Senin, Desember 18, 2023

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO


Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan salah mikir, akan berkibat luas dan luar biasa. Dalam keadaan normal maupun darurat.

Jokowi yang menjadi penguasa sekarang ini, contoh yang baik untuk kasus ini. Baik dalam konteks relevan; Tentang bagaimana akibat-akibat dari semua keputusan politiknya, yang mempengaruhi hajat hidup banyak orang, atau segelintir ordal. Juga contoh baik tentang hal-hal yang perlu dikritisi dan disembunyikannya. Apalagi ketika Pratikno sebagai Mensesneg mengatakan lupa, dan stafsus Presiden dengan naif mengatakan “tidak ada dalam catatan agenda kepresidenan”. Politik kekuasaan, tak senaif itu.
 
Satu-satunya penggambaran ideal mengenai seorang pemimpin, mungkin secara kritis dan terbuka, justeru bisa kita dapatkan dalam pidato sambutan Ketua Panitia Haul ke-14 Gus Dur, yakni Inayah Wahid (17/12/23). Dibandingkan Cak Lontong, yang disebut komedian cerdas, Inayah adalah seorang komedian genuine. Bisa jadi karena mentornya adalah Gus Dur. Ia bisa menjadi lebih independen dan otentik. Barangkali karena tanpa pretensi. 
 
Jokowi sendiri dalam pidato pelantikan di parlemen, menyatakan prihatin dengan persoalan cara kita berdemokrasi. Yang dinilainya mulai menjauh dari nilai-nilai etika, kesopan-santunan dan adab sebagai bangsa sebuah negara berdasarkan Pancasila. Tetapi bagaimana dalam praksis kekuasaannya? Kita justeru bisa melihatnya dari apa yang menggonjang-ganjingkan situasi politik kita hari ini.
 
Mengutip pikiran Gus Dur ketika mendirikan Fordem (Forum Demokrasi) di tahun 1990, Inayah juga mempertanyakan tentang seolah-olah demokrasi pada hari-hari ini. Yang semuanya itu menggambarkan persoalan fundamental kita, mengenai etika atau adab itu, justeru masih menjadi masalah di kalangan elite politik. Bahkan pada mereka yang sedang mempunyai kekuasaan dan/atau yang ingin melanjutkannya. 
 
Sementara yang disebut pesta demokrasi, berkait Pemilu –Pileg maupun Pilpres, lebih ribut soal elektoral, angka-angka, menang-kalah. Kalaupun ngomongin benar-salah, konteksnya penuh bias karena didominasi masing-masing kepentingan. Apalagi kini, dalam kaitan menang dan kalah itu, pesta demokrasi kita sampai pada taruhan Alphard, justeru dilakukan pada level mereka yang menjadi jubir, timses, bahkan analis politik. Betapa mahalnya demokrasi kita, di hadapan rakyat jelantah, yang selama ini dijadikan objek permainan kekuasaan bernama demokrasi.
 
Sementara kian hari kian memperlihatkan, bagaimana (utamanya) Pilpres 2024 ini. Terakhir-terakhir, makin terasa menjelaskan, pertarungan apa yang terjadi. Munculnya istilah ‘badak vs banteng’, menjelaskan hal itu. Ada dua pertarungan besar, yang diwakili koalisi Jokowi di satu sisi, dan koalisi yang berseberangan dengan kepentingan koalisi itu. 
 
Jika melihat isu utamanya, koalisi Jokowi jika dicermati justeru berkecenderungan mengebiri spirit Jokowisme. Bukan akan melakukan keberlanjutan sebagaimana yang sering dikatakan secara verbal, tetapi ke pengikisan perlahan. Untuk kemudian ketika kekuasaan penuh di tangan, Jokowisme akan tersingkirkan dengan sendirinya. 
 
Pada perjalanan pemerintahan Jokowi periode ke-dua, all the president’s men dipenuhi para teknokrat dan orang-orang dengan orientasi pembangunanisme. Jokowi sedang melakukan kapitalisasi dan investasi politiknya. Namun, birokrasi tampak bersih di dalam, banyak masalah di lapangan. Dari persoalan tambang, pertanahan, BUMN, muncul berbagai konflik of interest. Tidak ada visi menteri, yang ada visi presiden. Tapi beberapa anggota kabinetnya terjebak korupsi, menunjukkan anomali itu. Tak ada pengawasan atau kontrol Presiden, sebagai pemilik visi yang konon sangat detail --dan punya sumber informasi canggih, atau pembiaran? 
 
Menariknya, Indonesia yang terikat dengan konvensi perjanjian international, berkait perlindungan pada hal-hal tertentu, bertabrakan dengan ‘pembangunanisme’ yang berpotensi konflik. Kasus di Kendeng, Wadas, contoh soal seperti itu, dan pemerintah pusat bisa gampang cuci tangan untuk mencari siapa bisa dikorbankan. Kawasan pertanahan yang masuk dalam ‘lanskap kebudayaan’ yang proyek-proyeknya didanai Unesco, bertabrakan dengan orang-orang dekat kekuasaan, yang acap memaksakan kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok. 
 
Kini bergabungnya Prabowo dan Luhut Binsar Panjaitan, dalam satu barisan, dengan para pendukung yang menyadari posisi lemah mereka --seperti SBY, apalagi Wiranto, Agum Gumelar, hanya menunjukkan apa yang terjadi. Bahkan, Titiek Prabowo dari kubu Cendana, kini adalah ditahbiskan sebagai dewan pembina partai Gerindra. Prabowo dan Luhut bukan sekedar prototype militer, tetapi militer bekas di Indonesia yang sejarahnya lahir dari Orde Baru Soeharto.
 
Dalam survey Litbang Kompas terbaru, yang tak banyak dibicarakan, elektabilitas Gerindra menjadi tertinggi. PDIP kedua, tetapi Golkar sebagai ke-tiga, selisihnya dua kali lipatnya. Gerindra mencapai 21%, PDIP 18%, Golkar 10%. Bagaimana bisa? Karena Golkar bisa jadi sudah tak bergigi, atau setidaknya kepemimpinan sektor pewaris Orde Baru itu, berpindah dari Airlangga Hartarto yang lemah ke Prabowo, yang dianggap lebih strong.
 
Bersatunya oligarki dan kekuasaan itu menjadi nyata. Jokowi adalah tunggangan yang baik. Pragmatisme kepemimpinannya --karena itu nir ideologi, memposisikan dirinya butuh pendukung, bukan pengarah. Perpisahan Jokowi dengan Megawati, bisa dilihat dalam perspektif ini.
 
Di mana rakyat jelantah? Itu cukup dengan bansos, blt, impor beras, dan seterusnya. Ditanyai terus soal jenis-jenis ikan, tetapi tak pernah diberikan pancing. Kapan bangsa ini mau mandiri? Tentu saja kelak kalau pendekatan kebangsaan dan kenegaraan ini, sesuai sesanti Bung Karno, jika sudah ‘rakyat kuat negara kuat’. A hungry man is not a free man. Mereka tak butuh ideologi. Never argue at the dinner table, for the one who is not hungry gets the best of the argumen, ujar Richard Whately, ahli logika, teolog dan ekonom abad 18 dari Inggris. 
 
Mangkanya, jangan berdebat di meja makan. Bagi orang yang tidak lapar, dia selalu mendapat posisi yang terbaik dari argumen ini. Dan Jokowi, dari pelajaran pertama yang didapatnya di Solo, memakai meja makan sebagai tempat diplomasi politiknya. Termasuk ketika mengundang makan artis dan para pelawak pun. Waktu itu, mungkinuntuk menertawakan Prabowo, sebagai lawan politiknya. Kini bisa sebaliknya. |@sunardianwirodono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...