Kamis, Desember 26, 2013
Mbok Satinem, Setengah Abad Kesetiaan Gatot-Thiwul
Jika Anda penyuka makanan tradisional gathot-thiwul, lopis, ketan-juruh, (dan sedang) di Yogyakarta, makanan hasil olahan Mbok Satinem, mungkin perlu dicicipi.
Ia anti campur-mencampur ketan, gathot-thiwul, dan lopisnya dengan bahan lain yang membuatnya kehilangan greget. Untuk thiwul dan juruh saja, ia memerlukan lebih dari lima kilo-gram gula jawa (gula merah), hingga thiwul (jenis basah) yang dibuatnya benar-benar pepal, padat. Demikian pula juruh buatannya, untuk campuran ketan, lopis, atau gathot-thiwul, benar-benar terasa legit.
Tapi, untuk dapat menikmati itu semua, Anda harus pagi-pagi ke tempatnya jualan, di emperan toko jalan Diponegoro, Yogyakarta, sebelah timur Pegadaian Bumijo. Jika Anda bukan orang Yogya, pathokan paling gampang, lokasinya di di sebelah barat Tugu Yogyakarta, selatan jalan. Kenapa mesti pagi? Karena ia hanya berjualan sejak jam 05.00 s.d 07.00. Meski jauh lebih mahal di banding dua pedagang sejenis di dalam Pasar Kranggan (tak jauh dari lokasinya tempat berjualan mbok Satinem), gathot-thiwul Mbok Satinem jauh lebih laris. Tak jarang, sebelum jam tujuh lewat, dagangannya sudah habis.
Mbok Satinem mulai berjualan di tempat itu, dengan dagangan yang sama, mulai tahun 1963. "Kula tesih ijen niku, wong bar rampung SR," katanya mengatakan, bahwa ia memulai semuanya sejak ia masih sendiri, karena baru lulus SR (Sekolah Rakyat, yang sekarang bernama Sekolah Dasar) tahun 1961. Sekarang ini, usianya 76 tahun.
Biasanya, ia selalu ditemani oleh suaminya, jika tak ada kesibukan bersawah. Dari rumah tinggalnya, dusun Salakan, kira-kira berjarak sekitar lima kilometer sebelah barat Yogya. Salah satu dari tiga anaknya, yang akan mengantar dan menjemputnya dengan sepeda motor.
Setiap hari, ia bisa menghabiskan antara 5-10 kilo gula jawa, beras ketan untuk ketan juruh dan lopis, sekitar 15 kilo, gathot (terbuat dari ketela) bisa sekitar lima kilo, sementara thiwul (juga dari ketela tapi dikeringkan), ia membuatnya berbentuk gunungan, sekitar dua kiloan. Satu gunungan (kukus) thiwul berharga Rp 15.000,00. Tapi bagi yang hanya membeli sepincuk dua pincuk, sepenak dua penak, tentu harganya lebih murah, sekitar Rp 1.000,00 s.d Rp 3.000,00.
Mbok Satinem tak mau menyebut berapa keuntungannya, tapi dari belanja bahannya saja, tiap hari ia bisa menghabiskan antara Rp 150.000 s.d Rp 200.000,00. Seorang yang membeli dagangannya, akan menghabiskan uang antara Rp 5.000,00 s.d Rp 25.000,00. Dan setiap hari, tak kurang dari 30 orang membeli legitnya ketan juruh, lopis dan gathot-thiwul Mbok Satinem. Dan itu semua, sudah berlangsung selama 50 tahun!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar