Saudara-saudara, djuga
saja pernah tjeritakan di negara-negara Barat itu hal artinja manusia,
hal artinja massa, massa. Bahwa dunia ini dihidupi oleh manusia.
Bahwa manusia di dunia ini, Saudara-saudara, "basically", pada dasar dan
hakekatnja, adalah sama; tidak beda satu sama lain. Dan oleh karena itu
manusia inilah jang harus diperhatikan. Bahwa
massa inilah achirnja penentu sedjarah, "the makers of history". Bahwa
massa inilah jang tak boleh diabaikan, dan bukan sadja massa jang hidup
di Amerika, atau Canada, atau Italia, atau Djerman, atau Swiss, tetapi
massa di seluruh dunia.
Sebagai tadi saja katakan: Bahwa "world
prosperity", "world emancipation", "world peace", jaitu kekajaan,
kesedjahteraan haruslah kekajaan dunia: bahwa emansipasi adalah harus
emansipasi dunia; bahwa persaudaraan haruslah persaudaraan dunia; bahwa
perdamaian haruslah perdamaian dunia; bahwa damai adalah harus
perdamaian dunia, berdasarkan atas kekuatan massa ini.
Itu saja
gambarkan, saja gambarkan dengan seterang-terangnja. Saja datang di
Amerika (terutama sekali di Amerika), Djerman, dan lain-lain dengan
membawa rombongan. (Pada) rombongan inipun selalu saja katakan: Lihat,
lihat , lihat, lihat! Aku jang diberi kewadjiban dan tugas untuk begini:
Lihat, lihat, lihat! Aku membuat pidato-pidato, aku membuat
press-interview, aku memberi penerangan-penerangan; aku jang berbuat,
"Ini lho, ini lho Indonesia, ini lho Asia, ini lho Afrika!"
Saudara-saudara dan rombongan: Buka mata! Buka mata! Buka otak! Buka telinga!
Perhatikan, perhatikan keadaan! Perhatikan keadaan dan sedapat mungkin
tjarilah peladjaran dari pada hal-hal ini semuanja, agar supaja saudara
saudara dapat mempergunakan itu dalam pekerdjaan raksasa kita membangun
Negara dan Tanah Air.
Apa jang mereka perhatikan, Saudara-saudara?
Jang mereka harus perhatikan, bahwa di negara-negara itu, terutama
sekali di Amerika Serikat, apa jang saja katakan tempoh hari di sini
"Hollands denken" tidak ada.
"Hollands denken" itu apa?
Saja
bertanja kepada seorang Amerika. Apa "Hollands denken" artinja, berpikir
secara Belanda itu apa? Djawabnja tepat Saudara-saudara, "That is
thinking penny-wise, proud and foolish," katanja.
"Thinking penny-wise, proud and foolish."
Amerika, orang Amerika berkata ini, " Thinking penny-wise", artinja
hitung,... satu sen. Satu sen,... lha ini nanti bisa djadi dua sen apa
ndak? Satu sen, satu sen,... "Thinking penny-wise,..."
"Proud": congkak, congkak.
"Foolish": bodoh.
Oleh karena akhirnja merugikan dia punja diri sendirilah. Kita itu,
Saudara-saudara, 350 tahun dicekoki dengan "Hollands denken" itu.
Saudara-saudara, kita 350 tahun ikut-ikut, lantas mendjadi orang jang
berpikir "penny-wise, proud and foolish" (secara gampangnya, 'hanya
berfikir untung rugi', pragamatisme, ed).
Jang tidak mempunjai
"imagination", tidak mempunjai konsepsi-konsepsi besar, tidak mempunjai
keberanian. Padahal jang kita lihat di negara-negara lain itu,
Saudara-saudara, bangsa-bangsa jang mempunjai "imagination", mempunjai
fantasi-fantasi besar: mempunjai keberanian; mempunjai kesediaan
menghadapi risiko; mempunjai dinamika.
George Washington Monument
misalnja, tugu nasional Washington di Washington, Saudara-saudara. Masja
Allah! Itu bukan bikinan tahun ini; dibikin sudah abad jang lalu,
Saudara-saudara.
Tingginja! Besarnja! Saja kagum arsiteknja jang mempunjai "imagination" itu, Saudara-saudara.
Bangsa jang tidak mempunjai imagination tidak bisa membikin Washington Monument.
Bangsa jang tidak mempunjai imagination, ja, bikin tugu ja "rong depa"
('a' dibaca seperti dalam kata "mall", artinya dua depa, dua kali
panjang bentangan tangan, artinya 'amat pendek', ed), Saudara-saudara.
Tugu "rong depa" katanja sudah tinggi, sudah hebat.
"Pennj-wise " tidak ada, Saudara-saudara.
Mereka mengerti bahwa kita, atau mereka, djikalau ingin mendjadi satu
bangsa jang besar, ingin mendjadi bangsa jang mempunjai kehendak untuk
bekerdja, perlu pula mempunjai imagination. Imagination (jang) hebat,
Saudara-saudara.
Perlu djembatan? Ja, bikin djembatan, tetapi
djangan djembatan jang selalu tiap-tiap sepuluh meter dengan tjagak
(tiang, ed), Saudara-saudara.
Ja, umpamanja kita di sungai Musi.
Tiga hari jang lalu saja ini di tempatnja itu lho, Gubernur Sumatera
Selatan, Pak Winarno di Palembang. Pak Winarno, hampir-hampir saja kata
dengan sombong,
menundjukkan kepada saja "ini lho Pak! Djembatan ini sedang dibikin, djembatan jang melintasi Sungai Musi."
Saja diam sadja.
"Sungai Ogan,..."
Saja diam sadja, sebab saja hitung-hitung tjagaknja itu.
Lha wong bikin djembatan di Sungai Ogan sadja kok tjagak-tjagakan!
Kalau bangsa dengan imagination, zonder tjagak (tanpa tiang, ed), Saudara-saudara!
Tapi, sini beton! Tapi, situ beton! Satu djembatan, asal kapal besar bisa berlalu di bawah djembatan itu!
Dan saja melihat di San Fransisco misalnja, djembatan jang demikian
itu; djembatan jang pandjangnja empat kilometer, Saudara-saudara; jang
hanja beberapa tjagak sadja.
Satu djembatan jang tinggi dari
permukaan air, hingga limapuluh meter; jang kapal jang terbesar bisa
berlajar di bawah djembatan itu.
Saja melihat di Annapolis, Saudara-saudara, satu djembatan jang lima kilometer lebih pandjangnja,...
Imagination, imagination, imagination,...! Tjiptaan besar!
Kita jang dahulu bisa mentjiptakan tjandi-tjandi besar seperti
Borobudur dan Prambanan, terbuat dari batu jang sampai sekarang belum
hancur; (tapi sekarang, ed) kita telah mendjadi satu bangsa jang kecil
djiwanja, Saudara-saudara!
Satu bangsa jang sedang
ditjandra-tjengkalakan di dalam tjandra-tjengkala djatuhnja Madjapahit,
sirna ilang kertaning bumi! Kertaning bumi hilang, sudah sirna sama
sekali. Mendjadi satu bangsa jang kecil, satu bangsa tugu "rong depa"
(bangsa yang kerdil, ed).
| Kutipan Tjeramah Presiden R.I., Ir. H. Sukarno di Semarang, 29 Djuli 1956
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar