Jumat, Agustus 09, 2013
Mbok Jah Cerpen Umar Kayam
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novelis, cerpenis, dan budayawan juga seorang guru besar di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1988-1997-pensiun). Umar Kayam (dalam konteks percakapan antar teman biasa disapa UK), lulus sarjana muda di Fakultas Pedagogik Universitas Gadjah Mada (1955), meraih M.A. dari Universitas New York, Amerika Serikat (1963), dan meraih Ph.D. dari Universitas Cornell, Amerika Serikat (1965). Ia pernah menjabat Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film Departemen Penerangan RI (1966-1969), Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1969-1972), Diektur Pusat Latihan Ilmu-ilmu Sosial Universitas Hasanudin, Ujungpandang (1975-1976), anggota MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara), dosen Universitas Indonesia, dosen Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, senior fellow pada East-West Centre, Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat (1973), Ketua Dewan Film Nasional (1978-1979), Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, anggota penyantun/penasihat majalah ''Horison'' (mengundurkan diri sejak 1 September 1993), bersama-sama dengan Ali Audah, Arif Budiman, Goenawan Mohamad, Aristides Katopo, Direktur Pusat Penelitian Kebudayaan Universitas Gadjah Mada (1977-), Ketua Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (1981-) anggota Akademi Jakarta (1988-seumur hidup).
Umar Kayam termasuk yang banyak melakukan terobosan dalam banyak bidang kehidupan yang melibatkan dirinya. Ketika menjadi mahasiswa di Universitas Gadjah Mada, ia dikenal sebagai salah seorang pelopor dalam terbentuknya kehidupan teater kampus. Ketika menjadi Dirjen Radio dan Televisi, ia dikenal sebagai tokoh yang membuat kehidupan perfilman menjadi semarak. Sewaktu menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1969-1972), dia mempelopori pertemuan antara kesenian modern dengan kesenian tradisional. Pada saat menjadi dosen di almamaternya, ia mengembangkan studi sosiologis mengenai sastra, memperkenalkan metode grounded dengan pendekatan kultural untuk penelitian sosial, memberikan inspirasi bagi munculnya karya-karya seni kreatif yang baru, baik di bidang sastra, seni rupa, maupun seni pertunjukan, mendirikan pasar seni di kampus, dan sebagainya. Ia juga pernah memerankan Presiden Soekarno, pada film Pengkhianatan G 30 S/PKI.
Umar Kayam wafat pada 16 Maret 2002 setelah menderita patah tulang paha pangkal kiri. Umar Kayam meninggalkan seorang istri dan dua anak.
KARYA-KARYA UMAR KAYAM
Seribu Kunang-kunang di Manhattan (kumpulan cerpen, 1972) mendapat hadiah majalah Horison (1966/1967) [3]
Totok dan Toni (cerita anak, 1975)
Sri Sumarah dan Bawuk (1975)
Seni, Tradisi, Masyarakat (kumpulan esai, 1981)
Sri Sumarah (kumpulan cerpen, 1985, juga terbit dalam edisi Malaysia, 1981)
Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya (bersama Henri Peccinotti, 1985)
Para Priyayi (novel, 1992) Mendapat Hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P dan K, diberikan pada tahun 1995) [1]
Parta Karma (kumpulan cerpen, 1997
Jalan Menikung (novel, 2000)
Cerpen-cerpennya diterjemahkan oleh Harry Aveling dan diterbitkan dalam Sri Sumarah and Other Stories (1976) dan From Surabaya to Armageddon (1976).
| Berikut adalah karya cerpennya, "Mbok Jah", yang pertama kali dimuat di Harian Republika, 23 Maret 1994:
MBOK JAH
Cerpen : Umar Kayam
Sudah dua tahun, baik pada Lebaran maupun Sekaten, Mbok Jah tidak “turun gunung” keluar dari desanya di bilangan Tepus, Gunung Kidul, untuk berkunjung ke rumah bekas majikannya, keluarga Mulyono, di kota. Meski pun sudah berhenti karena usia tua dan capek menjadi pembantu rumah, Mbok Jah tetap memelihara hubungan yang baik dengan seluruh anggota keluarga itu. Dua puluh tahun telah dilewatinya untuk bekerja sebagai pembantu di rumah keluarga yang sederhana dan sedang-sedang saja kondisi ekonominya. Gaji yang diterimanya tidak pernah tinggi, cukup saja, tetapi perlakuan yang baik dan penuh tepa slira dari seluruh keluarga itu telah memberinya rasa aman, tenang dan tentram.
Buat seorang janda yang sudah selalu tua itu, apalah yang dikehendaki selain atap untuk berteduh dan makan serta pakaian yang cukup. Lagi pula anak tunggalnya yang tinggal di Surabaya dan menurut kabar hidup berkecukupan tidak mau lagi berhubungan dengannya. Tarikan dan pelukan istri dan anak-anaknya rupanya begitu erat melengket hingga mampu melupakan ibunya sama sekali. Tidak apa, hiburnya. Di rumah keluarga Mulyono ini dia merasa mendapat semuanya. Tetapi waktu dia mulai merasa semakin renta, tidak sekuat sebelumnya, Mbok Jah merasa dirinya menjadi beban keluarga itu. Dia merasa menjadi buruh tumpangan gratis. Dan harga dirinya memberontak terhadap keadaan itu. Diputuskannya untuk pulang saja ke desanya.
Dia masih memiliki warisan sebuah rumah desa yang meskipun sudah tua dan tidak terpelihara akan dapat dijadikannya tempat tinggal di hari tua. Dan juga tegalan barang sepetak dua petak masih ada juga. Pasti semua itu dapat diaturnya dengan anak jauhnya di desa. Pasti mereka semua dengan senang hati akan menolongnya mempersiapkan semuanya itu. Orang desa semua tulus hatisnya. Tidak seperti kebanyakan orang kota, pikirnya. Sedikit-sedikit duit, putusnya.
Maka dikemukakannya ini kepada majikannya. Majikannya beserta seluruh anggota keluarganya, yang hanya terdiri dari suami istri dan dua orang anak, protes keras dengan keputusan Mbok Jah. Mbok Jah sudah menjadi bagian yang nyata dan hidup sekali dari rumah tangga ini, kata ndoro putri. Dan siapa yang akan mendampingin si Kedono dan si Kedini yang sudah beranjak dewasa, desah ndoro kakung. Wah, sepi lho mbok kalau tidak ada kamu. Lagi, siapa yang dapat bikin sambel trasi yang begitu sedap dan mlekok selain kamu, mbok, tukas Kedini dan Kedono.
Pokoknya keluarga majikan tidak mau ditinggalkan oleh mbok Jah. Tetapi keputusan mbok Jah sudah mantap. Tidak mau menjadi beban sebagai kuda tua yang tidak berdaya. Hingga jauh malam mereka tawar-menawar. Akhirnya diputuskan suatu jalan tengah. Mbok Jah akan “turun gunung” dua kali dalam setahun yaitu pada waktu Sekaten dan waktu Idul Fitri.
Mereka lantas setuju dengan jalan tengah itu. Mbok Jah menepati janjinya. Waktu Sekaten dan Idul Fitri dia memang datang. Seluruh keluarga Mulyono senang belaka setiap kali dia datang. Bahkan Kedono dan Kedini selalu rela ikut menemaninya duduk menglesot di halaman masjid kraton untuk mendengarkan suara gamelan Sekaten yang hanya berbunyi tang-tung-tang-tung-grombyang itu. Malah lama kelamaan mereka bisa ikut larut dan menikmati suasana Sekaten di masjid itu.
“Kok suaranya aneh ya, mbok. Tidak seperti gamelan kelenangan biasanya.”
“Ya, tidak Gus, Dan Rara. Ini gending keramatnya Kanjeng Nabi Mohamad.”
“Lha, Kanjeng Nabi apa tidak mengantuk mendengarkan ini, mbok.”
“Lha, ya tidak. Kalau mau mendengarkan dengan nikmat pejamkan mata kalian.” Nanti rak kalian akan bisa masuk.”
Mereka menurut. Dan betul saja, lama-lama suara gamelan Sekaten itu enak juga didengar.
Selain Sekaten dan Idul Fitri itu peristiwa menyenangkan karena kedatangan mbok Jah, sudah tentu juga oleh-oleh mbok Jah dari desa. Terutama juadah yang halus, bersih dan gurih, dan kehebatan mbok Jah menyambal terasi yang tidak kunjung surut. Sambal itu ditaruhnya dalam satu stoples dan kalau habis, setiap hari dia masih akan juga menyambelnya. Belum lagi bila dia membantu menyiapkan hidangan lebaran yang lengkap. Orang tua renta itu masih kuat ikut menyiapkan segala masakan semalam suntuk. Dan semuanya masih dikerjakannya dengan sempurna. Opor ayam, sambel goreng ati, lodeh, srundeng, dendeng ragi, ketupat, lontong, abon, bubuk kedela, bubuk udang, semua lengkap belaka disediakan oleh mbok Jah. Dari mana enerji itu datang pada tubuh orang tua itu tidak seorang pun dapat menduganya.
Setiap dia pulang ke desanya, mbok Jah selalu kesulitan untuk melepaskan dirinya dan pelukan Kedono dan Kedini. Anak kembar laki-perempuan itu, meski sudah mahasiswa selalu saja mendudukkan diri mereka pada embok tua itu. Ndoro putri dan ndoro kakung selalu tidak lupa menyisipkan uang sangu beberapa puluh ribu rupiah dan tidak pernah lupa wanti-wanti pesan untuk selalu kembali setiap Sekaten dan Idul Fitri.
“Inggih, ndoro-ndoro saya dan gus-den rara yang baik. Saya pasti akan datang.”
Tetapi begitulah. Sudah dua Sekaten dan dua Lebaran terakhir mbok Jah tidak muncul. Keluarga Mulyono bertanya-tanya jangan-jangan mbok Jah mulai sakit-sakitan atau jangan-jangan malah….
“Ayo, sehabis Lebaran kedua kita kunjungi mbok Jah ke desanya,” putus ndoro kakung.
“Apa bapak tahu desanya?”
“Ah, kira-kira ya tahu. Wong di Gunung Kidul saja, lho. Nanti kita tanya orang.”
Dan waktu untuk bertanya kesana kemari di daerah Tepus, Gunung Kidul, itu ternyata lama sekali. Pada waktu akhirnya desa mbok Jah itu ketemu, jam sudah menunjukkan lewat jam dua siang. Perut Kedono dan Kedini sudah lapar meskipun sudah diganjal dengan roti sobek yang seharusnya sebagian untuk oleh-oleh mbok Jah.
Desa itu tidak lndah, nyaris buruk, dan ternyata juga tidak makmur dan subur. Mereka semakin terkejut lagi waktu menemukan rumah mbok Jah. Kecil, miring dan terbuat dan gedek dan kayu murahan. Tegalan yang selalu diceriterakan ditanami dengan palawija nyaris gundul tidak ada apa-apanya.
“Kula nuwun. Mbok Jah, mbok Jaah.”
Waktu akhirnya pintu dibuka mereka terkejut lagi melihat mbok Jah yang tua itu semakin tua lagi. Jalannya tergopoh tetapi juga tertatih-tatih menyambut bekas majikannya.
“Walah, walah, ndoro-ndoro saya yang baik, kok bersusah-susah mau datang ke desa saya yang buruk ini. Mangga, mangga, ndoro, silakan masuk dan duduk di dalam.”
Di dalam hanya ada satu meja, beberapa kursi yang sudah reyot dan sebuah amben yang agaknya adalah tempat tidur mbok Jah. Mereka disilakan duduk. Dan keluarga Mulyono masih ternganga-nganga melihat kenyataan rumah bekas pembantu mereka itu.
“Ndoro-ndoro, sugeng riyadi, nggih, minal aidin wal faifin. Semua dosa-dosa saya supaya diampuni, nggih, ndoro-ndoro, gus-den rara.”
“Iya, iya, mbok. Sama-sama saling memaafkan.”
“Lho, ini tadi pasti belum makan semua to? Tunggu, semua duduk yang enak, si mbok masakkan, nggih?”
“Jangan repot-repot, mbok. Kita tidak lapar, kok. Betul!”
“Aah, pasti lapar. Lagi ini sudah hampir asar. Saya masakkan nasi tiwul, nasi dicampur tepung gaplek, nggih.”
Tanpa menunggu pendapat ndoro-ndoronya mbok Jah langsung saja menyibukkan dirinya menyiapkan makanan. Kedono dan Kedini yang ingin membantu ditolak. Mereka kemudian menyaksikan bagaimana mbok Jah mereka yang di dapur mereka di kota dengan gesit menyiapkan makanan dengan kompor elpiji dengan nyala api yang mantap, di dapur desa itu, yang sesungguhnya juga di ruang dalam termpat mereka duduk, mereka menyaksikan si mbok dengan sudah payah meniup serabut-serabut kelapa yang agaknya tidak cukup kering mengeluarkan api. Akhirnya semua makanan itu siap juga dihidangkan di meja. Yang disebutkan sebagai semua makanan itu nasi tiwul, daun singkong rebus dan sambal cabe merah dengan garam saja. Air minum disediakan di kendi yang terbuat dari tanah.
“Silakan ndoro, makan seadanya. Tiwul Gunung Kidul dan sambelnya mbok Jah tidak pakai terasi karena kehabisan terasi dan temannya cuma daun singkong yang direbus.”
Mereka pun makan pelan-pelan. Mbok Jah yang di rumah mereka kadang-kadang masak spagetti atau sup makaroni di rumahnya hanya mampu masak tiwul dengan daun singkong rebus dan sambal tanpa terasi. Dan keadaan rumah itu? Ke mana saja uang tabungannya yang lumayan itu pergi? Bukankah dia dulu berani pulang ke desa karena yakin sanak saudaranya akan dapat menolong dan menampungnya dalam desa itu? Keluarga itu, seakan dibentuk oleh pertanyaan batin kolektif, membayangkan berbagai kemungkinan. Dan Mbok Jah seakan mengerti apa yang sedang dipikir dan dibayangkan oleh ndoro-ndoronya segera menjelaskan.
“Sanak saudara saya itu miskin semua kok, ndoro. Jadi uang sangu saya dan kota lama-lama ya habis buat bantu ini dan itu.”
“Lha, lebaran begini apa mereka tidak datang to, mbok?”
Mbok Jah tertawa. “Lha, yang dicari di sini itu apa lho, ndoro. Ketupat sama opor ayam?”
“Anakmu?”
Mbok Jah menggelengkan kepala tertawa kecut.
“Saya itu punya anak to, ndoro?”
Kedono dan Kedini tidak tahan lagi. Diletakkan piring mereka dan langsung memegang bahu embok mereka. “Kau ikut kami ke kota ya? Harus! Sekarang bersama kami!” Mbok Jah tersenyum tapi menggelengkan kepalanya.
“Si mbok tahu kalau anak-anakku akan menawarkan ini. Kalian anak-anakku yang baik. Tapi tidak, gus-den rara, rumah si mbok di hari tua ya di sini mi. Nanti Sekaten dan Lebaran akan datang saya pasti datang. Betul.”
Mereka pun tahu itu keputusan yang tidak bisa ditawar lagi. Lalu mereka pamit mau pulang. Tetapi hujan turun semakin deras dan rapat. Mbok Jah mengingatkan ndoro kakungnya kalau hujan begitu akan susah mengemudi. Jalan akan tidak kelihatan saking rapatnya air hujan turun. Di depan hanya akan kelihatan warna putih dan kelabu. Mereka pun lantas duduk berderet di amben di beranda memandang ke tegalan. Benar tegalan itu berwarna putih dan kelabu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
berikan kritik sastra fan esai nya dong kak
BalasHapus