Sewaktu masih anak-anak dahulu, tatkala masih bersekolah di
Sekolah Dasar, setiap bulan Ramadhan khususnya pada malam-malam sepuluh yang
terakhir, teristimewa pada malam 27, baik oleh guru ngaji ataupun kata-kata
orangtua, pada salah satu malam itu ada yang disebut sebagai malam Lailatul
Qadar, dan sesuai dengan perkataan dari mereka, jika kita bisa bertemu dengan
yang namanya malam Lailaitul Qodar tadi, kita akan menjumpai kayu-kayu,
gunung-gunung dan segala penghuni alam semesta ini akan sujud dan pintu langit
akan terbuka dan juga pada waktu itu segala permintaan akan dikabulkan. Dengan
syair dari Taufiq Ismail, Bimbo punya lagu yang bagus mengenai malam Lailatul
Qadar itu. Acil yang menyanyikan kalau tak salah.
Salah seorang teman saya, bertanya kepada guru
ngaji kami, "Apakah kita bisa meminta sepeda?”
Dengan spontan guru ngaji kami menjawab, “Bisa! Hanya saja
jarang sekali orang mendapatkan waktu itu karena disebabkan mengantuk yang
teramat sangat,...”
Pada malam-malam tersebut, khususnya pada malam 27 Ramadhan,
kami tetap menyalakan lilin di sekeliling rumah ataupun obor dan mainan yang
kesemua itu untuk menerangi perkampungan yang masih sedikit terjamah oleh
listrik. Lagi pula, belum ada masjid di kampung kami, hanya di sebuah rumah
pribadi dari guru ngaji kami.
Tak sebagaimana sekarang, jika saya pulang kampung, sudah
ada beberapa masjid. Di kampung saya sendiri, baru satu masjid, tapi kampung
sebelah sudah memiliki empat masjid. Orang-orangtua yang sekarang ini tampak
alim, banyak merenung di masjid. Dari yang mengaji, berzikir, dan semua
menghadap Mighrab, guna mengharap menemui sesuatu yang selalu dicari, yakni
Lailatul Qodar.
Kebiasaan tersebut kini mewabah. Agak mengharukan juga,
mengingat kampung saya dulu kampung pinggiran, abangan, dan tempat
persembunyian segala macam profesi hitam. Dari maling, copet, pelacur, dan
sejenis-jenis itu. Sekarang ini, anak-anak kampung sudah fasih berpakaian
taqwa, dengan baju koko, peci, kopiah, jilbab dalam bentuk yang agak berbeda.
Tak sebagaimana masa kanak-kanak saya dulu, yang paling-paling hanya memakai sarung,
itu pun berfungsi sebagai selimut jika tidur.
Namun pula, setelah kita beranjak dewasa dan perjalanan
hidup telah banyak dilewati dengan berbagai macam pergulatan dunia,
berangsur-angsur pula kita menyadari, rasanya Lailatul Qodar itu tidaklah
pernah kita temui, dan kitapun mulai curiga akan perkataan orang-orangtua serta
guru ngaji kami dulu.
Kita, setidaknya kami, atau tepatnya saya, tidak pernah
menemui yang namanya gunung dan kayu-kayu sujud, apalagi rumah yang sujud itu
seperti apa. Dan ironisnya, melihat orang yang sujudpun kadang kita menjumpai
hal yang langka, kecuali di langgar (mushalla) yang ukurannya sama sekali tidak
sebanding dengan jumlah penduduk di sekitar masjid sekarang ini.
Dalam hati kita mulai curiga, kepada yang menerangkan kepada
kita, akan hal-hal aneh yang tidak masuk akal itu. “Apakah benar ada Lailatul
Qodar itu?”
Seorang teman saya, yang dulunya penyair tapi kini menjadi
ustadz, dan memiliki sebuah pesantren, menuturkan cerita berikut:
Suatu ketika, Umar Bin Khattab berjalan dengan tergesa-gesa,
sambil menenteng pedang terhunus, dan di tengah jalan ia dicegah oleh seseorang
sembari bertanya, "Hendak kemanakah kiranya kamu, hai Umar?"
Umar langsung menjawab, “Saya mau mencari Muhammad, dan akan
membunuhnya, karena dia telah banyak menyesatkan banyak orang dengan
dakwah-dakwahnya,...."
“Sebaiknya, sebelum kamu membunuh Muhammad, ya Umar,
alangkah baiknya jika engkau menemui saudara perempuanmu dulu, sebab saudara
perempuanmu itu pun telah ikut ajaran yang dibawa oleh Muhammad.”
Segera Umar membalikkan tubuh, menuju rumah saudara
perempuannya.
Sesampai di rumah saudara perempuannya, tanpa basa-basi,
Umar langsung menendang pintu, dan melihat adik serta suami adiknya sedang
belajar (membaca) sesuatu.
Ketika melihat Umar datang, adiknya langsung menyembunyikan
tulisan dari kulit unta tersebut, ke balik bajunya. Namun, Umar melihat, dan
tanpa banyak bicara langsung membanting adik iparnya, serta kemudian
mencengkeram adiknya, “Apa yang kamu baca, dan apa yang kamu sembunyikan di balik
bajumu?”
Adiknya menjawab, “Itu ayat Qur’an, dan abang tidak boleh
membacanya, karena abang masih musyrik dan masih najis,..."
Tanpa peduli ucapan adiknya, Umar langsung menempeleng bibir
adiknya hingga pecah, dan segera menyentakkan buku dari tangan adiknya.
Buku itu dibuka oleh Umar, dan dia menemukan ayat yang
tersurat dilembaran buku tersebut, yaitu pangkal Surah Thaha ayat 1-4:
1. Thaahaa.
2. Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu untuk
menyusahkan dirimu,
3. Tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada
Allah),
4. Yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan
langit yang tinggi.
Badan Umar bin Khatab langsung gemetar, karena serasa yang
dibacanya tadi dicurahkan khusus untuknya. Segera Umar tertunduk lesu, dan
sambil berpegangan ke dinding rumah, ia bertanya dengan suara pelan kepada
adiknya, “Dimana Muhammad sekarang berada?”
“Kami tak akan mengatakannya kepadamu,” jawab adiknya.
“Tolonglah katakan, Saya mau masuk Islam,...”
Dengan perasaan riang gembira, kedua adiknya langsung
mengucapkan, “Allahu Akbar,...!” serta menunjukkan kepada Umar, bahwa Kanjeng
Nabi berada di rumah sahabat Arqom bin Arqom.
Demikianlah Umar bin Khattab, pada awal Islamnya.
Sebagaimana kita ketahui, Umar bin Khattab adalah Seorang pemimpin umat yang bisa
menggabungkan antara Ulama dan Umaro.
Bila kita menilik kepada sekitar kita ataupun jika kita
membaca sejarah, banyaklah lagi yang kita temui perjalanan hidup seseorang
seperti Umar bin Khattab tadi. Pada mulanya, orangnya jahil, dan tiba-tiba oleh
kekuasaan Allah, orang tersebut langsung berbalik menjadi orang besar, dan
Ulama. Ia diberkati, sebagaimana panjang lebar diuraikan dalam Surah Al-Qodr.
Pada malam itu, malaikat turun bersama ruh, dan juga malam itu lebih mulia dan
lebih baik, dari pada seribu bulan.
Hati yang tadinya sekeras batu, dan sanggup membunuh anak
perempuannya sendiri, akhirnya menjadi apa yang selalu kita sebut dengan
hulafa’urrosyidin. Inilah satu detik yang mengubah hidup.
Saya mempercayai, itulah lailatul qadar bagi Umar bin
Khatab, dan memunculkan premis berarti Lailatul Qodar tidak hanya bisa dijumpai
pada malam-malam bulan Ramadhan. Hal seperti itu akan kita dapati juga pada
waktu-waktu lain, jika kita benar-benar masuk (ke inti) sebagaimana disebut
Allah dalam surah Al-Baqarah, "Masuklah kamu ke dalam Islam dengan sebenarnya,
dan jangan sekali-kali mengikuti langkah-langkah Syetan, karena ia musuhmu yang
sangat nyata."
Hanya saja pengalaman rohani kita kadang sulit untuk
diceritakan kepada orang lain. Imam Al-Ghozali pernah berkata, “Seandainya saya
ceritakan kepada kalian, apa-apa yang saya rasakan, pasti kalian akan menuduh
saya orang gila,...” Bukan karena ketiadaan atau tumpulnya logika, namun karena
soal kepentingan dan keyakinan yang berbeda.
Dunia ini perlu, dan sangat perlu, meski memang sebagaimana
kebanyakan dari kita, merasakankan sendiri, betapa susahnya untuk mengurusi
masalah duniawi ini. Namun meski demikian, sebagai hamba Allah yang paling
sempurna, adakah kita telah adil dengan mengabstraksikan dunia ini seolah tanpa
batas, sementara hidup kita berbatas?
"Janganlah dunia ini (harta dan keluarga), menghalangi
kamu dari mengingat Allah, dan barangsiapa yang memperbuat demikian maka
termasuklah dia orang yang merugi" (QS: Al-Munafiqun Ayat 9).
Meski, memang, lailatul qadar adalah malam yang lebih baik
dari pada seribu bulan, yang tidak ada lailatul qadar dan pendapat paling kuat
bahwa ia terjadi di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, terlebih lagi pada
malam-malam ganjil, yaitu malam 21, 23,25,27, dan 29, sebagaimana firman Allah
yang artinya: Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. (QS.al-Qadar
:3). Namun, tidak ada matematika dalam keyakinan itu.
Dalam sunyi i’tikaf kita di malam-malam Lailatul Qadar,
seberapa yakin kita menyatukan antara pikiran dan rasa kita. Bukan
"sekedar" i'tikaf dalam istilah syar’i, yang berarti berdiam di
masjid, untuk beribadah kepada Allah dengan cara tertentu, sebagaimana telah
diatur oleh syari’at. Namun i’tikaf yang dalam makna berdiam diri atau menahan
diri pada suatu tempat, tanpa memisahkan diri.
Jangan pantaskan diri kita tidak menerimanya, sekiranya kita
bersungguh-sungguh meyakini. Karena sedang pada diri kita sendiri, kita sering
tidak bisa mengerti, apalagi mengurusi keimanan orang lain, sementara Allah
hanya memberikan batasan yang sederhana, ialah berbajik-bajik padanya, dengan
'n' besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar