Dalam
sidang pengadilannya, yang kemudian dikenal dalam 'Indonesia Menggugat', Bung
Karno pernah membuat terperanjat Mr Siegenbeek van Heukelom, di Landraad
Bandung tahun 1930. “Ik ben een revolutionaire” (Saya seorang revolusioner),
tegas Bung Karno. Tetapi katanya kemudian, “Ik werk niet met bommen en
granaten” (Saya bekerja tanpa bom dan granat).
Hakim kolonial itu sangat kaget, karena Bung
Karno menyebut bahwa Yesus adalah seorang yang revolusioner, meskipun Ia
bekerja tanpa kekerasan. “Revolusi”, kata Bung Karno, adalah “eine Umgestaltung
von Grundaus” (perubahan sampai ke akar-akarnya), baik dalam hal politik maupun
dalam ajaran keagamaan. Apalagi Bung Karno kemudian di luar kepala dapat
menghapal Injil Yohanes Pasal 1 dalam bahasa Belanda.
Sebagai seorang Muslim, Bung Karno meyakini
petunjuk-petunjuk wahyu dalam Al Quran dan Hadits, tetapi ayat-ayat suci
berbagai agama tersebut juga turut memperkaya spiritualitasnya. Hal itu dapat
dimengerti, sebagaimana ditulis Cindy Adams, karena kesadaran Bung Karno, bahwa
kebenaran itu tunggal dan satu-satunya suara kemanusiaan adalah Kata dari Tuhan
(Sukarno An Autobioghraphy, 1965).
Menariknya, seperti diungkapkannya sendiri,
spiritualitasnya yang begitu luas dan “melintas batas” agama-agama itu, lahir
dari “mi’raj-nya dunia pemikiran”, sebagaimana pendakian seorang salik juga
disebut “uruj mir’raj”. Hua al-khuruj ‘an kulli syai’in siwallah (Keluar dari
segala sesuatu yang bukan Allah). Bung Karno memakai ungkapan sejajar, “Saya
naik ke langit, mi’raj dalam dunianya pemikiran. Bung Karno, in the world of
the mind, bertemu dengan tokoh-tokoh dunia, seperti Thomas Jefferson,
Garibaldi, Mustafa Kemal Atarturk, Mustafa Kamil, Karl Marx, Engel, Stalin,
Trosky, Dayananda Saraswati, Krisna Ghokale dan Aurobindo Gosye,..."
Dan, ketika ia mendarat ke bumi Indonesia, ia
menghadapi kenyataan-kenyataan bangsanya. Di situlah ia mendapatkan sebutan
itu, the founding father of the nation. Orang boleh menghina-dina Pancasila,
namun proses penemuan perumusan nilai-nilai dari ke-lima sila itu, bukan hanya
proses intelektualitas seseorang, melainkan proses spiritualitas yang berdarah-darah.
Memang hari-hari terakhirnya, Bung Karno harus
menjalani via dolorosa (jalan sengsara) di sebuah “karantina politik”. Sendiri
dan sepi. Sebagaimana Sutasoma, Bung Karno justru menyerahkan dirinya sendiri,
rela tenggelam demi keutuhan bangsa dan negaranya. “Cak Ruslan, saya tahu saya
akan tenggelam. Tetapi ikhlaskan Cak, biar saya tenggelam asalkan bangsa ini
selamat, tidak terpecah belah”, tegasnya kepada Ruslan Abdulgani dalam salah
satu tulisannya.
Masih menurut Cak Ruslan, Bung Karno terakhir
kali menerima delegasi mahasiswa dari GMKI dan PMKRI tahun 1967. Pada waktu itu
Bung Karno mengutip Yesus: “Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba di
tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus
seperti merpati”. Juga, “Mereka akan menyesah kamu, kamu akan digiring ke muka
penguasa-penguasa dan raja-raja” (Injil Matius 10:16-18).
Maka Bung Karno menempuh jalan ahimsa (tanpa
kekerasan), ketika drama pengalihan kekuasaan itu bahkan hanya berlangsung 2-3
babak saja. Semua berjalan begitu cepat dan rapi. Sang Penyambung Lidah Rakyat
pun akhirnya tenggelam, meskipun Orde Baru yang “menjambret” kekuasaannya tidak
pernah mampu menguburkan pengaruhnya yang besar. Demikian jiwa kenegarawanan
Bung Karno. Sejarah juga mencatat, dengan spiritualitasnya yang lapang,
terbuka, inklusif dan toleran itu, Bung Karno telah berhasil mempersatukan
bangsa yang majemuk ini menjadi satu.
Tapi kini, di tengah-tengah fenomena
politisasi agama pada tahun-tahun terakhir ini, kita diingatkan dengan semboyan
kaum sufi yang kiranya dapat kita terapkan untuk Bung Karno: “ash Shufi laa
madzaba lahu ila madzab al-haqq”, seorang sufi tidak mempunyai religi kecuali
religi kebenaran, dengan K besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar