Sabtu, Oktober 14, 2017

Di Indonesia Raya Ketidakpatutan Bersimaharajalela


APAKAH Setya Novanto orang sakti? Kayaknya bukan. Setidaknya lebih karena kita yang bukan orang sakti. Kita manusia lemah syahwat yang membiarkan ketidakwarasan menimpa.

Bisa dibayangkan, Setnov bisa sakit bertumpuk-tumpuk, ketika dipanggil KPK. Tetapi begitu gugatan pra-peradilannya dimenangkan, hanya selisih dua hari ia dinyatakan sembuh. Beberapa hari kemudian, kelihatan ngantor sebagai ketua DPR-RI. Tapi begitu ada panggilan menjadi saksi, dalam kasus yang sama (mega-korupsi e-KTP), mendadak ndangdhut harus check up kesehatan. Tak bisa memenuhi panggilan.

Dan KPK, seperti biasa, sibuk berpose di kamera televisi. Bekoar macem-macem, tapi tetap saja seperti banci kaleng. Tak strategis dan khas gaya lama, berkilah pada prosedur dan formalitas. Tidak cakcek. Tidak cekatan. Dan lebih menikmati dihajar oleh omongan cablak Fahri Hamzah.

Kita membiarkan semuanya itu. Termasuk bagaimana FH bisa seenak mulut ngomong apapun. Soal KPK dimuseumkan, nggak boleh ngomongin Ahok. Mewakili siapakah dia? Partai asalnya, PKS, tak mendaku. Tapi partai ini kalah tuntutan di pengadilan, hingga tak bisa apa-apa, dan membiarkannya tetap sebagai pimpinan DPR-RI.

Tapi sekalipun sebagai salah satu pimpinan DPR-RI, apakah prasyaratnya hanya status formal? Bagaimana status perilakunya, etikanya? MKD (Majelis Kehormatan Dewan) DPR, apakah tak melihat perilaku FH yang lebih sering memperlihatkan ketidakpantasan etik? Jika tidak, patut diduga MKD memang tak mempunyai pegangan standar etik, karena lahir dari lembaga yang tak mengenal etika.

Itu semua terjadi lantaran kita melihat antara Pemerintah (dalam hal ini Jokowi) dengan parlemen (dalam hal ini beberapa partai yang oposan, apalagi yang pro Prabowo) berada dalam kepentingan berbeda. Yang muncul kemudian adalah konflik kepentingan. Kerja pemerintah apa, kerja parlemen apa. Tidak berada dalam sinkronisasi grand-design sebuah bangsa dan negara.

Parlemen, terutama partai oposan, terjebak dalam agenda politik pragmatis. Dan itu lebih mencerminkan konflik kepentingan partai politik, atau lebih tepat lagi ketua umumnya. Tak ada di sana tercermin kepentingan dan aspirasi rakyat, kecuali hanya dalam bentuk claim, untuk legitimasi atau alasan bermanuver. Rakyat selalu menjadi alasan, sekalipun hanya atas nama. Dan itu akan selalu menjadi persoalan kita, sampai mereka mencapai tujuan politiknya. Tak peduli, dan tak ada agenda tujuan berbangsa dan bernegara.

Sampai kapan kita lepas dari tradisi politik kacrut semacam ini, yang hanya dipenuhi konflik kepentingan mereka? Sampai mereka mampus, hingga perlahan cara-cara berpolitik mereka tereduksi perubahan jaman. Jika pun Prabowo menitiskan ideologinya pada Fadli Zon, toh FZ akan berhadapan dengan generasi sebaya dan berikutnya, yang relative berbeda karena dipaksa situasi jaman. Sehingga logika mutlak-mutlakan para soehartois, perlahan tak akan laku lagi, meski Tommy Soeharto mencoba melanggengkan dengan Partai Berkarya, yang bakal ikut Pemilu 2019.

Bersamaan waktu, kita hanya bisa menunggu lahirnya generasi baru. Para cendekiawan yang bukan hanya cerdas tapi bijak. Butuh generasi baru politikus, yang bukan hanya kritis, tapi juga berpihak pada kepentingan rakyat. Kita butuh birokrat generasi milenial, yang tidak gaptek, mampu memangkas birokrasi korup untuk negeri yang beraneka latar budaya dengan kondisi geografisnya.

Bahwa masih banyak masalah, entah soal Pemberontakan DI/TII, PKI, Genocida paska 3091965, DOM Aceh, Talangsari, Trisakti, Munir, bahkan Novel Baswedan pun, misalnya tak bisa diselesaikan cepat, semoga saja setelah generasi Kivlan Zein atau Riamizard Ryacudu, juga generasi Gatot Nurmantyo, kelak akan bisa terselesaikan juga. Pahit memang. Tetapi bukankah selama ini kita hanya maju-mundur cantik, kayak Syahrini, sembari menambah korban baru dalam kebiadaban yang berbeda rupa?

Senyatanya, butuh waktu setengah abad untuk sadar, itu pun setelah 70 tahun merdeka kita juga baru nyadar. Negeri ini miskin gagasan. Miskin infrastruktur dengan suprastruktur yang juga acakadut. Apalagi yang dibanggakan? Sementara negara-negara ASEAN, bahkan Afrika, sudah menyalip kita. Bahkan, 70an tahun merdeka, kita hanya segaris lebih bagus dibanding Botswana, dalam tingkat literasi (Most Literate Nations in the World, yang diterbitkan Central Connecticut State University, Maret 2016). Itu pun kita berada di posisi nomor 60 dari 61 negara. Di antara negara ASEAN, Indonesia menempati urutan ketiga terbawah, bersama Kamboja dan Laos.

Dalam penelitian UNESCO mengenai minat baca (2014), anak-anak Indonesia membaca hanya 27 halaman buku dalam satu tahun. Tapi bisa berjam-jam sibuk bermedsos, bukan? Panteslah kalau kita membiarkan FH, FZ, KZ, SN, PS, ES, RS, AG, AR dan gerombolannya itu, bisa seenaknya di negeri ini. Dan kita tak bisa apa-apa.

Mungkin Jiddu Krishnamurti (1895 – 1986) benar adanya. Theosofis dari India itu mengatakan, “pelajaran nyata datang ketika semangat persaingan telah berakhir.” Hampir sama dengan pendapat Mbah Albert Einstein, “great spirits have always encountered violent opposition from mediocre minds.” Fisikawan dari Jerman itu seolah melihat Indonesia, yang terbelah pada pro-kontra Jokowi, hanya karena ada Prabowo di sana. Semangat yang besar selalu mengalami kekerasan oposisi dari pikiran yang biasa-biasa saja. Tapi bagaimana untuk bersama-sama bahu-membahu?
 
Sutan Sjahrir (1909 – 1996), Perdana Menteri pertama ketika Indonesia berbentuk negara perserikatan, bersabda; “Dan hanya semangat kebangsaan, yang dipikul oleh perasaan keadilan dan kemanusiaan, yang dapat mengantar kita maju dalam sejarah dunia.” Tapi bagaimana untuk bersama bahu-membahu?

Sayangnya, Sun Tzu yang mengatakan; “Anda akan menang jika seluruh pasukan di berbagai level memiliki semangat juang yang sama.” Itu susah diterima, oleh kelompok Amien Rais cum suis. Karena jenderal dan penulis itu dari Tiongkok. Sesuatu yang bakal ditolak karena aseng. Kalau dari Arab Saudi, ‘kan bukan aseng?

Demikianlah, wong dalam pikiran saja, sudah tak adil. Apalagi tindakan dan perilakunya! Dan celakanya, kita biarkan ketidakpatutan itu bersimaharajalela.



Rabu, September 20, 2017

Pengkhianatan Seni, Film, dan Propaganda

Propaganda, sudah sama tuanya dengan keberadaan manusia. Jejak yang terlacak, ada beberapa nama propagandis seperti Heredotus, Demosthenus, Plato, Aristoteles, yang hidup setidaknya 600-an tahun sebelum Masehi. Salah satu doktrin propaganda paling tua, dari rumusan Aristoteles, adalah Ethos, Pathos dan Logos.

Ethos: Sanggup menunjukkan kepada orang lain, bahwa Anda memiliki pengetahuan yang luas, kepribadian terpercaya, dan status terhormat. Pathos: Menyentuh hati khalayak, perasaan, emosi, harapan, kebencian dan kasih sayang mereka. Logos: Mengajukan bukti yang masuk akal, atau yang kelihatan sebagai bukti. Di sini Anda
mendekati khalayak lewat otak mereka.

Di Indonesia, seni dan propaganda telah dikenal dan bahkan dipraktikkan oleh para penguasa waktu itu, seperti Ken Arok, dan bahkan mungkin Panembahan Senapati atau pun Sultan Agung, hingga para intelektual Indonesia jaman Jepang.

Kedatangan Jepang di Indonesia, disambut dengan senang hati sebagai saudara tua. Anggapannya, Jepang akan membebaskan Indonesia dari penjajahan Belanda. Gerakan 3A yang dicanangkan; “Jepang Pemimpin Asia, Jepang Pelindung Asia, dan Jepang Cahaya Asia”, cukup memabukkan. Apalagi kemudian dilanjutkan membentuk Sendenbu (Departemen Propaganda), yang memproduksi materi siaran radio, film, surat kabar, dan seni seperti sandiwara, lukis, dan lainnya.

Setahun kemudian, dengan PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat), dan Keimin Bunka Shidōsho (Institut Pemandu Pendidikan dan Budaya Rakyat, atau disebut juga Pusat Kebudayaan), bergabung beberapa nama seperti Affandi, Barli, Sudjojono, Hendra Gunawan Agus Djajasoentara, Oto Djajasoeminta, Emiria Soenasa, Basuki Abdullah, Oetojo, dan Armijn Pane, bekerja bersama para ahli dan profesional terkemuka dari Jepang, yang dikirim untuk tinggal di Indonesia.

Sesuatu yang berbalik bagi Jepang, ketika Sukarno memakai Putera untuk menghimpun kekuatan bangsa Indonesia. Bahkan, Sukarno memakai keterampilan propaganda itu ketika membuat poster perjuangan, yang menggabungkan seni rupa dan sastra dalam “Boeng, Ajo Boeng!”. Hasil kerjasama antara Soedjojono dan Chairil Anwar (yang orang boleh tersenyum kecut mengetahui darimana Chairil Anwar memungut kata-kata dengan diksi heroik itu).

Meski terlibat dalam gerilya dan perang kemerdekaan, Usmar Ismail sebagai seniman film terkemuka, relative bisa berjarak. Bahkan untuk kejadian Serangan Oemoem 1 Maret 1949, yang kemudian dibuatnya dalam film cerita ‘Enam Djam di Djokja’, kita masih bisa melihat Usmar Ismail yang dingin. Mampu melakukan internalisasi dengan jarak peristiwa yang baru beberapa bulan berlalu.

Usmar Ismail bukan pembuat film propaganda, sebagaimana semula Arifin C. Noer pun juga bukan pembuat film propaganda. Beberapa film awalnya, yang terasa penting seperti Suci Sang Primadona (1977), Yuyun Pasien Rumah Sakit Jiwa, 1979), Harmonikaku (My Harmonica; 1979), cukup memberi harapan munculnya sineas handal. Arifin penulis lakon panggung yang sublim, dalam Mega-mega, Sumur Tanpa Dasar, Tengul, Kapai-kapai.


Namun sejak Serangan Fajar (PFN, 1981), Arifin merambah dunia lain, hingga film Pengkhianatan G30S/PKI yang menghabiskan dana pemerintah (PFN, 1984) sebesar Rp 800 juta. Sebuah film yang menurut pengkategorisasian Arsip Nasional, masuk dalam seni propaganda. Film PG30S/PKI bukan film dokumenter, bukan pula docudrama, melainkan film propaganda, yang memang dibuat untuk tujuan tertentu. Yakni penulisan Sejarah Orde Baroe, dengan Soeharto sebagai jagoannya, untuk mendeligitimasi posisi Sukarno yang sangat sentral meski proklmator itu sudah belasan tahun meninggal.

Mengapa disebut film propaganda? Dari prosesnya kreatifnya tampak. PG30S/PKI berbahan-baku dari materi sidang Pengadilan Militer di Mahmilub. Sebagian besarnya diambil dari rekonstruksi adegan dalam materi persidangan itu. Tentu saja, yang muncul adalah persepsi dan perspektif penguasa waktu itu. Padahal, sejarah tak pernah terjadi karena satu pihak, kecuali dalam hukum dan politik yang selalu dalam kangkangan pemenang atau penguasa.

Beberapa orang film dan yang merasa ahli film, mencoba melakukan manipulasi, setidaknya mereduksi dosa Arifin C. Noer, dengan mengatakan film adalah film, yang artinya film hanyalah film. Semuanya akan sangat tergantung pada penanggapnya. Tentu saja demikian. Tetapi film sebagai alat propaganda, berbeda maknanya. Apalagi sampai harus melakukan mobilisasi untuk menontonnya, dengan berbagai ancaman atau sangsi, dan berbagai kewajiban yang menyertai. Di situ persoalan komunikasi dan efek mediasinya bermain.

Propaganda kadang menyampaikan pesan yang benar, namun seringkali menyesatkan. Umumnya hanya menyampaikan fakta-fakta pilihan, yang dapat menghasilkan pengaruh tertentu, atau lebih menghasilkan reaksi emosional daripada reaksi rasional. Tujuannya mengubah pikiran kognitif narasi subjek dalam kelompok sasaran, untuk kepentingan tertentu. Propaganda umumnya lebih berhasil pada negara dengan majoritas masyarakat yang tingkat intelektualitasnya rendah, demikian juga daya kritisnya. Sebut bagaimana orang Jerman dulu taat aturan sejak jaman Nazi, hingga rakyat Jepang yang tunduk pada raja di jaman dinasti Showa.

Propaganda adalah sebuah upaya yang disengaja, sistematis, untuk membentuk persepsi, memanipulasi alam pikiran atau kognisi. Mempengaruhi langsung perilaku, agar memberikan respons yang dikehendaki pelaku propaganda. Sebagai komunikasi satu ke banyak orang (one-to-many), propaganda memisahkan komunikator dari komunikan.  Menurut Ellul, komunikator dalam propaganda merupakan wakil dari organisasi, yang berusaha melakukan pengontrolan terhadap masyarakat komunikannya. Komunikator dalam propaganda, adalah seorang ahli dalam teknik penguasaan atau kontrol sosial.

Soeharto agaknya sadar (setidaknya para penasihatnya) pada pandangan Audrey Gibbs dan Nicole Robertson, yang mengatakan film sebagai alat yang menghubungkan masa lalu dan masa kini, dengan kemampuan luar biasa untuk merebut kepemilikan sejarah ("History in Film: Real or Just Reel?"). Maka pendirian PFN (Perusahaan Film Negara) salah satunya untuk itu, bagaimana Soeharto membangun sejarahnya sendiri, dengan mendeligitimasi dominasi Sukarno dan para pengikutnya.

Dengan duit dari negara, muncullah Serangan Fajar (Arifin C. Noer, 1981), dan Pengkhianatan G30S/PKI (ACN juga, 1984). Sebelumnya, sempat dibuat film Djanur Kuning, tapi dari pihak swasta, di mana peran Soeharto di situ tampak tidak menonjol.

Puluhan tahun sebelumnya, Adolf Hitler sudah melakukan hal tersebut. Hitler sadar betul akan kemampuan sinema. Dalam Mein Kampf, ia menulis: "Gambar, termasuk film, mempunyai kesempatan yang lebih baik, dan jauh lebih cepat, ketimbang bacaan, untuk membuat orang memahami pesan-pesan tertentu."

"Tak diragukan lagi, film adalah alat propaganda yang dahsyat,” tulis Hans Traub, Propagandis Nazi dalam esainya ‘The Film as a Political Instrument’ (1932). “Film menuntut perhatian penuh; ia berisi serangkaian kejutan terkait perubahan waktu, ruang, dan tindakan; ia mempunyai kekayaan tak terpermanai untuk memicu emosi-emosi tertentu." Dan Hitler memakai duit negara habis-habisan untuk film-film propagandanya yang efektif untuk masyarakat Jerman.

Film sebagai propaganda di Indonesia, bukan hanya dipakai oleh yang sedang berkuasa. Tetapi yang ingin merebut kekuasaan. Contoh menarik adalah film Di Balik 98 (2015) yang didanai MNC Group milik Harry Tanoesoedibyo. Pada awalnya, film ini dibuat sebagai alat kampanye untuk pencalonan Wiranto, sebagai presiden pada pemilu 2014. Namun entah bagaimana, kongsi HT dan Wiranto ini pecah. Ketika HT melanjutkan memproduksi film ini, peranan Wiranto sebagai Panglima TNI, yang bertugas menjaga keamanan Jakarta di tengah kerusuhan sosial, diminimalisir.

Menjelang Pemilu 2009, sesungguhnya ada calon presiden yang juga memakai film sebagai media propaganda. Jauh sebelum pemilu, sebenarnya rencana sudah dimatangkan. Entah kenapa, baru pada 2009 dan 2010, baru muncul film bioskop “Merah Putih” dan sequelnya, “Darah Garuda”, dan kemudian menutup rangkaian itu, 2011, diproduksi “Hati Merdeka”, yang ketiganya dikenal sebagai ‘Trilogi Merdeka’.  

Entah karena kontrak sudah habis, atau muncul masalah apa, sutradara Trilogi Merdeka kembali ke negaranya, Amerika. Sutradara ini pula yang merancang-rancang kampanye politik produser Trilogi Merdeka, yang menghabiskan dana Rp 60 milyar. Dan ketiga filmnya jeblok di pasar. Siapa produser yang mendanainya? Namanya, Prabowo Subianto.




Minggu, September 10, 2017

Angkah DPR Membubarkan KPK



Angkah adalah niat, dan angkah DPR untuk membubarkan KPK tampak jelas. Beberapa orang DPR boleh membantah, begitu juga sekjen parpol. Namun, ketika orang perorang dari parlemen itu menyatakan secara terbuka, bahwa dengan temuan Pansus Angket KPK, mereka ingin membekukan, menghentikan sementara, dan bahkan seorang pimpinan DPR setuju dengan mengatakan KPK sebaiknya dibubarkan, tak bisa dilepaskan suara mereka dengan lembaga yang melekat dalam kehadirannya di depan publik.

Selama ini, kita sering mendengar istilah ‘oknum’. Apakah kehadiran pejabat publik di tengah masyarakat, bisa dilepaskan dari lembaga yang membuatnya hadir di tengah masyarakat? Jika bisa dilepaskan, buat apa kita membuat lembaga-lembaga secara terpisah, dengan sistem dan mekanismenya yang kita sepakati bersama dengan yang dinamakan undang-undang? Bukankah semua organisasi, lembaga, apalagi lembaga negara, dibuat begitu rupa untuk tujuan-tujuan kemuliaan bersama?

Pejabat negara tak bisa dilepaskan dari tugas dan kewajibannya, sebagai tanggung-jawab menjaga performance lembaga tempatnya berada. Karena itu ada syarat dan ketentuan berlaku seseorang masuk menjadi bagian dari lembaga itu. Hanya saja kita mungkin tak pernah dididik untuk menjaga marwah, atau pun harga diri, kita sebagai bagian integral yang menjadikan kita hadir dan berada.

Dengan kalimat muter-muter itu, saya ingin menjelaskan lebih lugas. Amien Rais, misalnya, dengan gamblang mengatakan Presiden Jokowi perlu dites DNA, supaya bisa dipastikan keturunan apa. Cina? Bukan Islam? PKI? Atau? Bagaimana mau melepaskan Amien Rais sebagai mantan ketua DPR-MPR, mantan professor (karena statusnya sudah copot dengan sendirinya lantaran tak lagi mengajar dan berkarya ilmiah), sebagai mantan ketua umum PP Muhammadiyah, mantan dosen, dan doktor ilmu politik lulusan Amerika? Bagaimana semua reputasi itu dipisah dari isi pernyataan-pernyataannya?

Mau menyebut nama-nama lain? Pimpinan DPR seperti Fadli Zon, Fahri Hamzah? Komisioner Komnas HAM,  Natalius Pigai? Atau anggota DPR Masinton Pasaribu, Henri Yosodiningrat? Pernyataan mereka berimplikasi ke masyarakat? Sudah pasti. Pers atau media lebih memilih omongan mereka, daripada mbok bakul sinambi wara di pasar desa. Omongan mereka juga berimplikasi pada citra lembaga masing-masing.

Jika mereka ngomong buruk, melawan kehendak baik majoritas rakyat, maka rakyat akan bereaksi. Jika reaksi rakyat buruk, akan menjadi bumerang. Bukankah kolega atau orang satu korps juga bereaksi, dengan mengatakan itu bukan sikap resmi lembaga? Artinya, mereka sendri terkena dampak negative dan menolaknya bukan? Jika demikian, mengapa tidak menjaga marwah lembaganya, dengan menjaga performance pribadi per pribadi?

Itu pengantar agak panjang untuk inti tulisan ini: Ketika KPK menangani kasus mega korupsi e-KTP, yang melibatkan pimpinan DPR (Setya Novanto), dan juga beberapa anggota DPR, beberapa anggota DPR bereaksi. Bisa jadi sebetulnya reaksi masing-masing pribadi yang (mungkin) terkena. Namun kemudian dikapitalisasi, dengan memakai alat-alat kelengkapan mereka, seperti pemakaian Hak Angket dan pembentukan Pansus. Meski kita bertanya, bukankah Hak Angket lebih pada lembaga kepresidenan sebagai mitra kerja DPR? Bagaimana kemudian ketika DPR menjadi begitu reaktif, ingin menjadi penegak hukum dengan mengawasi semua lembaga negara? Bagaimana sebenarnya sistem ketatanegaraan kita ini?

DPR tentu mempunyai kepentingan khusus dengan Pansus Angket KPK ini. Tetapi kebebasan mereka menyatakan pendapat, dengan dalih mereka punya hak imunitas, tak sebanding dengan kualitas kepolitikan mereka. Pernyataan-pernyataan verbal mereka, menunjukkan kepentingan-kepentingan mereka yang tendensius, dan sama sekali tak merepresentasikan kepentingan rakyat yang konon diwakilinya. Mereka gagal sebagai representasi rakyat, alias tidak representatif.

Keberangkatan Hak Angket dan Pansus KPK, tak bisa dilepas dari perkembangan penyidikan e-KTP, yang diindikasi bisa mematikan beberapa anggota DPR. Pansus bekerja secara improvisasi. Bahkan sampai perlu menanya terhukum yang sudah nyata dinyatakan salah oleh pengadilan kita. Informasi sepihak nara-sumber, mereka pakai untuk menyerang balik KPK. Semua temuan masih sumir, tetapi hal itu terus diproduksi, diamplifikasi, dikapitalisasi, untuk menyudutkan KPK, bahwa ada yang tak beres di lembaga pemberantasan korupsi ini.

Sampai akhirnya, mereka menemukan emas dalam karung, dengan memanfaatkan laporan Direktur Penyidik KPK, Aris Budiman. Pansus KPK lebih peduli soal Aris Budiman ini, demikian juga Polri, daripada mempersoalkan kasus penyerangan Novel Baswedan, sebagai penyidik KPK yang akhirnya cacat mata. Boro-boro membela Novel Baswedan, justeru penyidik yang baru menangani korupsi e-KTP itu jadi terlapor untuk kasus pencemaran nama baik. Bayangkan, kasus korupsi yang menilep hampir separoh dari anggaran negara, dihambat dengan kasus pencemaran nama baik.

Masing-masing pihak, antara orang KPK dan DPR, terlibat bersikap reaktif. Tak bisa menjaga marwah lembaga negara yang disandangnya. Yang terjadi kemudian sikap-sikap yang brutal dan liar. Gagasan pembekuan maupun pembubaran KPK, hanyalah lanjutan dari ancaman sebelumnya, soal pembekuan anggaran KPK.

Apakah sikap anti KPK, ide pembekuan dan pembubaran itu datang dari lembaga DPR? Tentu tidak. Tetapi kita bisa melihat, lembaga negara bernama DPR ini, dipakai beberapa pribadi yang berseteru dan bermasalah dengan KPK. Mereka memakai segala cara, mengkapitalisasi persoalan KPK, dan memakai lembaga DPR untuk memfasilitasi tujuan-tujuan mereka. Sebelumnya sudah disebut, antara lain rekomendasi Pansus KPK adalah mengurangi beberapa kewenangan KPK (antara lain soal penyadapan), dan pengawasan langsung KPK dari DPR.

Nafsu itu makin tampak, ketika secara konstitusi Pansus KPK tak bisa mengundang jajaran KPK, mereka memanggil Agus Rahardjo (ketua KPK) namun dalam kapasitas sebagai mantan kepala PPATK. Demikian juga ketika KPK menolak hadir dalam undangan Pansus KPK, mereka menggunakan Komisi III DPR sebagai mitra KPK, untuk mengadakan rapat kerja. Materi raker antara lain akan menanyakan kasus (konflik) internal KPK. Bagaimana bisa membedakan Pansus KPK dengan Komisi III (yang semua anggota Pansus KPK berasal dari sini), dengan lembaga DPR tempat mereka?

Mari, hitung-hitungan untuk tahun 2019 kelak. Atau lihat dalam Pilkada Serentak 2018 mendatang. Apakah rakyat masih bisa dikibuli politik, atau rakyat akhirnya bisa melihat, bahwa perampok terbesar di negeri ini berasal dari parpol yang berada di parlemen. Data pelaku korupsi di KPK, justeru yang tertinggi adalah triangle swasta-birokrat pelaksana tugas di tingkat Dirjen ke bawah, dan anggota DPR baik di tingkat nasional dan daerah. Di situ jelas, betapa DPR menjadi bagian penting dari praktik-praktik korupsi, yang memang tak bisa dilakukan sendirian. Setidaknya ada pihak ketiga, yakni para wakil rakyat di semua tingkatan.

Ketidakpatutan anggota parlemen, ialah memakai lembaga negara untuk tujuan-tujuan pribadi, meski memakai dalih kepentingan negara. Sungguh tindakan tidak bermoral. Dalam istilah Dr, Mochtar Pabotingi, sama dengan tindakan para bajingan. Di situ mestinya pertanyaan bisa disampaikan pada ketua umum parpol, yang menjadi asal-muasal dan asbab-musabab orang-orang ini: apa maksud dan tujuan mendirikan partai? Merampok negara demi tujuan-tujuan pribadi semata?

Selama DPR hanya dipakai sebagai sarang praktik korupsi di negeri ini, selama itu pula Indonesia akan tetap blangsak. Korupsi adalah musuh utama negeri ini, tetapi dengan sikap politik dan hukum para bajingan parlemen, yang angkahnya memperlemah (dengan gertakan pembubaran) KPK,  DPR adalah lembaga negara yang tak ada gunanya sama sekali. 

Dan lebih layak dibubarkan.


Perubahan Antara Ketidakpatutan dan Ketidaksabaran


Perubahan bisa menjengkelkan bagi yang menghendaki, dan apalagi bagi yang tidak menghendaki.

Bagi yang menghendaki, perubahan (yang diinginkan itu) bisa sangat terasa lamban. Kita sudah membaca pernyataan Dr. Mochtar Pabotingi. Dia tidak akan mendukung Jokowi pada 2019 mendatang, karena tidak segera membentuk TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) kasus Novel Baswedan. Kita juga sudah mendengar keluhan Suciwati, yang menilai Jokowi hanya omong doang, karena kasus Munir tak juga dituntaskan.

Beberapa pertanyaan, bisa diajukan pada keduanya, dan mereka yang sepemikiran. Tapi apa perlu? Rasanya tidak. Malah bikin baper. Toh dengan pernyataannya itu, Mochtar Pabotinggi masih mendukung Jokowi bukan? Setidaknya sampai tahun 2019? Jangan mencandai orangtua. Bisa kuwalat.

Demikian juga mohon jangan menanya Suciwati. Kita ngerti’in kegalauannya. Sejak sebelum Jokowi presiden, mengingat kematian Munir terjadi pada 7 September 2004. Waktu itu, presiden Indonesia adalah Megawati, karena SBY baru menjabat mulai 20 Oktober 2004. Apa artinya?

Permasalahan yang tak bisa diselesaikan seorang presiden ketika turun jabatan, akan jadi api dalam sekam, atau pun bom waktu presiden berikutnya. Tenggang waktu kekuasaan Megawati, satu bulan, tentu tak memadai. Meski itu bukan berarti kita harus sinis; ngapain saja SBY, dua periode dari 2004 s.d 2014? Karena pertanyaan serupa juga bisa diajukan pada Jokowi, sudah 3 tahun tapi kenapa kasus Novel Baswedan yang baru kemarin sore tak bisa dituntaskan? Bahkan untuk membentuk TGPF pun! Belum pula kasus seperti Tragedi Trisakti, yang tiap Kamis terus menanti jawab presiden di depan Istana Negara. Siapa berbuat siapa bertanggung jawab?

Sangat beruntunglah Soeharto, yang orang baru berani mempermasalahkan kasus-kasus yang diakibatkan praktik kekuasaan, ketika sang diktator itu sudah meninggal Januari 2008. Apa saja? Banyak. Antara lain, misteri pembantaian rakyat sipil yang dituding bagian dari PKI dalam peristiwa G.30.S.

Itu sama persis ketika presiden sudah turun tahta tapi meninggalkan hutang (dalam dan) luar negeri, yang kemudian jadi beban presiden berikutnya. Utang, dibutuhkan negara ketika neraca keuangan belum imbang. Tapi celaka lagi, utang bukannya untuk 100% membangun, melainkan sebagiannya, bahkan bisa lebih separohnya, dikorupsi. Itu lebih mengerikan lagi. Siapa saja yang seperti itu? Ada deh.

Kita melihat, bagaimana parlemen lebih banyak dikuasai anggotanya yang buruk dalam kinerja. Apa saja hal, diomongkan DPR. Tapi apa yang dihasilkan? Sistem kepartaian kita yang oligarkis, menyebabkan parpol lebih elitis. Sibuk dengan urusan mereka yang mentalitas korup sejak niatan pencalegan. Bagaimana seorang anggota DPR bisa mengatakan korupsi sebagai olie pembangunan, namun diwaktu lain mengatakan taka da artinya banyak OTT kalau korupsi makin masif. Bukankah artinya olie pembangunannya makin masif?

Ini negeri sedang berada dalam situasi transisi. Transisi dari apa ke apa? Sampai kapan? Kapan situasi normal, dan kita semua on the track pada kerja masing-masing, bukannya habis waktu ngomongin dan ngawasin orang lain, sementara dirinya juga jeblok?

Ketika kepemimpinan begitu elitis, bekerja sama yang membutuhkan partisipasi semua pihak bukan barang mudah. Apalagi jika masing-masing tak punya agenda, atau bahkan masing-masing hanya menonjolkan agenda dan kepentingan masing-masing.

Jokowi berhasil melakukan dekonstruksi kekuasaan yang elitis. Perlahan, apalagi dengan medsos, rakyat mulai berani bersuara, meski pating creblung. Belum terkoordinasi karena memang belum terlatih, atau bahkan belum pernah.

Tapi perlahan kita mengerti, demokrasi artinya adalah juga partisipasi. Rakyat kuat, negara kuat, kata Bung Karno. Tapi kalau rakyat masih bisa disogok Rp 30 ribu per-lima tahun, masih mau dibodohi janji-janji tak masuk nalar, perubahan adalah sesuatu yang tak bisa cepat. Apalagi ketika sudah dikotori dengan klaim-kalim kesucian diri.

Senyampang itu, dalam situasi masih gonjang-ganjing, gojag-gajeg, pranata sosial kita belum cukup mapan. Untuk bersama duduk merembug yang bernama prioritas, tak akan pernah pas. Kita sudah merdeka lebih 70 tahun, namun negeri ini dengan cepat ditinggalkan negara-negara kecil bahkan di kawasan Asia Tenggara. Proyeksi Sukarno, tahun 1975 Indonesia melampaui Jepang, jadi ilusi semata.

Sejak Soeharto didudukkan sebagai presiden, oleh berbagai kekuatan asing yang mengincar kekayaaan sumber daya alam Indonesia, demokrasi dibungkam. Rakyat tidak terlatih untuk berbeda. Yang muncul kemudian pragmatisme, dan juga oprtunisme. Penguasa adalah penggede, pamong, menduduki posisi sosial-ekonomi dan politik lebih tinggi dari rakyat biasa. Tidak ada konsep mereka adalah orang yang mestinya amanah dan bertaniah pada rakyat, sumber dan alamat pengabdiannya.

Jadi, mesti darimana kita memulai perubahan? Dari kehendak-kehendak pribadi, dari masing-masing pihak yang berkepentingan? Atau dari garis besar haluan negara yang sampai kini kita tak punya? Karena kepemimpinan yang dilahirkan dari kompetisi tidak sehat, yang ada ganti pemimpin ganti kebijaksanaan.

Pernahkah kita, khususnya para pemimpin atau elite itu (darimana pun), bersatupadu? Bergotong-royong? Bahu-membahu? Melangkah step by step, tentang apa yang bernama prioritas? Tidak. Itu omong kosong belaka. Apalagi ketika antarpejabat atau petinggi negara, saling tuding, saling kunci, saling gertak. 

Apa yang kita harap, jika para petinggi hanya lebih keasikan main twitter, bersosiliasi lewat media untuk menciptakan panggung bagi diri masing-masing? Fahri ngetuit mengejek presiden yang diam saja ketika kerusuhan Rohingya kembali meledak. Natalius Pigai lebih suka ngomong di Warung Daun daripada dalam kapasitasnya sebagai komisioner Komnas HAM? Atau bikin pansus di parlemen, hanya untuk menekan lembaga negara yang lainnya, agar dibekukan atau dibubarkan seperti dalam conflict of interest DPR ketika oknum-oknumnya terancam oleh KPK. Kita bisa habis waktu untuk segala celometan itu.



Masinton Pasaribu datang ke KPK untuk ditangkap, dan meminta rompi oranye. Tentu saja dia berani, karena tahu hal itu takkan terjadi. Tapi beranikah ia mengakui perbuatan kekerasan yang dilakukannya pada Dita Aditya, staf ahlinya, pada Januari 2016? Lantas kenapa dia berapi-api, sebagai ketua Repdem, dalam kasus Dandy Dwi Laksono, yang ditudingnya melecehkan Megawati?

Di tengah ketidaksabaran, kita acap disodori ketidakpatutan. Rakyat pemegang hak suara sesungguhnya yang akan menentukan masa depan Indonesia. Antara lain, misal, mulai dari tidak memilih entah itu caleg, cabup, cagub, capres yang hanya obral janji, track record buruk, dan moralitas bumi datar, yang mutlak-mutlakan, dan tak mau berbagi ruang, untuk tumbuhnya diskusi yang dewasa.

Memang, kampretlah para kecebong itu, sebagaimana memang kecebonglah para kampret itu!




Sabtu, Agustus 05, 2017

Zoya yang Dibakar. Sebuah Rekonstruksi Teks


Siti Zubaidah (25) isteri Zoya, menunjukkan foto suaminya yang tewas dibakar.

Jika pun benar Zoya melakukan tindakan pencurian, layakkah menghakiminya, dengan membakarnya hidup-hidup hingga tewas?

Tulisan ini mencoba menelusuri, bagaimana sebuah kejahatan massal mencoba ditutupi secara tidak adil. Mungkin oleh pelaku, penyebab kejadian, dan bahkan polisi yang tak berani mengambil resiko. Maka dibangun framing, Zoya adalah pelaku tindak kriminal.

Siapakah Zoya? Dia adalah Muhammad Aljahra (30) lelaki yang dibakar hidup-hidup hingga tewas, karena dituding mencuri ampli mushalla di bilangan Bekasi.

Menurut Sumiyati (41), istri pengurus Mushala Al-Hidayah, Desa Hurip Jaya, Babelan, Kabupaten Bekasi, dia membenarkan bahwa amplifier di mushala tersebut hilang (Selasa, 1/8/2017) dicuri orang.

“Iya amplifiernya hilang, pas dilihat ampli-nya udah enggak ada,” kata Sumiyati, saat ditemui di Mushala Al-Hidayah, di Kampung Cabang 4, Desa Hurip Jaya, Babelan, Kabupaten Bekasi (Jumat, 4/8/2017). Dia menjelaskan, amplifier mushala tersebut masih digunakan waktu Shalat Ashar. Setelah itu, ada seorang pria yang shalat di mushala tersebut dan setelahnya ampli tiada.

Sumiyati menjelaskan, usai pria tak dikenal itu shalat di Mushala Al-Hidayah, suaminya, Rojali (41), mengecek pengeras suara yang akan digunakan untuk acara malam hari.  “Kan mau ada acara haul pas malamnya, jadi suami saya mau tes speaker-nya. Pas dicoba enggak ada suara, terus dicek lagi ternyata amplifiernya udah enggak ada, dan ada kabel yang udah digunting,” kata Sumiyati.

Bagaimana test speaker tanpa menghidupkan ampli terlebih dulu, ini sebuah keajaiban. Logika teknisnya, hidupkan ampli dulu, baru test mike. Bagaimana mungkin test speaker, ketahuan tidak ada suara, baru cek ampli? Hanya Sumiyati yang bisa menjelaskan tentu. Kita juga tak tahu, apakah malam itu ada acara haul di mushalla? Bagaimana acara haul itu berlangsung, ketika orang se Indonesia Raya tengah memperbincangan kebiadaban pembakaran manusia?

Kesaksian Sumiyati, sangat bias. Setelah mengetahui amplifier mushala hilang, kata Sumiyati, Rojali mencurigai Zoya yang mencurinya. “Lalu dikejar, ketemu di jembatan muara. Pas dilihat benar amplifier mushala ada di motornya. Tapi katanya, dia (pelaku) lari. Saya enggak sempat nanya-nanya lagi,” kata Sumiyati.

Menurut Sumiyati, suaminya masih sempat melihat Zoya dalam kondisi basah karena nyebur ke sungai, dan ditangkap warga. Namun, kata Sumiyati, suaminya tidak melihat saat Zoya dihakimi warga dan dibakar hidup-hidup di Pasar Muara Bakti.

Sumiyati mengatakan, suaminya hanya meminta amplifier yang dicuri dari mushala dikembalikan. Namun, menurut Sumiyati, pria yang diduga pencuri amplifier itu malah kabur. “Penginnya ampli-nya dibalikin, cuma rupanya dia takut kali ya, jadi malah kabur,” ujar Sumiyati.

Setelah mengetahui amplifier mushala hilang, suaminya mengejar pria yang diduga pelaku, dan tertangkap di jembatan muara. Saat diajak bicara baik-baik, kata Sumiyati, pelaku melarikan diri hingga tertangkap dan dihakimi massa.

Zoya yang diduga pencuri amplifier, akhirnya dibakar hidup-hidup oleh massa tepat di Pasar Muara Bakti, Babelan, Kabupaten Bekasi pada Selasa (1/8/2017) sekitar pukul 16.30 WIB.

“Ya Allah sampe dibakar begitu, kan kita ngenes ya. Pas dia maling kami gregetan ya, tapi pas dibakar kami ngenes, apalagi istrinya lagi hamil ya, kasian jadinya,” ucap Sumiyati, yang juga menjelaskan dia dan suaminya tak ada di lokasi saat Zola dibakar hidup-hidup, karena sudah kembali ke rumah.

Keterangan Sumiyati tak cukup meyakinkan, karena tidak kronologis. Dari sejak Zoya masuk mushalla sudah diamati dan dicurigai. Hingga ‘tiba-tiba’ ada pengecekan ampli oleh pengurus mushala. Menegur Zoya di tempat parkir motor, dan kondisi ampli yang basah, karena konon Zoya nyebur ke kali ketakutan dikejar massa.

Dari logika peristiwa, lebih memungkinkan adalah Zoya keluar dari mushalla membawa ampli (entah ampli milik sendiri atau mushala), ada orang yang melihat atau mencurigai, kemudian meneriaki Zoya sebagai maling. Orang-orang di sekitar itu, mungkin sedikit saja karena Ashar biasanya masjid tak seramai Maghrib. Orang-orang yang ada di sekitar bergerak spontan, dan Zoya lari. Tentu saja, ini baru dugaan yang lain, untuk mencoba membangun kronologi kejadian.

Tempat Kejadian Perkara Zoya dibakar
Dalam penjelasan Kombes Asep Adi Saputra, Kapolres Metro Bekasi, yang ditemui di kantornya (Kamis, 3/8/2017); "Peristiwa tersebut benar adanya dengan petunjuk-petunjuk dari saksi yang telah melaporkan. Benar juga orang yang diduga pelaku (pencurian) meninggal dunia, dikeroyok massa dan dilaporkan sebagai pengambil barang tersebut."

Asep menjelaskan, adanya dugaan pencurian tersebut menurut saksi marbot dan pengelola mushala yang telah diperiksa. Zoya telah diamati oleh saksi sejak kedatangan ke mushala tersebut. “Orang tersebut datang menggunakan motor dan memang benar membawa amplifier lainnya sebanyak dua buah ada di motornya,” kata Asep.

Asep mengatakan saat itu Zoya datang dengan gerak-gerik mencurigakan. Salah satu marbot masjid melihat Zoya mengambil air wudhu dan masuk ke mushala. Namun tak selang beberapa lama, Zoya pun keluar dan pergi meninggalkan mushala. Setelah dilihat ke dalam mushala, saksi melihat amplifier yang ada dalam mushala sudah hilang (bandingkan dengan keterangan Sumiyati pada awal tulisan).

Akhirnya pengelola mushala mengejar pelaku, namun tak ditemukan. Saat mereka berbalik arah untuk kembali, ternyata berpapasan dengan Zoya (apa maksud berbalik arah dan kemudian berpapasan, dengan kaitan proses pengejaran sebelumnya? Ini juga aneh). Zoya di situ ditegur dan diminta mengembalikan amplifier yang diduga dicuri dari mushala. “Namun saat ditanya, pelaku langsung lari dan meninggalkan motor. Sehingga akhirnya didapati oleh masyarakat dan terjadi pengeroyokan sampai pada pembakaran orang yang diduga sebagai pelaku itu,” kata Kombes Asep.

Jika sudah diamati sejak kedatangan, bahkan dicurigai, bagaimana bisa kehilangan jejak keberadaan pelaku? Apalagi sehabis shalat ashar itu, pengurus mushala langsung mau mengecek keberadaan amplifier yang sudah tidak ada?

Setelah kejadian pengeroyokan, polisi melakukan olah TKP, dan didapatkan beberapa barang bukti. Di antaranya satu unit sepeda motor milik Zoya. Kemudian, dua unit amplifier di motor tersebut, lalu satu amplifier ada di tas gendong warna hitam. Asep mengatakan, amplifier yang menjadi barang bukti diakui milik mushala.

Bandingkan lagi dengan kesaksian Sumiyati, ampli dalam kondisi basah, yang logikanya mungkin ampli dibawa sambil lari dan basah karena Zoya nyebur kali saking takutnya? Tapi kenapa di motor Zoya yang terpakir di halaman mushalla ada tiga ampli, dua milik ampli dan satu milik mushalla? Mungkin dimaksud Sumiyati dalam kondisi basah itu? Kalau ampli berada di sepeda motor, yang diparkir di dekat mushalla, bagaimana bisa dalam kondisi basah? Disiram setan?

Baiklah itu soal ampli, yang karena Zoya sudah meninggal, semua alibi atas barang bukti pasti hanya dalam konstruk alibi pengurus mushalla, Sumiyati, dan mereka yang berada dalam framing Zoya sebagai pencuri ampli. Dan karena itu sah sebagai sasaran kemarahan massa?

Sementara itu menurut keterangan saksi lain, Noval Putra (22), pemilik toko di Pasar Muara Bakti, tempat aksi pembakaran Zoya, bahwa yang diduga mencuri amplifier sempat mengatakan dirinya bukan maling sebelum tewas. Zoya dikeroyok dan dibakar hidup-hidup oleh massa, tepat di Pasar Muara Bakti, Babelan, Selasa (1/8/2017), sekitar pukul 16.30 WIB. Lihat rentang waktu ini, 16.30 pembakaran, dilaporkan jam 17.00, dan polisi baru datang pukul 18.00 setelah maghrib. Coba ukur, berapa jauh kantor polisi sebagai pelindung masyarakat itu dengan TKP?

“Dia (pelaku) bilang kalau nggak maling. ‘Saya nggak maling’ dia seringnya bilang itu,” ujar Noval, yang menyaksikan kejadian tersebut (kompascom, Jumat 4/8/2017). Massa yang menghakimi tidak percaya meski Zoya berulang kali mengatakan dirinya bukan maling. Di tengah massa yang menghakimi Zoya, kata Noval, terdengar suara orang menimpali "maling mana ada mau ngaku."

“Banyak juga warga yang teriak 'bakar aja, bakar aja.' Sempat ada yang mau amanin tapi kalah jumlah,” kata Noval yang berjualan sepatu dan sandal. Zoya awalnya akan dibawa ke balai desa untuk diamankan. Tapi jumlah warga yang ingin mengamankan Zoya kalah banyak dengan massa yang ingin menghakimi.

Noval mengaku melihat Zoya masih hidup saat dipukuli warga. Tubuh Zoya mulai dibakar massa sekitar pukul 17.00 WIB, dan polisi datang ke lokasi sekitar pukul 18.00 WIB saat Zoya sudah tewas.

Noval mengatakan Zoya yang diduga mencuri amplifier mushola, ditemukan di jembatan Muara, perbatasan Desa Suka Tengah, Kecamatan Suka Wangi dengan Desa Muara Bakti, Kecamatan Muara Bakti. Dari penjelasan ini, logikanya, Zoya melarikan diri atau lari dari kejaran massa sejak dari mushalla. Kenapa Zoya lari? Bisa jadi karena diteriaki maling. Oleh siapa? Oleh yang pertama kali melihatnya. Dan mungkin itulah yang membuat massa di sekitar tempat itu, spontan bergerak mengejar. Karena ketakutan, Zoya melarikan diri. Ini pun juga sebuah kemungkinan.

"Dia lari mau kabur, dia dari kali. Pas dari kali udah ditungguin warga. Motornya ditinggalin di dekat sasak masjid," kata Noval saat ditemui di lokasi pembakaran Zoya di Pasar Muara Bakti (Jumat, 4/8/2017).

Setelah Zoya ditangkap, awalnya pria yang diduga melakukan pencurian itu akan dibawa ke balai desa, agar lebih aman dan terhindar dari amukan massa. Noval menjelaskan, saat itu warga mengarak terlebih dahulu dari jembatan sampai pasar, sekitar satu jam.

Zoya ditangkap warga sekitar pukul 16.00 WIB kemudian dibakar pada pukul 17.00 WIB. Selama Zoya diarak, beberapa kali warga menghantamnya dengan menggunakan balok kayu.

Noval menjelaskan, warga yang berkerumun begitu banyak, mencapai lebih dari ratusan orang. "Saya enggak berani liat pas pada mau bakar, enggak tega litanya, saya taunya sudah kebakar doang. Pas dipukulin masih hidup, sempat juga dikeroyok. Pas dibakar masih nafas dia, nah sesudahnya kayanya langsung meninggal," kata Noval.

Mari kita teliti kembali penjelasan Kapolres Metro Bekasi, Kombes Asep Adi Saputra tentang dugaan pencurian berdasar keterangan saksi marbot dan pengelola mushala yang telah diperiksa polisi. Katanya,  Zoya telah diamati oleh saksi sejak kedatangannya ke mushala tersebut karena dianggap mencurigakan. Nah catat ini, telah diamati sejak kedatangannya di mushala.

Zoya datang menggunakan motor dan membawa dua amplifier di motornya. Lalu Zoya mengambil wudhu, masuk ke mushala, dan tak lama kemudian keluar dari mushala.
Saksi mengecek ke dalam mushala, melihat amplifier yang ada dalam mushala sudah hilang. Akhirnya, pengelola mushala mengejar pelaku, tetapi pelaku tidak ditemukan.
Saat berbalik arah untuk kembali, mereka berpapasan dengan Zoya (ini penjelasan yang secara tekstual agak susah dibayangkan). Kemudian mereka menegur Zoya dan meminta pria itu mengembalikan amplifier, yang diduga telah dicuri dari mushala tersebut.

“Namun, saat ditanya, pelaku langsung lari dan meninggalkan motor sehingga akhirnya didapati oleh masyarakat dan terjadi pengeroyokan sampai pada pembakaran orang yang diduga sebagai pelaku itu,” kata Kombes Asep.

Setelah pengeroyokan tersebut, polisi melakukan olah tempat kejadian perkara, dan mendapatkan beberapa barang bukti. Di antaranya satu unit sepeda motor milik Zoya, dua unit amplifier di motor, dan satu amplifier ada di tas gendong warna hitam. Asep mengatakan, amplifier yang menjadi barang bukti itu diakui milik mushala. Menurutnya, berdasar keterangan saksi di lapangan, Zoya diduga merupakan pelaku pencurian tiga unit amplifier mushalla. Wah, nambah.

Bagaimana menurut Siti Zubaidah (25), isteri MA? Suaminya biasa mencari barang-barang atau amplifier bekas lalu direparasi di rumah, untuk kemudian dijual lagi setelah diperbaiki. "Suami saya jual beli amplifier bekas, ngerakit box-box salon. Kalau saya enggak kerja," ujar Zubaidah saat ditemui di kediamannya, Kampung Jati, Desa Cikarang Kota, Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi.

Atas dasar itu, ia menduga, suaminya ketika itu sedang mampir untuk shalat. Amplifier tersebut bukanlah hasil curian, melainkan sudah dibeli. Penjelasan ini juga menarik dikembangkan. Dibeli oleh siapa? Kalau misalnya dibeli oleh Zoya, ampli yang mana dan siapa penjualnya, di mana transaksinya?

Tapi bagaimana kita membangun rekonstruksi peristiwa kebrutalan massa itu, ketika Zoya sudah tewas? Kita kehilangan saksi kunci.

Almarhum Zoya telah dimakamkan pada Rabu (2/8/2017) sore di TPU Kedondong, BTN Buni Asih Kongsi, Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi. Zoya atau Muhammad Aljahra, meninggalkan Zubaidah serta seorang anak laki-laki berusia empat tahun, dan bayi tujuh bulan yang masih dalam kandungan sang istri.

Akan halnya keluarga dan tetangga, tak yakin Zoya mencuri. Zubaidah mengaku pertama kali mengetahui kondisi suaminya dari pihak kepolisian yang datang ke rumahnya Selasa (1/8) malam sekitar pukul 23.00 WIB.

"Ya katanya suami saya nyuri amplifier di mushala di daerah Babelan. Terus dihakimi, digebukin, terus dibakar hidup-hidup. Sempat enggak percaya, masa suami saya. Kalau bukan liat di foto itu, saya enggak percaya kalau itu suami saya," kata Zubaidah.

Bagaimana mungkin Polisi bisa mengatakan bahwa Zoya mencuri amplifier, dan itu disampaikan kepada keluarga korban, tanpa bukti?

Mushalla Al Hidayah, Hurip Jaya, Babalen, Bekasi
Zubaidah tak percaya suaminya tewas di mushala kawasan Babelan itu. Menurutnya  daerah itu bukan jalur suaminya bekerja. Biasanya suami bekerja ke daerah Cileungsi untuk mencari amplifier bekas. "Karena kan itu enggak satu jalur, lain jalur itu mah. Setahu saya, dia ke daerah Cileungsi, arah-arah Bogor."

Selain itu, berdasar video yang ia lihat di media sosial, amplifier mushala itu masih ada di lokasi. “Saya sempat lihat dari (video) YouTube, kalau amplifier punya mushala masih ada di dalam mushala. Di video itu ada suara orang yang ngomong begitu, tetapi sekarang videonya sudah enggak ada,” ujar Zubaidah.

Ia menduga, suaminya bukan mencuri, tetapi tengah berada di mushala untuk shalat, dengan membawa amplifier bekas yang akan direparasi karena takut barang dagangannya dicolong orang jika ditinggal di jok motor. “Jadi dia udah dapet barang (amplifier), pas dia selesai shalat terus langsung ada yang liat bawa amplfier, ya mungkin itu langsung diteriakin maling, langsung dihakimi warga,” kata Zubaidah.

Ia menyampaikan, dalam video yang dilihatnya, Zoya belum sempat mengikat amplifier, tetapi sudah diamuk dan diteriaki massa. Namun, kata Zubaidah, video yang ia tonton itu sudah hilang dari media sosial. Siapa yang mengunggah dan siapa yang menghilangkan? Ini juga pertanyaan menarik.

Coba kalau tokoh Imung, atau Detektif Conan nyata ada, mungkin mereka tertarik melacaknya. Reserse professional mana mau menangani kasus rakyat kecil ini? Sedang kasus besar macam penyiraman mata Novel Baswedan saja polisi “tidak tertarik” menanganinya.

Zubaidah meminta pihak kepolisian mengusut tuntas dan mengungkap pelaku yang membakar suaminya. “Mudah-mudahan terungkap yang membakar suami saya. Saya cuma minta keadilan saja buat suami saya. Kalau pun umpamanya suami saya bersalah, melakukan pencurian itu, tapi kan enggak harus sampai dianiaya atau dibakar begitu kan, dia bukan hewan,” kata Zubaidah yang juga meminta jika pelaku telah diketahui dan diamankan polisi, harus diproses sesuai hukum berlaku.

Menurut Zubaidah, suaminya teknisi elektronik. Biasanya memperbaiki pengeras suara seperti toa yang rusak, sound sistem, televisi dan lainnya. "Saya pasrah dengan kejadian ini," kata Zubaidah yang sudah diperiksa polisi di Polsek Babelan. Dalam pemeriksaan itu, penyidik menanyakan seputar profesi dan keperluan pergi dari rumah. "Saya di sana diminta tanda tangan, enggak tahu apa isi berkas yang saya tanda tangani," katanya.

"Saya tidak menyangka kejadian ini menimpa suami," kata Zubaidah yang sudah kehabisan airmata meratapi kesedihan ditinggal suami secara tak wajar. Suaminya merupakan tulang punggung keluarga. Penghasilannya tidak menentu. "Dalam seminggu biasanya mendapatkan Rp 300 ribu, paling banyak Rp 500 ribu," kata Zubaidah.

Untuk mendapatkan elektronik bekas atau rusak, biasanya mencari di sejumlah tukang barang bekas. Dari situ dibeli untuk dibawa pulang, diperbaiki, kemudian dijual lagi. Mencari rongsokan biasanya keliling ke beberapa tempat.

Pandi (40) mertua almarhum Zoya, mengatakan menantunya itu sering keliling mencari barang elektronik bekas selepas shalat Dzuhur. Hal ini dikarenakan tidak punya kendaraan sebagai alat transportasi. "Kami menyewa sepeda motor milik kerabat (Honda Revo dengan nomor polisi B 6755 FR), sehari Rp 15 ribu. Kalau saya jatahnya pagi mencari televisi bekas, nah kalau menantu saya selepas zuhur jalan," kata Pandi. Karena itu, Pandi sangat menyangsikan tuduhan dari kepolisian, yang menyebut menantunya pencuri amplifier di mushala.

Lia (33) seorang warga yang tinggal di sekitar kediaman Zoya, mengatakan hal senada. Lia mendesak polisi mengusut tuntas orang yang telah membakar Zoya. “Kalau dari keluarga sih minta nama baiknya kembali, tapi kalau hukumannya (untuk yang telah membakar) sesuai dengan hukum yang berlaku,” kata Lia.

Lia tidak percaya Zoya melakukan pencurian. Menurut dia, Zoya sosok yang baik. “Orangnya baik, suka shalat berjamaah, ramah, enggak mungkin maling,” kata Lia. Ia pun menyesalkan sikap warga yang main hakim sendiri dengan mengeroyok dan membakar Zoya.

Kombes Asep Adi Saputra memastikan, pihaknya akan menyelidiki warga yang main hakim sendiri dengan mengeroyok dan membakar Zoya. Menurut dia, saat ini para saksi sudah memberikan keterangan terkait penegasan laporan tersebut. Ada dua saksi yang telah diperiksa, yaitu marbot dan pengelola mushala.

Asep mengatakan, perilaku main hakim sendiri seperti halnya mengeroyok dan membakar orang itu merupakan tindakan yang tidak memiliki rasa kemanusiaan.
"Saya kira tindakan ini juga tidak dibenarkan. Main hakim sendiri namanya. Tidak boleh begitu," kata dia.

Pihak kepolisian telah mendatangi keluarga Zoya. Menurut Asep, setiap orang memiliki hak asasi manusia sehingga tidak dapat diperlakukan seperti itu, walaupun diduga orang tersebut mencuri.

Warga yang melakukan tindakan main hakim sendiri, dapat terancam sejumlah pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal tersebut antara lain Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan, Pasal 170 KUHP tentang Kekerasan, dan Pasal 406 KUHP tentang Perusakan.

Berdasarkan Pasal 351 KUHP, penganiayaan diartikan sebagai perbuatan dengan sengaja yang menimbulkan rasa tidak enak, rasa sakit atau luka. Pasal ini dapat mengancam tindakan main hakim sendiri yang dilakukan terhadap orang yang mengakibatkan luka atau cidera.

Kemudian, berdasarkan penjelasannya, kekerasan yang dimaksud pada Pasal 170 KUHP yakni kekerasan terhadap orang maupun barang yang dilakukan secara bersama-sama, yang dilakukan di muka umum seperti perusakan terhadap barang, penganiayaan terhadap orang atau hewan, melemparkan batu kepada orang atau rumah, atau membuang-buang barang sehingga berserakan. Pasal ini dapat disangkakan kepada mereka yang main hakim sendiri di depan umum.

Lepas dari kejahatan kemanusiaan dengan membakar tersangka pencurian, bagaimana kronologi yang sesungguhnya menurut Anda? Permasalahannya sesungguhnya sederhana. Tetapi begitu kejujuran hilang, dan ingin menutupi kesalahan diri atau kelompoknya, kita akan mendengar begitu banyak alibi.

Dan alibi yang dibangun, dimungkin untuk memposisikan Zoya dalam posisi salah, agar dengan demikian tindakan kekejian yang lebih jahat daripada “sekedar” mencuri amplifier itu bisa dimaklumi.

Semoga keadilan menemukan jalannya, bagi mereka yang teraniaya.


| Dirangkum dari kompascom dan detikcom serta berbagai sumber lainnya oleh Sunardian Wirodono.

KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO

Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...