Mengapa Sukarno, atau Bung Karno, tak mau bangsanya disebut Bangsa Tempe? Bukankah kita tahu, tempe adalah makanan bergizi, dan bukankah Bung Karno sendiri selalu meminta tempe pada setiap menu makannya?
Jangan buru-buru protes hanya gara-gara istilah. Bung Karno bukan tidak tahu itu. Tapi Bung Karno tidak mau rakyat Indonesia diperlakukan bagai bungkil kedelai, yang hendak dijadikan tempe. Selalu dinjak-injak, dan setelah jadi tempe baru dimamah-papah. Spiritnya, Bung Karno tak mau bangsa ini hanya hidup dinjak-injak oleh dan disajikan untuk bangsa lain.
Sudah tercapaikah? Pada 17 Agustus 1945, salah satu pidato Bung Karno menyebut, kemerdekaan sebagai pintu gerbang, sebuah jembatan ke. Jadi? Sudah melewati pintu gerbangkah kita dan menyeberangi jembatan itu, menuju masyarakat yang adil, damai, sejahtera?
Marilah sejenak membaca tempe. Waktu Bung Karno masih presiden, ada dua jenis makanan yang tak pernah absen dari meja makan Istana. Daun singkong, yang digulai, dan tempe goreng. Karena sederhana, Sukarno tak pernah menawarkan makanan ini pada tamu-tamu negara. Tapi itulah dua makanan paling disukainya.
Tapi, tahukah Bung, di Indonesia, kedelai yang menjadi sumber gizi protein nabati utama itu, kini harus kita impor, sebagai bagian terbesar kebutuhan akan kedelai? Tiap tahun, Indonesia mengimpor tiga juta ton kedelai! Jangan pula soal kedelai, tapi soal beras, daging sapi, garam, ikan teri, dan rombongannya itu, masih banyak yang impor. Membanggakan? Sama sekali tidak. Karena itu menunjukkan buruknya kemandirian bangsa ini, yang masih bisa dikangkangi para kartel ekonomi kita. Bangsa dan negara ini, sama sekali tak diuntungkan.
Meski 68 tahun proklamasi kemerdekaan telah dicanangkan, meski lebih 15 tahun lalu reformasi bergulir, Indonesia masih belum memenuhi kriteria negara demokrasi, yang membawa keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan. Ekonomi rente dari Soeharto hingga Susilo, makin memburuk. Terlalu banyak calo dan preman dalam praktik ekonomi kita.
Mulai dari sektor pendidikan, ekonomi, hingga budaya, kita belum sukses menjadi negara demokrasi. Belum ada perubahan signifikan dan mendasar dari tahun-tahun kemerdekaan kita. Aspek ekonomi, belum terbangun, padahal secara fundamental itu berhubungan dengan pembentukan negara demokrasi.
Jika rakyat memiliki ekonomi yang baik, mereka akan memiliki sifat independen. Tidak mudah terpengaruh politik uang, suap dari partai politik tertentu saat pemilihan umum, dan ketergantungan pada momen politik, apapun, untuk kepentingan individu dan kelompok.
Padahal, semestinya, di negara yang demokrasinya tumbuh, rakyat harus independen. Bukan hanya dilihat dari pendapatan per-kapita, tapi juga melihat jumlah orang miskin di Indonesia. Saat ini, uang masih berbicara di dunia politik. Dan tentu, itu bukan pertanda demokrasi berjalan, melainkan demokrasi diperalat.
Aspek pendidikan penting, agar masyarakat dapat mengambil keputusan dengan pertimbangan. Dan itu tak berjalan baik. Negara demokrasi, adalah negara dengan pemerintahan dari rakyat oleh rakyat, maka masyarakat berpendidikan diperlukan untuk masa depan negara ini. Tapi faktanya, angka pendidikan kita rendah, dalam jangka dan jumlah, kualitas SDM kita tersalip beberapa negara Asia-Pacifik yang dulu jiper dengan Indonesia.
Pendidikan Indonesia kurang ditunjang. Akibat lebih jauh, untuk aspek budaya, kebiasaan berdemokrasi masih rendah. Istilah ‘democratic bargaining’, atau keadaan di mana dalam berdemokrasi dapat menang atau kalah, belum dianut seluruh rakyat Indonesia. Belum siap menang, dan apalagi, belum siap kalah. Belum lagi jika masih ada yang belum bisa menerima orang dari etnik lain, dan apalagi, dari agama lain, untuk menjadi pemimpin.
Kenapa bisa begitu? Karena memang kita belum menjadi bangsa dan negara yang berdemokrasi. Apalagi, baru mengajak ngomong demokrasi, belum-belum sudah dituding membawa thagut atau dajjal dari Barat. Terus kita disuruh mengamini konsep yang dibawanya, apalagi kalau dia yang jadi pemimpinnya, atas wangsit dari Tuhan, yang kalau korupsi nanti itu biar urusan malaikat Raqib dan Atid. Pale lu, peyang!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar