Pada tanggal 22 Desember, banyak bertebar ucapan selamat
hari Ibu. Ada pula yang menyamakan sebagai Mother's Day. Samakah? Beda
jauh. Juga beda jauh dengan makna sebelumnya, karena justeru "semangat
hari Ibu" hari-hari ini justeru
dikembalikan ke ranah domestik, seperti jaman Orde "Soeharto" Baru
membelokkan peran kaum perempuan Indonesia dari ranah publik ke ranah
domestik. Kalau pun KPU mensyaratkan minimal 30% caleg adalah kaum
perempuan, hal itu terasa artifisial dan Soeharto banget. Lihat saja
iklan-iklan parpol, caleg dan bahkan capres, di media cetak atau pun di
televisi, yang seolah peduli (care) pada kaum perempuan, sibuk
mengucapkan Selamat Hari Ibu. Tapi ucapan itu jadi ahistoris, dan
kehilangan spiritualitasnya (jika tak mau disebut kehilangan moralitas
dan substansinya).
Jauh sebelum Soeharto berkuasa, peran Perempuan
Indonesia dalam ranah publik sudah ditunjukkan, bahkan jauh sebelum
kemerdekaan Republik Indonesia.
Bukan hanya Kartini, tapi juga Dewi
Sartika, Tjoet Nja' Dhien, dan banyak perempuan pejuang lainnya, baik
secara individu atau pun organisasi massa seperti Aisyiah, Wanito
Katholiek dan sebagainya. Bahkan dalam Boedi Utomo, Putra Indonesia,
serta ikut pula dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, meski tak ada
keributan kenapa tak disebut Sumpah Pemuda dan Pemudi?
Tanggal 22
Desember sejatinya merupakan peringatan Kongres Perempuan Pertama di
Indonesia, yang diselenggarakan pada tanggal 22-25 Desember 1928 di
Yogyakarta. Hari Perempuan tersebut merupakan konstribusi pemikiran
perempuan terhadap perjuangan membebaskan bangsa Indonesia dari
penjajahan, penindasan, pembodohan yang dilakukan oleh bangsa Asing.
Kongres ini dihadiri 30 perkumpulan perempuan dari seluruh Indonesia,
di antaranya adalah Putri Indonesia, Wanito Tomo, Wanito Muljo, Wanita
Katolik, 'Aisjiah, Ina Tuni dari Ambon, Jong Islamieten Bond bagian
Wanita, Jong Java Meisjeskring, Poetri Boedi Sedjati, Poetri Mardika,
Wanita Taman Siswa, dan sebagainya. Mereka perempuan aktivis yang
bekerja di sektor publik berkait dengan masalah poleksosbud seperti
pendidikan, kesehatan, anak-anak bangsa, dan bukan sekedar "ibu" dalam
relasi sebagai perempuan "baik-baik" di hadapan anak dan suaminya.
Tahun 1998, para aktivis Perempuan Indonesia Reformasi 1998,
menyelenggarakan Kongres Perempuan pada 18 Desember 1998 di Yogyakarta
setelah 70 tahun Kongres Perempuan, dihadiri sekitar 600an aktivis
perempuan dari 26 Provinsi di seluruh Indonesia (termasuk Timor Timur
saat itu), dan kemudian mengukuhkan diri dengan Koalisi Perempuan
Indonesia Untuk Keadilan dan Demokrasi, tapi entah bagaimana sekarang.
Sekarang? Bagaimana perempuan Indonesia setelah 85 tahun Kongres
perempuan pertama 22 Desember 1928 tersebut? Sekedar "Selamat Hari
Ibuk"? Ibuk-ibuk yang kayak apa?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar