Senin, November 23, 2020

BARISAN PEMBELA RIZIEQ

KAUM BALIHOERS, JURUS NGELES KAUM KEFEFET 

 

Oleh : Sunardian Wirodono

 

 

Jika kepepet, karena tak punya dasar argumen yang kuat, maka ngeles (atau membiaskan masalah), adalah jurus yang acap dipakai para penumpang gelap. Mungkin ada yang menyebut mereka sebagai oportunis. Atau dalam bahasa agak religius, disebutnya kaum munafikun.

 

Beberapa waktu lalu, kita pernah mendengar adanya kaum salawi. Kelompok kepentingan yang selalu, dan melulu, hanya melihat semua karena salah Jokowi. Mereka pintar dalam kata-kata. Artinya juga pintar mengkorupsi fakta dan data dengan kata-kata. Agar yang muncul adalah kesan dirinya atau kelompoknya benar.

 

Kelompok ini, kini juga bisa disebut kelompok balihoers. Kelompok yang hanya melihat, atau menyembah kemuliaan baliho. Apa yang dilakukan pengamat, SJW, akademisi, politikus, dari kelompok ini, sama dan sebangun dengan laskar FPI yang melakukan hormat pada baliho Riziek, sampai harus memblokir jalan. Tak peduli bahwa akibat omongan Pak Dudung, dipicu oleh cuitan Nikita Mirzani, kini gerakan pencopotan baliho provokatif, intoleran, bernada rasis, bernada isu SARA, massif di mana-mana. Baik dilakukan masyarakat maupun Satpol PP.

 

Kelompok balihoers sama sekali tak menyinggung isi baliho. Mereka tak peduli soal baliho yang jika berisi iklan obat atau consumers good ilegal, Satpol PP paling galak mencopot. Mereka hanya melihat TNI salah jika masuk ke wilayah sipil. Kelompok balihoers ini, agaknya termasuk golongan yang tak suka gerakan intoleran dan pengujar kebencian terhambat penyebarannya ke seluruh Nusantara. Cara mereka menegasi, mengulas tupoksi tentara, tapi mingkem dan merem soal konten baliho yang dipermasalahkan. Padal jelas, sumber masalahnya di manusia bernama Rizieq Shihab. Di situ pembiasannya.  

 

*

 

Gaya retorika Rizieq Shihab, dalam acara Maulid Nabi di Petamburan beberapa waktu lalu, menunjukkan dengan jelas. Jika verbatim kita kutip pernyataan-pernyataannya, tafsir apalagi jika bukan ujaran kebencian? Ia menghina Kepolisian dalam kaitan penjagaan di rumah Nikita Mirzani. Hingga Rizieq mengatakan Polisi dapat jatah (dari Nikita, yang disebut Rizieq sebagai lonte). Tapi Rizieq tidak akan ngomong, bagaimana polisi mengantisipasi ancaman seseorang, yang mengaku ustad, yang akan mengirim 800 laskar FPI jika dalam 2X24 jam Nikita tidak meminta maaf.

 

Itu contoh korupsi data dan fakta. Rizieq juga menghina TNI dalam kaitan anggota TNI yang dihukum, karena menyanyikan lagu pujian pada Rizieq. Retorikanya yang selalu meminta pengiyaan dari pengikutnya, menunjukkan dia sedang mengindoktrinasi massa. Untuk membenarkan semua pernyataannya yang menghasut itu. Cara bertuturnya, bukan ciri ulama atau guru. Tetapi lebih tepat provokator dengan segala demagoginya.

 

Dalam gaya komunikasi retorik, memang tak diperlukan konfirmasi. Data dan fakta cenderung diabaikan. Hanya mengambil teks yang mendukung konteks yang hendak dibangun. Sama persis dalam kampanye politik, ketika seorang kandidat bertujuan menjatuhkan kompetitor.

 

Itu pula yang dipakai kaum kepepet, yang di Indonesia didominasi kelompok Salawi. Mereka yang berdiri di sisi berbeda (oposite) dengan Jokowi, akan cenderung berpihak atau mendukung ‘lawan politik’ Jokowi. Maka jika pernyataan Fadli Zon dan Haris Azhar bisa sama dan sebangun, bisa dimengerti. Juga omongan dari para kambrat mereka, yang sebetulnya belum tentu sepemahaman. Meskipun Din Symasuddin mungkin hari-hari ini lagi nangis bombay, karena kalah pamor dengan Rizieq. Dan tidak mendapat pembelaan dari kaum balihoers.

 

Tentara kok sampai mesti turun tangan menurunkan baliho? Itu kan tugas Satpol PP, atau Kepolisian dalam Kamtibmas? Dan bla-bla-bla segala teori hukum serta demokrasi disampaikan. Meski ada yang gayanya prihatin, seperti disampaikan Haris Azhar. Ia sebenarnya tidak rela, tentara kok nurunin baliho!

 

Apakah ketika TNI, Tentara Nasional Indonesia, turun ke kali kotor Jakarta, membersihkan sampah menggunung penyebab air kali meluap, ada yang menyayangkan? Kenapa tak ada yang sinis menyindir; Kasihan amir tentara jadi tukang bersih-bersih sampah? Terus tidak bikin meme Bang Rendy pamit pada gacoannya yang lagi mengandung, dan menasihati sang gacoan agar tidak lebay? Toh ia tidak sedang ke medan perang, melainkan mau mbersihin got?

 

Apalagi pengertian kita tentang medan perang hanyalah area dar-der-dor. Tidak tahu bahasa simbolik, bahwa medan perang dalam kehiduan luas adanya. Sebagaimana kegagalan membaca tentara mbersihin sampah baliho, sebagai simbol perang melawan sampah masyarakat? Yakni, seseorang yang ngaku cucu nabi, tapi perilakunya miskin tata-krama? Padal doktrin agama Islam sendiri, lebih menekankan nilai manusia karena amal perbuatannya sendiri. Bukan karena sejarah leluhur, pangkat, kekayaan, atau wajah secakep apapun. Mau keturunan kucing, kalau jahat mah jahat saja. Karena yang ayahnya copet, ibunya lonte, si anak tak tertutup nasibnya menjadi manusia mulia, baik hati, dan tidak sombong.

 

Namun memang, mereka yang disebut kaum balihoers ini, memiliki ciri suka mengedepankan teks dengan menghilangkan konteks. Hingga perdebatan kita jarang menjadi sesuatu yang produktif. Yang terjadi hanyalah debat semantik. Adu pintar menjeplak. Di situ kita tahu bukan kepandaian Jokowi. Jokowi seorang pekerja. Tak membutuhkan mimbar dengan sorotan kamera. Yang kadang menggemaskan, dan melahirkan para juru-tafsir dengan kadar ‘disproportionate’ pula.  

 

*

 

Perdebatan tidak esensial itu, hanya untuk kepentingan pencitraan. Baik sebagai bisnis ekonomi maupun tujuan politis. Dari setting awalnya, sudah tidak relevan. Coba cermati, ketika perdebatan soalTNI nurunin baliho. Persoalan politik tetapi di-framing dalam konteks hukum. Maka apa yang menjadikan alasan atau tindakan tentara, tak akan digubris. Karena akan masuk dalam esensi debat. Mereka menghindari elaborasi masalah sebagai bagian dari esensi sebuah debat. Maka Hamdan Zoelva pun, hanya bisa bilang masalahnya sesepele itu, mengenai sistem atau cara. Padal sebagai bekas ketua MK, apakah dia tidak tahu yang namanya teori kausalitas, yang perlu diklarifikasi?

 

Begitu sebaliknya, kelompok Salawi dalam konteks hukum, maka yang dimunculkan adalah framing politik. Misal, ketika jelas pernyataan dan tindakan Rizieq melanggar PSBB (tak usah melihat kasus yang berat-berat), yang dikedepankan adalah kriminalisasi ulama, penistaan agama, negara mulai otoriter dan anti kritik.

 

Kaum oportunis memang penganut filsafat pragmatisme paling akut. Pragmatisme adalah paham yang menganut segala sesuatu yang bermanfaat. Yang tak bermanfaat tak dianggep. Pragmatisme dalam istilah lain kadang disebut pula sebagai penyakit soehartoisme.

 

Di situ sebabnya, politik hanya dipakai dari sisi politicking belaka. Wajar jika masyarakat awam menjadi apolitik. Bukan hanya skeptis pada politik, tetapi muak dengan siapapun yang bermain politik. Entah itu ormas berbaju agama, ulama ‘berbaju’ daster, filsuf kedunguan, pengamat politik yang berpolitik. Sementara mereka yang menyebut diri politikus, alih-alih berpolitik, karena mereka kini lagi sibuk nyari duit dari Pilkada. Karena bagi mereka demokrasi = dengan money krasa sekali.

 

Maka tak aneh jika Jusuf Kalla bisa enteng menyebut Rizieq Shihab sebagai pemimpin kharismatik.Tak jauh beda dengan omongan Fadli Zon, yang mengatakan kharisma Rizieq mengalahkan Sukarno dan Bung Hatta. Itukah buku yang dibaca Anies Baswedan, di minggu pagi yang cerah, berjudul How Democracies Die? Inikah orkestrasi yang sedang dimainkan secara virtual menuju 2024? | @sunardianwirodono

Rabu, November 04, 2020

KI SENO NUGROHO (1972 - 2020) IN MEMORIAM

Dalang Muda yang Keren, Fenomenal, dan Viral


Oleh : Sunardian Wirodono

KI SENO NUGROHO | Ki Seno Nugroho meninggal dunia, 3 Nopember 2020, jam 22.15.

Tak berapa lama, timeline twitter dan instagram dipenuhi kabar duka Ki Seno Nugroho (kelahiran Yogyakarta, 23 Agustus 1972). Ngecek di platform medsos lainnya, juga dipenuhi kabar kematiannya.

Hati saya sungguh ngendhelong. Ia seniman Yogyakarta, yang saya anggap paling genuine, di masa pandemi, di masa danais, dan di masa perubahan (teknologi komunikasi dan informasi). Justeru karena ia berangkat dari seni tradisional. Wayang kulit, yang beberapa hari lagi akan merayakan Hari Wayang se-Dunia.

Hati yang ngendhelong itu hampir sama, ketika mendengar Didi Kempot dulu meninggal. Semua di masa puncak kejayaan. Mereka seniman sejati, sebagaimana hampir persis setahun lampau, Raden Mas Gregorius Djaduk Ferianto meninggal dunia.

Dua bulan lalu, saya mulai kolekte video rekaman wayang Ki Seno Nugroho, yang bagi saya sungguh mengundang untuk mendokumenvideokan profilnya. Dan kami sepakat untuk hal itu. Tapi, ya, wislah, Seno. Semoga itulah berkah Gusti bagi istirahat agungmu.

Karena engkau telah berhari-hari dengan wayangmu. Dengan duka-deritamu. Telah menghibur begitu banyak orang. Banyak kalangan. Engkau adalah dalang moncer. Memainkan wayang sembari terus memonitor ponselmu. Untuk memastikan yang request tembang, pada sinden-sindenmu, sudah transfer duit apa belum. Dalam streaming climen.

Itu sungguh dahsyat dan mengagumkan. Apalagi, bukan hanya di tengah pandemi. Ketika banyak orang, banyak seniman, mati kutu dan mati langkah. Engkau tidak. Di platform youtube, engkau berjaya. Hingga punya tim khusus, untuk live streaming di youtube, melayani tanggapan wayang secara virtual.

*

Akun youtube ‘Dalang Seno’, dengan subscriber 447K, unggahan terakhirnya tanggal 2 Nopember 2020 lalu (yang ketika saya pas menulis ini), sudah ditonton 94.436 kali. Entah kenapa, lakonnya ‘Pandhawa Bangkit’, yang saya duga diadopsi dari lakon Pandu Swarga. Streaming Climen sebelumnya, Semar Mbangun Jiwa. Seolah isyarat. Halah!

Saya kira, sudah cukuplah baktimu. Bakti kepada orangtua. Ibu kandung dan ibu kebudayaanmu. Dua lakon terakhir di streaming climen youtube itu, bicara soal ‘mikul dhuwur mendem jero’. Kamu sudah melakukannya, Seno. Dengan baik. Bapakmu, dalang Ki Suparman Cermowiyoto, anak Ki Cermo Bancak, trah Mbah Jayeng (yang adalah juga dalang abdi dalem Kadipaten Pakualaman), tentu bahagia mendengarnya.

Memang trah dalang sejak sononya. Adik Ki Suparman juga dalang. Namanya Ki Supardi. Dulu di masa kecil, kalau malam saya nonton Ki Suparman, siang sebelumnya pasti nonton Ki Supardi. Pementasan mereka sering satu paket. Anak Ki Supardi, yang bernama Ki Catur Benyek Kuncoro, juga dhalang. Bikin ‘wayang hip-hop’ pula.

Saya ingat, seorang Ibu sepuh di Mbulaksumur, selalu mengisi sore harinya, menjelang tidur, menonton Dalang Seno via youtube. Celotehan Ki Seno, sebagai Bagong, candaannya dengan Elisha Orcarus, Tatin, Ayu, Prastiwi, dan juga para pengrawit mudanya di Warga Laras, selalu mengundang tawa. Nama grup karawitannya itu, warisan dari ayahnya. Ketika muda dulu sang ayah menamai pengiringnya ‘Karawitan Trima Lothung’ (agak susah nerjemahinnya, mungkin semacam; Lumayan, timbangannya lumanyun).

Pembaruan tata-karawitan, juga sudah dimulai dari ayah Seno ini. Memasukkan drum dan Saron Cacahan Sangan Wilahan (bilah sembilan, yang lazim dalam gagrag Surakarta). Soal lintas batas, Ki Suparman telah merintis dan merambahnya. Bergaul akrab dengan dalang-dalang gaya Semarangan, Mbanyumasan, Surakarta, Jawatimuran.

Saya bisa pastikan, bukan hanya Ibu sepuh di Mbulaksumur itu yang kehilangan. Pasti banyak. Sangat banyak. Tapi ‘untunglah’, Seno telah mengompresnya di youtube, sehingga bisa ditonton kapanpun. Dan di manapun. Maturnuwun Ki Ageng Youtube. Karena berkat ki ageng itu, saya jadi nggak putus-asa, hanya karena terlalu ngarep pada kundha kabudhayan atau pun Mas Dirjenbud. Oh, ya, maturnuwun pula Kanjeng Kyai i-Cloud!

*

Perjalanan Ki Seno Nugroho bukan hal mudah. Apalagi, justeru ketika mengenyam sukses. Karena kesuksesan bukan hanya mengundang tepuk-tangan, kekaguman, dan penghargaan. Bisa juga sebaliknya. Apalagi yang menggugat posisi Seno, dalam pergombalan seni adiluhung. Yang biasanya berisi wacana mulu.

Kisah perjalanan Seno hampir mirip Ki Suparman, ayahnya. Dulu, Suparman kepenginnya jadi kiper sepakbola. Hanya karena bujukan Ki Cermo, Suparman remaja akhirnya mendalang. Seno tak begitu akrab dengan ayahnya. Biasa. Anak lanang sing ndugal. Juga sepertinya ogah sinau ndalang pada ayahnya, meski sekolah di SMKI Yogyakarta, Jurusan Pedhalangan.

Yang menginspirasinya menjadi dhalang, justeru Ki Manteb Sudarsana, ketika ia diajak ayahnya nonton wayang di Siti Hinggil. Waktu itu ia masih SMP. Namun jika pun akhirnya Seno mau mendalang, karena desakan pamannya, Ki Supardi. Kondisi kesehatan ayahnya sudah memburuk, Ki Supardi ingin ketegasan Seno, jika bapaknya meninggal siapa yang meneruskan?

Tapi Ki Supardi tidak hanya mendesak Seno, melainkan juga membuka jalan. Ketika mendapat tanggapan, Ki Supardi menawarkan Seno Nugroho untuk mengisi pentas wayang sessi siang hari sebelumnya. Mirip paket hemat 2-in-1 kelir ‘Parman-Pardi’ era pertengahan 70-an hingga 80-an. Waktu itu, nanggap wayang siang dan malam, masih 'mampu' dilakukan masyarakat penanggapnya.

Seno mau, asal tidak diberitahukan ke ayahnya. Ia takut kalau ayahnya tahu pementasan perdananya buruk. Waktu itu 1988, Seno mendalang pertama kali di dusun Mrican, Depok, Sleman (DIY). Ki Suparman, yang hari itu ditanggap di Pekalongan, karena diberitahu adiknya, sebelum berangkat ke Pekalongan menyempatkan diam-diam melihat pentas anaknya. Bahkan, diam-diam ambil alih alat musik rebab, mengiringi suluk anaknya.

Seno kaget, ketika suluk dan menoleh ke belakang, ayahnya yang mengiringinya dengan rebab. Sontak, semula Seno yang mulus memainkan wayang dan suluk, jadi ambyar. Gemetaran karena takut dimarahi ayahnya. Sementara Ki Suparman mbrebes mili. Optimis anaknya bakal menjadi dalang, meneruskan karirnya. Ki Suparman kemudian berangkat ke Pekalongan. Dan hanya sekali itu menyaksikan Seno mendalang. Untuk kemudian Ki Suparman, setahun setelahnya, meninggal dalam usia 54 tahun.

Apa pun, Seno seniman tradisi yang mampu melakukan reposisioning kesenian tradisi. Bahkan dalam alur paling fenomenal. Merambah kawasan milenial. Di dunia digital. Akrab dengan netizen. Live streaming. Mengenal istilah request, transfer via m-banking, sembari mendalang.
Dan puncaknya, ia istilahkan dengan ‘streaming climen’. Ia tidak menyerah pada pandemi yang bangsat itu. Ia menjadi katub pembuka. Dan, jika tahu terimakasih, silakan siapapun berkiprah, setelah dibukakan berbagai kemungkinannya, yang salah satunya oleh Ki Seno Nugroho. Tak ada urusan dengan suara miring Gaya Ngayogyakarta atau Gaya Surakarta.

*

Setelah wafatnya Ki Enthus Susmono, Ki Seno Nugroho mumbul. Menjulang. Viral. Sesuatu yang belum pernah terjadi; Dalang dari Yogyakarta, dengan pakem lintas batas, mampu “mengalahkan” dalang-dalang kondhang dari Surakarta. Ungkapan ini jangan diterjemahkan negatif. Karena itulah fakta sejarah, untuk dimengerti. Bukan untuk dimaki.

Sebelum PSBB, soal larangan bikin kerumunan itu, 3 bulan ke depan (Maret, April, Mei 2020), jadwal tanggapan Ki Seno Nugroho hampir tanpa celah setiap harinya. Tentu saja, semuanya batal, karena pandemi. Semuanya mandeg. Hingga muncul Live Streaming Climen pada akhir Mei 2020, dan juga mulai melayani tanggapan secara virtual.

Seno anak dalang gaya independen. Dan Seno anak jamannya. Mampu melintas batas tentang gaya-gaya yang sering disalahfahami. Sebagaimana karakter dunia digital, yang juga lintas batas. Seno, bagi saya, telah mampu menjadikan wayang kulit sebagai media manifestasi pribadinya. Seno dan wayang kulit, telah ajur-ajer. Sampai kita tak bisa lagi memisahkan antara keseharian Seno dengan wayangnya. Ia telah menjadi dan menyatu.

Dan itu terjadi di era medsos. Di mana lewat platform youtube, kesenian wayang kulit (setidaknya Ki Seno Nugroho) akan terus bisa dinikmati. Meskipun Seno sudah kapundhut ing ngarsaning kang Murbeng Dumadi.

Sepanjang jaman. Sepanjang i-cloud tidak meledak karena disesaki file data dari seluruh penjuru dunia. Kita, atau tepatnya anak-cucu kita, masih akan bisa menonton wayang kulit itu. Di antaranya, bagaimana pun, bersama Ki Dalang Seno Nugroho.

Maturnuwun Ki Dalang Seno! | @sunardianwirodono

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...