Jabatannya, Kepala Sampan, itulah
Badrun, 21, seorang pemuda Suruh Tembawang. Kepala sampan, posisinya di
ujung sampan, dia yang akan memberi arah ke mana sampan melaju menyusuri
sungai, memberi aba-aba pada juru-mudi yang memegang
mesin speedboat. Apalagi jika laju sampan melawan arus, ia harus benar
dalam memberi arah, sebab kalau tidak, sampan bisa kandas ngebentur
batu-batu besar meski di tengah sungai dan dalam arus yang tenang.
Kadang, ia juga mesti membantu dengan galahnya, terutama ketika
menerabas air beriak, karena hamparan bebatuan dan pada permukaan sungai
yang dangkal.
Jebolan SMP di Entikong ini, pernah bekerja di
Malaysia, tapi hanya betah tak sampai sebulan, karena dipekerjakan
sebagai petani di kebun sayur. Ia melarikan diri melewati jalur tikus,
sungai-sungai kecil (selebar satu meter) yang banyak terdapat di
perbukitan batas antara Malaysia-Kalbar. Tak sempat ambil gaji meski
jumlahnya 400 ringgit (sekarang sekitar Rp 1,5 juta).
Menjadi kepala
sampan, sekali narik ia bisa mendapat Rp 175 ribu, jika PP bisa
mendapat upah Rp 300-an ribu. Jika saja selama sebulan ia mau kerja 20
hari saja, Rp 6 juta bisa dikantongi. Sebagai anak Dayak, Badrun
beragama Kristen, meski tak rajin ke gereja (walau pun gereja banyak
bertebar di dusun-dusun suku Dayak). Ia ingin menikah dengan gadis Jawa,
karena beberapa kali patah hati dengan cewe Dayak. "Kita cari cewek
yang setia, Bang,..." katanya.
Dengan pendapatan besar, Badrun
bukanlah pemuda kaya, meski kini ia tengah menabung untuk membangun
rumah sendiri. Maklum, biaya hidup di kampung sangat tinggi. Untung saja
ia bisa ulang-alik dari desanya ke Entikong dengan gratis (dapat duit
malah), karena kalau pas turun pada siang atau sore hari, dipastikan
sampai Entikong malam, dan ia harus tidur di kota kecamatan. "Nah,
disitu godaannya banyak, Bang,..." cerita pemuda Dayak Sukung ini
mengajari saya soal kopi pangku.
"Apa itu?" tanya saya mulai curiga dengan ketawanya.
"Cewe-cewe di kafe, Bang,..." katanya sambil tertawa.
Di Entikong, banyak kita jumpai kedai kopi. Antara Landak-Entikong,
bahkan kedai-kedai kopi berlampu kerlap-kerlip, dikenal dengan istilah
"Texas". Di situ kopi pangku terdapat, meski jangan cari kopi di sana,
karena yang ada kebanyakan minuman beralkohol sampai minuman penambah
kekuatan macam Tongkat Ali dari Malaysia.
"Itu, Bang, kadang duit habis di situ, padahal cuma ngobrol saja,..." katanya.
"Tapi sambil mangku?"
"Itu pandai-pandai kita ngajak ngobrol saja, Bang. Cuma harus bayar
untuk bir dia,..." katanya sambil menjelaskan kalau JD's atau Hnk, satu
botolnya bisa keluar duit sampai Rp 500.000. Kalau berbotol-botol?
"Soal nyari calon isteri yang setia, macam mana pula?"
Dia menunjukkan handphonenya yang dibeli di Malaysia, entah apa
merknya, dan menjawab sambil ketawa, "Cari di fesbuk, Bang,...!"
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar