Apakah topik kita hari ini di ruang-ruang maya? Masih
tetap dari topik kemarin lusa dan kemarin hari? Makin kenceng? Di dunia
maya, semua hal, semua topik yang biasa akan menjadi kelihatan sangat
luar biasa, tapi masalah yang luar biasa juga bisa begitu terkesan
sangat biasa saja.
Jangankan ruang-ruang maya, ruang publik kita dibangun dengan aneka rupa wacana. Ada yang pandai
menghitung hingga trilyunan, namun ada yang tertatih dan terjerembab
dalam hitungan belasan saja. Ada yang mampu menafsir goa-goa sunyi yang
bergantungan di langit, ada pula yang sedang belajar alifbata dengan pen
elektronik karena terbujuk iklan home-shopping di televisi. Ada
yang,...
Dan tiba-tiba, semua itu dicemplungkan di kubangan yang
sama, dipertemukan dengan anak kunci gadget yang sama, entah bernama
handphone 3G multi visual, BB, atau handphone bikinan entah yang sekali
banting dua-tiga pulau terlampaui. Maka kita melihat sebuah tragik
komedi, ketika komunikasi itu lintang-pukang tak jelas ke mana arah.
Yang terjadi bukan dialog melainkan berbagai judgment, penilaian, dengan
menyeret-nyeret berbagai literatur dari kasanah masing-masing.
Yang pinter akan mencanggih-canggihkan kata. Yang bermoral akan
memoral-moralkan wacana. Yang absurd akan lebih gila membuat masalahnya
menjadi kian absurd dan akut.
Padahal, semuanya sesungguhnya
sederhana. Yang membuatnya mbulet, lebih karena siapa berbuat apa.
Sangat Indonesia, karena jargon kita selama ini bukan pada "apa"
melainkan "siapa". Kita selalu merindukan hero dengan prototype
pabrikan. Makanya dulu ada majalah berita dengan rubrik "apa dan siapa".
"Siapa"-ya jauh lebih menonjol. Bukan pada "apa" yang kita katakan dan
lakukan, tapi "siapa" yang mengatakan dan melakukan. Itu so sexy!
Jangankan soal yang canggih, yang basic saja, jika ada laki-laki belajar
masak atau kecantikan, hal itu akan menjadi persoalan. Lelaki kok
belajar kayak gituan? Siapanya jauh lebih penting daripada apanya.
Tidak yang di kampung-kampung becek, di udik-marudik, maupun yang baru
pulang dari Sorbone ataupun Ohio. Apalagi kalau itu temen, kacau deh
logikanya!
Di tambah, itu tadi, dalam dialog di ruang hampa, yang
dibangun dengan monolog-monolog dari ruang dan waktu masing-masing. Belajar dari kasus Sitok Srengenge, kita memang mesti terus belajar tentang keadilan dari sejak kita berpikir, bahkan bagaimana berpikir tentang keadilan itu sendiri.
Lho,
kok jadi inget Butet Kartaredjasa sang Raja Monolog itu ya? Hari ini,
kamu lagi monolog apa dialog, Tet?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar