Jokowi, lepas dari suka tidak suka, menyita perhatian
publik, rakyat Indonesia yang mengimpikan hadirnya seorang pemimpin. Jokowi
adalah sang phenomenon, dan itu sangat nyata.
Bersama pasangannya, Ahok, dua orang ini menjadi
perbincangan publik yang menarik. Ada yang suka, dan ada yang tidak suka, itu
pasti. Tapi yang paling menarik, dari barisan yang suka maupun tidak, lebih
melihat Jokowi-Ahok sebagai personalitas. Dan kemudian, akibatnya, yang lebih
dilihat adalah pesona-pesona dan kontroversi pribadinya. Jarang yang secara
cermat melihat bagaimana sistem dan mekanisme kerja mereka.
Perdebatan antara Ahok dan Haji Lulung, sebagai misal, adalah
contoh bagaimana persoalan personalitas lebih menyita perhatian. Tak urung para
ahli komunikasi politik, dan juga ahli pemerintahan dari kampus, lebih
mencermati mengenai gaya kepemimpinan, dan bukan bagaimana dua sosok itu
dilihat pada konsep dan kemudian hasil akhirnya.
Tentu saja, dalam waktu yang pendek, kedua pemimpin itu
belum bisa dilihat hasilnya, apalagi jika pemimpin-pemimpin era setelah Ali
Sadikin, tak pernah terlihat kiprahnya, dan seolah Jakarta memar karena
masalahnya. Kemacetan, banjir, kerawanan sosial, kenyamanan, tidak pernah
mendapat sorotannya yang komprehensif, dan yang paling, tidak pernah dilihat
akar masalahnya.
Keruwetan Tanah Abang sebagai contoh konkretnya, adalah
merupakan masalah turunan yang seolah tak bisa dituntaskan. Sementara, dengan
gaya dua pendekar mabuk, Jokowi-Ahok mampu mengangkat akar permasalahannya ke
permukaan.
Jakarta, meski disebut sebagai kota Metropolitan, ibukota
negara, namun benar seperti dikatakan Bang Ali, tak lebih sebagai sebuah
kampung besar. Begitu banyak kaum urban yang datang ke sana, namun
perikehidupannya sebagai urbanis tak lekang dari adat dan perilaku kebiasaan
mereka dari daerah-daerah, yang sudah barang tentu tipologi dan karakternya
berbeda.
Jakarta, benar-benar sebuah wilayah dengan aturan yang lebih
banyak ditegakkan oleh mekanisme ekonomi rente, dengan hadirnya
penguasa-penguasa non-formal di semua lini. Bersamaan dengan waktu, muncul
kelompok-kelompok etnis (dan agama), yang mendewakan warna identitas
eksklusifnya baik sebagai alat pertahanan diri dan sekaligus alat pressure.
Penegakan hukum, benar-benar sangat lemah, karena hukum
sering ditunggangi untuk kepentingan-kepentingan di luar keadilan. Hukum
hanyalah alat tawar-menawar dalam soal legitimasi dan deligitimasi. Munculnya
ekonomi rente, menyebabkan semua lapis sosial masyarakat mementingkan diri dan
kelompoknya, dan pada akhirnya hukum rimba menyodorkan peluang siapa kuat, atau
berkuasa (dan dekat dengan kekuasaan), yang akan memenangkan pertandingan.
Negara, yang dijalankan dengan membentuk alat-alat
pemerintahan, di bidang hukum, ekonomi, politik dan sosial, sudah terdidik
untuk lebih melayani dirinya sendiri. Sehingga yang terjadi kemudian sistem
sosial yang berdasarkan barter kepentingan dalam levelnya yang paling rendah.
Bahwa seseorang ada lebih karena ia memiliki makna dan mewadahi kepentingan apa.
Di luar itu, maka orang dianggap tidak ada. Orang hanyalah obyek dari semua
kriteria hukum dibuat, tetapi dalam tahapan paling rendah, yakni sebagai obyek
korban.
Seolah tidak ada ruang bagi anggota masyarakat untuk menjadi
subyek hukum, yang dari sana akan terbangun tatanan masyarakat yang toleran,
saling menghargai, dan memberikan kesempatan.
Para pedagang kaki lima, baik di Tanah Abang atau pun di
tempat lainnya, mereka bergerak karena demikianlah mekanismenya. Namun, karena
mereka berposisi sebagai obyek, maka dalam perilaku sosial-ekonomi mereka,
apalagi secara hukum dan politik, bisa dipermainkan oleh siapapun yang
mempunyai kekuatan, baik formal maupun non-formal.
Kepemimpinan Jokowi-Ahok, sesungguhnya kepemimpinan yang
simpel, sederhana saja, ialah bagaimana mereka menjadi pelayan publik, dan
menegakkan aturan, tetapi dengan memposisikan rakyat sebagai subyek pelakunya.
Itulah yang menyebabkan mereka menjadi fenomenal, karena memang tak banyak
tipologi kepemimpinan seperti ini.
Dan bahwa ada perlawanan pada mereka, tentu lebih karena
tidak semua orang siap berubah, menyongsong sebuah era, di mana semua sama di
depan hukum. Para preman, resmi maupun tidak, berseragam atau pun tidak, pasti
tidak akan nyaman dengan perubahan itu. Persoalan Jakarta, dan sesungguhnya
Indonesia pada umumnya, adalah bagaimana aturan hukum ditegakkan untuk
sebesar-besarnya pemuliaan negara dan rakyatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar