Senin, Desember 14, 2020

Antara Ilmu Colong-Jipuk dan Encoding


 

Di Mana Matinya Kepakaran Makin Nyata

 

Oleh : Sunardian Wirodono


Bahasa bukan hanya sekedar alat komunikasi, demikian pengantar Dr. Haryatmoko, dalam bukunya yang bagus, ‘Critical Discourse Analysis’ (Analisis Wacana Kritis, Rajawali Pers, Jakarta, cetakan ke-III, 2019). Bahasa juga digunakan sebagai instrumen untuk melakukan sesuatu, atau sarana menerapkan strategi (kekuasaan).

 

Melalui bahasa, orang memproduksi makna dalam kehidupan sosial. Karena pada kenyataannya, bahasa digunakan untuk berbagai fungsi, yang konsekuensinya bisa sangat beragam. Maka, bagi kita, jika tak hati-hati, bisa menjadi bagian dari objektifikasi sesiapa untuk mengapa dan bagaimana. Dan bahasa bisa menjadi sangat liquid, yang secara induktif, tanpa disadari, menyeret keterlibatan orang-perorang dalam kepentingan demi kepentingan.

 

Dalam masyarakat dengan daya literasi pas-pasan, kemampuan dalam memahami fungsi bahasa, bisa menjadi pintu masuk dan pintu terkunci. Bisa membuatnya lebih jeli atau makin membabi-buta, dengan konsekuensi masing-masing.  

 

Ada status (sebutlah tulisan di fesbuk, 15/12/20) dari doktor sosiologi sastra Faruk Tripoli; “Bahwa sejak zaman Belanda, ilmu yang paling populer adalah ilmu untuk berkuasa. Bukan ilmu untuk menjadi bijak, cerdas, menjadi kritis, bahkan bukan juga untuk jadi kaya.” Dalam konklusi pendeknya itu, jangan heran jika bahkan di universitas terkemuka sekalipun, puncak karir akademik yang menjadi idaman, adalah menjadi rektor, dekan, atau kaprodi. Lebih jauh dituliskannya; maka jangan heran juga, kalau orang yang sudah kaya pun ingin jadi pejabat. Bersedia membayar mahal, dan hal itu kemudian terakomodasi oleh sistem pemilihan langsung.

 

Mengenai pernyataan itu, Willy Pramudya, aktivis (menurut beliau terjemahannya ialah penggiat) bahasa, dari paparan di atas, dalam rezim spesialis, jaman kini disebutnya pula berkembang ilmu colong-jipuk. Mencuri atau tinggal nyomot, sana-sini-situ.

 

Di fesbuk, platform medsos yang terbesar dipakai masyarakat Indonesia, acap kita dapati impuls pemikiran yang menarik. Di luar komunikasi keseharian yang penuh kadar humor, kadar benci (culture hate) dan sinisme, medsos sering menyodorkan percik pemikiran, sodokan alternatif atas kebuntuan yang terjadi di jalur formal.

 

Karena fesbuk adalah media tulis (juga pandang dan dengar), menulis menjadi lebih mudah. Apalagi sebagaimana mantra Arswendo Atmowiloto; mengarang itu gampang. Jika itu dan jika hanya, merupakan segugusan fantasi, susunan tafsir, atau apalagi permainan pikiran sendiri, atas sebuah peristiwa atau fakta yang penuh dengan teori konflik atau teori konspirasi.

 

Sehingga tulisan sederhana bisa tampak begitu dahsyat dalam eksposisinya. Bisa melihat isi ceruk planet bumi. Sehingga bisa tahu dengan detail, warna dan ukuran celana dalem seseorang tanpa melihat apalagi mencopotnya. Lebih tuhan dari tuhan, seolah tak ada rahasia. Padal cuma sudut pandang bernama tafsir. Apalagi jika yang dimaksud seseorang, atau apa atau bagaimana itu mengenai politikus. Dan lebih-lebih politikus di Indonesia.

 

Namun ketika tak bisa meyakinkan kredibilitas dan kapabelitasnya, darimana bisa menulis semua itu? Jika tak bisa menjelaskan mendapat data dari mana, dengan cara apa dan bagaimana? Dari situ tidak perlu lagi ditanyakan, apa tujuan menulis dan di mana posisinya. Selain bagian dari permainan silang-sengkarut itu. Apalagi ketika dipenuhi dengan claiming (pendakuan). Itu mah pembiasan, apalagi di ranah medsos. Bukan pencerahan, melainkan pengerahan.

 

Dalam fenomena yang sama, menurut Fairclough, bisa dideskripsikan dengan beragam cara. Ada variasi laporan atau cerita. Bisa harafiah, fiktif, representatif atau virtual. Yang di mana berbagai cara mendeskripsikan realitas itu menyiratkan adanya kepentingan, maksud dan tujuan tertentu. Apalagi dengan sudut pandang satu sisi. Yang kita dapati hanyalah eksploitasi. Bukan eksplorasi.

 

Pada sisi yang lain, bagaimana dengan fenomena itu bagi Indonesia ke depan, bersama generasi milenial? Dengan teknologi 4.1? Apalagi dengan Artifisial Intelegence? Ada kesenjangan metodologis di situ. Bagaimana pemikiran yang penuh dengan analogi, terasa makin tidak presisi, dan sama koruptipnya. Mungkin untuk situasi dan masa transisi, bolah-boleh saja. Tapi, ya, cukup sampai di sini. Cukup sekian dan terimakasih. Karena kita akan berhadapan dengan perubahan yang tak terpermanai, tak terpahamkan.

 

Secara analog, kita juga hanya bisa berdoa secara analog, semoga nilai-nilai Pancasila yang bhineka tunggal ika dari Empu Tantular, dan kemudian diformulasikan oleh Ir. Sukarno, bisa dijadikan code-code dalam sistem aplikasi generasi digital Nusantara dan dunia. Bukan dengan ilmu colong-jipuk, tetapi dengan apa yang mereka istilahkan sebagai ‘encoding’. Di mana matinya kepakaran semakin nyata, terang-trewaca. | @sunardianwirodono

 

Senin, November 23, 2020

BARISAN PEMBELA RIZIEQ

KAUM BALIHOERS, JURUS NGELES KAUM KEFEFET 

 

Oleh : Sunardian Wirodono

 

 

Jika kepepet, karena tak punya dasar argumen yang kuat, maka ngeles (atau membiaskan masalah), adalah jurus yang acap dipakai para penumpang gelap. Mungkin ada yang menyebut mereka sebagai oportunis. Atau dalam bahasa agak religius, disebutnya kaum munafikun.

 

Beberapa waktu lalu, kita pernah mendengar adanya kaum salawi. Kelompok kepentingan yang selalu, dan melulu, hanya melihat semua karena salah Jokowi. Mereka pintar dalam kata-kata. Artinya juga pintar mengkorupsi fakta dan data dengan kata-kata. Agar yang muncul adalah kesan dirinya atau kelompoknya benar.

 

Kelompok ini, kini juga bisa disebut kelompok balihoers. Kelompok yang hanya melihat, atau menyembah kemuliaan baliho. Apa yang dilakukan pengamat, SJW, akademisi, politikus, dari kelompok ini, sama dan sebangun dengan laskar FPI yang melakukan hormat pada baliho Riziek, sampai harus memblokir jalan. Tak peduli bahwa akibat omongan Pak Dudung, dipicu oleh cuitan Nikita Mirzani, kini gerakan pencopotan baliho provokatif, intoleran, bernada rasis, bernada isu SARA, massif di mana-mana. Baik dilakukan masyarakat maupun Satpol PP.

 

Kelompok balihoers sama sekali tak menyinggung isi baliho. Mereka tak peduli soal baliho yang jika berisi iklan obat atau consumers good ilegal, Satpol PP paling galak mencopot. Mereka hanya melihat TNI salah jika masuk ke wilayah sipil. Kelompok balihoers ini, agaknya termasuk golongan yang tak suka gerakan intoleran dan pengujar kebencian terhambat penyebarannya ke seluruh Nusantara. Cara mereka menegasi, mengulas tupoksi tentara, tapi mingkem dan merem soal konten baliho yang dipermasalahkan. Padal jelas, sumber masalahnya di manusia bernama Rizieq Shihab. Di situ pembiasannya.  

 

*

 

Gaya retorika Rizieq Shihab, dalam acara Maulid Nabi di Petamburan beberapa waktu lalu, menunjukkan dengan jelas. Jika verbatim kita kutip pernyataan-pernyataannya, tafsir apalagi jika bukan ujaran kebencian? Ia menghina Kepolisian dalam kaitan penjagaan di rumah Nikita Mirzani. Hingga Rizieq mengatakan Polisi dapat jatah (dari Nikita, yang disebut Rizieq sebagai lonte). Tapi Rizieq tidak akan ngomong, bagaimana polisi mengantisipasi ancaman seseorang, yang mengaku ustad, yang akan mengirim 800 laskar FPI jika dalam 2X24 jam Nikita tidak meminta maaf.

 

Itu contoh korupsi data dan fakta. Rizieq juga menghina TNI dalam kaitan anggota TNI yang dihukum, karena menyanyikan lagu pujian pada Rizieq. Retorikanya yang selalu meminta pengiyaan dari pengikutnya, menunjukkan dia sedang mengindoktrinasi massa. Untuk membenarkan semua pernyataannya yang menghasut itu. Cara bertuturnya, bukan ciri ulama atau guru. Tetapi lebih tepat provokator dengan segala demagoginya.

 

Dalam gaya komunikasi retorik, memang tak diperlukan konfirmasi. Data dan fakta cenderung diabaikan. Hanya mengambil teks yang mendukung konteks yang hendak dibangun. Sama persis dalam kampanye politik, ketika seorang kandidat bertujuan menjatuhkan kompetitor.

 

Itu pula yang dipakai kaum kepepet, yang di Indonesia didominasi kelompok Salawi. Mereka yang berdiri di sisi berbeda (oposite) dengan Jokowi, akan cenderung berpihak atau mendukung ‘lawan politik’ Jokowi. Maka jika pernyataan Fadli Zon dan Haris Azhar bisa sama dan sebangun, bisa dimengerti. Juga omongan dari para kambrat mereka, yang sebetulnya belum tentu sepemahaman. Meskipun Din Symasuddin mungkin hari-hari ini lagi nangis bombay, karena kalah pamor dengan Rizieq. Dan tidak mendapat pembelaan dari kaum balihoers.

 

Tentara kok sampai mesti turun tangan menurunkan baliho? Itu kan tugas Satpol PP, atau Kepolisian dalam Kamtibmas? Dan bla-bla-bla segala teori hukum serta demokrasi disampaikan. Meski ada yang gayanya prihatin, seperti disampaikan Haris Azhar. Ia sebenarnya tidak rela, tentara kok nurunin baliho!

 

Apakah ketika TNI, Tentara Nasional Indonesia, turun ke kali kotor Jakarta, membersihkan sampah menggunung penyebab air kali meluap, ada yang menyayangkan? Kenapa tak ada yang sinis menyindir; Kasihan amir tentara jadi tukang bersih-bersih sampah? Terus tidak bikin meme Bang Rendy pamit pada gacoannya yang lagi mengandung, dan menasihati sang gacoan agar tidak lebay? Toh ia tidak sedang ke medan perang, melainkan mau mbersihin got?

 

Apalagi pengertian kita tentang medan perang hanyalah area dar-der-dor. Tidak tahu bahasa simbolik, bahwa medan perang dalam kehiduan luas adanya. Sebagaimana kegagalan membaca tentara mbersihin sampah baliho, sebagai simbol perang melawan sampah masyarakat? Yakni, seseorang yang ngaku cucu nabi, tapi perilakunya miskin tata-krama? Padal doktrin agama Islam sendiri, lebih menekankan nilai manusia karena amal perbuatannya sendiri. Bukan karena sejarah leluhur, pangkat, kekayaan, atau wajah secakep apapun. Mau keturunan kucing, kalau jahat mah jahat saja. Karena yang ayahnya copet, ibunya lonte, si anak tak tertutup nasibnya menjadi manusia mulia, baik hati, dan tidak sombong.

 

Namun memang, mereka yang disebut kaum balihoers ini, memiliki ciri suka mengedepankan teks dengan menghilangkan konteks. Hingga perdebatan kita jarang menjadi sesuatu yang produktif. Yang terjadi hanyalah debat semantik. Adu pintar menjeplak. Di situ kita tahu bukan kepandaian Jokowi. Jokowi seorang pekerja. Tak membutuhkan mimbar dengan sorotan kamera. Yang kadang menggemaskan, dan melahirkan para juru-tafsir dengan kadar ‘disproportionate’ pula.  

 

*

 

Perdebatan tidak esensial itu, hanya untuk kepentingan pencitraan. Baik sebagai bisnis ekonomi maupun tujuan politis. Dari setting awalnya, sudah tidak relevan. Coba cermati, ketika perdebatan soalTNI nurunin baliho. Persoalan politik tetapi di-framing dalam konteks hukum. Maka apa yang menjadikan alasan atau tindakan tentara, tak akan digubris. Karena akan masuk dalam esensi debat. Mereka menghindari elaborasi masalah sebagai bagian dari esensi sebuah debat. Maka Hamdan Zoelva pun, hanya bisa bilang masalahnya sesepele itu, mengenai sistem atau cara. Padal sebagai bekas ketua MK, apakah dia tidak tahu yang namanya teori kausalitas, yang perlu diklarifikasi?

 

Begitu sebaliknya, kelompok Salawi dalam konteks hukum, maka yang dimunculkan adalah framing politik. Misal, ketika jelas pernyataan dan tindakan Rizieq melanggar PSBB (tak usah melihat kasus yang berat-berat), yang dikedepankan adalah kriminalisasi ulama, penistaan agama, negara mulai otoriter dan anti kritik.

 

Kaum oportunis memang penganut filsafat pragmatisme paling akut. Pragmatisme adalah paham yang menganut segala sesuatu yang bermanfaat. Yang tak bermanfaat tak dianggep. Pragmatisme dalam istilah lain kadang disebut pula sebagai penyakit soehartoisme.

 

Di situ sebabnya, politik hanya dipakai dari sisi politicking belaka. Wajar jika masyarakat awam menjadi apolitik. Bukan hanya skeptis pada politik, tetapi muak dengan siapapun yang bermain politik. Entah itu ormas berbaju agama, ulama ‘berbaju’ daster, filsuf kedunguan, pengamat politik yang berpolitik. Sementara mereka yang menyebut diri politikus, alih-alih berpolitik, karena mereka kini lagi sibuk nyari duit dari Pilkada. Karena bagi mereka demokrasi = dengan money krasa sekali.

 

Maka tak aneh jika Jusuf Kalla bisa enteng menyebut Rizieq Shihab sebagai pemimpin kharismatik.Tak jauh beda dengan omongan Fadli Zon, yang mengatakan kharisma Rizieq mengalahkan Sukarno dan Bung Hatta. Itukah buku yang dibaca Anies Baswedan, di minggu pagi yang cerah, berjudul How Democracies Die? Inikah orkestrasi yang sedang dimainkan secara virtual menuju 2024? | @sunardianwirodono

Rabu, November 04, 2020

KI SENO NUGROHO (1972 - 2020) IN MEMORIAM

Dalang Muda yang Keren, Fenomenal, dan Viral


Oleh : Sunardian Wirodono

KI SENO NUGROHO | Ki Seno Nugroho meninggal dunia, 3 Nopember 2020, jam 22.15.

Tak berapa lama, timeline twitter dan instagram dipenuhi kabar duka Ki Seno Nugroho (kelahiran Yogyakarta, 23 Agustus 1972). Ngecek di platform medsos lainnya, juga dipenuhi kabar kematiannya.

Hati saya sungguh ngendhelong. Ia seniman Yogyakarta, yang saya anggap paling genuine, di masa pandemi, di masa danais, dan di masa perubahan (teknologi komunikasi dan informasi). Justeru karena ia berangkat dari seni tradisional. Wayang kulit, yang beberapa hari lagi akan merayakan Hari Wayang se-Dunia.

Hati yang ngendhelong itu hampir sama, ketika mendengar Didi Kempot dulu meninggal. Semua di masa puncak kejayaan. Mereka seniman sejati, sebagaimana hampir persis setahun lampau, Raden Mas Gregorius Djaduk Ferianto meninggal dunia.

Dua bulan lalu, saya mulai kolekte video rekaman wayang Ki Seno Nugroho, yang bagi saya sungguh mengundang untuk mendokumenvideokan profilnya. Dan kami sepakat untuk hal itu. Tapi, ya, wislah, Seno. Semoga itulah berkah Gusti bagi istirahat agungmu.

Karena engkau telah berhari-hari dengan wayangmu. Dengan duka-deritamu. Telah menghibur begitu banyak orang. Banyak kalangan. Engkau adalah dalang moncer. Memainkan wayang sembari terus memonitor ponselmu. Untuk memastikan yang request tembang, pada sinden-sindenmu, sudah transfer duit apa belum. Dalam streaming climen.

Itu sungguh dahsyat dan mengagumkan. Apalagi, bukan hanya di tengah pandemi. Ketika banyak orang, banyak seniman, mati kutu dan mati langkah. Engkau tidak. Di platform youtube, engkau berjaya. Hingga punya tim khusus, untuk live streaming di youtube, melayani tanggapan wayang secara virtual.

*

Akun youtube ‘Dalang Seno’, dengan subscriber 447K, unggahan terakhirnya tanggal 2 Nopember 2020 lalu (yang ketika saya pas menulis ini), sudah ditonton 94.436 kali. Entah kenapa, lakonnya ‘Pandhawa Bangkit’, yang saya duga diadopsi dari lakon Pandu Swarga. Streaming Climen sebelumnya, Semar Mbangun Jiwa. Seolah isyarat. Halah!

Saya kira, sudah cukuplah baktimu. Bakti kepada orangtua. Ibu kandung dan ibu kebudayaanmu. Dua lakon terakhir di streaming climen youtube itu, bicara soal ‘mikul dhuwur mendem jero’. Kamu sudah melakukannya, Seno. Dengan baik. Bapakmu, dalang Ki Suparman Cermowiyoto, anak Ki Cermo Bancak, trah Mbah Jayeng (yang adalah juga dalang abdi dalem Kadipaten Pakualaman), tentu bahagia mendengarnya.

Memang trah dalang sejak sononya. Adik Ki Suparman juga dalang. Namanya Ki Supardi. Dulu di masa kecil, kalau malam saya nonton Ki Suparman, siang sebelumnya pasti nonton Ki Supardi. Pementasan mereka sering satu paket. Anak Ki Supardi, yang bernama Ki Catur Benyek Kuncoro, juga dhalang. Bikin ‘wayang hip-hop’ pula.

Saya ingat, seorang Ibu sepuh di Mbulaksumur, selalu mengisi sore harinya, menjelang tidur, menonton Dalang Seno via youtube. Celotehan Ki Seno, sebagai Bagong, candaannya dengan Elisha Orcarus, Tatin, Ayu, Prastiwi, dan juga para pengrawit mudanya di Warga Laras, selalu mengundang tawa. Nama grup karawitannya itu, warisan dari ayahnya. Ketika muda dulu sang ayah menamai pengiringnya ‘Karawitan Trima Lothung’ (agak susah nerjemahinnya, mungkin semacam; Lumayan, timbangannya lumanyun).

Pembaruan tata-karawitan, juga sudah dimulai dari ayah Seno ini. Memasukkan drum dan Saron Cacahan Sangan Wilahan (bilah sembilan, yang lazim dalam gagrag Surakarta). Soal lintas batas, Ki Suparman telah merintis dan merambahnya. Bergaul akrab dengan dalang-dalang gaya Semarangan, Mbanyumasan, Surakarta, Jawatimuran.

Saya bisa pastikan, bukan hanya Ibu sepuh di Mbulaksumur itu yang kehilangan. Pasti banyak. Sangat banyak. Tapi ‘untunglah’, Seno telah mengompresnya di youtube, sehingga bisa ditonton kapanpun. Dan di manapun. Maturnuwun Ki Ageng Youtube. Karena berkat ki ageng itu, saya jadi nggak putus-asa, hanya karena terlalu ngarep pada kundha kabudhayan atau pun Mas Dirjenbud. Oh, ya, maturnuwun pula Kanjeng Kyai i-Cloud!

*

Perjalanan Ki Seno Nugroho bukan hal mudah. Apalagi, justeru ketika mengenyam sukses. Karena kesuksesan bukan hanya mengundang tepuk-tangan, kekaguman, dan penghargaan. Bisa juga sebaliknya. Apalagi yang menggugat posisi Seno, dalam pergombalan seni adiluhung. Yang biasanya berisi wacana mulu.

Kisah perjalanan Seno hampir mirip Ki Suparman, ayahnya. Dulu, Suparman kepenginnya jadi kiper sepakbola. Hanya karena bujukan Ki Cermo, Suparman remaja akhirnya mendalang. Seno tak begitu akrab dengan ayahnya. Biasa. Anak lanang sing ndugal. Juga sepertinya ogah sinau ndalang pada ayahnya, meski sekolah di SMKI Yogyakarta, Jurusan Pedhalangan.

Yang menginspirasinya menjadi dhalang, justeru Ki Manteb Sudarsana, ketika ia diajak ayahnya nonton wayang di Siti Hinggil. Waktu itu ia masih SMP. Namun jika pun akhirnya Seno mau mendalang, karena desakan pamannya, Ki Supardi. Kondisi kesehatan ayahnya sudah memburuk, Ki Supardi ingin ketegasan Seno, jika bapaknya meninggal siapa yang meneruskan?

Tapi Ki Supardi tidak hanya mendesak Seno, melainkan juga membuka jalan. Ketika mendapat tanggapan, Ki Supardi menawarkan Seno Nugroho untuk mengisi pentas wayang sessi siang hari sebelumnya. Mirip paket hemat 2-in-1 kelir ‘Parman-Pardi’ era pertengahan 70-an hingga 80-an. Waktu itu, nanggap wayang siang dan malam, masih 'mampu' dilakukan masyarakat penanggapnya.

Seno mau, asal tidak diberitahukan ke ayahnya. Ia takut kalau ayahnya tahu pementasan perdananya buruk. Waktu itu 1988, Seno mendalang pertama kali di dusun Mrican, Depok, Sleman (DIY). Ki Suparman, yang hari itu ditanggap di Pekalongan, karena diberitahu adiknya, sebelum berangkat ke Pekalongan menyempatkan diam-diam melihat pentas anaknya. Bahkan, diam-diam ambil alih alat musik rebab, mengiringi suluk anaknya.

Seno kaget, ketika suluk dan menoleh ke belakang, ayahnya yang mengiringinya dengan rebab. Sontak, semula Seno yang mulus memainkan wayang dan suluk, jadi ambyar. Gemetaran karena takut dimarahi ayahnya. Sementara Ki Suparman mbrebes mili. Optimis anaknya bakal menjadi dalang, meneruskan karirnya. Ki Suparman kemudian berangkat ke Pekalongan. Dan hanya sekali itu menyaksikan Seno mendalang. Untuk kemudian Ki Suparman, setahun setelahnya, meninggal dalam usia 54 tahun.

Apa pun, Seno seniman tradisi yang mampu melakukan reposisioning kesenian tradisi. Bahkan dalam alur paling fenomenal. Merambah kawasan milenial. Di dunia digital. Akrab dengan netizen. Live streaming. Mengenal istilah request, transfer via m-banking, sembari mendalang.
Dan puncaknya, ia istilahkan dengan ‘streaming climen’. Ia tidak menyerah pada pandemi yang bangsat itu. Ia menjadi katub pembuka. Dan, jika tahu terimakasih, silakan siapapun berkiprah, setelah dibukakan berbagai kemungkinannya, yang salah satunya oleh Ki Seno Nugroho. Tak ada urusan dengan suara miring Gaya Ngayogyakarta atau Gaya Surakarta.

*

Setelah wafatnya Ki Enthus Susmono, Ki Seno Nugroho mumbul. Menjulang. Viral. Sesuatu yang belum pernah terjadi; Dalang dari Yogyakarta, dengan pakem lintas batas, mampu “mengalahkan” dalang-dalang kondhang dari Surakarta. Ungkapan ini jangan diterjemahkan negatif. Karena itulah fakta sejarah, untuk dimengerti. Bukan untuk dimaki.

Sebelum PSBB, soal larangan bikin kerumunan itu, 3 bulan ke depan (Maret, April, Mei 2020), jadwal tanggapan Ki Seno Nugroho hampir tanpa celah setiap harinya. Tentu saja, semuanya batal, karena pandemi. Semuanya mandeg. Hingga muncul Live Streaming Climen pada akhir Mei 2020, dan juga mulai melayani tanggapan secara virtual.

Seno anak dalang gaya independen. Dan Seno anak jamannya. Mampu melintas batas tentang gaya-gaya yang sering disalahfahami. Sebagaimana karakter dunia digital, yang juga lintas batas. Seno, bagi saya, telah mampu menjadikan wayang kulit sebagai media manifestasi pribadinya. Seno dan wayang kulit, telah ajur-ajer. Sampai kita tak bisa lagi memisahkan antara keseharian Seno dengan wayangnya. Ia telah menjadi dan menyatu.

Dan itu terjadi di era medsos. Di mana lewat platform youtube, kesenian wayang kulit (setidaknya Ki Seno Nugroho) akan terus bisa dinikmati. Meskipun Seno sudah kapundhut ing ngarsaning kang Murbeng Dumadi.

Sepanjang jaman. Sepanjang i-cloud tidak meledak karena disesaki file data dari seluruh penjuru dunia. Kita, atau tepatnya anak-cucu kita, masih akan bisa menonton wayang kulit itu. Di antaranya, bagaimana pun, bersama Ki Dalang Seno Nugroho.

Maturnuwun Ki Dalang Seno! | @sunardianwirodono

Minggu, Oktober 11, 2020

MENGHUJAT JOKOWI & MERECEHKAN DIRI

Masih tentang Episode Jalan di Tempat dengan Bangga

Oleh : Sunardian Wirodono

Hujatlah Jokowi, maka kamu ada. Tentu bukan omongan Rene Descartes, namun itulah yang terjadi di jaman kiwari. Sinisi semua tindakan atau performancenya, maka kau akan dengan cepat mendapatkan segalanya. Jika bukan popularitas, mungkin duit. Di luar keduanya, setidaknya akan memberimu status bahwa kamu warga negara yang kritis dan mandiri. Itu penting, karena akan dinilai waras, cerdas, bernalar, beda dengan yang lain, dan itu keren.

 

Skeptisisme, dan apalagi menonjolkan sinisme, bisa jadi shortcut, jalan pintas untuk menjadi seorang tokoh (meski menurut Joel Stein, dengan handphone di tangan semua anggota masyarakat kini adalah tokoh masyarakat).

 

Enggak buruk sih. Cuma kasihan kalau itu hanya teater, akting, siasat, yang jika seniman maka ungkapannya; Kualitasnya hanya sebatas kapasitas teknis artistik, atau wawasannya hanya dalam frame kreatif. Tapi nilainya kagak substansial. Jika tak boleh memakai contoh seniman, ambil contoh para aktivis sosial-politik, intelektual muda, orang-orang lapangan yang kini mencoba menempelkan sebutan SJW (orang bilang ‘social justice warrior’, saya sih lebih percaya mereka ‘social joker warrior’).

 

Ada yang mendadak menjadi ahli bahasa, dengan menjelaskan anarkisme bukan brutalisme dan bukan barbarisme (mungkin maksudnya barbarianisme). Tak ada penjelasan di situ. Padal, siapa yang menyamakan istilah itu? Juga tak ada penjelasan. Meski pun saya juga tidak tahu, siapa yang menyamaartikan istilah-istilah itu?

 

Namun jika menyebut berbagai demonstrasi yang brutal dan barbar itu merupakan tindakan anarkis, tak ada salahnya di situ. Anarkisme adalah faham yang menolak bukan saja pemerintahan, melainkan juga negara. Di Indonesia, seolah tetiba muncul yang bernama Anarko. Dari namanya ketahuan ideologi yang digotong.

 

Demonstrasi penolakan Omnibus Law UUCK, tidak ada salahnya sebagai hak menyampaikan aspirasi. Namun melihat cara-cara yang dilakukan secara barbar dan brutal (tahu ‘kan artinya dua kata itu?), tak bisa tidak itu adalah manifestasi tindakan anarkisme.

 

Maka, dalam diskusi-diskusi kita yang panas, yang lebih muncul memang diskusi wacana, perdebatan semantik. Bukan mengenai apa sesungguhnya masalah yang kita hadapi dan bagaimana kita pecahkan bersama, dicarikan solusinya, dan sepakat atas hal itu dijalankan. Membela buruh tapi tidak ngerti konfigurasinya. Bahkan ada yang membela petani dan rakyat miskin, tetapi tidak ngerti konstelasinya. Dan rerata juga tak bisa meyakinkan apa konsepsinya? Pokokmen, asal menyatakan bela-rasa pada rakyat kecil, rakyat miskin. Itu dianggap sudah juara, superhero baru. Padal, acap hanya sebagai eksploitasi bukannya eksplorasi.

 

Kerusuhan, Konflik, dan Tiadanya Norma. Terjadinya kerusuhan, secara sosiologi, adalah manifestasi adanya anomi (anomie), yang hakikatnya merujuk pada tidak adanya norma. Jika pun ada norma, hal itu sudah tak lagi mempunyai makna. Tidak lagi bisa digunakan sebagai acuan hidup sehari-hari.

 

Dalam kondisi seperti itu, manusia seolah hidup secara minimal, sebagaimana layang-layang. Bertindak menurut  kepentingan sendiri, tidak mengindahkan liyan. Dan bentuknya paling ekstrim, manusia menerapkan yang disebut hukum rimba. Norma yang pada hakikatnya mengatur hubungan kelompok dan individu sesuai  dengan kesetaraan hak dan kewajiban, diganti dengan pola hubungan asimetris. Setiap orang atau kelompok, hanya mendesakkan hak sebagai kepentingan dan mengabaikan kewajibannya. Semua kelompok merasa dirinya paling benar dan pihak lain adalah salah.

 

Tak digunakannya norma normal, tidak hanya oleh rakyat. Kadang malah bermula dari sikap serupa yang muncul dari pejabat negara. Misal paling gampang, pejabat yang arogan, korup, hedonis (contoh, Gatot Nurmantyo yang dulu hanya sebagai Panglima TNI, berapa gajinya? Konon punya istana di Sentul, dan konon punya tiga isteri). Namun, celakanya dalam situasi hidup pragmatis, yang seperti itu (karena kekayaannya, dan bisa membayari orang untuk menuruti kehendaknya), mementahkan keyakinan Marx untuk tumbuhnya komunisme. Karena yang ada hanyalah komunalisme. Dan ada jenis manusia seperti itu, yang bisa diperlakukan seperti itu pula.

 

Banyak faktor menyebabkan hal itu. Bukan hanya pada perilaku dari para individu yang terlibat dalam struktur dan bangunan sistem. Melainkan juga bangunannya sendiri, struktur dan hierarkinya, sama sekali tak memiliki legitimasi kuat. Hal itu bisa jadi juga karena sistem yang berlangsung. Oligarki partai, sitem politik yang elitis, perilaku atau mentalitas yang muncul, entah itu korup atau terjadinya deviasi atau pun bias kepentingan.

 

Situasi Indonesia sangat kompleks, lebih-lebih dalam situasi transisi paska longsornya Soeharto, yang menyisakan soehartoisme hingga kini. Karena sistem politiknya yang elitis, memungkinkan partai politik hanya sebagai alat elite. Demokrasi dengan pemilu, hanya dipakai sebagai siasat mendapat dukungan. Namun senyampang itu, tak ada proses politik di dalamnya. Yang ada hanyalah persoalan dukung-mendukung dan nista-menista. Demokrasi masih berada di level paling bawah, yakni kontestasi untuk berebut kemenangan, dengan menyingkirkan kompetitor, sampai ke akar-akarnya.

 

Teori Konflik Karl Marx yang Tidak Majas. Konflik, baik yang bersifat fisik maupun non-fisik, adalah sesuatu yang inheren dalam hidup manusia. Untuk menjalankan kehidupan keseharian, mencapai tujuan masing-masing, individu maupun kelompok harus bersaing dengan individu dan kelompok lain. Dalam teori Marx (Karl Marx), dan para ilmuwan sosial lainnya, konflik yang sangat tajam, khususnya antara kelas bawah dan atas di satu pihak, dan dipihak lain antara masyarakat secara keseluruhan versus negara, adalah suatu indikasi tentang adanya perubahan sosial yang revolusioner; Perubahan dari masyarakat kapitalis menuju ke komunis.

 

Namun teori Marx itu, tak banyak terbukti di Eropa (Dahrendorf, 1984). Jika pun terjadi, kadarnya terjaga karena mekanisme institusionalisasi konflik. Di situ kemenangan kapitalisme, yang lebih melihat sistem dan mekanisme secara signifikan berpengaruh terhadap perilaku sosial masyarakat.

 

Di Indonesia, keadaannya menjadi lain. Ketika politik menjadi elitis, sementara kaum elit  belum selesai dengan dirinya. Di kalangan atas, demokrasi adalah sebuah kemestian legitimasi, apapun jalannya. Di masyarakat bawah, demokrasi hanyalah prinsip kebebasan menyatakan pendapat.

 

Dalam situasi transisi itulah, kita bisa berada dalam kegamangan. Apalagi ketika lembaga-lembaga negara tak bekerja secara normal dalam proses institusionalisasi konflik. Konflik pecah di jalanan, dan hal itu rawan ditunggangi berbagai kepentingan, dengan persepsi dan perspektif  peran masing-masing. Hanya di negara di mana rakyatnya masih hanya sebagai objek, yang terjadi adalah objektifikasi nilai. Dan itu selalu sumir, juga samar. Apalagi jika memakai politik identitas. 

 

Lihat saja mencuatnya nama Anies Baswedan, Gatot Nurmantyo, Din Samsuddin, AHY, Tomie Soeharto, bahkan yang diam-diam juga terlihat ngebet, Dahlan Iskan. Apakah bisa dilepaskan dengan konfigurasi kompetisi politik dengan Jokowi di sisi lain? Juga bukan rahasia, bagaimana perebutan pengaruh (kekuasaan) acap berlangsung dengan licik. Dengan munculnya istilah demo atau massa bayaran? Menuding demokrasi kita hanya melahirkan istilah kampret, cebong, atau kadrun, itu khas cara pandang kelas menengah untuk menutupi istilah buzzerRp atau influencer bayaran yang disemprotkannya. Mengapa bisa sampai seperti itu?

 

Pada sisi lain, para SJW sebagai intelektual tukang, hanya melihat dari sisi kepentingannya. Tak bisa melihat lebih jauh mengenai kompleksitas masalah, yang dengan mudah dikatakan bukan urusannya. Pandangannya pragmatis dan temporer, hingga tak peduli dengan inkonsistensi ideologinya apa, kecuali kepentingannya. Kapasitas keintelektualannya hanya pada tingkat keterampilan teori. Di mana persoalan konten hanyalah soal narasi.

 

Menyedihkan ada intelektual atau seniman, yang mengatakan karena berbagai ormas, bahkan NU dan Muhammadiyah menolak UUCK, maka dengan begitu dikatakan Presiden keras kepala, bodoh, nekad, pekok, dan sebagainya. Apakah itu ukurannya? Soal penolakan UUCK, bisa ditambahkan, bahkan ada 67 Dekan (mungkin dari Fakultas Hukum) di Indonesia. Bahkan ada pula dosen yang mau memberi nilai A jika ada mahasiswanya yang mau ikut demo menolak UUCK. Kurang apalagi? Tapi apakah itu jaminan kebenaran, dengan menutup dasar pemikiran yang berbeda? Apa ukuran kebenaran? Apakah ormas agama bisa dijadikan ukuran norma normal, apalagi dalam politik identitas?

 

Akar Masalah dari Nilai Demokrasi sebagai Alat. Sayangnya memang komunikasi itu yang tidak ketemu. Duapuluh tahun reformasi, tak memberikan perubahan apa-apa pada berbagai lembaga negara kita. Hingga bagaimana cara kita bernegara, masih juga dijalankan dengan sistem kerajaan. Misal, Jokowi mengundang elite organisasi buruh. Tapi demo tetap berlangsung. Dan baru setelah rusak-rusakan fasum, Said Iqbal ngomong mereka akan menggugat UUCK ke MK, dan seterusnya. Belum lagi di parlemen, mengikuti sidang dari awal tapi di putaran akhir menyatakan ketidaksetujuan. Wakil rakyat hanya sekelas kejar setoran, masih mikirin uang sidang per-D. Kemudian menyatakan walk-out dengan panggung teater aksi demo massa yang tengah berlangsung. Agar mendapat piala Citra. 

 

Jika muncul anarkisme di tengah masyarakat, yang diekspresikan secara brutal dan barbar, semuanya mempunyai akar masalahnya. Dari sana, kita bisa memahami, mengapa di berbagai media, juga tentunya berbagai platform medsos, apa dan bagaimana komentar SBY, Dien Samsuddin, Gatot Nurmantyo, Amien Rais, Tommie Soeharto, Dahlan Iskan, Anies Baswedan, Rizieq Shihab, bahkan Najwa Shihab, dokter Tirta, dan di luar itu para SJW (Social Joker Warrior) yang tak bisa saya sebutkan satu-persatu, apalagi satu per dua, yang artinya setengah-setengah.

 

Dunia internet dan digital, memberikan kita kemudahan untuk melacak jejak, bagaimana omongan mereka, D-per-D. Di mana pemlintiran media, hoax, rumors, fitnah, dan lain sebagainya bisa dibedakan.

 

Persoalan substansinya memang pada penegakkan hukum atau aturan. Di situ masih terjadi ruang kompromi yang lebar, dan belum terbukti Jokowi menurunkan tingkat kompromi yang dijanjikan. Bahkan sampai "akan saya gigit sendiri, dengan cara saya sendiri,” kata Jokowi. Waduh, digigit dengan caranya sendiri? Seperti apa, atau pakai apa? Dengan mengundang Andi Ganie dan Said Iqbal ke istana, misalnya?

 

Di situ kita masih bermasalah dengan norma normal. Juga soal belum terciptanya ruang terhormat untuk kemenangan moral, dengan penegakan hukum, moral force atau pun moral hazzard. Yang muncul justeru Anarko! Meski bukan tanpa sejarah, setelah maraknya politik identitas.

 

Mahkamah Konstitusi, lembaga negara yang membuka ruang rakyat menggugat, yang dibangun paska longsornya Soeharto (berdiri pada era Presiden Megawati Soekarnoputri), tidak diingat sebagai perubahan di era reformasi. Masih saja yang muncul adalah gejolak hatinya, impulsinya. Tidak penting relevan atau tidak. Sudah begitu, mengaku paling benar dan paling pintar, dengan indikator yang bisa kita lihat; Kecenderungan meremehkan atau meniadakan liyan.

 

Padal, Ki Hadjar Dewantara, yang semula adalah Raden Mas Suwardi Suryaningrat, seorang ningrat Jawa, dengan elegan sudah ngendika;Dimana ada kemerdekaan disitulah harus ada disiplin yang kuat.” Disiplin atas apa? Atas kesepakatan bersama, agar kemerdekaan itu bermakna dan terasakan bersama. Di sisi itu, tulis Ki Hadjar, “janganlah orang mengira bahwa dasar kekeluargaan itu mengijinkan kita melanggar peraturan. Kekeluargaan kita adalah sikap kita pada yang takluk kepada organisasi kita.

 

Sebagai keluarga besar, bersama, berembug, berbicara, saling mendengarkan, bergotong-royong, bahu-membahu, itu yang tidak terjadi. “Barang siapa dengan terang-terangan atau dengan sengaja mengabaikan, wajiblah kita memandang dia sebagai orang luaran,” masih tulis Ki Hadjar. Karena masing-masing kita diikat dalam kesepakatan atas aturan, yang harus dijalankan secara disiplin tadi. “Sungguhpun disiplin itu bersifat selfdisiplin, yaitu kita sendiri mewajibkan dengan sekeras-kerasnya.” Namun senyampang itu, masih menurut Ki Hadjar, “peraturan yang sedemikian itu harus ada di dalam suasana yang merdeka.”

 

Bagaimana sampai pada dialektika seperti itu, pada manusia jaman dulu? Sementara generasi yang hidup di teknologi 4.1 ini tingkat literasinya sangat receh? Orang kuna macam Ki Hadjar Dewantara, lebih mengerti makna demokrasi. Yakni kemerdekaan yang bukan hanya pada soal kebebasan, namun juga soal kedisiplinan dan aturan yang memberi ruang pada liyan.

 

Ini memang masih tentang episode jalan panjang, di mana sama sekali kita tak mampu memanfaatkan episode bersama Jokowi, menuju ke episode atau tahapan berikutnya. Apakah momentum kebersamaan ini akan lewat, sia-sia? Bahkan, makbedundug, tak sedikit para SJW kemudian sama-sama mengikuti menghina Jokowi. Hanya karena mereka merasa terhina atas kehadiran Jokowi, S1 fakultas kehutanan, yang semula tukang meubel itu? 

 

Dan kita masih jalan di tempat, dengan bangga. | @sunardianwirodono.

Rabu, September 23, 2020

IDI, DAN ORMAS DAN PANDEMI

Karena Rakyat Hanya Objek Semata

Oleh : Sunardian Wirodono

"Terbukti Covid-19 bisa menjangkiti siapa saja. Dokter dan perawat sudah banyak yang kena, kalau masyarakat sudah kena, tenaga kesehatan juga kena, siapa mau rawat siapa?" kata dr. Arnoldus Tiniap, jubir Pemprov Papua Barat (Antara, 22/9/2020, sebagaimana dikutip Kompas harini).

Waduh! Betapa dahsyatnya jubir yang juga dokter itu. Hal di atas dikatakannya menanggapi terus bertambahnya tenaga medis yang terpapar Covid-19. Pertanyaan pak dokter itu bukan hanya menunjukkan kecemasan berlebihan, tetapi juga kemalasan mencari kata-kata yang menurut Bu Tejo solutip. Karena pernyataan itu hanya memposisikan masyarakat awam tidak mengetahui persoalan kesehatan (berkait virus Corona), atau setidaknya menganggap masyarakat sebagai objek dan bukannya subjek.

Tentu saja pengetahuan medis para tenaga dan ahli medis lebih baik daripada masyarakat awam. Dan tentunya, dengan demikian, karena mereka yang menangani, tentunya sangat mengetahui; mengapa sampai tenaga medis yang tahu medis pun terpapar Cobid-19. Kenapa mereka terpapar padal tahu soal medis?

Celakanya, senyampang itu, pak jubir tadi pun belum tahu data pasti, terkait para medis yang terpapar itu. Katanya cukup banyak. Banyak itu berapa? Kalau ujar Basijo, mongsok banyak setenggok? Itu menunjukan salah satu kelemahan fundamental lembaga modern, apakah itu pemerintah, Departemen Kesehatan, dan bahkan orpro (organisasi profesi, jika tak mau disebut ormas) seperti IDI. Ialah sama sekali tak mempunyai sistem dan mekanisme data, atau manajemen data, yang baik dan terintergrasi. Padal katanya kita hidup di abad 4.1. Masyarakat yang jadi objek pun jadi objek kesalahan. Di situ ketidakadilan terjadi. Dalam penanganan, masyarakat hanya objek, namun kalau terjadi ketidakbecusan penanganan, masyarakat distatuskan sebagai subjek.

Lebih menyedihkan lagi, sang jubir tadi akan melakukan koordinasi dengan pemkab dan pemkot untuk melakukan pendataan itu. Sudah enam bulan berjalan, dan kita masih mendengar kata ‘akan’? Masangowoh! Ngapain saja selama ini? Belum pula dari Indonesia Timur pula, Humas IDI Makassar mengatakan; rapid test tak bisa dijadikan acuan orang positif atau negatif corona, karena “Hasil rapid test positif maupun negatif itu semua palsu dan alat itu bukan rekomendasi IDI.” (Kompasdotcom, 21/9/2020). Setengah tahun berjalan, dan ada alat tanpa rekomendasi IDI bisa berjalan, untuk tes kesehatan?

Jadi, apa persoalan kita sebenarnya? Belum lagi ketika IDI menyampaikan kecemasan, bahwa Indonesia berkemungkinan menjadi episentrum dunia dalam pandemi virus corona ini. Hal itu katanya bisa terjadi jika ‘penanganannya masih demikian’. Lho, siapa yang menangani? Pemerintah? Bukannya dokter atau para ahli kesehatan? “Masih saja demikian’ yang bijimana? Jika meminjam pernyataan dr. Arnoldus, kalau IDI pun cemas, siapa yang akan menangani kecemasan itu? Psikiater?

Sebagai anggota masyarakat awam, sebagai rakyat Indonesia yang ber-KTP, dan berkelakuan  baik dan benar (a.l. baru saja melunasi tunggakan BPJS selama 3 bulan, walaupun tak punya penghasilan berkat pandemi, memiliki NPWP yang setiap penghasilan terpotong pajak untuk negara, dan tak permnah menerima sepeser pun bantuan Pemerintah –kecuali utang pada temen-temen saya-- saya kecewa dengan berbagai pernyataan Pemerintah dan IDI.

Saya kira benar, bahwa rapid test, pengukuran suhu dengan alat thermometer bukan jaminan. Tapi, melakukan deteksi suhu badan sebagai indikasi, tanpa pencatatan data sama sekali, bagi saya kebohongannya jauh lebih bullshit. Mangsud saya, pada setiap gate, pintu masuk gerbang ke gedung/ruang atau lembaga publik, mestinya setiap pendeteksian masing-masing itu juga didampingi tenaga medis, atau setidaknya didata, dan kemudian dimasukkan ke bank data yang tersentral secara nasional. Bahwa si Polan dengan NIK sekian, datanya begini. Dari data yang terintegrasi secara nasional, dan update mengikuti pergerakan per-indivisu, akan dengan sendirinya kita dapati data pergerakan manusia di ruang-ruang publik. Itu tugas siapa? Pemerintah atau IDI? Atau keduanya sibuk saling tuding dan menyalahkan? Itu bukan fokus kritik saya. Karena keduanya bisa sama buruknya.

Mari kita coba membaca data. Jika dikatakan jumlah kasus Covid-19 mencapai 236.315 kasus, dan dari jumlah itu mencapai kesembuhan 170.774 kasus, apakah artinya yang terpapar tetap 236.315, dengan catatan yang sembuh 170.774? Bukannya yang terpapar (masih terpapar atau sakit) tinggal 65.745? Bagaimana kita membaca data (di luar angka kematian) ini? Mau optimistik, atau khas kaum oposan, seterah kacamatamu, atau matamu!

Artinya, dari sekian total jumlah yang terpapar pun, dengan penduduk yang tersebar ke berbagai kepulauan, berjumlah 270-an juta jiwa, artinya yang “belum terpapar” jauuuuhh lebih banyak. Ini mau didiamkan saja? Nunggu mereka antri terpapar, atau dilakukan pendampingan, edukasi, pembinaan, dan sebagainya berkait pandemi? Tergantung pada centhelan.

Kalau centhelannya hanya memposisikan masyarakat sebagai objek, pemerintah dan para ahli medis boleh ngomong seenak jidat, karena seenak perut nggak ada yang enak. Jika tenaga medis terkena siapa merawat siapa? Jawaban saya sebagai saya, sayalah yang merawat saya. Karena saya tidak mau terkena penyakit, saya berupaya sehat. Dengan gaya hidup dan konsumsi yang terukur. Agar produksi imunitas saya tumbuh. Apakah ada gerakan Pemerintah dan gerakan IDI dalm melakukan sosialisasi, pendampingan? Pembinaan aktif ke masyarakat, turba, di luar himbauan tertulis via berbagai linimasa medsos? Dengan cuap-cuap di medsos, hanya itukah tanggungjawabnya secara sos?

Kecuali jika IDI tidak menyatakan; bahwa kondisi tubuh manusia sama sekali tak punya daya kekuatan melawan virus. Dikit-dikit harus pakai obat, itu pun obat merk tertentu, sesuai rekomendasi dokter. Padal, kalau sampeyan bertuhan, tuhan ‘sudah bikin’ manusia dengan organ tubuh yang organized dan compaq. Sampai mekanisme pertahanan seperti bersin, batuk, demam, hingga akhirnya pasukan darah putih, sebagai garda otomatis melawan berbagai virus dalam tubuh kita. Itu kata ahli medis lho, bukan tuhan!

Jika kita hanya ngomongin penanganan yang terpapar terus-menerus, artinya penanganan pandemi ini hanya terfokus mengatasi yang terpapar atau tergejala. Karena tak bisa merumuskan secara medis, di Indonesia ada istilah OTG, orang tanpa gejala. Bagaimana bisa, tanpa gejala kok terkena? Jangan-jangan yang mendefinisikan OTG itu termasuk OTG juga? Orang Terindikasi Goblog? Hukum alam itu tak ada akibat tanpa sebab, tak ada sebab tanpa akibat. Jangan hanya karena males, dan tidak tahu, kemudian asal bikin istilah. Dengan kritik ini, jangan kemudian muncul istilah ODGyBJG (Orang Dengan Gejala yang Belum Jelas Gejalanya).

Padal, di luar PSBB yang hanya memposisikan masyarakat sebagai objek, masih banyak cara untuk menjadikan masyarakat sebagai subjek pelaku. Yakni PSBB Perjuangan (karena bukan protokol pemerintah dan IDI), yakni Perilaku Sehat Berdasar Bahagia Perjuangan. Karena bahagia itu sekarang harus diperjuangkan, di tengah banyaknya pernyataan yang tidak etis, tidak mendidik, dan bahkan diam-diam menunjukkan agenda terselubungnya. Apa itu, ya entahlah. Namanya saja terselubung, kalau saya yang awam tahu, bukan lagi terselubung namanya. Mungkin namain saja Mawar.

Jika IDI cemas soal episentrum, saya juga bisa lebih cemas IDI kemudian sebagaimana ormas lainnya. Meski atas nama profesi, lebih tampak sebagai pressure group untuk kepentingannya sendiri, atau kepentingan elitenya. Gejala ormas dan orpro hanya sebagai alat politik (dan ekonomi), terutama  bagi elite pengurusnya, adalah penyakit nyata sejak Orbasoe. Sulit kita berantas hingga hari ini. Termasuk ormaspol maupun ormasag. Tahu ndirilah, singakatan apa keduanya itu. | @sunardianwirodono

Kamis, September 17, 2020

GENERASI MILENIAL & KETERBELAHAN BANGSA

Terjebak dalam Kutukan Sejarah tak Berkesudahan

 

Oleh Sunardian Wirodono

 

Apakah gorengan tahunan bulan September kini sudah menyepi? Karena ada proyek baru bernama Kamidin (kami-nya Din Samsuddin dan Gatot Nurmantyo cum suis)? Kayaknya sih tidak. Cuma sekarang ganti modus. Dengan garis melingkar, membenturkan PKI lewat praktik ‘kesadisannya’ dalam membantai umat Islam beserta ulama.

Dari buku ‘Banjir Darah’, kemudian sampai ke rangkaian terakhir penusukan Syekh Ali Jaber. Senyampang itu, diungkit-ungkit pula nama Sukarno, yang secara impresi dibedakan dengan Soeharto sebagai Orla dan Orba. Cap Orla, dengan sebarisan program politik yang didukung oleh PKI, didengungkan kembali.

Menariknya, ketika menyinggung Sukarno, yang ‘ternyata’ bapaknya Megawati, ketua umum PDI Perjuangan, kebetulan pula ada pecatunya dengan ucapan Puan Maharani soal Pancasila di Sumatera Barat. Muncul bau sangitnya dengan mengungkit Arteria Dahlan, anggota DPR-RI fraksi PDIP, yang katanya cucu elite PKI. Meski untuk tudingan itu telah dibantah dan pembuat isu sudah dilaporkan secara hukum. Persis ketika dulu Riba Ciptaning, juga dipersoalkan karena anak PKI dan anggota legislatif (lagi-lagi) dari PDIP.

Saya tidak dalam rangka ingin membenturkan paham-paham yang saling bertolakbelakangan itu. Hanya sekedar mengingatkan, jika berkonflik atas nama kepentingan apapun, di masa kini dan depan, janganlah mengacaukan sejarah. Mempersepsikan masa lalu berdasar preferensi politik yang dibangunnya sekarang. Karena pastilah hal tersebut hanya akan membuat negara dalam keterbelahan tak berkesudahan.

Konfigurasi konflik islam (atau sebutlah agamaisme) versus nasionalisme yang di sisi lain oleh pihak agamaisme selalu dituding sebagai ‘rekanan’ komunisme (atau lebih tepatnya lagi PKI), akan menjadi semacam kutukan sejarah, atau lebih tepatnya mungkin jebakan sejarah. Dari konfigurasi itu, kemudian mengerucut pada kepentingan praktis kontestasi politik kontemporer kita. Entah itu bernama parpol eksklusif agama versus parpol berpaham sekuler (yang kadang diserimpung dengan pengertian atheis, komunis, dsb).

Meskipun persoalan itu adalah masalah dasar kita, sejak ketika Sukarno dan kawan-kawan, hendak membangun negara Indonesia ini. Hingga sampai pada kompromi dengan dimunculkannya Pancasila. Meskipun soal penuntutan ‘kalimat’ menjalankan syariat Islam kini agak dikaburkan oleh kelompok agamaisme, melihat kasus terakhir berkait pancasila, trisila, dan ekasila. Lagi-lagi, diperhadapkan dengan PDIP, dan kita tahu PDIP itu apa (dalam persepsi kelompok agamaisme).

Pergulatan elite republik ini, dengan konfigurasi seperti definisi Sukarno pada nasakom, nyata-nyatanya tak mampu menyelesaikan ego sejarah masing-masing. Kata toleransi dan intoleransi yang sederhana, menjadi rumit pemaknaannya. Dan ketika para gajah saling tarung, pelanduk mati di tengah-tengah. Kita, rakyat jelata, dan khususnya generasi baru Indonesia, yang ingin melepaskan dari jebakan sejarah (konflik) itu, dengan menemukan mimpi serta harapan pada Jokowi (sebagai genealogi yang dirasa bisa terbebaskan dari stigmatisasi politik), menjadi korbannya.

Sampai kapan Indonesia akan seperti ini? Apakah Indonesia Emas 2045 akan nyata? Pada titik itu, jika saya mendukung Jokowi, karena berharap itulah titik awal kita. Menjauh dari kompetisi unfaedah dari konflik masa lalu, yang sampai kini tak berkesudahan. Bahkan, oleh para pihak yang berkepentingan pragmatis, hal itu sering hanya dipakai sebagai objektifikasi kepentingan masing-masing.

Bersama Jokowi sebagai representasi kebaruan dalam kepolitikan Indonesia, kita (maksudnya genealogis politik baru Indonesia), mestinya bisa membebaskan diri dari jebakan sejarah. Menelorkan tradisi kepolitikan baru, tidak terkungkung pada egoisme dan romantisme orla-orba, agamaisme-nasionalisme. Secara perlahan mendamaikan serta memaknai sebagai proses pembelajaran, untuk lebih fokus dan kembali pada kebersamaan sebagai bangsa. Tapi perselingkuhan pragmatisme politik, yang juga dimanfaatkan para oportunis politik, membuat mimpi masa depan kembali menjadi fatamorgana. Apalagi ketika oligarki partai politik memang hanya mementingkan kepentingannya sendiri.

Pada  posisi dan dalam situasi transisi itu, lepas dari persoalan teknis pemerintahan sekarang, saya tidak menyesal mendukung Jokowi. Dan tetap optimis untuk mendapatkan model-model kepemimpinan baru, yang sekarang ini memang belum muncul. Yang muncul selama ini, sebagaimana dengan mudah kita bacai di seluruh media kita hingga hari ini, masih representasi kepolitikan jadul kita. Apapun gaya politik mereka, yang sama-sama menyebalkan itu.

Mungkin saja ada pendapat terlalu mewah memposisikan Jokowi, Sri Mulyani, Basuki Hadimulyono, Retno Marsudi, Mahfud MD, Susi Pujiastuti, Basuki Tjahaja Purnama, sebagai sebuah prototype. Saya belum tahu bagaimana model Erick Thohir nantinya. Namun model-model seperti itu, lebih relevan untuk Indonesia masa depan. Saya bicara tentang relevansi, bukan dalam skala cerdas atau dungu. Kalau bicara mengenai kecerdasan, Rocky Gerung kurang apa cerdas sekaligus dungunya? Kita tak sedang biacara sosok yang tidak relevan.

Bukan mereka sebagai sosok atau figur, apalagi dikaitkan politik kepentingan 2024. Tetapi prototype, model-model. Karena dengan prototype lama, negara seperti AS pun bisa terjebak memilih presiden model Donald Trump. Dan itu tragis. 

Saya hanya berharap, generasi anak-cucu saya tidak mengalami hidup susah seperti sekarang ini, hanya karena elitenya tak tahu diuntung.  Dan lagi-lagi kita gagal membangun sistem, serta menegakkan hukum. | @sunardianwirodono

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...