Kupikir dia dari Jawa, tapi dugaan itu
ternyata salah. Dia Dayak aseli dari suku Sukung. Tapi namanya itu?
Ceritanya panjang, katanya. Umurnya baru 38 tahun, tapi tampak tua
dengan rambut putihnya.
Ia seorang peladang berpindah. Kadang ia bertanam jagung, sahang (merica), lada hitam, atau pulut (ketan).
Ladangnya berpindah-pindah. Bukan karena tuan tanah. Tapi ia harus
membuka ladang terlebih dulu. Membakari hutan, kemudian mendiamkannya
selama 6 bulan, lantas mengolah tanah, dan baru kemudian menanaminya.
Sehabis panen, ia harus cari tempat lain lagi. Sekali babat hutan, bisa
sampai 3-6 hektar, tergantung lokasi dan kemampuannya. Dan di
Kalimantan, dengan bukit-bukitnya, lahan kosong masih sangatlah luas.
Dia kerjakan beramai-ramai? Tidak. Dia sendiri saja. Menanam sahang,
lebih menguntungkan, karena sekilo dia bisa jual di Malaysia seharga Rp
40-an ribu. Kenapa ke Malaysia? Untuk mencapai pasar Malaysia, dan di
sana banyak tukang tadahnya, hanya butuh waktu 2-3 jam, dengan sepeda
motor menembus hutan atau jalan setapak. Sedang ke pasar Entikong, harus
jalan kaki, sambung speedboat, jalan kaki lagi, speedboat lagi,
membutuhkan waktu 12 jam saja kalau air (sungai) baik. Dan biayanya?
Bisa habis di atas Rp 1 juta, karena untuk speedboat saja, akan habis
bensin 80-an liter. Sudah demikian, harga di Entikong lebih rendah dari
Malaysia.
Di rumah bedengnya, ada TV, antena parabola, dan
mini-genzet untuk semua kebutuhannya itu. Ada juga kompor gas ternyata,
di dalam rumah yang hanya dibuat dari palang-palang kayu ditutup dengan
dinding anyaman bambu dan bekas-bekas poster para caleg serta iklan
motor.
Kalau hasil baik, dari ladang pulut misalnya, dalam setahun
dan sekali tebas, ia bisa mendapat sedikitnya Rp 200 juta. Untuk sahang
dan lada hitam, akan jauh lebih tinggi lagi.
"Punya keluarga?" aku bertanya padanya.
Yanto menggeleng. Sudah 20 tahun ia hidup sendiri, dan sepanjang itu pula ia tinggal di hutan-hutan, atau di pinggir sungai.
"Kenapa tidak tinggal di kota saja, dengan pendapatan sebesar itu?"
Yanto hanya menggeleng, dengan sesungging senyuman.
Jalan rintisan Cipta Karya PU, baru dimulai dengan cara mengiris
bukit-bukit dan hutan. Tapi di musim hujan ini, dengan kontur tanah
liat, jalan darat justeru jadi neraka tersendiri (sepatu gunung yang aku
beli di Entikong, hanya tahan sehari dan jebol sudah), apalagi banyak
sungai-sungai kecil memotongnya, dan hanya berjembatan potongan batang
pohon yang butuh keahlian melintasinya.
"Presiden memikirkan mobil
murah, ramah lingkungan, hybrid, untuk rakyatnya yang tinggal di
desa-desa,..." saya bertanya pada Yanto yang ternyata juga menyimpan
beberapa cd karaoke.
Yanto tak segera menjawab. Matanya yang letih
melongok ke bawah, tikungan Riam Pelanduk pangkalan paling berbahaya di
sepanjang Sei Sekayam. Dinamakan Riam Pelanduk, karena hanya mereka yang
punya akal pelanduk, alias kancil, yang bisa lolos selamat dari
ancamannya. Sudah banyak sampan hancur dan orang tewas tenggelam di
situ.
Desa Suruh Tembawang adalah batas atas dari dusun-dusun di
bawah menuju Entikong, sementara di atas Riam Pelanduk, adalah
dusun-dusun paling pinggir, di atas perbukitan, berbatas langsung dengan
Malaysia.
Yanto mendesah, "Macam mane mobil murah? Tak ade hal,..."
Aku teringat dongeng tentang seorang politikus, yang menjanjikan sebuah
jembatan, di daerah yang bahkan sama sekali sungai pun tak ada.
Memang sialan!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar