Sebentar hari lagi, kita akan memperingati proklamasi
kemerdekaan yang dibacakan oleh Sukanro pada 17 Agustus 1945. Mari membaca
sejarah sejenak.
Jika beberapa tahun lampau Gus Dur meninggalkan Istana
Negara hanya bercelana kolor, kisah terusirnya Sukarno dari Istana jauh lebih
dramatis, tapi jauh pula dari kesan peristiwa teater.
Syahdan, tak lama setelah mosi tidak percaya parlemen
bentukan Nasution, 1967, MPRS menunjuk Soeharto sebagai Presiden RI. Sukarno
menerima surat, dalam waktu 2 X 24 jam, dirinya harus segera meninggalkan
Istana.
Bung Karno pergi ke ruang makan dan melihat Guruh sedang
membaca sesuatu, “Mana kakak-kakakmu?”
Guruh menoleh ke arah Bapaknya, “Mereka pergi ke rumah Ibu.”
“Mas Guruh, Bapak tidak boleh lagi tinggal di Istana ini
lagi, kamu persiapkan barang-barangmu, jangan kamu ambil lukisan atau hal lain,
itu punya negara,...”
Pesan yang sama disampaikan Sukarno pada semua ajudan-ajudannya
yang setia. Beberapa ajudannya sudah tidak kelihatan, karena sudah ditangkapi
dengan dugaan terlibat Gestapu. “Aku sudah tidak boleh tinggal di Istana ini
lagi, kalian jangan mengambil apapun, Lukisan-lukisan itu, souvenir dan
macam-macam barang. Itu milik negara."
“Kenapa bapak tidak melawan, kenapa dari dulu bapak tidak
melawan,…” salah satu ajudan separuh berteriak memprotes tindakan diam Sukarno.
“Kalian tahu apa! Kalau saya melawan, nanti perang saudara.
Perang saudara itu sulit. Jikalau perang dengan Belanda, jelas hidungnya beda
dengan hidung kita. Perang dengan bangsa sendiri, tidak! Wajahnya sama dengan
wajahmu. Keluarganya sama dengan keluargamu. Lebih baik saya yang robek dan
hancur, daripada bangsa saya harus perang saudara,...”
Tiba-tiba beberapa orang dari dapur berlarian saat mendengar
Sukarno hendak meninggalkan Istana, “Pak kami memang tidak ada anggaran untuk
masak. Tapi kami tidak enak bila bapak pergi belum makan. Biarlah kami patungan
dari uang kami, untuk masak agak enak dari biasanya,...”
Hari kedua saat Sukarno sedang membenahi baju-bajunya,
datang perwira suruhan Soeharto, “Pak, Bapak harus segera meninggalkan tempat
ini!”
Beberapa tentara sudah memasuki ruangan tamu, menyebar
sampai ke ruang makan. Mereka juga berdiri di depan Sukarno dengan senapan
terhunus. Sukarno segera mencari koran bekas di pojok kamar. Dalam pikiran
Sukarno, yang ia takutkan bendera pusaka akan diambil oleh tentara. Lalu dengan
cepat Sukarno membungkus bendera pusaka dengan koran bekas. Ia masukkan ke
dalam kaos oblong. Sukarno berdiri sebentar menatap tentara-tentara itu, namun
beberapa perwira mendorong tubuh Sukarno keluar kamar.
Sesaat ia melihat wajah Saelan, ajudannya, “Aku pergi
dulu,...”
“Bapak tidak berpakaian rapih dulu, Pak,...” Saelan separuh
berteriak. Sukarno hanya mengibaskan tangannya. Sukarno langsung naik VW Kodok,
satu-satunya mobil pribadi yang ia punya, dan meminta sopir mengantarnya ke
Sriwijaya, rumah Ibu Fatmawati.
Para tentara itu tak tahu, Sukarno membawa benda milik
negara, bendera merah-putih itu. Ia meninggalkan barang-barang koleksi pribadi
(seperti lukisan, patung, souvenir, dll) yang dikatakannya sebagai milik
negara. Sementara, bendera merah putih yang dijahit oleh Ibu Fatmawati, yang
dikibarkan pertama kali pada 17 Agustus 1945, diam-diam dibawanya.
Bendera itu, kini kembali ke negara, dan tiap 17 Agustus
menemani bendera tetironnya, diarak dan dikeramatkan. Tapi, kita tak pernah
tahu, bagaimana cara membaca sejarah bendera pusaka itu dengan benar, bagaimana
bangsa ini sejak lama telah diajari soal khianat.
Perjalananan belum berakhir sampai di sini.
Di rumah Fatmawati, isterinya, Sukarno hanya duduk seharian
di pojokan halaman. Matanya kosong. Ia meminta bendera pusaka dirawat
hati-hati. Kesibukan Sukarno hanya mengguntingi daun-daun di halaman. Kadang-kadang
ia memegang dadanya yang sakit. Ia sakit ginjal parah, namun obat yang biasanya
diberikan, sudah tidak boleh diberikan. Sisa obat di Istana dibuangi.
Suatu saat, Sukarno mengajak ajudannya yang bernama Nitri,
untuk jalan-jalan. Saat melihat duku, Sukarno sangat kepengen, tapi ia tidak
punya uang.
“Aku pengen duku, Tri, Sing Ngelah Pis, aku tidak punya uang,...”
Nitri yang uangnya pas-pasan juga melihat ke dompetnya, ia
merasa cukuplah buat beli duku sekilo. Lalu Nitri mendatangi tukang duku, “Pak,
bawa dukunya ke orang yang ada di dalam mobil.”
Tukang duku itu berjalan dan mendekat ke arah Sukarno,
dengan logat Betawi yang kental, “Mau pilih mana, Pak manis-manis nih,... ”
Sukarno dengan tersenyum senang berkata, “Coba kamu cari
yang enak.”
Tukang Duku itu mengernyitkan dahinya. Ia merasa kenal
dengan suara ini. Lantas tukang duku itu berteriak, “Bapak,… Bapak,… Bapak,… Itu
Bapak,…! Bapaak!”
Tukang duku malah berlarian ke arah teman-temannya di
pinggir jalan, “Ada Pak Karno, ada Pak Karno,….”
Tak ayal, orang-orang berlarian ke arah mobil VW Kodok warna
putih itu, dan dengan serta merta para tukang buah memberikan buah-buah pada Sukarno.
Awalnya Sukarno tertawa senang. Ia terbiasa menikmati kegembiraan
bersama rakyatnya. Tapi keadaan berubah total dalam pikirannya. Ia takut rakyat
yang tidak tahu apa-apa ini lantas digelandang tentara, gara-gara dekat dengan
dirinya.
“Tri, berangkat,…. Cepat!” perintah Sukarno, dan ia
melambaikan tangan pada rakyatnya yang terus menerus memanggil namanya, bahkan
ada yang sampai menitikkan air mata. Pastilah mereka mengerti, pemimpinnya
dalam keadaan susah.
Dan kita tahu bagaimana cerita selanjutnya. Mengetahui bahwa
Sukarno sering keluar dari jalan Sriwijaya, membuat beberapa perwira Soeharto
tidak suka.
Tiba-tiba, pada satu malam, ada satu truk ke rumah Fatmawati.
Mereka memindahkan Sukarno ke Bogor. Di Bogor Sukarno dirawat oleh seorang dokter
hewan. Hingga kemudian dipindah ke Wisma Yaso, sebagai tahanan politik. Hingga
kemudian wafatnya yang sangat menderita, sebagaimana pada hari-hari akhirnya
ketika dibezoek oleh Bung Hatta. Kita tahu semuanya itu. Dan kita tidak habis
mengerti, bagaimana orang mendudukkan Soeharto sebagai bapak pembangunan.
Kita tahu bagaimana negeri ini kemudian dibangun atas dusta
Orde Baru, dan berlanjut sampai kini, ketika integritas bangsa dan negara
ditubir maur, ketika intoleransi mendapatkan pembiaran oleh negara, ketika impor
barang-barang kebutuhan dari luar, utang luar negeri yang membubung, nilai
tukar rupiah yang makin merosot, hanyalah bukti bahwa pintu gerbang
kemerdekaan, dan jembatan emas menuju masyarakat adil dan makmur sebagaimana
cita-cita 17 Agustus 1945 itu, masih sangatlah jauh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar