Ketika
rakyat Banten bersuka ria atas tertangkapnya gubernur Ratu Atut
Chosiyah, pasti selalu ada yang nyeletuk, "lha itu gubernurnya siapa,
siapa yang memilih, 'kan rakyat juga, berarti rakyatnya yang goblog
dong,..."
Kasihan rakyat, sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah tertipu
waktu memilih, masih disalahkan pula. Dan lebih celaka lagi, "lha
salahnya situ, kok situnya bisa tertipu". Itu lebih sadis lagi, sudah tahu orang tertipu masih kita salahkan pula.
Sepertinya, ketika seseorang terpilih melalui sistem demokrasi, seolah
suara yang memilihnya berada dalam suatu sistem atau proses yang normal.
Sehingga ketika rakyat terbujuk memilih seseorang, itu sepenuhnya
adalah mutlak keputusan pemilih. Kita tidak adil melihat ada
proses-proses lain yang kasat mata yang menyertainya.
Proses kasat
mata itu bukan hanya ketika surat suara dipilih dan dihitung, melainkan
juga ketika pemilih dipilih dan dihitung, sampai kemudian bagaimana
proses penggunaan hak pilih berlangsung dan seterusnya. Tak pernah ada
penilaian kepemilihan dengan disertai data empirik dari semua proses
sebuah pemilihan. Di sini kita sudah mulai tidak adil, karena semuanya
berangkat dari asumsi.
Pada sisi lain, dengan teori 50+1 suara
adalah pemenang, selalu juga menisbikan perhitungkan final, dengan tanpa
menyertakan berapa persen golput dan suara tidak sah dalam akumulasi
persentase. Sementara kita tahu, dalam setiap pilkada (gubernur maupun
bupati dan walikota di seluruh Nusantara, angka golput rata-rata di atas
25%, itu pastilah tidak angka sedikit, meski pun yang golput sering
disalahkan juga; "Salahnya tidak milih, jangan ikut ngomong deh,...",
mereka tidak mau tahu bahwa golput adalah juga pilihan sikap dengan
tidak memilih).
Banyak pemimpin terpilih hanya dengan dukungan
30-40% saja, lantas apakah yang 70-60% tidak memilihnya kemudian tidak
dipertimbangkan? Rakyat itu sesuatu yang plural. Pada kasus keterpilihan
RAC pun, jika kita melihat detail, akan terlihat hal itu (apalagi
sebelumnya RAC adalah wakil gubernur dari gubernur yang juga lengser
karena korupsi, kemudian maju sebagai incumbent bersama Rano Karno).
Bukan hanya pada rakyat Banten, pada seluruh rakyat di mana bupati,
walikota, atau gubernurnya (bahkan sampai presidennya) tiba-tiba
tercokok korupsi atau memble, apakah rakyat yang salah karena telah
memilihnya?
Tidak. Rakyat tidak pernah salah. Tidak ada satu pun
rakyat yang mau memilih pemimpin goblog atau pemimpin maling. Rakyat
hanya tidak punya mekanisme untuk menarik dukungannya, begitu yang
mereka pilih menyelewengkan amanah yang dijanjikan.
Rakyat seperti
penumpang bis dengan sopir yang gemblung, tapi kita tidak bisa turun,
sekalipun kepala kita pusing dan mau muntah. Kecuali para moralis
mengijinkan kita melakukan revolusi, dengan menyeret sopirnya turun atau
kita bakar bis itu!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar