Sampah dalam pengertian kita, adalah sampah. Tak ada makna lain, selain
sesuatu yang sudah dianggap tidak berguna, kekotoran, sesuatu yang
tersisa dan mesti dibuang, dan mungkin bau busuk, sumber penyakit,
dan seterusnya yang buruk-buruk. Di Jakarta, selain sumber penyakit,
sampah juga salah satu penyebab banjir, karena kedisiplinan warga yang
rendah dalam urusan sampah ini.
Sebagai negara terbesar ke-empat
dalam jumlah penduduk, kita bisa bayangkan, berapa produksi sampah kita
tiap hari. Jakarta, sebagai ibukota negara, tiap hari memproduksi 6.500
ton. Sebagian besar dari sampah rumah tangga (53%), selebihnya sampah
industri.
Ketika mengunjungi Kota Stromstad, Swedia, saya melihat
sampah yang ajaib. Kota Gothenburg sangat rapi. Bangunan tua masih tetap
anggun di antara bangunan baru yang juga menampilkan wajah klasik.
Taman kota dan ruang terbuka bagi rakyat berekreasi. Tua-muda, pria,
perempuan, penduduk kota dan pelancong berbaur di taman dan ruang
terbuka kota. Betapa beda dengan Jakarta, dan kota-kota besar Indonesia
lainnya.
Kemakmuran Swedia, bukan datang dari sumber daya alam,
melainkan dari keunggulan sumber daya manusia. Kemajuan teknologi dari
negeri asal mobil Volvo (yang banyak dinaiki politikus busuk kita) ini
sungguh luar biasa. Swedia menempati peringkat teratas di bidang inovasi
dan pemanfaatan teknologi, mengalahkan Amerika Serikat, Jerman, dan
Inggris. Dengan kemampuannya itu, semua produk primer diolah dengan
sangat baik hingga nyaris tanpa waste atau bagian produk yang terbuang
sia-sia.
Yang paling mengesankan, negara ini dikenal sangat maju
dalam pengelolaan sampah. Dalam data statistik Eurostat, jumlah sampah
yang menjadi limbah di negara-negara Eropa adalah 38 persen. Swedia
berhasil menekan angka itu menjadi satu persen. Swedia adalah negara
terbesar ke-56 di dunia, dikenal memiliki manajemen sampah yang baik.
Mayoritas sampah rumah tangga di negara ini bisa didaur ulang. Dampaknya
Swedia kini kekurangan sampah untuk bahan bakar pembangkit energi.
Yang paling gila, Swedia kini mengimpor 800 ton sampah per tahun dari
negara-negara tetangganya di Eropa. Sampah-sampah ini sekaligus untuk
memenuhi program Sampah-Menjadi-Energi (Waste-to-Energy) di negara itu.
Dengan tujuan utama mengubah sampah menjadi energi panas dan listrik.
Tingkat kemiskinan di Swedia termasuk paling rendah di dunia, dan
pembagian kekayaannya cukup merata pada populasi penduduknya. Tidak ada
slogan yang lebay di sana, seperti "Berbenah. Maju. Tingkatkan
Kesejahteraan Rakyat" seperti kemarin diyel-yelkan di Sentul.
Menurut laporan Eurostat, setiap penduduk di Swedia memproduksi sampah
hanya tujuh kilogram saja pada 2009. Bandingkan dengan penduduk Inggris
yang memproduksi 260 kg sampah per orang. Sebaliknya, Swedia membakar
235 kg sampah per orang, sementara Inggris hanya 9 kg. Dari total sampah
yang diproses, hanya menyisakan 4% limbah saja. Dengan ini, Swedia
memimpin pemenuhan arahan berkelanjutan Uni Eropa 2020 (Euro 2020
sustainable directive), sekaligus pionir dalam pemanfaatan sampah untuk
energi.
Weine Wiqvist, Kepala Asosiasi Perdagangan Manajemen
Persampahan Swedia mengatakan, ada tiga keuntungan yang diperoleh Swedia
dari sampah. Pertama, Swedia mendapatkan uang dari negara lain yang
memberikan sampah mereka. Kedua, Swedia mendapatkan uang dari penjualan
energi hasil pembakaran sampah. Ketiga, Swedia juga bisa menjual sisa
sampah tak terbakar yang sering berupa logam.
Mendengar hendak
dijalinnya kerjasama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, yang
telah berdiskusi dengan Gubernur DKI Jakarta Jokowi (hadeuhhh, Jokowi
lagi) untuk memanfaatkan sampah di kota Jakarta agar bisa menghasilkan
listrik, cukup melegakan. Akhirnya, ada juga sedikit orang waras yang
mau memecahkan masalah. Karena selama ini, yang ada hanya pembuat dan
sumber masalah, tanpa jalan keluar khas politikus dan pejabat negara
kita. Jika Jakarta bisa menjadi pelopor, dengan sumberdaya sampahnya
yang luar biasa, sebagian permasalahan ibukota negara ini akan
teruraikan. Dan pasti itu bisa menginspirasi kota-kota lainnya untuk
lebih kreatif dan inspiratif dalam mengelola wilayahnya. Orang-orang
seperti Jokowi dan Kamil Ridwan (walikota Bandung) misalnya, patut
diacungi jempol, meski yang tidak suka mereka boleh mengejek dan
memfitnahnya. Kita percaya pada kata Pak Presiden Sukarno; Bersatu
karena kuat, kuat karena bersatu! Selama ini, mengolah sampah menjadi
berkah hanya diinisiasi segelintir voluntir, para relawan dan pahlawan
tanpa liputan dan citraan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar