Politik kita hari-hari ini adalah politik reaksioner. Para politikus begitu reaktif dengan berbagai hal. Entah karena keterbukaan serta perkembangan teknologi media informasi dan komunikasi, yang membuat aneka rupa komentar, atau karena karakter ringan mulut para politikus itu.
Lihatlah tentang fenomena Jokowi-Ahok, komentar pro-kontra begitu rupa, tetapi semuanya hanya berkisar pada karakter, style, personalitas. Tak pernah, atau setidaknya jarang, kita melihat orang-orang berkomentar, apa dan bagaimana konsep Jokowi-Ahok untuk Jakarta, mana kelemahannya, mana kekuatannya, dan bagaimana sebaiknya, mari kita bicarakan dan dorong bersama.
Bahkan, komentar terbaru, masih tentang Jokowi-Ahok muncul dari Effendy Simbolon, yang notabene satu partai dengan Jokowi. Dikatakan, bahwa Jokowi bukan politikus sejati, ia seorang pragmatis sebagaimana SBY, tidak mengalami penderitaan dan lapangan. Sebuah pernyataan yang aneh, karena dengan segera orang mengetahui, Simbolon ingin membandingkan Jokowi dengan dirinya, yang jauh lebih berdarah-darah berjuang di PDI Perjuangan, eh, sudah demikian waktu pilgub Sumatera Utara, beliau yang anak Medan itu dikalahkan oleh Gatot Pujo, dari PKS, yang orang Magelang.
Demikian juga misalnya ramai-ramai antara Ahok dengan Haji Lulung. Begitu banyak politikus dari Golkar, Demokrat, PPP, turut serta berkomentar di media, yang isinya sesungguhnya hanya dua; tidak penting amat, dan asbac (asal bacot). Bukan hanya para politikus, para kompetitor, bahkan anggota MPR, atau pun juga para akademisi (herannya hampir kebanyakan dari UI), juga menyorot tentang gaya kepemimpinan dan karakter Jokowi-Ahok, utamanya pada Ahok.
Dan jangan lupa, berbagai komentar itu tentu kita akses lewat media, karena mereka memang "ngomong" lewat media, entah karena wartawan yang mencari mereka, atau sebaliknya. Namun bahwa faktanya mereka kemudian ngomong ke media, artinya per-individu, mereka mengijinkan pendapatnya di publish, dikonsumsi banyak orang.
Media massa, di tengah perubahan iklim politik kita, memang menjadi bagian yang diuntungkan, ketika demokratisasi mendorong pula partisipasi. Persoalannya tentu, demokrasi tanpa elemen dan dasar yang kuat hanya akan memunculkan situasi yang tak jarang tak terkendali, karena semua orang merasa berhak, penting tidak penting, benar dan tidak benar. Pada akhirnya juga, hukum rimba yang diterapkan, siapa kuat dia menang. Kuat bisa karena duit, karena mayoritas, atau pun karena tidak tahu malu untuk melihat apakah dirinya pantas atau tidak. Bahkan kemudian yang akan terlihat, "asu gedhe menang kerahe". Kebenaran dalam arti sebenar-benarnya, menjadi rancu, meski pun yang esensial kita pasti tahu. Namun kebenaran esensial sering bisa disembunyikan, manakala kita memang baru dalam tahap demokrasi paling elementer, demokrasi dalam pengertian kuantitatif, dengan andalan formal-proseduralnya yang khas.
Lihat perdebatan-perdebatan di ruang-ruang publik, yang mengdepankan berbagai orang pintar itu, dipenuhi dengan interpretasi dan justifikasi, yang pada dasarnya, masing-masing lebih menonjolkan kemenangan diri-sendiri menjadi lebih penting daripada "apa sih sebenarnya masalahnya, dan jika itu masalah yang negatif, bisa tidak dicarikan jalan keluar agar kita bisa berubah menjadi positif"?
Tidak pernah ada pertanyaan itu, sehingga diskusi tinggal diskusi, pertengkaran tinggal pertengkaran yang tak berkesudahan. Fenomena itu nanti bisa berujung pada istilah klasik, ganti pejabat ganti aturan.
Dalam kasus FPI (dipicu kasus Kendal) misalnya, kita melihat dari Presiden, Kapolri, Mendagri, Menag, yang notabene masih sekandang dengan Presiden SBY, sama sekali tak bisa menuntaskan masalah, karena masing-masing sibuk dengan argumentasi cuci-tangannya. Dan yang paling gampang, Bupati Kendal-lah (menurut Mendagri) yang harus mengatasi persoalan FPI di Kendal. Dan seterusnya.
Celakanya celaka, media memanfaatkan situasi itu untuk strategi dagangan. Sehingga kadang-kadang mereka seperti menari di gendang orang. Memanfaatkan situasi itu, dan mengabaikan fungsi mereka yang sesungguhnya juga secara directing (sebagai barisan terdidik) pada arah perkembangan bangsa. Apalagi, jika media itu milik orang-orang yang dengan kekayaan materialnya, menghimpun untuk meraih kekuasaan, misal dengan mendirikan partai politik, menguasai partai politik, dan bahkan mencalonkan dirinya menjadi penguasa (baik di legislatif, yudikatif, bahkan menjadi presiden).
Lantas kapan kita bersama-sama bekerja, bergotong-royong membangun negeri ini? Senyatanya, utang luar negeri kita makinh menumpuk, kekayaan alam kita makin terjepit kekuasaan modal asing, rupiah melemah, negosiasi internasional kita tak berwibawa,... semuanya itu tentu penanda, bahwa selama kemerdekaan kita, tak ada perkembangan menarik di negeri ini. Beberapa kali ganti presiden, tetap saja yang kita dapatkan adalah pemerintah yang tidak mampu bekerja dengan baik.
Di mana sesungguhnya letak kesalahan kita sebagai bangsa?
Pada ketidakmampuan kita berhimpun bersama-sama, karena kepemimpinan nasional yang tanpa agenda untuk masa depan bangsa dan negara ini. Tidak adanya persatuan Indonesia. Dan tentu saja, itu mesti disudahi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar