(1) FILM
SOEKARNO | Sebelum dan sesudah menonton film 'Soekarno' karya Hanung
Bramantyo (2013), pendapat saya tetap, bukan sebuah karya film yang
bagus. Bahkan setelah menontonnya, ternyata film ini memang lebih buruk
dari penilaian saya.
Bukan karena kebetulan keduanya (Sukarno maupun
Hanung) bukan idola saya, tetapi Hanung hanya bagus ketika membuat
Brownies, sebagaimana Garin Nugroho yang hanya bagus
dengan Bulan Tertusuk Ilalang, selebihnya, film-film mereka gagal
menjadi juru bicara yang baik bagi reputasi selanjutnya. Bahkan baik
Garin maupun Hanung sendiri, juga bahkan gagal menjadi juru bicara bagi
film-filmnya kemudian, seperti kita lihat dalam Soegija maupun Sang
Pencerah.
Saya memilih mengajak anak saya untuk membacai semua
koleksi buku tentang Sukarno yang ada di perpustakaan rumah kami. Dan
kami bisa belajar jauh lebih banyak tentang Sukarno, daripada apa yang
sudah di-freeze oleh Hanung dalam filmnya. Tentu saja Hanung boleh
berkilah soal sudut pandang dan tak mungkin memuaskan semua pihak (hei,
siapa yang butuh dipuaskan? Dasar, seniman kok ngomong tukang pemuas!)
Bukan berarti jika Sukarno digarap oleh Spielbergh atau Oliver Stone
akan lebih bagus dari Hanung. Tidak dalam pengertian itu. Namun, Hanung
hanyalah pembuat film yang manis, atau dimanis-maniskan. Di jaman
internet dan digital ini, menjadi sutradara bercitarasa international
bukan sesuatu yang susah, apalagi dari Indonesia yang super kreatif.
Tonton 50 film DVD bajakan, dan cobalah bikin film bagus! Kita akan
gampang melihat angle atau frame copycat!
Tapi Hanung bukanlah
seniman dalam tingkatan yang punya kepekaan dalam sebuah gusto
komunikasi massa, sebagaimana mestinya ia sebagai orang yag mendapat
kesempatan pertama memfilmkan Sukarno. Sehingga ketika berhadapkan
dengan expectacy, kita tahu dia tidak mempunyai konsep yang bagus untuk
itu. Film bagaimana pun adalah tontonan, dan bagi saya Hanung gagal
mempertontonkan Sukarno dalam gala primier bioskop Indonesia.
Saya
lebih bangga mengajak anak lelaki saya nonton Jango, film koboi garapan
Quentin Tarantino (2012) yang bertutur tentang sejarah perbudakan
Amerika abad 18.
Sukarno, pemimpin besar revolusi itu, terlalu besar
untuk dikecilkan oleh Hanung. Dan luput. Tapi kalau mau nonton karena
rasa kasihan sebagai karya teman, tak apalah. Masih lebih baikan
dibanding karya FTV di televisi-televisi kita kok. Sedikit.
(2) PARA PEMBENCI SUKARNO | Bagi para pembenci Sukarno, mudah saja
mengatakan Sukarno buruk hati ketika menceraikan Inggit Garnasih 'demi'
mengawini Fatimah (Fatmawati). Apalagi setelah menonton film tentang
Sukarno yang menceriterakan dalam scene yang miskin tentang itu.
Tapi bagi Sukarno, waktu itu, tentu bukan perkara mudah.
Ketika menjadi mahasiswa di Bandung, Sukarno sudah dalam posisi dinikahkan oleh HOS Tjokroaminoto dengan Oetari, anaknya.
Tapi karena Oetari masih di bawah umur, Sukarno sama sekali tidak
'menyentuhnya' dan menganggapnya adik. Cinta Sukarno bertaut pada Inggit
Garnasih, ibu kost yang adalah masih isteri orang (Haji Sanusi).
Dalam pergulatan cinta yang panas, Sukarno melamar Inggit pada Haji Sanusi. Dan sang suami Inggit itu pun merelakannya.
Betapa Sukarno sangat mengagungkan Inggit, karena separoh nyawanya ada
pada perempuan yang oleh Hatta dinilai mempunyai rasa kemanusiaan dan
intelektualitas besar, meski buta huruf dari kampung.
Sampai ketika
kegelisahannya sebagai lelaki, yang menginginkan adanya anak keturunan,
Sukarno berada di persimpangan jalan ketika bertemu Fatimah di Bengkulu.
Sukarno tak mau menceraikan Inggit, tapi Inggit 'pamali' untuk dimadu
(hal yang sama kemudian terjadi, ketika Fatimah pun kemudian juga
menolak dimadu, ketika Sukarno hendak menikahi Hartini).
Sukarno
adalah lelaki yang romantik, tetapi ia berbeda dengan SS atau GM
misalnya yang mesti harus ketahuan surat cintanya oleh Mytha, atau juga
berbeda dengan R, atau SDD, JO, ST, SW, RR, PO, PCS, MA, SBY, HR, ARB,
ASU, BA, JING, AN, dan lain sebagainya. Bagaimana dengan anak-anak
Sukarno yang suka menyebut para perempuan di sekitar Sukarno sebagai
"hindul markindul-kindul"?
Semua mereka (baik yang lelaki maupun
yang perempuan), dilibet dengan situasi batin dan hanya mereka yang
mengetahuinya secara persis, atau bahkan justeru mungkin tidak
mengetahuinya sama sekali. Dan apa hak kita mengadilinya, dengan
segudang interpretasi?
Pandangan kita tentang relasi personal dan
seksual lelaki-perempuan, lebih banyak dipenuhi kepentingan kita
masing-masing. Tentu saja demikian. Tetapi lantas bagaimana
menyelesaikan perbedaan, jika sesungguhnya kita sendiri juga secara
personal tidak sangat serius mengujinya secara proporsional?
Kata
seorang komedian Amerika, persoalannya adalah karena lelaki menginginkan
perempuan, dan perempuan menginginkan lelaki. Kecuali mereka yang
memiliki orientasi berbeda.
Padahal, representasi manusia bukanlah
dari soal relasi seks semata, tetapi bagaimana relationship-nya sebagai
manusia secara utuh.
Gossip murahan, tidak pernah mendewasakan kita.
Termasuk gossip tentang Sukarno tentu. Karena kalau kita ngomongin
Aidit, Tan Malaka, Syahrir, pada ujung-ujungnya akan sampai pada gossip
yang satu itu. Seperti ketika mengritik Kartini, yang katanya pejuang
perempuan tapi mau-maunya jadi selir seorang bupati. Ataukah hanya itu
ujung ketertarikan kita pada yang dinamakan tokoh? Dan kita makin
terlatih untuk makin tidak proporsional. Infotainment banget!
(3) FILM SEBAGAI KARYA | Saya teringat pada
bagaimana kepiawaian Teguh Karya ketika menggarap film 'November 1828'
(1979). Sebuah film fiksi mengenai sejarah perjuangan masa perang
Diponegoro (1825-1830). Ada banyak ahli sejarah dilibatkan di sana,
ikonografi, dan sebagainya. Diponegoro tidak nongol di sana, tapi
auranya hadir. Langkah lebih berani dilakukan oleh Eros Djarot dalam
film Tjoet Nja Dhien (1988), dengan menghadirkan sang tokoh, masuk ke
dalam sebuah riset yang bisa dipertanggungjawabkan.
Teguh seorang
seniman yang bukan hanya mempunyai wawasan dan gagasan, melainkan juga
tingkat keterampilan teknis yang bisa dibanggakan. Proses pembuatan
film, dari sejak gagasan awal hingga eksekusi terakhirnya, bisa menjadi
sebuah formulasi ilmu pengetahuan yang terbuka.
Dunia perfileman
Indonesia jarang memberi ruang pada tema-tema besar dan pilihan personal
kreatornya. Trend membuat film dengan mengangkat nama tokoh-tokoh
besar, masih tetap didominasi pertimbangan dagang, hingga yang muncul
adalah kompromi-kompromi di segala sudutnya (termasuk pemilihan tokoh
dengan segala kontroversinya atau pun seberapa besar pengaruh, follower
sang tokoh dengan minimal target audiens 'kita', bahkan sampai soal
casting pemain segala).
Celakanya, meski berangkat dari tokoh
sejarah, karakterisasi tokoh tak pernah meyakinkan dalam bangunan
skenarionya. Karenanya, tak banyak muncul nama tokoh dengan
permasalahan, tetapi lebih pada tokoh dan peristiwanya. Peristiwa tetap
menjadi pertimbangan penting, sebagai vote-getter, karena di sana
diharap kontroversi bisa jadi daya tarik. Tapi, bagi mereka yang
inginkan sebuah nilai, jangankan substansi, aura inti permasalahan pun
belum tentu didapatkan.
Seniman sebagai kreator, akan ditentukan
pada konsistensi pilihan, dari konsep hingga eksekusinya. Kita masih
menunggu datangnya sineas Indonesia yang berkarya demi karya itu
sendiri. Semakin banyak orang terlibat di sana, semakin terlatih kita
untuk berkarya, bukan sekedar terlatih dalam berkilah.
Dan ketika
sebuah karya disodorkan ke publik, mestinya ia sudah selesai dan siap
pula menerima beragam reaksi publik, dan terbuka dengan perbincangan,
apa pun bentuknya.
Kesibukan membela-bela karya, hanya menyodorkan fakta, bahwa karya itu belum lahir dari sebuah proses yang layak.
Kita ngomongin film lho ini, bukan ngomongin siapa.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar