Tubuhnya kurus, kecil. Siapa menyangka ia adalah salah satu dari komandan OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang sangat disegani. Tapi, Daud Anisson, 71 (lahir 1 April 1942), menganggap semuanya masa lalu. Ia tak mau bertutur mengenai itu. “Yang penting, bagaimana nasib anak cucu saya besoknya,...” kata kepala suku Bugison ini.
Demi nasib anak cucu itulah, empat tahun lalu ia terbang ke Jakarta, dengan biaya dari handai-taulan menjual sapi dan babi. Dengan telanjang kaki ia temui Menteri PU Joko Kirmanto. “Yang kami inginkan adalah bagaimana pemerintah Indonesia memikirkan nasib rakyat kami, membangun wilayah, menyediakan jalan,...” itu tuntutan Daud Anison yang sesekali menyelipkan istilah Jawa dalam dialeknya.
Masa lalu Daud, tampaknya kaya. Ia pernah pergi ke Jawa dan Singapura. Pernah menjadi tenaga sukarela ketika Prabowo Subianto memimpin operasi pembebasan sandera Mapenduma (menyelamatkan nyawa 10 dari 12 peneliti Ekspediti Lorentz '95 yang disekap oleh OPM, 1996).
“Berapa luas daerah kekuasaan Bapa?” saya bertanya pada kepala suku yang ke mana pergi dikawal seorang personil dari Brimob, bersenjatakan senapan laras panjang dan berkendara sepeda motor Suzuki Trail.
“Sejauh kau bisa memandang semua ini,...” kata Daud ringan saja.
Dan di titik nol puncak bukit Sawiyabiyus (masuk wilayah administrasi Skanto, distrik Keerom, Kabupaten Jayapura) yang berbatasan dengan Papua New Guinea, terasa betapa tak bertepinya daerah kekuasaan atau tanah miliknya itu. Sebuah jalan perintis kini sedang dibangun, sepanjang 10 kilometer, membelah Sawiyabiyus. Sawiyabiyus artinya ‘gunung dan laut menyediakan kehidupan’.
Daud meminta pemerintah membuat jalan itu, karena ia ingin mengajak sanak-saudaranya menggarap tanah lingkungannya, untuk pemukiman dan pertanian, yang kemudian diberi nama “Kampung Persiapan Inisiatif”. Ini menempati tanah kekuasaan tanah ulayat Daud Anisson. Dia membagikan 500 kapling bagi siapa saja yang mau, disediakan 1 hektar tanah gratis, dengan syarat segera dalam waktu 6 bulan harus bangun rumah, meski semi permanen. Jika tidak maka tanah akan dimintanya kembali.
“Warga pendatang boleh ikut?”
“Monggo. Indonesia ini dari Sabang sampai Merauke,” kata Daud yang humoris itu. “Tanah ini tidak akan habis untuk dihuni semua yang mau tinggal di sini,...”
Sayang, putra tunggal Daud yang dipersiapkannya, tewas dalam sebuah kecelakaan. Kini Daud tinggal dengan isteri serta beberapa kerabatnya di Keerom.
“Hanya dengan satu isteri?” tanya saya menyelisik.
“Inggih. Di sini, satu,” Daud Anisson berbisik.
“Di sana?”
“Banyak,...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar