Rabu, September 23, 2020

IDI, DAN ORMAS DAN PANDEMI

Karena Rakyat Hanya Objek Semata

Oleh : Sunardian Wirodono

"Terbukti Covid-19 bisa menjangkiti siapa saja. Dokter dan perawat sudah banyak yang kena, kalau masyarakat sudah kena, tenaga kesehatan juga kena, siapa mau rawat siapa?" kata dr. Arnoldus Tiniap, jubir Pemprov Papua Barat (Antara, 22/9/2020, sebagaimana dikutip Kompas harini).

Waduh! Betapa dahsyatnya jubir yang juga dokter itu. Hal di atas dikatakannya menanggapi terus bertambahnya tenaga medis yang terpapar Covid-19. Pertanyaan pak dokter itu bukan hanya menunjukkan kecemasan berlebihan, tetapi juga kemalasan mencari kata-kata yang menurut Bu Tejo solutip. Karena pernyataan itu hanya memposisikan masyarakat awam tidak mengetahui persoalan kesehatan (berkait virus Corona), atau setidaknya menganggap masyarakat sebagai objek dan bukannya subjek.

Tentu saja pengetahuan medis para tenaga dan ahli medis lebih baik daripada masyarakat awam. Dan tentunya, dengan demikian, karena mereka yang menangani, tentunya sangat mengetahui; mengapa sampai tenaga medis yang tahu medis pun terpapar Cobid-19. Kenapa mereka terpapar padal tahu soal medis?

Celakanya, senyampang itu, pak jubir tadi pun belum tahu data pasti, terkait para medis yang terpapar itu. Katanya cukup banyak. Banyak itu berapa? Kalau ujar Basijo, mongsok banyak setenggok? Itu menunjukan salah satu kelemahan fundamental lembaga modern, apakah itu pemerintah, Departemen Kesehatan, dan bahkan orpro (organisasi profesi, jika tak mau disebut ormas) seperti IDI. Ialah sama sekali tak mempunyai sistem dan mekanisme data, atau manajemen data, yang baik dan terintergrasi. Padal katanya kita hidup di abad 4.1. Masyarakat yang jadi objek pun jadi objek kesalahan. Di situ ketidakadilan terjadi. Dalam penanganan, masyarakat hanya objek, namun kalau terjadi ketidakbecusan penanganan, masyarakat distatuskan sebagai subjek.

Lebih menyedihkan lagi, sang jubir tadi akan melakukan koordinasi dengan pemkab dan pemkot untuk melakukan pendataan itu. Sudah enam bulan berjalan, dan kita masih mendengar kata ‘akan’? Masangowoh! Ngapain saja selama ini? Belum pula dari Indonesia Timur pula, Humas IDI Makassar mengatakan; rapid test tak bisa dijadikan acuan orang positif atau negatif corona, karena “Hasil rapid test positif maupun negatif itu semua palsu dan alat itu bukan rekomendasi IDI.” (Kompasdotcom, 21/9/2020). Setengah tahun berjalan, dan ada alat tanpa rekomendasi IDI bisa berjalan, untuk tes kesehatan?

Jadi, apa persoalan kita sebenarnya? Belum lagi ketika IDI menyampaikan kecemasan, bahwa Indonesia berkemungkinan menjadi episentrum dunia dalam pandemi virus corona ini. Hal itu katanya bisa terjadi jika ‘penanganannya masih demikian’. Lho, siapa yang menangani? Pemerintah? Bukannya dokter atau para ahli kesehatan? “Masih saja demikian’ yang bijimana? Jika meminjam pernyataan dr. Arnoldus, kalau IDI pun cemas, siapa yang akan menangani kecemasan itu? Psikiater?

Sebagai anggota masyarakat awam, sebagai rakyat Indonesia yang ber-KTP, dan berkelakuan  baik dan benar (a.l. baru saja melunasi tunggakan BPJS selama 3 bulan, walaupun tak punya penghasilan berkat pandemi, memiliki NPWP yang setiap penghasilan terpotong pajak untuk negara, dan tak permnah menerima sepeser pun bantuan Pemerintah –kecuali utang pada temen-temen saya-- saya kecewa dengan berbagai pernyataan Pemerintah dan IDI.

Saya kira benar, bahwa rapid test, pengukuran suhu dengan alat thermometer bukan jaminan. Tapi, melakukan deteksi suhu badan sebagai indikasi, tanpa pencatatan data sama sekali, bagi saya kebohongannya jauh lebih bullshit. Mangsud saya, pada setiap gate, pintu masuk gerbang ke gedung/ruang atau lembaga publik, mestinya setiap pendeteksian masing-masing itu juga didampingi tenaga medis, atau setidaknya didata, dan kemudian dimasukkan ke bank data yang tersentral secara nasional. Bahwa si Polan dengan NIK sekian, datanya begini. Dari data yang terintegrasi secara nasional, dan update mengikuti pergerakan per-indivisu, akan dengan sendirinya kita dapati data pergerakan manusia di ruang-ruang publik. Itu tugas siapa? Pemerintah atau IDI? Atau keduanya sibuk saling tuding dan menyalahkan? Itu bukan fokus kritik saya. Karena keduanya bisa sama buruknya.

Mari kita coba membaca data. Jika dikatakan jumlah kasus Covid-19 mencapai 236.315 kasus, dan dari jumlah itu mencapai kesembuhan 170.774 kasus, apakah artinya yang terpapar tetap 236.315, dengan catatan yang sembuh 170.774? Bukannya yang terpapar (masih terpapar atau sakit) tinggal 65.745? Bagaimana kita membaca data (di luar angka kematian) ini? Mau optimistik, atau khas kaum oposan, seterah kacamatamu, atau matamu!

Artinya, dari sekian total jumlah yang terpapar pun, dengan penduduk yang tersebar ke berbagai kepulauan, berjumlah 270-an juta jiwa, artinya yang “belum terpapar” jauuuuhh lebih banyak. Ini mau didiamkan saja? Nunggu mereka antri terpapar, atau dilakukan pendampingan, edukasi, pembinaan, dan sebagainya berkait pandemi? Tergantung pada centhelan.

Kalau centhelannya hanya memposisikan masyarakat sebagai objek, pemerintah dan para ahli medis boleh ngomong seenak jidat, karena seenak perut nggak ada yang enak. Jika tenaga medis terkena siapa merawat siapa? Jawaban saya sebagai saya, sayalah yang merawat saya. Karena saya tidak mau terkena penyakit, saya berupaya sehat. Dengan gaya hidup dan konsumsi yang terukur. Agar produksi imunitas saya tumbuh. Apakah ada gerakan Pemerintah dan gerakan IDI dalm melakukan sosialisasi, pendampingan? Pembinaan aktif ke masyarakat, turba, di luar himbauan tertulis via berbagai linimasa medsos? Dengan cuap-cuap di medsos, hanya itukah tanggungjawabnya secara sos?

Kecuali jika IDI tidak menyatakan; bahwa kondisi tubuh manusia sama sekali tak punya daya kekuatan melawan virus. Dikit-dikit harus pakai obat, itu pun obat merk tertentu, sesuai rekomendasi dokter. Padal, kalau sampeyan bertuhan, tuhan ‘sudah bikin’ manusia dengan organ tubuh yang organized dan compaq. Sampai mekanisme pertahanan seperti bersin, batuk, demam, hingga akhirnya pasukan darah putih, sebagai garda otomatis melawan berbagai virus dalam tubuh kita. Itu kata ahli medis lho, bukan tuhan!

Jika kita hanya ngomongin penanganan yang terpapar terus-menerus, artinya penanganan pandemi ini hanya terfokus mengatasi yang terpapar atau tergejala. Karena tak bisa merumuskan secara medis, di Indonesia ada istilah OTG, orang tanpa gejala. Bagaimana bisa, tanpa gejala kok terkena? Jangan-jangan yang mendefinisikan OTG itu termasuk OTG juga? Orang Terindikasi Goblog? Hukum alam itu tak ada akibat tanpa sebab, tak ada sebab tanpa akibat. Jangan hanya karena males, dan tidak tahu, kemudian asal bikin istilah. Dengan kritik ini, jangan kemudian muncul istilah ODGyBJG (Orang Dengan Gejala yang Belum Jelas Gejalanya).

Padal, di luar PSBB yang hanya memposisikan masyarakat sebagai objek, masih banyak cara untuk menjadikan masyarakat sebagai subjek pelaku. Yakni PSBB Perjuangan (karena bukan protokol pemerintah dan IDI), yakni Perilaku Sehat Berdasar Bahagia Perjuangan. Karena bahagia itu sekarang harus diperjuangkan, di tengah banyaknya pernyataan yang tidak etis, tidak mendidik, dan bahkan diam-diam menunjukkan agenda terselubungnya. Apa itu, ya entahlah. Namanya saja terselubung, kalau saya yang awam tahu, bukan lagi terselubung namanya. Mungkin namain saja Mawar.

Jika IDI cemas soal episentrum, saya juga bisa lebih cemas IDI kemudian sebagaimana ormas lainnya. Meski atas nama profesi, lebih tampak sebagai pressure group untuk kepentingannya sendiri, atau kepentingan elitenya. Gejala ormas dan orpro hanya sebagai alat politik (dan ekonomi), terutama  bagi elite pengurusnya, adalah penyakit nyata sejak Orbasoe. Sulit kita berantas hingga hari ini. Termasuk ormaspol maupun ormasag. Tahu ndirilah, singakatan apa keduanya itu. | @sunardianwirodono

Kamis, September 17, 2020

GENERASI MILENIAL & KETERBELAHAN BANGSA

Terjebak dalam Kutukan Sejarah tak Berkesudahan

 

Oleh Sunardian Wirodono

 

Apakah gorengan tahunan bulan September kini sudah menyepi? Karena ada proyek baru bernama Kamidin (kami-nya Din Samsuddin dan Gatot Nurmantyo cum suis)? Kayaknya sih tidak. Cuma sekarang ganti modus. Dengan garis melingkar, membenturkan PKI lewat praktik ‘kesadisannya’ dalam membantai umat Islam beserta ulama.

Dari buku ‘Banjir Darah’, kemudian sampai ke rangkaian terakhir penusukan Syekh Ali Jaber. Senyampang itu, diungkit-ungkit pula nama Sukarno, yang secara impresi dibedakan dengan Soeharto sebagai Orla dan Orba. Cap Orla, dengan sebarisan program politik yang didukung oleh PKI, didengungkan kembali.

Menariknya, ketika menyinggung Sukarno, yang ‘ternyata’ bapaknya Megawati, ketua umum PDI Perjuangan, kebetulan pula ada pecatunya dengan ucapan Puan Maharani soal Pancasila di Sumatera Barat. Muncul bau sangitnya dengan mengungkit Arteria Dahlan, anggota DPR-RI fraksi PDIP, yang katanya cucu elite PKI. Meski untuk tudingan itu telah dibantah dan pembuat isu sudah dilaporkan secara hukum. Persis ketika dulu Riba Ciptaning, juga dipersoalkan karena anak PKI dan anggota legislatif (lagi-lagi) dari PDIP.

Saya tidak dalam rangka ingin membenturkan paham-paham yang saling bertolakbelakangan itu. Hanya sekedar mengingatkan, jika berkonflik atas nama kepentingan apapun, di masa kini dan depan, janganlah mengacaukan sejarah. Mempersepsikan masa lalu berdasar preferensi politik yang dibangunnya sekarang. Karena pastilah hal tersebut hanya akan membuat negara dalam keterbelahan tak berkesudahan.

Konfigurasi konflik islam (atau sebutlah agamaisme) versus nasionalisme yang di sisi lain oleh pihak agamaisme selalu dituding sebagai ‘rekanan’ komunisme (atau lebih tepatnya lagi PKI), akan menjadi semacam kutukan sejarah, atau lebih tepatnya mungkin jebakan sejarah. Dari konfigurasi itu, kemudian mengerucut pada kepentingan praktis kontestasi politik kontemporer kita. Entah itu bernama parpol eksklusif agama versus parpol berpaham sekuler (yang kadang diserimpung dengan pengertian atheis, komunis, dsb).

Meskipun persoalan itu adalah masalah dasar kita, sejak ketika Sukarno dan kawan-kawan, hendak membangun negara Indonesia ini. Hingga sampai pada kompromi dengan dimunculkannya Pancasila. Meskipun soal penuntutan ‘kalimat’ menjalankan syariat Islam kini agak dikaburkan oleh kelompok agamaisme, melihat kasus terakhir berkait pancasila, trisila, dan ekasila. Lagi-lagi, diperhadapkan dengan PDIP, dan kita tahu PDIP itu apa (dalam persepsi kelompok agamaisme).

Pergulatan elite republik ini, dengan konfigurasi seperti definisi Sukarno pada nasakom, nyata-nyatanya tak mampu menyelesaikan ego sejarah masing-masing. Kata toleransi dan intoleransi yang sederhana, menjadi rumit pemaknaannya. Dan ketika para gajah saling tarung, pelanduk mati di tengah-tengah. Kita, rakyat jelata, dan khususnya generasi baru Indonesia, yang ingin melepaskan dari jebakan sejarah (konflik) itu, dengan menemukan mimpi serta harapan pada Jokowi (sebagai genealogi yang dirasa bisa terbebaskan dari stigmatisasi politik), menjadi korbannya.

Sampai kapan Indonesia akan seperti ini? Apakah Indonesia Emas 2045 akan nyata? Pada titik itu, jika saya mendukung Jokowi, karena berharap itulah titik awal kita. Menjauh dari kompetisi unfaedah dari konflik masa lalu, yang sampai kini tak berkesudahan. Bahkan, oleh para pihak yang berkepentingan pragmatis, hal itu sering hanya dipakai sebagai objektifikasi kepentingan masing-masing.

Bersama Jokowi sebagai representasi kebaruan dalam kepolitikan Indonesia, kita (maksudnya genealogis politik baru Indonesia), mestinya bisa membebaskan diri dari jebakan sejarah. Menelorkan tradisi kepolitikan baru, tidak terkungkung pada egoisme dan romantisme orla-orba, agamaisme-nasionalisme. Secara perlahan mendamaikan serta memaknai sebagai proses pembelajaran, untuk lebih fokus dan kembali pada kebersamaan sebagai bangsa. Tapi perselingkuhan pragmatisme politik, yang juga dimanfaatkan para oportunis politik, membuat mimpi masa depan kembali menjadi fatamorgana. Apalagi ketika oligarki partai politik memang hanya mementingkan kepentingannya sendiri.

Pada  posisi dan dalam situasi transisi itu, lepas dari persoalan teknis pemerintahan sekarang, saya tidak menyesal mendukung Jokowi. Dan tetap optimis untuk mendapatkan model-model kepemimpinan baru, yang sekarang ini memang belum muncul. Yang muncul selama ini, sebagaimana dengan mudah kita bacai di seluruh media kita hingga hari ini, masih representasi kepolitikan jadul kita. Apapun gaya politik mereka, yang sama-sama menyebalkan itu.

Mungkin saja ada pendapat terlalu mewah memposisikan Jokowi, Sri Mulyani, Basuki Hadimulyono, Retno Marsudi, Mahfud MD, Susi Pujiastuti, Basuki Tjahaja Purnama, sebagai sebuah prototype. Saya belum tahu bagaimana model Erick Thohir nantinya. Namun model-model seperti itu, lebih relevan untuk Indonesia masa depan. Saya bicara tentang relevansi, bukan dalam skala cerdas atau dungu. Kalau bicara mengenai kecerdasan, Rocky Gerung kurang apa cerdas sekaligus dungunya? Kita tak sedang biacara sosok yang tidak relevan.

Bukan mereka sebagai sosok atau figur, apalagi dikaitkan politik kepentingan 2024. Tetapi prototype, model-model. Karena dengan prototype lama, negara seperti AS pun bisa terjebak memilih presiden model Donald Trump. Dan itu tragis. 

Saya hanya berharap, generasi anak-cucu saya tidak mengalami hidup susah seperti sekarang ini, hanya karena elitenya tak tahu diuntung.  Dan lagi-lagi kita gagal membangun sistem, serta menegakkan hukum. | @sunardianwirodono

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...