendiri. Lha, kalau penjual kayu bakar tadi tak ketemu pembeli dagangannya? Salah Jokowi?
Jokowi pun, saya kira takkan mampu menyelesaikan warisan negara bubrah ini sendirian. Apalagi di bawah tekanan dan rongrongan penumpang gelap. Yang kadang, mereka bangga mempertontonkan tanpa moral.
Namun saya senang, beberapa teman mulai melakukan aksi, turun ke jalan. Bukan demonstrasi dengan mengatasnamakan HAM atau demokrasi (yang beberapa jadi profesi). Bukan pula aksi membantu secara medis, karena sudah ada ahlinya, dan mereka sudah berjuang luar biasa. Melainkan turun ke jalan membagi sembako, atau sebatang sabun, nasi bungkus, beras per-setengakilo-an, dan sebagainya.
Karena ada rakyat jelata yang tidak terkena Covid-19, tapi terkena dampak social distance, sebagaimana Jenderal Doni Monardo terus-menerus menghimbau di TV: “Tiga, di rumah saja!” Dan kita pun takut berinteraksi atau pun bertransaksi. Dalam sisi lain, itu membuat sektor riel ekonomi kita melemah. Memakan korban para jelata yang terbatas pilihannya. Dan tak punya tabungan.
Saatnya turun ke jalan, atau door to door, membantu para jelata. Jangan ngarep mereka, para politikus atau elite, yang terus saja kasak-kusuk. Ngarep pemerintahan jatuh karena Corona. Mengutip makian Darmanto YT dalam sajak ‘Vino Il Papatore Ristorante’: “Dasar coro, lu!” | @sunardianwirodono

Virus Tentara Allah

Di atas ranjangnya, Mahatma Gandhi terbaring lemas. Penyakit mulai menggerogoti tubuhnya yang tak lagi muda. Perjuangan India hampir sampai waktunya. Tapi justeru konflik pecah di bawah.
Semula, baik Hindu, Islam, Yahudi, Sikh, di tanah India bersatu di bawah Gandhi, yang mempertontonkan agama kemanusiaan. Menolak kekerasan, tapi dengan tidak melakukan hal yang sama. Dan rakyat India mempermalukan Inggris tunduk dalam kutukan sejarah, sebagai negara biadab.
Beberapa orang menginginkan India untuk semua, tapi Ali Jinnah ingin membawa kaum Islam mendirikan negara Pakistan, berpisah dari India. Dari sanalah persaudaraan Islam dan Hindu pecah. Meski umat Islam yang tetap setia dan mendukung gagasan Gandhi tak sedikit. India untuk semua.
Menerobos kerumuman orang yang berdoa tak jauh dari kamar Gandhi, seorang lelaki melemparkan parangnya, tak jauh dari pembaringan Gandhi. Lelaki itu marah, dan dimaki-makinya Gandhi. Dia seorang Hindu, anak-anaknya tewas dibantai kelompok Islam. Dia tak peduli apapun, juga omongan Gandhi agar rakyat India bersatu. Dia ingin balas dendam. Tak peduli dengan neraka. Ia merasa sudah berada di neraka.
“Kau ingin tahu jalan keluar dari neraka?” bertanya Gandhi pada lelaki yang marah itu. “Angkat anak dari anak-anak muslim, yang juga kehilangan orangtuanya, karena terbunuh dalam konflik itu. Asuhlah dia dengan agamamu, tapi biarkan dia tumbuh dengan agamanya. Maka kau akan terbebas dari neraka,…”
Lelaki Hindu yang semula beringas, makin mendelikkan matanya ke arah Gandhi. Tapi dengan gemetar, tiba-tiba ia bersujud. Mencium kaki Gandhi dengan tangisnya yang pecah.
Gandhi adalah manusia nyata yang pernah ada di dunia, yang Albert Einstein pun tak mampu memecahkan rahasianya. Bagaimana mungkin di bumi ini, ada manusia seperti Mahatma Karamchand Gandhi?
Gandhi akhirnya bertemu dengan Muhammad Ali Jinah, dan mengatakan India bersatu ialah menunjuk Jinnah sebagai Perdana Menteri pertama. Jawaharlal Nehru, kompetitor kuat Jinnah, tunduk pada keputusan mutlak Bapak India yang dihormatinya. Tapi Jinnah tetap pada keputusan, mendirikan negara Pakistan yang muslim, daripada tetap di India yang majoritas Hindu.
Sebelumnya, menjelang keberangkatan Gandhi menemui Jinnah, di pintu gerbang ashram, berjubel para pemuja dan pengikut fanatik Gandhi. Mereka menutup pintu gerbang dengan membuat pagar betis. Mereka tak ingin Gandhi pergi menemui Jinnah.
Namun ketika Gandhi lewat, orang-orang itu ternganga, kelu, tak kuasa, diam kaku. Membiarkan Gandhi leluasa menerobos pagar betis. Gandhi marah, atau setidaknya menaikkan volume suara lebih dari biasanya; “Saya adalah seorang Hindu, Islam, Yahudi, Sikh,…!”
Sekarang ini, dunia diserbu tentara Allah yang oleh manusia dinamai Corona (corona virus disease 19, atau Covid-19). Tapi ini bukan tentara Allah yang jahat, seperti dikutbahkan oleh Uasuwok. Ini tentara Allah yang sejati. Untuk mengingatkan ummat akan esensi agama kembali, ke fitrahnya yang mestinya bernalar, bermartabat, welas asih.
Bukan kok sekedar dipakai secara ecek-ecek melawan virus dengan cara konyol, mengeksploitasi fanatisme buta terong ungu. Terus kemudian kalau tewas akibat virus itu, dibilangnya takdir. Padahal Takdir Alisyahbana sudah meninggal. Kalau takdir, tuhan dong yang tanggung jawab? Padal itu semua lebih karena manusia bego dan keras kepala yang tak bisa menjaga diri.
Jika virus Corona, atau penyakit apapun, bisa menyerang ulama, apalagi ustad abal-abal, pendeta, pastor, bahkan dokter, juga Ningsih Tinampi yang sakti itu, Menteri, Guru Besar, orang pinter dan kaya, orang miskin dan bodoh, tak ada hubungannya dengan segala macam status sosial itu. Dan juga bukan karena cilaka-13, sial, takdir dan seterusnya. Namun ada sebab-akibat yang terjadi dalam proses waktunya berkait status tubuhnya.
Gambaran gampangnya, dalam satu rumah pun, jika semua tertular virus flu atau batuk, ada saja yang kalis dari serbuan. Ialah yang kondisi fisiknya baik, daya imunitasnya tinggi, dan mungkin juga perilaku serta disiplinnya, relative lebih terjaga dari yang lain. Nggak ada hubungannya dengan tuhan, karena rumusnya sudah diberikan.
Mungkin tuhan tinggal tidur saja, ketika alam semesta sudah berjalan dengan hukum-hukumnya. Mungkin lho, nggak usah ngamuk. Yang ngomong Gusti Allah ora sare, seolah menunjukkan keakrabannya, bisa menyambangi Gusti Allah sampai kamar tidurnya. Padal, dengan formulasi hukum sebab-akibat, Gusti Allah bisa tidur nyenyak. Membiarkan alam semesta bekerja dengan sendirinya.
Yang bodoh dan lemah iman, tetap saja akan dieksploitasi oleh yang mengaku ahli agama (apa saja), ahli strategi, ahli tentara, ahli hoax, ahli omong kosong. Ahli omong kosong itu misal ngaku ahli sorga tapi tidak ahli neraka. Karena tak mungkin ada sorga tanpa adanya neraka.
Gandhi sendiri akhirnya gugur ditembak dari jarak dekat, oleh nasionalis Hindu Mahasabha, 30 Januari 1948. Bagi Gandhi, betapa tidak pentingnya agama, ketika sama sekali justeru membuat manusia menjadi bodoh, lemah iman, dan kehilangan empati kemanusiaannya. | @sunardianwirodono

Ayo Lojon, Pak Presiden!

Pada suatu hari, entah senja atau bukan, gak penting, Kediri ambruk. Bukan di jaman ketika Dewi Kilisuci ngambek bertapa di Goa Selamangleng. Tapi kala itu, jaman SBY yang didesak meratifikasi UU Tembakau.
Waktu itu, para buruh pabrik rokok GG mogok selama 5 hari berturut. Saya nggak sebut buruh pabrik rokok Gudang Garam, nanti dikira promosi. Makanya cuma saya singkat inisialnya, karena bukan itusialnya.
Pemogokan itu, membuat bisnis sayuran, yang tiap sore menggelar dagangan di sekitar pabrik, menyongsong kepulangan para buruh, kehilangan pembeli. Demikian juga yang menyediakan rumah untuk parkir sepedamotor dan sepeda kayuh. Tak ada pemasukan.
Tak ada pemasukan, bagaimana dengan pengeluaran? Itu hanya bisa dilakukan mereka yang punya tabungan, yang tidak defisit tentu. Betapa nyeseknya mendengar suara yang sembunyi di kotak ATM, dengan nada sopan; “Maaf, saldo anda tidak punya empati,…”
Mereka yang hanya berpenghasilan pas-pasan, tiada kerja tiada duit, pasti meringis. Karena tak dapat memberi uang saku anak-anaknuya yang sekolah. Akibatnya, yang jualan makanan dan minuman di sekolah, juga kehilangan pembeli. Yang buka toko kulakan, juga terkena imbas. Teori yang sangat sederhana.
Mbak-mbak yang malam-malam jualan susu dan tempe goreng anget, juga manyun nunggu pelanggan yang sirna. Tak bisa ngirim duit ke ortu dan anaknya. Dan seterusnya.
Lalu, kenapa orang teriak “lojon, lojon, lojon, Pak Jokowi”? Karena lojon emang paling enak. Bagi yang pernah merasakan. Saya mah, belum pernah. Ini jaman ketika Jokowi Presiden, dan para politikus karir baper nggak sembuh-sembuh. Sejak dikalahkan si tukang kayu.
“Hai tukang kayu, bagaimana caranya menanam duit, sambil lojon?” begitu kalau tak salah, nyanyian anak-anak TK. Kalau salah, maafin. Bukankah pepatah Arab mengatakan ‘al insaanu nahaluk khatho’, seperti kutip Prov. Musni Umar? Jangan tidak percaya padanya. Kutipan beliau pasti benar, karena rektor Ibnu Chaldun bukan Ibnu Chadrun.
Bertanya pada Tukang Kayu, itu sungguh bikin nyesek. Bener-bener pecundang ‘kan, jauh-jauh sekolah sampai AS, dididik di akademi militer paling sohor, eh, kalah nasib dengan es-satu ilmu kehutanan. Dan tukang kayu spesialis meubel pula.
Tapi begitulah Indonesia Raya. Apa yang tak bisa terjadi? Sekarang tambah lagi, ada mayor pensiun dini jadi ketua umum parpol. Hebatnya, anak buahnya kebanyakan para jendral gaek. Jadi, tak perlu heroik macam Moammar Khadafy ‘kan?
Kemarin, beberapa kepala daerah meliburkan sekolah. Apa tujuannya? Tapi, bagaimana reaksi yang diliburkan? Produktif atau kontra-produktif? Majas atau Horison? Pertanyaan terakhir itu, hanya laku di kalangan Kurnia Effendi dekaka.
Sekali lagi, yang muncul bukanlah respons, melainkan reaksi. Wabah virus, lebih banyak disikapi dengan menghindari, bukan dihadapi. Atau jika pun dihadapi, caranya dengan menghindar. Khas kita (kita? Elu aja ‘kali). Yang banyak dilakukan bukan mengeksplorasi, untuk meningkatkan daya imunitas, merawat lingkungan, bersih tubuh dan makanan, dan sebagainya.
Alih-alih nyuruh antre beli sayur, malah antre beli masker, toh daya beli cukup. Bahkan, yang dulu rajin salaman, cipika-cipiki, kini ada salam Corona. Tidak melanggar syari meski bukan muhrim. Kalau senggama, mungkin model robot Artoo Detoo.
Digerakkan apakah ekonomi Indonesia? Terbesar adalah sektor non-formal, atau ekonomi mikro. Maka ketika WHO mengatakan virus Corona bisa menyebar lewat duit, para pedagang kaki-lima ketar-ketir, tak akan ada yang mau transaksi tunai. Bisnis online startup asing, pasti bergembira-ria. Meski senyampang itu, Corona memang sudah menguras duit negara. Atas alasan situasi darurat, pengawasan menjadi lengah.
Lojon pasti juga disukai orang kaya, kelas menengah atas. Apalagi elite partai atau politikus busuk anggota perlemen. Padal mau reses setengah tahun pun, Indonesia juga kagak bakal ambruk. Karena mau pro-pemerintah atau oposan, sama tak pentingnya.
Indonesia berlimpah pemikiran cerdas, antara lain sebagaimana Sukarno menemu kata ‘gotong-royong’ yang konon orisinal budaya Nusantara. Tapi toh justeru sekarang berbalik 180 derajat. Ini contoh bangsa paling tak bisa bergotong-royong. Alih-alih bersatu-padu. Yang ada malah padu dhewe-dhewe, satu-lawan-satu, di media.
Demokrasi memang menyesakkan. Karena terlalu banyak diskusi dan adu mulut. Karenanya, Clement Atle, mantan PM Inggris, pernah ngendika, “Demokrasi akan efektif bila engkau mampu membuat orang lain tutup mulut.” Mau? Kayak Soeharto?
Jadi, nasibmulah Pak Presiden. Maka, orang-orang, yang dulu mendukungmu pun, meneriakkan; “Pak Pesiden, ayo lojon! Lojon, Pak, cepetan. Barengan orgasme, nih!”
Karena lojon itu paling enak, bagi mereka yang tak bisa samen-werken atau bekerja sama, apalagi punya pasangan. Lojon bisa mencapai kepuasan sendiri, tak peduli orang lain puas atau tidak. Karena dikerjakan sendiri, di kamar tertutup. Tak perlu pasangan apalagi yang beda pandangan. Cukup main fantasi. Mau dengan Jihan Fahira atau Rizieq Shihab? Terserah selera!
Lojon is the best. Tanya anak-anak muda Yogya. Terutama mahasiswa yang siang-siang nutup kamar kos, takut virus Corona katanya. Ayo lojon, Pak Presiden! | @sunardianwirodono

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...