Ingat
tokoh bernama Ann Uskup Mullany, yang menikah dengan John dan belum pernah
mengalami orgasme sepanjang perkawinan yang berujung pada tuntutan cerai?
Pertanyaannya bisa diperpendek sih, pernahkah Anda nonton film “Sex, Lies, and
Videotape?” besutan Steven Soderbergh (1989) ini?
Jika tak ingat dan belum pernah nonton, baiklah saya
simpulkan, film pemenang Palme d’Or di Cannes yang sangat berpengaruh dalam
revolusi gerakan film independen awal 1990-an ini; sebuah film yang (dimainkan antara
lain oleh Andie McDowell dan James Spader itu) menceriterakan
bagaimana orgasme dalam sebuah perkawinan adalah penting. Itu yang kemudian
mengundang masalah, ketika muncul lelaki lain, Graham, yang juga mengalami hal
sama. Juga dengan kehadiran “rekaman video tape”, kebohongan yang pelan-pelan,
yang pada dasarnya demi orgasme itu juga. Betapa penting banget yang bernama
orgasme itu.
Dan sayangnya, baik Ann, John, atau juga Graham dan
Elizabeth dalam film itu tidak pernah membaca Serat Centhini. Sungguh sayang
banget. Karena, kalau saja mereka mau tekun membaca Serat Centhini, banyak
bertebar ajaran tentang sex, yang bahkan tidak kalah seru dengan sastra dunia. Menurut
Ibu Elizabeth D. Inandiak, yang pernah menerjemahkan beberapa pethilan Serat
Centhini dalam bahasa Perancis, bahkan disebutnya tak ada sastra Eropa yang
membicarakan sex begitu detail bahkan sampai ke pemahaman mistik.
Dalam budaya Jawa diajarkan bahwa untuk menghasilkan sesuatu
yang baik, maka proses awal penciptaan juga harus baik, dan dengan restu Tuhan
sebagai Sang Maha pencipta. Demikian pula dengan proses hubungan seksual. Untuk
dapat berhubungan seksual dengan baik maka dibutuhkan pengetahuan mengenai
segala hal tentang seks. Pengetahuan mengenai hubungan seksual sangat
dibutuhkan karena akan berhubungan dengan kehidupan selanjutnya. Jika prosesnya
sudah salah, maka akibat yang ditimbulkan akan buruk.
Dengan pengetahuan yang memadai, maka diharapkan orang dapat
berpikir lebih jauh mengenai hubungan seksual, sehingga tidak melakukannya
dengan sembarangan karena akibatnya sangat fatal bagi keberlangsungan hidup
umat manusia. Akibat yang fatal tersebut, muncul pada keadaan masyarakat
sekarang. Banyak orang mulai melakukan hubungan seks tanpa mengindahkan norma
serta etika, munculya masalah-masalah dalam kehidupan masyarakat, sepeti
pemerkosaan, semakin banyak anak-anak terlantar hingga terjadinya peningkatan
kriminalitas, bahkan sampai pada tindak korupsi, induvidualitas, dan lain
sebagainya sebagai dampak dari selangkangan. Beberapa kyai Jawa, bahkan dengan
bahasa vulgar mengatakan, “ubenging donya iku marga saka selangkangan”. Dunia
berputar karena masalah sex. Dalam serat Nitimati dituliskan “yen anglaras,
penggagas aja sampun kabrangas, dimen awas, ing pamawas datan tiwas.”
Di dalam Serat Centhini, ada banyak membahas tentang
tahap-tahap perjalanan seseorang saat mengalami ekstase. Yaitu sebuah kondisi
spiritual saat seseorang mengalami dekat dengan Tuhan. Serat babon tanah Jawa
yang terdiri dari 12 jilid ini, bukan hanya membahas malam-malam pertama dalam
ranjang Syekh Amongraga dan Tambangraras, melainkan juga berbagai tokoh anonim
yang betualang dalam perilaku sexual paling kontroversial pun. Bagian-bagian
Centhini edisi hard-core ini, yang menyebabkan kitab ini disebut Kamasutra
Jawa. Padahal, tentu saja beda. Kalau Kamasutra (India) adalah buku petunjuk
bersenggama, Serat Centhini hanya membuat sex sebagai bagian dari kehidupan
(masih banyak tema lain dalam serat ini, seperti kuliner, politik, melatih
kuda, herbal, kecantikan, bahkan sampai sejarah Budha dan Nabi Isa, Jesus, pun
muncul di sini).
Tapi, model ensiklopedis yang dituturkan itu, membuat
pengisahan sex di Serat Centhini lebih smooth sifatnya. Bahkan dalam
bagian-bagian yang menceriterakan petualangan Raden Mas Cebolang, intercouse
manusia itu bisa sangat beragam, perempuan dengan perempuan, lelaki dengan
lelaki, three-some, bahkan party-sex, dengan berbagai gaya super bebas, sampai
ke kandang sapi segala. Bukan hanya tentang male-chauvinisme, tetapi juga mengisahkan
seorang janda hyper-sex yang tiap hari membutuhkan tiga lelaki sekaligus untuk
tiga kali permainan pada pagi, siang, malam.
Bagaimana fenomenalnya Serat Centhini, karena ia ditulis
pada tahun 1814-1823, dan film bokep kelas hardcore paling jorok buatan masa
kini pun, harusnya tak perlu malu mengakui bahwa kitab klasik ini bisa menjadi
sumber referensi yang keren (wah, kok malah kasih ide jorok)!
Seks dan seksualitas, dalam pengertian sempit maupun luas,
merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Ia bagian dari naluri
instingtif yang paling dasar. Tak heran kalau banyak upaya dilakukan untuk
mempelajari, menganalisis, menyusun manual (panduan), atau mengungkapkannya
lewat karya sastra maupun karya tulis lainnya sejak dahulu kala. Termasuk apa
yang kemudian dilakukan oleh KGPAA Amangkunagara II, ketika itu (1814), dan
kelak kemudian diteruskannya ketika beliau naik tahta yang pendek, selama tiga
tahun, hingga wafatnya setelah usai dirampungkannya penulisan Serat Centhini
(1823).
Serat Centhini yang terdiri atas 722 tembang, antara lain memang
bicara soal seks dan seksualitas. Justru karena itulah serat ini menjadi
termasyhur, bahkan di kalangan para pakar dunia, dan terutama jadi unduhan
anak-anak muda di dunia maya, dan sayangnya, tak ada yang menguraikannya dalam
bahasa yang dimengerti. Karena karya sastra hanyalah bisa dinikmati jika ia
dibaca dari karyanya itu sendiri (bukan gubahan, bukan resensi, ihtisar atau
rangkumannya). Itu sebabnya, setelah 200 tahun lalu dituliskan, maka munculnya
Serat Centhini Dwi Lingua (yang memuat teks aseli dan transliterasinya ke
bahasa Indonesia), akan sangat membantu generasi kini untuk membacainya.
Meski kebudayaan Jawa di masa kejayaan keraton bersifat represif-feodalistik,
dalam bidang seksual ternyata sangat jauh dari apa yang kita bayangkan. Masalah
seksualitas muncul dalam ekspresi seni, terutama sastra dan tari, bisa dengan
sangat lugasnya dalam Serat Centhini. Masalah seksual ternyata menjadi tema sentral
yang diungkap secara verbal dan terbuka, tanpa tedeng aling-aling.
Sangat berlawanan dengan etika sosial Jawa yang bersifat
puritan dan ortodoks. Masalah seksual diungkapkan dalam berbagai versi dan
kasus. Menyangkut masalah pengertian, sifat, kedudukan dan fungsinya, etika dan
tata cara bermain seks, gaya persetubuhan, dan lain-lain. Bahkan seks juga
dibicarakan dalam kaitannya dengan penikmatan hidup atau pelampiasan hasrat
hedonisme (sebuah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kenikmatan adalah
kebaikan tertinggi atau satu-satunya kebaikan dalam kehidupan).
Dalam Centhini II diuraikan dengan gamblang soal "ulah
asmara" yang berhubungan dengan lokasi genital yang sensitif dalam
kaitannya dengan permainan seks. Misalnya, cara membuka atau mempercepat
orgasme bagi perempuan, serta mencegah agar lelaki tidak cepat ejakulasi. Atau
dalam jilid yang lain, diuraikan secara blak-blakan bagaimana gaya persetubuhan,
serta sifat-sifat perempuan dan bagaimana cara membangkitkan nafsu asmaranya.
Terungkap juga ternyata perempuan tidak selamanya bersikap
lugu, pasif dalam masalah seks sebagaimana stereotipe pandangan Jawa yang
selama ini kita terima. Mereka juga memiliki kebebasan yang sama dalam
mengungkapkan pengalaman seksualnya. Padahal mereka selalu digambarkan pasrah,
nrima, kepada lelaki.
Masyarakat Jawa juga mengenal kalender seksual. "Ini
berkaitan dengan masalah rasa perempuan, yang berhubungan dengan organ genital
seksualnya. Satu asumsi bahwa setiap hari organ genital seksual yang sensitif
pada perempuan selalu berpindah tempat, sesuai dengan tinggi rendahnya Bulan --ini
berdasar pada kalender Jawa. Dengan mendasarkan pada kalender seksual, pasangan
dapat mencapai puncak kepuasan secara bersama-sama.
Karena itu, dalam beberapa hal, pihak keraton dan para
penyangga kebudayaan luhur, sering menuding bahwa Serat Centhini adalah kitab
kotor, yang tak pantas menjadi bagian kebudayaan Jawa. Kontroversi itu masih
terus berlangsung hingga sekarang. Namun, sebagaimana tekad Pakubuwana V waktu
itu, ketika hendak menulis Serat Centhini, kitab ini memang ditujukan untuk
anak muda jamannya, dengan bahasa populer, yakni kepada generasi dari suatu
abad kebodohan dan kemiskinan setelah Surakarta digoyang oleh berbagai perang
dan krisis ekonomi.
Dan Serat Centhini, apalagi dalam bentuk tembang,
benar-benar menjadi sumber referensi penting dan paling populer waktu itu,
hingga bisa melahirkan 12 versi lisannya. Sebagai karya ensiklopedi yang unik,
maka Pakubuwana V patutlah dikagumi sebagai komunikator ulung, yang mampu
memberikan pegangan bagi rakyatnya waktu itu. Bahkan, dengan daya
kreativitasnya yang luar biasa, dia juga menyodorkan kenyataan, bahwa dalam
soal erotika, sex, manusia Jawa membuktikan mempunyai sejarahnya sendiri,
bahkan seperti kata Inandiak, tidak ditemukan dalam sastra Eropa, atau pun
dalam film Soderberg yang dibilang sangat erotic dan artistic itu.
Beberapa jilid Serat Centhini memang memuat ajaran-ajaran
kotor dan cabul. Penuh adegan persanggamaan dan pelepasan hasrat seksual yang
tak terbatas suami dan istri tapi juga di luar pernikahan. Petualangan
Cebolang, remaja yang lari dari rumah orangtuanya karena menilai dirinya
berdosa besar, menjadi simbolisasinya.
Dalam pelariannya, dia bersanggama dengan orang yang
berbeda, tak peduli laki atau perempuan, di banyak tempat. Perbuatannya itu tak
lain untuk menebus dosa-dosanya. Cebolang menganggap hanya dengan menceburkan
diri ke perbuatan yang hina kesalahannya diampuni. Ketika sampai di Mataram
(Yogyakarta), Cebolang, bersama kawan lelakinya, Nurwitri, menyetubuhi dua
perempuan secara bergantian di area pesantren. Subuh tiba, mereka berhenti,
lalu mandi untuk menunaikan salat subuh di masjid.
Namun berbeda dengan Kamasutra,
seksualitas dalam Serat Centhini tidak dituangkan dalam bentuk panduan langsung
seperti buku manual, melainkan dijalin ke dalam rangkaian plot yang
berwarna-warni. Fragmen-fragmen kecil yang sungguh sangat menggoda, untuk
sebuah buku sebanyak 12 jilid dengan rata-rata per-jilid 300-an halaman.
Adegan seks dalam Serat Centhini barangkali lebih vulgar daripada stensilan porno, atau pun video bokep versi hardcore. Namun cara penggambarannya yang deskriptif, justru terasa orisinal, segar, sering lucu, sesekali hiperbolis, dan benar-benar kita tak habis pikir, bagaimana bisa?
Gaya penceritaannya khas orang Jawa, blak-blakan dan mengena, kadang bikin kita geleng-geleng kepala. Sekilas pandang, tampaknya stereotipe gender tentang seks didobrak oleh Serat Centhini, yang terlihat dari tokoh-tokoh wanita yang mengidap deviasi seksual (hiperseks dan eksibisionis) dan beberapa kali digambarkan bahwa wanita bisa menjadi inisiator hubungan seksual. Bahkan, ada kisah janda kaya yang haus sex dan selalu membutuhkan korban dengan tiga lelaki sekaligus, sesuatu yang tak terbayangkan muncul dalam imajinasi seorang raja Jawa.
Tentu saja, kita tidak bisa sembarangan mengambil kesimpulan tergesa, mengingat penulis Serat Centhini adalah pria dan apa yang ditulisnya bisa jadi fantasi belaka (seperti wanita yang menggemari fiksi cinta sesama pria dan pria menyukai adegan wanita bercumbu dengan sesamanya). Namun bagaimana pun, sekali lagi, lebih tak terbayangkan itu muncul dari fantasi seorang raja Jawa, dan dituliskan, dan disampaikannya secara terbuka kepada rakyatnya.
Serat Centhini juga merupakan satu-satunya naskah kuno yang menggambarkan hubungan homoseksual (penetrasi anal) dengan deskriptif. Ini membuktikan bahwa homoseksualitas sudah ada sejak berabad-abad lalu di Indonesia.
Mau tahu resep ala Serat Centhini dalam menyembuhkan penyakit kelamin? Meski sunggu sama sekali tidak terjamin secara medis, untuk menyembuhkan sakit gonorrhea itu, disebutkan dalam Serat Centhini, masukkan saja penis yang sedang ereksi ke dalam liang vagina kuda betina yang sedang menstruasi.
Adegan seks dalam Serat Centhini barangkali lebih vulgar daripada stensilan porno, atau pun video bokep versi hardcore. Namun cara penggambarannya yang deskriptif, justru terasa orisinal, segar, sering lucu, sesekali hiperbolis, dan benar-benar kita tak habis pikir, bagaimana bisa?
Gaya penceritaannya khas orang Jawa, blak-blakan dan mengena, kadang bikin kita geleng-geleng kepala. Sekilas pandang, tampaknya stereotipe gender tentang seks didobrak oleh Serat Centhini, yang terlihat dari tokoh-tokoh wanita yang mengidap deviasi seksual (hiperseks dan eksibisionis) dan beberapa kali digambarkan bahwa wanita bisa menjadi inisiator hubungan seksual. Bahkan, ada kisah janda kaya yang haus sex dan selalu membutuhkan korban dengan tiga lelaki sekaligus, sesuatu yang tak terbayangkan muncul dalam imajinasi seorang raja Jawa.
Tentu saja, kita tidak bisa sembarangan mengambil kesimpulan tergesa, mengingat penulis Serat Centhini adalah pria dan apa yang ditulisnya bisa jadi fantasi belaka (seperti wanita yang menggemari fiksi cinta sesama pria dan pria menyukai adegan wanita bercumbu dengan sesamanya). Namun bagaimana pun, sekali lagi, lebih tak terbayangkan itu muncul dari fantasi seorang raja Jawa, dan dituliskan, dan disampaikannya secara terbuka kepada rakyatnya.
Serat Centhini juga merupakan satu-satunya naskah kuno yang menggambarkan hubungan homoseksual (penetrasi anal) dengan deskriptif. Ini membuktikan bahwa homoseksualitas sudah ada sejak berabad-abad lalu di Indonesia.
Mau tahu resep ala Serat Centhini dalam menyembuhkan penyakit kelamin? Meski sunggu sama sekali tidak terjamin secara medis, untuk menyembuhkan sakit gonorrhea itu, disebutkan dalam Serat Centhini, masukkan saja penis yang sedang ereksi ke dalam liang vagina kuda betina yang sedang menstruasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar