Beberapa teman bertanya pada saya, bagaimana
dengan Anies Baswedan sebagai peserta Konvensi Capres Demokrat? Lepas
dari 1001 alasan dan pelunasan janji Anies, kita semua bisa memahami,
meski juga langkahnya kali ini tidak menguntungkannya.
Dulu, saya
suka menyodorkan nama Anies sebagai calon presiden alternatif, tapi juga
mesti dengan cara yang lebih strategis dan inspiratif, lewat jalur independen sebagai otokritik terhadap parpol.
Tapi, begitu dia masuk melalui Demokrat? Ya sudah. Tentu saja dia jadi
peserta konvensi Demokrat, bukan karena ia memilih partai itu yang
terbaik. Hanya sebuah momentum saja. Meski kalau kita kaitkan dengan
reputasi Partai Demokrat (satu-satunya parpol yang kepengurusannya
amburadul dan oligarkis ini), pilihan Anies agak memprihatinkan.
Sama memprihatinkan ketika Sugeng Sarjadi, Efendy Gazali, Christianto
Wibisono, dan Mahfud MD, mau berkait dengan perhelatan politik yang
dipakai sebagai strategi untuk mengatrol elektabilitas Demokrat yang
bangkrut itu. Sayonara, Kamerad!
Tapi, sudahlah, mereka menjawab, ini tantangan demokrasi.
Meski pun, persoalan lainnya, yang juga harus diingat, tidak mungkin
Demokrat menyodorkan banyak capres, pasti cuma satu. Lha, satu itu
siapa? Apakah Anies, Mahfud, Dahlan, Gita (peserta konvensi lainnya
nggak usah disebut)? Salah tiga diantaranya, harus nyingkir. Itu kalau
Demokrat memenuhi syarat electoral threshold menyodorkan capres. Kalau
perolehan suaranya sendiri di Pileg 2014 anjlog? Itu artinya kans mereka
sebagai capres, dengan sendirinya dikubur hidup-hidup.
Hanya karena disodori permen demokrasi, orang-orang itu mau menjadi tumbal untuk menjadi bahan gratisan kampanye Demokrat sampai Pileg 2014 mendatang.
Lebih pedih lagi, Jenderal?
Dan akan lebih pedih lagi, dengan mempertarungkan orang-orang yang
konon dinilai lebih baik (dari kalangan sipil itu) itu, maka Prabowo,
Wiranto, ARB, akan terbantu dalam "menumpas" lawan-lawannya terlebih
dulu.
Itu lebih pedih lagi, Jenderal!
Demokrasi kadang begitu mempesona, apalagi dengan jebakan Batman.
Kamis, Agustus 29, 2013
Capres dan Caprek, Etika Politik Politikus Kita
Jika kita 'ngomongin" kualitas kepolitikan politikus kita, kita akan sampai pada kesimpulan, kualitasnya rendah.
Celakanya, jika kualitas mereka rendah, maka reproduksi kualitas rendah itu akan menyebar ke mana-mana. Setidaknya output mereka melahirkan parlemen yang berkualitas rendah, jika pun jadi pejabat negara maka output kebijakannya berkualitas rendah, mereka juga akan lebih banyak didekati media berkualitas rendah, dan karena mereka berperilaku kualitas rendah serta memberi keteladanan berkualitas rendah, maka out-putnya pun bisa membuat tetiron berkualitas rendah.
Kita lihat bagaimana Ramadhan Pohan, ketika mendapatkan Anies Baswedan sebagai peserta Konvensi Demokrat, dengan bangga dia berkata; "Jokowi tidak ada apa-apanya. Debat dengan Anies, Jokowi pasti KO,..." Politikus ini menyamakan pilpres sama dengan lomba cerdas-cermat.
Belum lagi omongan Ruhut Sitompul, "Jokowi tidak pantas pimpin Indonesia, bisa hancur negara ini!" Kenapa? Karena bagi Ruhut, Jokowi hanyalah tukang meubel, beda dengan founding-fathernya yang bernama Doktor Susilo Bambang Yudhoyono, Jendral TNI dan doktor pertanian.
Belum lagi omongan berbagai orang seperti Farhat Abas, Sutan Batoeghana, orang-orang Golkar pendukung ARB. Bahkan politikus senior bernama Jusuf Kalla pun, sempat tergoga mengatakan bahwa Jokowi belum teruji, biar matang dulu membereskan Jakarta. Eh, beberapa waktu kemudian (tak ada bilangan minggu), beliaunya oke saja jika dipasangkan dengan Jokowi.
Jokowi Factor adalah fakta, suka tidak suka. Media effect? Tentu saja iya. Tapi kenapa bukan SW, bukan Mbah Jiwo, bukan Pariyem, yang menjadi media effect dalam perbincangan pilpres ke depan? Tentu saja karena di balik nama Jokowi adalah faktor-faktor yang determinan dalam kita membicaraan kepilpresan itu. Tak bisa tidak, dan tak bisa dibantah. Sama halnya kita membicarakan kemerdekaan Indonesia, tak bisa lepas dari faktor Sukarno-Hatta. Dan seterusnya.
Pada sisi itu, kita tahu, sebagai faktor determinan, Jokowi menjadi common enemy, bukan lagi sebagai kompetitor, karena kita memang tak siap dalam semua kompetisi. Semua yang beda, wajib dilenyapkan, sebagaimana ada yang mengajari kita dengan fanatik, "darahnya halal" untuk dikucurkan.
Sudah 68 tahun sebagai negara merdeka, namun kita tidak makin dewasa dalam berbangsa dan bernegara. Fauzi Bowo yang digantikan oleh Jokowi pun, sampai perlu berkata; "Rusun Muara Baru dan Marunda itu saya yang bangun, entah media mencatat atau tidak itu,..."
Jika kita membandingkan dengan notulasi rapat BPUPKI pada 1945 ketika merumuskan dasar negara Indonesia, bisa kita pastikan kualitas bangsa dan negara ini mengalami involusi, kemandegan, kejumudan, dan bahkan kemunduran. Diskusi dan perdebatan kita bukanlah masalah substansial, tapi ecek-marencek-ecek belaka.
Perdebatan kita di twitter, fesbuk, blog, dan di berbagai media online kita, pun, hanyalah kepanjangan mulut dari perdebatan di dunia nyata. Tak ada perbedaan kualitatif antara menggunakan media lisan dan tulisan, yang hal itu dengan nyata menunjuk pada sejarah dan kualitas literacy kita. Dalam media sosial yang semula diharap menjadi media alternatif, kini yang terjadi hanya sebagai media afirmatif. Banyak fesbuker yang cuma sekedar copy-paste dari media-media umum yang sudah ada, sebagai bahan acuan, alias referensinya masih sebatas koran online.
Kita memang masih terbatas dalam sejarah literacy. Dalam cerita-cerita wayang, kethoprak, lenong, topeng, arja, dan lain sebagainya folklore serta pertunjukan rakyat kita, masyarakat dididik dengan konflik tipologis. Hanya ada benar dan salah, hitam dan putih, yang semua maklum si benar adalah benar dan mesti menang, si hitam adalah hitam mesti tenggelam. Menjadi menang itu jauh lebih penting dibanding bagaimana proses pemenangkan diajarkan. Dan kita sejak Orde Baru juga tak diajari oleh Soeharto dengan management by process, kita dilatih untuk mutlak-mutlakan dan pokoknya menang.
Kita kita akan menjadi bangsa yang dewasa, yang sebagaimana Sukarno mengajarkan bergotong-royong, bersatu-padu, bahu-membahu? Kenapa kita, sebagaimana nyanyian Leo Kristi, hanya saling tuding-menuding? Karena negara ini tidak mempunyai grand-design mau dikemanakan republik ini. Sampai hari ini pun, masih kita dengar ada kelompok yang mempersoalkan dasar dan bentuk negara.
Mengapa Jokowi yang sedang menjadi gubernur DKI-Jakarta tidak kita bantu membereskan kesemrawutan Jakarta dan menatanya pelan-pelan? Mengapa kita tidak membantu membangun pertanian Indonesia agar mampu menyediakan kedelai yang berkualitas dan memadai untuk kebutuhan industri tahu dan tempe kita, dan tak perlu impor? Kenapa kita tidak mendorong tumbuhnya peternakan sapi yang bisa memenuhi kebutuhan daging sapi? Betulkah kita tergantung pada asing, atau membiarkan para petualang dan kartel ekonomi semena-mena mengambil keuntungan sendiri?
Untuk apa sesungguhnya semua keserakahan itu? Bukankah kita punya banyak ahli ekonomi?
Kita tidak melihat munculnya sebuah grand-design bagaimana bangsa dan negara ini mampu berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan nasional. Masih banyak politikus pelacur yang mau menjual bangsa dan negara ini pada negara dan kartel ekonomi internasional. Masih banyak elite politik kita yang hanya berpikir untuk kelompok, golongan, dan diri-sendiri.
Keanehan paling aktual dan fatal adalah soal SKK Migas. Tak lama setelah dibekukan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang menyalahi konstitusi, pemerintah langsung mengganti BP Migas menjadi SKK Migas. Namun celakanya, SKK Migas hanyalah perubahan nama, bukan perubahan sistem dan mekanismenya (yang secara konstitusional dinyatakan salah oleh MK). Padahal, pendirian SKK Migas diputuskan oleh Keppres. Artinya apa? Tidak mungkin presiden tidak tahu, karena dia yang memutuskan. Bisakah presiden berkilah tidak tahu, sebagaimana Jero Wacik selaku Dewan Pengawas SKK Migas juga mengaku tidak tahu apa yang terjadi pada SKK Migas, ketika Rudi Rubiandini ditangkaptangan oleh KPK? Kita melihat di sana, bagaimana kualitas penyelenggara negara kita, dari tingkat menteri hingga presiden. Sama tidak bertanggungjawabnya.
Negara Republik Indonesia, sesungguhnya mempunyai banyak potensi dan kemungkinan. Ia adalah negara besar, dilihat dari luas wilayah, jumlah penduduk, dan tentu potensi-potensi yang ada di dalamnya, baik secara sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Masalahnya memang, kita belum mendapatkan sosok pemimpin yang mampu mendorong dan menginspirasi kita semua untuk menegakkan sistem, menegakkan hukum, dan bersatu-padu membangun negeri yang berdaulat ini.
Yang ada, dari sekian banyak calon presiden kita, hanyalah kata-kata abstrak bahwa mereka akan mensejahterakan rakyat jika memimpin kelak. Bagaimana caranya? Mereka sendiri tidak yakin, dan tidak mampu menjelaskannya secara jelas, karena memang tak pernah diujikan pemikirannya mengenai hal itu, jika ada.
Partai Demokrat melalui konvensi, menjaring lebih dari 10 capres. Partai Gerindra mengaku mempunyai delapan kandidat presiden. Kita belum tahu, partai-partai lain mempunyai berapa capres. Perkiraannya, bisa jadi ada 20-an capres bagi Indonesia 2014. Sedikit atau banyak? Orang bisa mengatakan relatif. Tapi, sebenarnya kita bisa dengan gampang mengatakan, terlalu banyak untuk capres yang tidak meyakinkan, dan terlalu sedikit untuk capres yang menjanjikan. Tetapi, bisa jadi kita terbiasa dengan slogan bangsa yang kalah, yakni; terbaik di antara yang buruk. Bisa dibayangkan, jika terbaiknya adalah dalam hal keburukan. Selalu saja teori memilih kucing dalam karung yang kita gunakan.
Dengan konvensi Partai Demokratm, seolah pilpres telah dimulai. Seolah, capres kita kelak adalah Mahfud MD, Anies Baswedan, Dahlan Iskan, dan (mungkin) Gita Wiryawan yang tak mampu menundukkan harga kedelai. Padahal, kita semua belum tahu bagaimana nasib Partai Demokrat dalam Pemilu 2014 mendatang. Setelah dihajar oleh kader-kader mudanya yang di-KPK-kan (Nasruddin, Anggie, kemudian Andi dan Anas), partai politik yang digawangi ayah dan anak (SBY dan Ibas) ini, kini tak bisa lain selain hanya bersandar pada nama yang bakal digotongnya sebagai capres, untuk vote-getternya.
Sementara, konstelasi politik masih akan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, terutama dari konfigurasi yang bakal dibangun dari PDI-P, yang merupakan faktor determinan 2014, dengan bunga-bunga di sekitarnya dari Gerindra (Prabowo), disamping pragmatisme Golkar (Ical) yang masih akan sangat dinamis. Kita juga belum tahu, apakah faktor determinan PDI-P itu akan memunculkan nama Jokowi, atau tidak (karena perdebatan politiknya akan bisa sangat persis ketika PDI-P dulu memenangkan Pemilu 2002, tapi toh diserimpung oleh Poros Tengah gagasan Amien Rais, yang menyodorkan Gus Dur untuk menjungkalkan Megawati).
Indonesia, memang negeri unpredictable, dan tak terperi.
Sementara, senyampang dengan hal itu, agak membingungkan sesungguhnya, dengan melihat orang-orang pandai dalam ilmu ekonomi (makro) kita seperti Prof. Boediono (yang kebetulan wakil presiden), Dr. Chatib Basri (menkeu), dan bahkan mungkin Dr. Susilo Bambang Yudhoyono (yang bagaimana pun adalah presiden, Ketua Dewan Ketahanan Pangan, dan doktor cum laude Pertanian IPB), Gita Wiryawan (menperdag) yang tak berdaya menanggulangi terpuruknya rupiah, yang (gimana logikanya) berimbas pada harga tahu dan tempe itu.
Membicarakan mengenai capres, di tengah ketidakmampuan mengendalikan rupiah dan harga tempe, adalah fakta lain, bahwa kita memang lebih suka mendongakkan kepala, melihat bintang-bintang, hingga tak peduli belang-bonteng tanah yang kita injak. Orientasi kepolitikan kita, memang lebih pada kekuasaan, kedudukan, dan bukan bagaimana menyelesaikan persoalan kesejahteraan rakyat hari ini. Politik memang hanya indah dalam kata-kata, tapi tidak dalam tindakan.
Dan dari semua orang yang mau mencapreskan diri hari ini, tak pernah kita dengar, apa pemikiran mereka agar permasalahan kita hari ini dapat teratasi, atau setidaknya takkan terulang? Sudah 68 tahun kita 'merdeka', justeru makin tidak berdaulat secara politik, tidak berdikari atau mandiri dalam lapangan ekonomi, dan tidak memppunyai identitas atau karakteristik yang jelas dalam kebudayaan nasional. Untuk makan tempe pun harus impor, karena kedelai kini bukan urusan para petani tetapi bisa jadi telah jadi urusan kartel ekonomi kita.
Kita mudah dikibuli dengan hura-hura politik, yang seolah-olah telah menggerakkan demokratisasi, sembari terus menumpuk utang luar negeri, yang bakal diwariskan kepada anak cucu. Lantas, apa bedanya para capres dengan para caprek, kalau presiden ternyata tak beda dengan prekitiew, dan pres = prek?
Celakanya, jika kualitas mereka rendah, maka reproduksi kualitas rendah itu akan menyebar ke mana-mana. Setidaknya output mereka melahirkan parlemen yang berkualitas rendah, jika pun jadi pejabat negara maka output kebijakannya berkualitas rendah, mereka juga akan lebih banyak didekati media berkualitas rendah, dan karena mereka berperilaku kualitas rendah serta memberi keteladanan berkualitas rendah, maka out-putnya pun bisa membuat tetiron berkualitas rendah.
Kita lihat bagaimana Ramadhan Pohan, ketika mendapatkan Anies Baswedan sebagai peserta Konvensi Demokrat, dengan bangga dia berkata; "Jokowi tidak ada apa-apanya. Debat dengan Anies, Jokowi pasti KO,..." Politikus ini menyamakan pilpres sama dengan lomba cerdas-cermat.
Belum lagi omongan Ruhut Sitompul, "Jokowi tidak pantas pimpin Indonesia, bisa hancur negara ini!" Kenapa? Karena bagi Ruhut, Jokowi hanyalah tukang meubel, beda dengan founding-fathernya yang bernama Doktor Susilo Bambang Yudhoyono, Jendral TNI dan doktor pertanian.
Belum lagi omongan berbagai orang seperti Farhat Abas, Sutan Batoeghana, orang-orang Golkar pendukung ARB. Bahkan politikus senior bernama Jusuf Kalla pun, sempat tergoga mengatakan bahwa Jokowi belum teruji, biar matang dulu membereskan Jakarta. Eh, beberapa waktu kemudian (tak ada bilangan minggu), beliaunya oke saja jika dipasangkan dengan Jokowi.
Jokowi Factor adalah fakta, suka tidak suka. Media effect? Tentu saja iya. Tapi kenapa bukan SW, bukan Mbah Jiwo, bukan Pariyem, yang menjadi media effect dalam perbincangan pilpres ke depan? Tentu saja karena di balik nama Jokowi adalah faktor-faktor yang determinan dalam kita membicaraan kepilpresan itu. Tak bisa tidak, dan tak bisa dibantah. Sama halnya kita membicarakan kemerdekaan Indonesia, tak bisa lepas dari faktor Sukarno-Hatta. Dan seterusnya.
Pada sisi itu, kita tahu, sebagai faktor determinan, Jokowi menjadi common enemy, bukan lagi sebagai kompetitor, karena kita memang tak siap dalam semua kompetisi. Semua yang beda, wajib dilenyapkan, sebagaimana ada yang mengajari kita dengan fanatik, "darahnya halal" untuk dikucurkan.
Sudah 68 tahun sebagai negara merdeka, namun kita tidak makin dewasa dalam berbangsa dan bernegara. Fauzi Bowo yang digantikan oleh Jokowi pun, sampai perlu berkata; "Rusun Muara Baru dan Marunda itu saya yang bangun, entah media mencatat atau tidak itu,..."
Jika kita membandingkan dengan notulasi rapat BPUPKI pada 1945 ketika merumuskan dasar negara Indonesia, bisa kita pastikan kualitas bangsa dan negara ini mengalami involusi, kemandegan, kejumudan, dan bahkan kemunduran. Diskusi dan perdebatan kita bukanlah masalah substansial, tapi ecek-marencek-ecek belaka.
Perdebatan kita di twitter, fesbuk, blog, dan di berbagai media online kita, pun, hanyalah kepanjangan mulut dari perdebatan di dunia nyata. Tak ada perbedaan kualitatif antara menggunakan media lisan dan tulisan, yang hal itu dengan nyata menunjuk pada sejarah dan kualitas literacy kita. Dalam media sosial yang semula diharap menjadi media alternatif, kini yang terjadi hanya sebagai media afirmatif. Banyak fesbuker yang cuma sekedar copy-paste dari media-media umum yang sudah ada, sebagai bahan acuan, alias referensinya masih sebatas koran online.
Kita memang masih terbatas dalam sejarah literacy. Dalam cerita-cerita wayang, kethoprak, lenong, topeng, arja, dan lain sebagainya folklore serta pertunjukan rakyat kita, masyarakat dididik dengan konflik tipologis. Hanya ada benar dan salah, hitam dan putih, yang semua maklum si benar adalah benar dan mesti menang, si hitam adalah hitam mesti tenggelam. Menjadi menang itu jauh lebih penting dibanding bagaimana proses pemenangkan diajarkan. Dan kita sejak Orde Baru juga tak diajari oleh Soeharto dengan management by process, kita dilatih untuk mutlak-mutlakan dan pokoknya menang.
Kita kita akan menjadi bangsa yang dewasa, yang sebagaimana Sukarno mengajarkan bergotong-royong, bersatu-padu, bahu-membahu? Kenapa kita, sebagaimana nyanyian Leo Kristi, hanya saling tuding-menuding? Karena negara ini tidak mempunyai grand-design mau dikemanakan republik ini. Sampai hari ini pun, masih kita dengar ada kelompok yang mempersoalkan dasar dan bentuk negara.
Mengapa Jokowi yang sedang menjadi gubernur DKI-Jakarta tidak kita bantu membereskan kesemrawutan Jakarta dan menatanya pelan-pelan? Mengapa kita tidak membantu membangun pertanian Indonesia agar mampu menyediakan kedelai yang berkualitas dan memadai untuk kebutuhan industri tahu dan tempe kita, dan tak perlu impor? Kenapa kita tidak mendorong tumbuhnya peternakan sapi yang bisa memenuhi kebutuhan daging sapi? Betulkah kita tergantung pada asing, atau membiarkan para petualang dan kartel ekonomi semena-mena mengambil keuntungan sendiri?
Untuk apa sesungguhnya semua keserakahan itu? Bukankah kita punya banyak ahli ekonomi?
Kita tidak melihat munculnya sebuah grand-design bagaimana bangsa dan negara ini mampu berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan nasional. Masih banyak politikus pelacur yang mau menjual bangsa dan negara ini pada negara dan kartel ekonomi internasional. Masih banyak elite politik kita yang hanya berpikir untuk kelompok, golongan, dan diri-sendiri.
Keanehan paling aktual dan fatal adalah soal SKK Migas. Tak lama setelah dibekukan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang menyalahi konstitusi, pemerintah langsung mengganti BP Migas menjadi SKK Migas. Namun celakanya, SKK Migas hanyalah perubahan nama, bukan perubahan sistem dan mekanismenya (yang secara konstitusional dinyatakan salah oleh MK). Padahal, pendirian SKK Migas diputuskan oleh Keppres. Artinya apa? Tidak mungkin presiden tidak tahu, karena dia yang memutuskan. Bisakah presiden berkilah tidak tahu, sebagaimana Jero Wacik selaku Dewan Pengawas SKK Migas juga mengaku tidak tahu apa yang terjadi pada SKK Migas, ketika Rudi Rubiandini ditangkaptangan oleh KPK? Kita melihat di sana, bagaimana kualitas penyelenggara negara kita, dari tingkat menteri hingga presiden. Sama tidak bertanggungjawabnya.
Negara Republik Indonesia, sesungguhnya mempunyai banyak potensi dan kemungkinan. Ia adalah negara besar, dilihat dari luas wilayah, jumlah penduduk, dan tentu potensi-potensi yang ada di dalamnya, baik secara sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Masalahnya memang, kita belum mendapatkan sosok pemimpin yang mampu mendorong dan menginspirasi kita semua untuk menegakkan sistem, menegakkan hukum, dan bersatu-padu membangun negeri yang berdaulat ini.
Yang ada, dari sekian banyak calon presiden kita, hanyalah kata-kata abstrak bahwa mereka akan mensejahterakan rakyat jika memimpin kelak. Bagaimana caranya? Mereka sendiri tidak yakin, dan tidak mampu menjelaskannya secara jelas, karena memang tak pernah diujikan pemikirannya mengenai hal itu, jika ada.
Partai Demokrat melalui konvensi, menjaring lebih dari 10 capres. Partai Gerindra mengaku mempunyai delapan kandidat presiden. Kita belum tahu, partai-partai lain mempunyai berapa capres. Perkiraannya, bisa jadi ada 20-an capres bagi Indonesia 2014. Sedikit atau banyak? Orang bisa mengatakan relatif. Tapi, sebenarnya kita bisa dengan gampang mengatakan, terlalu banyak untuk capres yang tidak meyakinkan, dan terlalu sedikit untuk capres yang menjanjikan. Tetapi, bisa jadi kita terbiasa dengan slogan bangsa yang kalah, yakni; terbaik di antara yang buruk. Bisa dibayangkan, jika terbaiknya adalah dalam hal keburukan. Selalu saja teori memilih kucing dalam karung yang kita gunakan.
Dengan konvensi Partai Demokratm, seolah pilpres telah dimulai. Seolah, capres kita kelak adalah Mahfud MD, Anies Baswedan, Dahlan Iskan, dan (mungkin) Gita Wiryawan yang tak mampu menundukkan harga kedelai. Padahal, kita semua belum tahu bagaimana nasib Partai Demokrat dalam Pemilu 2014 mendatang. Setelah dihajar oleh kader-kader mudanya yang di-KPK-kan (Nasruddin, Anggie, kemudian Andi dan Anas), partai politik yang digawangi ayah dan anak (SBY dan Ibas) ini, kini tak bisa lain selain hanya bersandar pada nama yang bakal digotongnya sebagai capres, untuk vote-getternya.
Sementara, konstelasi politik masih akan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, terutama dari konfigurasi yang bakal dibangun dari PDI-P, yang merupakan faktor determinan 2014, dengan bunga-bunga di sekitarnya dari Gerindra (Prabowo), disamping pragmatisme Golkar (Ical) yang masih akan sangat dinamis. Kita juga belum tahu, apakah faktor determinan PDI-P itu akan memunculkan nama Jokowi, atau tidak (karena perdebatan politiknya akan bisa sangat persis ketika PDI-P dulu memenangkan Pemilu 2002, tapi toh diserimpung oleh Poros Tengah gagasan Amien Rais, yang menyodorkan Gus Dur untuk menjungkalkan Megawati).
Indonesia, memang negeri unpredictable, dan tak terperi.
Sementara, senyampang dengan hal itu, agak membingungkan sesungguhnya, dengan melihat orang-orang pandai dalam ilmu ekonomi (makro) kita seperti Prof. Boediono (yang kebetulan wakil presiden), Dr. Chatib Basri (menkeu), dan bahkan mungkin Dr. Susilo Bambang Yudhoyono (yang bagaimana pun adalah presiden, Ketua Dewan Ketahanan Pangan, dan doktor cum laude Pertanian IPB), Gita Wiryawan (menperdag) yang tak berdaya menanggulangi terpuruknya rupiah, yang (gimana logikanya) berimbas pada harga tahu dan tempe itu.
Membicarakan mengenai capres, di tengah ketidakmampuan mengendalikan rupiah dan harga tempe, adalah fakta lain, bahwa kita memang lebih suka mendongakkan kepala, melihat bintang-bintang, hingga tak peduli belang-bonteng tanah yang kita injak. Orientasi kepolitikan kita, memang lebih pada kekuasaan, kedudukan, dan bukan bagaimana menyelesaikan persoalan kesejahteraan rakyat hari ini. Politik memang hanya indah dalam kata-kata, tapi tidak dalam tindakan.
Dan dari semua orang yang mau mencapreskan diri hari ini, tak pernah kita dengar, apa pemikiran mereka agar permasalahan kita hari ini dapat teratasi, atau setidaknya takkan terulang? Sudah 68 tahun kita 'merdeka', justeru makin tidak berdaulat secara politik, tidak berdikari atau mandiri dalam lapangan ekonomi, dan tidak memppunyai identitas atau karakteristik yang jelas dalam kebudayaan nasional. Untuk makan tempe pun harus impor, karena kedelai kini bukan urusan para petani tetapi bisa jadi telah jadi urusan kartel ekonomi kita.
Kita mudah dikibuli dengan hura-hura politik, yang seolah-olah telah menggerakkan demokratisasi, sembari terus menumpuk utang luar negeri, yang bakal diwariskan kepada anak cucu. Lantas, apa bedanya para capres dengan para caprek, kalau presiden ternyata tak beda dengan prekitiew, dan pres = prek?
Selasa, Agustus 20, 2013
Jokowi dan Jakarta di Masa Depan
Kawasan Tanah Abang, sebuah perubahan yang menjanjikan. (Foto: 19 Agustus 2013, Kompas.Com) |
Tentu saja, ini pernyataan kontrovesial dan pasti menimbulkan pro-kontra. Ketua Hubungan Industrial Dewan Pengurus Kota Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) Jakarta Timur Bambang Adam sangat menyayangkan pernyataan Gubernur. Jokowi dinilai lepas tangan karena usai menaikkan UMP, Jokowi mengaku tak bertanggung jawab atas imbas negatifnya.
Bambang juga mengaku kecewa sang Gubernur mengatakan bahwa Jakarta akan dikhususkan bagi sektor jasa dan perdagangan saja. Menurut Bambang, keberadaan pelaku industri di JIEP bukanlah wewenang Pemprov DKI. "Kan kawasan Pulogadung ini memang sudah jelas kawasan industri. Kalau mau pindah, apa Pemprov memfasilitasi? Tidak kan," ujarnya.
Jika kita hanya berdiskusi demi masa kini, tentu saja kebijakan Pemprov DKI Jakarta ini akan menuai banyak protes. Tapi, proyeksi 5-10 tahun ke depan, Ibukota sebagai kota jasa dan perdagangan, benar-benar sebuah kebijakan revolusioner.
Soal industri besar tidak mendapat ijin, dan jika mereka mau pindah, hanyalah masalah teknis. Tak ada kesulitan apapun dalam hal itu. Persoalan administrasi atau perijinan, dengan sendirinya juga bukan isyu yang layak diperbandingkan dengan pangkal soalnya, apalagi soal distribusi.
Daerah-daerah penyangga jakarta, seperti Jawa Barat dan Banten (dengan UMP yang lebih rendah), akan menjadi tempat pilihan sementara yang strategis, sebelum secara gradual semestinya bisa dilakukan penyebaran ke berbagai daerah. Hingga dari sisi strategi ekonomi, memungkinkan daerah lain sebagai pilihan-pilihan investasi akan menjadi lebih terbuka (kecuali wacana pindah Ibukota Republik Indonesia direalisasi).
Senyampang dengan hal itu, distribusi pergerakan ekonomi akan tidak lagi terpusat di Jakarta, yang implikasi logisnya adalah dengan sendirinya penyusutan angka urbanisasi ke Ibukota Negara. Efek dominonya, tentu akan sangat banyak. Dan ini, bisa menjawab kebuntuan ketidakadaan grand-design oleh negara (baca: Pemerintah Pusat) tentang rekayasa sosial tumbuhnya pemerataan ekonomi. Jika ahli ekonomi kita sekarang ini lebih merupakan para ahli pengotak-atik angka (di mana sesama neolib seperti Sri Mulyani pun kini berani mengritik Chatib Basri, Menkeu Indonesia), maka semestinya para ahli ekonomi makro kita juga melihat masyarakat sebagai obyek sekaligus subyek pembangunan itu.
Tapi tentu saja, pemikiran besar Jokowi, yang disampaikan dengan bahasa yang ndesit itu, mestilah ditanggapi dengan pikiran yang terbuka, tidak asal njeplak, hanya karena tokoh ini menjungkir-balikkan popularitas para capres dan politikus yang hanya melihat 2014 semata.
Dengan tetap menjadi gubernur DKI sampai purna-tugas, Jokowi sebenarnya bisa lebih taktis dan strategis, berkontribusi untuk Indonesia, dari Jakarta.
Senin, Agustus 19, 2013
Serat Centhini dalam Kemasan Two in One
Serat Centhini, Sastra Klasik Jawa karya
Sri Susuhunan Pakubuwana V (ditulis pada 1814-1823). Sebuah ensiklopedi
kebudayaan pada jamannya, yang ditulis dengan cara yang unik dan otentik. Tidak
disusun berdasar material text secara alfabetis dan per-definisi, namun
dituliskan secara naratif dan un-linier dengan teknik penulisan dalam bentuk
tembang macapat (puisi Jawa yang ketat).
Pengertian umum ensiklopedi, adalah sejumlah tulisan yang berisi penjelasan
yang menyimpan informasi secara komprehensif dan cepat dipahami serta
dimengerti mengenai keseluruhan cabang ilmu pengetahuan atau khusus, tersusun
dalam bagian artikel-artikel dengan satu topik bahasan, disusun berdasarkan
abjad, definisi, lemma, tema, dan kategori-kategori tertentu. Sebagaimana arti
kata ensiklopedi (enkyklios paideia), yakni sebuah lingkaran atau pengajaran
yang lengkap.
Serat Centhini juga berisi sebuah pendidikan paripurna yang mencakup semua
lingkaran ilmu pengetahuan. Namun, unik dan otentiknya penulisan Serat
Centhini, ia dibingkai dalam sebuah rangkaian cerita (naratif) pengembaraan
anak-anak Sunan Giri yang merasa dikejar-kejar prajurit Sultan Agung (akibat
gempuran Mataram pada Kasunanan Giri tahun 1635-1636).
Umum hanya mengetahui Serat Centhini seperti Kamasutra (atau tentang posisi
dalam olah seks, dan sejenisnya). Padahal, lebih dari itu, sebagaimana
ensiklopedi, ia berisi pengetahuan umum tentang budaya, agama (bahkan sejarah
agama Kristen, Budha, Islam), politik dan ilmu kepemimpinan, jejamuan, merawat
tubuh dan kecantikan, kuliner, etika, dan lain sebagainya, di samping kadang
narasi tentang olah seks dengan bahasa yang sering verbal dan tanpa tedeng
aling-aling.
Semuanya itu, kemudian dialihbasakan ke bahasa Indonesia, text by text,
oleh Sunardian Wirodono ke dalam buku "Serat Centhini Dwi Lingua"
(SCDL), setelah hampir 200 tahun naskah ini ditulis, yang selama ini baru
(hanya) digubah, dirangkum, diringkas, tapi tanpa kita pernah tahu teks aseli
dan arti kata-per-kata.
SCDL buku berisi dua teks, teks aseli Jawa dan sekaligus teks dalam bahasa
Indonesia. Telah terbit jilid ke-dua dari 12 jilid. Untuk Anda yang ingin
mengkoleksi teks-teks sastra klasik dalam bentuk aseli dengan maknanya. Tidak
dijual di toko buku, diterbitkan dalam jumlah terbatas. Untuk Anda yang
menginginkan, bisa hubungi email: sunardianwirodono@yahoo.com., atau ke SMS 0877 3816 0139 | 0856 4332 0856 | 0813 9397 9400, juga melayani
delivery order untuk wilayah Yogyakarta, culditculrang, sms-kan nama, alamat, dan waktu pengiriman ke
no. 0857 2590 6400, atau lagi, hubungi Yayasan Wiwara, Pr. Griya Taman Asri
H-303, Panasan, Donoharjo, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta55581. Telepon
0274.865682
FISIK: Ukuran 13,5 x 21 Cm. Tebal tiap jilid minimal 700+ hal. Kertas
mangkak 70 gram (total 12 jilid, baru terbit jilid 1 dan 2, dan semoga segera
bisa terbit jilid berikutnya tiap bulan).
BAHASA: Jawa (teks aseli Serat Centhini) dan Indonesia
HARGA: Rp 85.000 per-eksp., (Edisi Soft Cover) + ongkos kirim Rp 20.000
untuk dalam Jawa dan Rp 30.000 untuk luar Jawa.
Konvensi Presiden dan Cara Berkelit Parpol Korup
Orang-orang pada menulis, menyambut baik, mendukung, mendorong, konvensi capres via Partai Demokrat. Apalagi Sugeng Sarjadi dan Efendy Gazali ikut juga jadi semacam panitia seleksi di situ.
Anomali dan aneh. Menurut UU Pemilu, pengajuan capres hanya boleh dilakukan partai, atau gabungan partai, yang memenuhi syarat electoral threshold. Sementara kita tahu, artinya mekanisme pengajuan capres (oleh parpol) baru akan bisa terjadi setelah Pemilu Legislatif. Pilpres menunggu setelah Pileg. Dan di otak kita muncul pertanyaan: Pilegnya belum kok sudah ribut Pilpres?
Ini anomali pertama. Ketika dulu Demokrat dikuya-kuya karena berbagai kasus korupsi dari Nazar, Angie, kemudian Anas, Andi. Berbagai lembaga survey menyodorkan angka polling, Demokrat paling rendah capaiannya. Bahkan diprediksi, tak bisa menembus electoral threshold, yang artinya Demokrat bahkan bakal terlikuidasi pada 2014.
Lebih-lebih sekarang, dengan UU No 42 Tahun 2008: Maka hanya parpol (dan gabungan parpol) yang meraih 20 persen kursi DPR atau 25% perolehan suara sah nasional, bukanlah sesuatu yang ringan, apalagi bagi Demokrat, Golkar, PKS, tiga partai pemerintah yang semuanya dilibas oleh kasus korupsi besar. Meski PDI Perjuangan juga bukan partai bersih, namun sebagai partai oposisi, imbasnya tak sebesar yang dialami oleh Demokrat, Golkar, mau pun PKS. Apalagi mengingat justeru pada Demokrat dan PKS hal itu menimpa ketua umum mereka. Sementara Golkar, terganjal personalitas Ical yang terganjal oleh Lumpur Lapindo.
Capaian angka parta politik, ditambah dengan performance mereka yang justeru lebih memunculkan apatisme masyarakat (dengan prediksi akan makin naiknya jumlah golput), membuat tak ada alasan lain, bahwa mengadakan konvensi calon presiden, bagi Demokrat adalah cara termudah untuk berkelit dari cercaan korupsi, dan menyodorkan kredibilitas "orang lain" sebagai jualannya, karena memang tak punya apa-apa lagi untuk dijual.
Kenapa semua orang seolah lupa, bahwa dengan kampanye konvensi presiden, Demokrat memakai cara itu untuk kampanye, menaikkan elektabilitasnya pada publik? Dan kalian semua ikut mendukungnya, hanya karena gandrung demokrasi tapi alpa dengan akar-masalah?
Bagaimana kalau nanti Demokrat jeblok? Apa bukan mengebiri capresnya, yang tak bisa lagi dicapreskan parpol lain, dengan alasan etika politik? Kalau Demokrat berkoalisi dengan partai lain, maukah partai lain memposisikan calonnya sebagai cawapres? Bagaimana kalau capres konvensi Demokrat dijadikan cawapres semata?
Lha, kalau pencapresan dilakukan hanya setelah pileg, waktu untuk sosialisasi dan kampanye pendek banget dong, rakyat nggak sempat mengenal (demikian protes sang ahli media komunikasi politik).
Hadeh, ini anomali kedua. Disitulah pemahaman kepolitikan kita hanya berdasarkan rekayasa politik dan berorientasi pada kekuasaan semata. Meski tiap hari sampeyan nongol di televisi (kepunyaan sampeyan atau bukan), tapi kalau elektabilitas sampeyan sebagai capres tak meyakinkan, tetap saja angkanya rendah, meski pun iklannya bergaya melow atau sangat religius dan penuh derma. Kalau ketokohan sampeyan terukur, berkat pikiran dan perbuatan nyata sampeyan sepanjang komitmen sampeyan sebagai Warga Negara Indonesia, bahkan tanpa kampanye pun, dalam tempo sesingkat-singkat, rakyat akan jatuh cinta pada sampeyan.
Konvensi presiden dari partai yang sama sekali tidak demokratis (dari susunan kepengurusannya yang nepotis), sulit dipercaya mampu melahirkan pemimpin yang kredibel. Konvensi itu, hanya aksi puna-puni (tipu sana-tipu sini), setelah Demokrat hancur legitimasinya karena kasus-kasus korupsi elitenya. Konvensi presiden hanya alat kampanye untuk menaikkan elektabilitas partai semata. Dan entah, atas nama apa Sugeng Sarjadi dan Efendy Gazali mau bergabung. Profesi atau kepentingan sebagai akademisi? Menyedihkan, apalagi konon nggak mau dibayar. Pikirkan yang lebih urgen dan substansial bagi negeri ini dong, bukan sukarela menjadi sesuatu yang sampai kini juga belum jelas ukurannya.
Pengakuan Ruhut Sitompul soal konvensi, kali ini akurat dan bisa dipercaya; "Konvensi ini gagasan yang sangat brilian dari SBY, jadi konvensi ini sangat serius, dan siapa pun yang lolos sangat bisa mendongkrak,..."
Artinya, sejak 10 nama capres yang dimunculkan kelak, dan siapa nama yang akhirnya dipilih, itu yang akan diperalat (exploitation) oleh Demokrat untuk mendongkrak elektabilitas dalam pileg sebelumnya, karena ia sama sekali tak punya sesuatu yang dibanggakan.
Konvensi Capres, bagi sebuah partai politik, sesungguhnya adalah pertaruhan bagi partai politik itu, mengenai reputasi atau pun kredibilitasnya. Tetapi dengan mengajak orang lain (akademisi atau orang independen mana pun), semakin membuktikan bahwa partai politik itu tidak cukup meyakinkan kehadirannya di masyarakat. Apalagi, dan lebih-lebih, bahwa sebagian besar dari calon presiden yang mengikuti konvensi ini, juga bukan kader partai penyelenggara konvensi. Pertanyaan gampanganya, lantas apa kerja politik dari partai politik itu selama ini? Bagaimana mau melakukan pengkaderan, jika yang ada kemudian kepengurusan dipegang oleh bapak dan anak, dengan apapun alasannya?
Partai Demokrat semakin meyakinkan memang partai yang tidak mempunya program. Ia hanya bertumpu pada person, tokoh, karena begitulah sejarah dan ideologi partai ini. Demokrat dari berdiri hingga kini, hanya bertumpu pada sosok bernama Susilo Bambang Yudhoyono semata. Padahal, tokoh ini sama sekali tak jelas ideologi politiknya.
Pada akhirnya, Partai Demokrat hanya menjadi semacam EO (Event Organisation), yang kebetulan kini dalam 9 tahun perjalanannya, sudah cukup punya modal uang, namun tak punya modal SDM. Maka ia pun hanya bisa memainkan lifting seperti dalam mengelola minyak Indonesia, bukan sesuatu yang berorientasi untuk kepentingan bangsa dan negara, tapi lebih pada diri mereka sendiri, alias kelompoknya semata.
Lha kok bisa kepilih dua kali? Ini anomali ketiga. Ya, tanyalah pada lawan-lawan politiknya, jangan tanya pada Ruhut dan Sutan. Atau, coba tanya pada orang netral bernama Antasari Azhar, mantan ketua KPK yang harus masuk bui, entah karena apa.
Anomali dan aneh. Menurut UU Pemilu, pengajuan capres hanya boleh dilakukan partai, atau gabungan partai, yang memenuhi syarat electoral threshold. Sementara kita tahu, artinya mekanisme pengajuan capres (oleh parpol) baru akan bisa terjadi setelah Pemilu Legislatif. Pilpres menunggu setelah Pileg. Dan di otak kita muncul pertanyaan: Pilegnya belum kok sudah ribut Pilpres?
Ini anomali pertama. Ketika dulu Demokrat dikuya-kuya karena berbagai kasus korupsi dari Nazar, Angie, kemudian Anas, Andi. Berbagai lembaga survey menyodorkan angka polling, Demokrat paling rendah capaiannya. Bahkan diprediksi, tak bisa menembus electoral threshold, yang artinya Demokrat bahkan bakal terlikuidasi pada 2014.
Lebih-lebih sekarang, dengan UU No 42 Tahun 2008: Maka hanya parpol (dan gabungan parpol) yang meraih 20 persen kursi DPR atau 25% perolehan suara sah nasional, bukanlah sesuatu yang ringan, apalagi bagi Demokrat, Golkar, PKS, tiga partai pemerintah yang semuanya dilibas oleh kasus korupsi besar. Meski PDI Perjuangan juga bukan partai bersih, namun sebagai partai oposisi, imbasnya tak sebesar yang dialami oleh Demokrat, Golkar, mau pun PKS. Apalagi mengingat justeru pada Demokrat dan PKS hal itu menimpa ketua umum mereka. Sementara Golkar, terganjal personalitas Ical yang terganjal oleh Lumpur Lapindo.
Capaian angka parta politik, ditambah dengan performance mereka yang justeru lebih memunculkan apatisme masyarakat (dengan prediksi akan makin naiknya jumlah golput), membuat tak ada alasan lain, bahwa mengadakan konvensi calon presiden, bagi Demokrat adalah cara termudah untuk berkelit dari cercaan korupsi, dan menyodorkan kredibilitas "orang lain" sebagai jualannya, karena memang tak punya apa-apa lagi untuk dijual.
Kenapa semua orang seolah lupa, bahwa dengan kampanye konvensi presiden, Demokrat memakai cara itu untuk kampanye, menaikkan elektabilitasnya pada publik? Dan kalian semua ikut mendukungnya, hanya karena gandrung demokrasi tapi alpa dengan akar-masalah?
Bagaimana kalau nanti Demokrat jeblok? Apa bukan mengebiri capresnya, yang tak bisa lagi dicapreskan parpol lain, dengan alasan etika politik? Kalau Demokrat berkoalisi dengan partai lain, maukah partai lain memposisikan calonnya sebagai cawapres? Bagaimana kalau capres konvensi Demokrat dijadikan cawapres semata?
Lha, kalau pencapresan dilakukan hanya setelah pileg, waktu untuk sosialisasi dan kampanye pendek banget dong, rakyat nggak sempat mengenal (demikian protes sang ahli media komunikasi politik).
Hadeh, ini anomali kedua. Disitulah pemahaman kepolitikan kita hanya berdasarkan rekayasa politik dan berorientasi pada kekuasaan semata. Meski tiap hari sampeyan nongol di televisi (kepunyaan sampeyan atau bukan), tapi kalau elektabilitas sampeyan sebagai capres tak meyakinkan, tetap saja angkanya rendah, meski pun iklannya bergaya melow atau sangat religius dan penuh derma. Kalau ketokohan sampeyan terukur, berkat pikiran dan perbuatan nyata sampeyan sepanjang komitmen sampeyan sebagai Warga Negara Indonesia, bahkan tanpa kampanye pun, dalam tempo sesingkat-singkat, rakyat akan jatuh cinta pada sampeyan.
Konvensi presiden dari partai yang sama sekali tidak demokratis (dari susunan kepengurusannya yang nepotis), sulit dipercaya mampu melahirkan pemimpin yang kredibel. Konvensi itu, hanya aksi puna-puni (tipu sana-tipu sini), setelah Demokrat hancur legitimasinya karena kasus-kasus korupsi elitenya. Konvensi presiden hanya alat kampanye untuk menaikkan elektabilitas partai semata. Dan entah, atas nama apa Sugeng Sarjadi dan Efendy Gazali mau bergabung. Profesi atau kepentingan sebagai akademisi? Menyedihkan, apalagi konon nggak mau dibayar. Pikirkan yang lebih urgen dan substansial bagi negeri ini dong, bukan sukarela menjadi sesuatu yang sampai kini juga belum jelas ukurannya.
Pengakuan Ruhut Sitompul soal konvensi, kali ini akurat dan bisa dipercaya; "Konvensi ini gagasan yang sangat brilian dari SBY, jadi konvensi ini sangat serius, dan siapa pun yang lolos sangat bisa mendongkrak,..."
Artinya, sejak 10 nama capres yang dimunculkan kelak, dan siapa nama yang akhirnya dipilih, itu yang akan diperalat (exploitation) oleh Demokrat untuk mendongkrak elektabilitas dalam pileg sebelumnya, karena ia sama sekali tak punya sesuatu yang dibanggakan.
Konvensi Capres, bagi sebuah partai politik, sesungguhnya adalah pertaruhan bagi partai politik itu, mengenai reputasi atau pun kredibilitasnya. Tetapi dengan mengajak orang lain (akademisi atau orang independen mana pun), semakin membuktikan bahwa partai politik itu tidak cukup meyakinkan kehadirannya di masyarakat. Apalagi, dan lebih-lebih, bahwa sebagian besar dari calon presiden yang mengikuti konvensi ini, juga bukan kader partai penyelenggara konvensi. Pertanyaan gampanganya, lantas apa kerja politik dari partai politik itu selama ini? Bagaimana mau melakukan pengkaderan, jika yang ada kemudian kepengurusan dipegang oleh bapak dan anak, dengan apapun alasannya?
Partai Demokrat semakin meyakinkan memang partai yang tidak mempunya program. Ia hanya bertumpu pada person, tokoh, karena begitulah sejarah dan ideologi partai ini. Demokrat dari berdiri hingga kini, hanya bertumpu pada sosok bernama Susilo Bambang Yudhoyono semata. Padahal, tokoh ini sama sekali tak jelas ideologi politiknya.
Pada akhirnya, Partai Demokrat hanya menjadi semacam EO (Event Organisation), yang kebetulan kini dalam 9 tahun perjalanannya, sudah cukup punya modal uang, namun tak punya modal SDM. Maka ia pun hanya bisa memainkan lifting seperti dalam mengelola minyak Indonesia, bukan sesuatu yang berorientasi untuk kepentingan bangsa dan negara, tapi lebih pada diri mereka sendiri, alias kelompoknya semata.
Lha kok bisa kepilih dua kali? Ini anomali ketiga. Ya, tanyalah pada lawan-lawan politiknya, jangan tanya pada Ruhut dan Sutan. Atau, coba tanya pada orang netral bernama Antasari Azhar, mantan ketua KPK yang harus masuk bui, entah karena apa.
Jumat, Agustus 16, 2013
Bung Karno, Indonesia Menaklukkan Amerika Serikat
Syahdan, menurut sahibul bait, kala itu Bung Karno sedang mandi. Guntur Sukarnoputra yang masih remaja, menggedor-gedor pintu kamar mandi. Tak sabar. Karena pintu terus digedor, Bung Karno melongok sebentar, “Ada apa to Mas Tok? Bapak belum selesai mandi.”
“Bener nggak sih bapak menukar pembebasan Allen Pope dengan tebusan pesawat Hercules?” bertanya Guntur.
Nama Allen Pope, memang sempat sohor dalam sejarah politik Indonesia akhir dekade 1950. Teriakan “Gantung Allen Pope! Hukum mati Allen Pope!” menggema di mana-mana. Demonstrasi di depan kedutaan AS (Jakarta) setelah Allen Pope tertangkap tahun 1958, hampir terjadi tiap hari. Rakyat Indonesia naik darah oleh kelakuan Allen Pope. Soalnya si pilot AS ini, menjatuhkan bom di Ambon yang memakan tak sedikit korban jiwa.
Mendengar pertanyaan anak sulungnya, Bung Karno dengan tawa khasnya yang menggelegar menjawab, “Hahahahaha,.... biar saja Amerika kasih Hercules itu buat Bapak. Kalau Amerika kirim pesawat lagi, nanti Bapak suruh tembak lagi. Sebagai tebusannya, Bapak minta Marilyn Monroe dan Ava Gardner,...”
Dua nama yang disebut Bung Karno, dua artis sexy (kala itu) dari Amerika. Tapi, itu tentu saja humor khas Bung Karno. Di balik canda itu, sebenarnya menunjukkan posisi tawar Indonesia berada di atas negara super-power Amerika Serikat. Dari sana, Bung Karno memulai tonggak lahirnya sejarah armada baru bagi AURI, yaitu lahirnya skuadron hercules, yang pernah punya andil dalam merebut Irian Barat dari Belanda. Saya kutipkan tulisan Ibu Walentina Waluyanti, dari Nederland yang berada di lingkar informasi itu dengan beberapa penyuntingan;
Berawal dari negosiasi tarik ulur demi pembebasan seorang pilot yang bikin Amerika gelisah. Jika tidak segera diselamatkan, bisa-bisa pilot itu buka mulut tentang info rahasia yang berkaitan dengan permainan CIA dalam intervensi politiknya ke Indonesia.
Sukarno adalah pemimpin revolusioner yang berbahaya bagi AS. Dan karena itu, ia layak disingkirkan. Banyak upaya mengenai itu. Termasuk menyerang sisi pribadi sang presiden, yang dikenal bermata keranjang itu. Menjatuhkan Bung Karno adalah satu-satunya cara agar Amerika bisa bercokol kuat di Indonesia. Sudah dicoba segala cara agar Bung Karno jatuh, tidak berhasil juga. Dicoba dengan cara ancaman embargo, penghentian bantuan, Bung Karno malah teriak, “Go to hell with your aid!”.
Akhirnya CIA pakai cara lain. Yaitu infiltrasi ke berbagai pemberontakan di Indonesia. Puncaknya terjadi dalam pertempuran di pulau Morotai, tahun 1958. Ketika itu TNI (pasukan marinir, pasukan gerak cepat AU, dan AD) menggempur Permesta, gerakan pemberontakan di Sulawesi Utara.
Persenjataan Permesta tidak bisa dianggap enteng. Soalnya ada bantuan senjata dari luar. Tadinya tudingan bahwa CIA adalah biang kerok semua ini masih dugaan saja. Ketika kapal pemburu AL dan mustang AU melancarkan serangannya, satu pesawat Permesta terbakar jatuh.
Sebelum jatuh, ada dua parasut yang tampak mengembang keluar dari pesawat itu. Parasut itu tersangkut di pohon kelapa. TNI segera membekuk dua orang. Yang satu namanya Harry Rantung anggota Permesta. Dan yang tak terduga, satunya lagi bule Amerika. Itulah Allen Pope. Dari dokumen-dokumen yang disita, terkuak Allen Pope terkait dengan operasi CIA. Menyusup di gerakan pemberontakan di Indonesia untuk menggulingkan Soekarno.
Peristiwa tertangkapnya Allen Pope adalah tamparan bagi Amerika. Itu mungkin terwakili dalam kalimat Allan Pope ketika tertangkap. Setelah pesawat B-26 yang dipilotinya jatuh dihajar mustang AU dan kapal pemburu AL, komentar Pope: “Biasanya negara saya yang menang, tapi kali ini kalian yang menang”.
Tertangkapnya Allan Pope, mengungkap permainan kotor AS untuk menggulingkan Sukarno. Amerika terus bersikeras menyangkal. Tapi bukti-bukti yang ada, akhirnya membungkam mulut mereka. Taktik kotor itu jadi gunjingan internasional. Kedok Amerika dengan CIA-nya, berhasil dibuka Indonesia, lengkap dengan bukti-bukti telak. Amerika terpaksa berubah 180 derajat menjadi baik pada Sukarno. Semua operasi CIA untuk mengguncang Bung Karno (untuk sementara) dihentikan.
Amerika berusaha mati-matian minta pilotnya dibebaskan. Segala cara pun mulai dilakukan untuk mengambil hati Bung Karno. Eisenhower mengundang Sukarno ke AS, Juni 1960. Lalu Soekarno juga diundang John Kennedy, April 1961. Di balik segala alasan diplomatik tentang kunjungan itu, tak bisa disangkal, itu semua buntut dari cara Bung Karno memainkan kartunya terhadap Amerika.
Selama periode itu, Bung Karno main tarik ulur dengan pembebasan Pope. Tarik ulur itu berjalan alot. Karena Bung Karno ogah melepaskan Pope begitu saja. Bung Karno sengaja berlama-lama “memiting leher” Allan Pope, sebelum Amerika meng-iya-kan permintaan Indonesia. Amerika mati kutu. Tak ada jalan lain. Negosiasi pun segera dimulai. Negosiasi alot yang memakan waktu 4 tahun, sebelum akhirnya Allen Pope benar-benar bebas.
Dimulai dengan Ike atau Dwight Eisenhower yang membujuk, merayu dan mengundang Bung Karno ke Amerika. Namun Bung Karno tetap tidak mau tunduk diatur-atur Ike. Situasi mulai berubah sedikit melunak setelah kursi kepresidenan AS beralih ke John F. Kennedy.
John Kennedy tahu, kepribadian Sukarno sangat kuat dan benci didikte. Karena itu dengan persahabatan, dia mampu “merangkul” Sukarno. “Kennedy adalah presiden Amerika yang sangat mengerti saya,” begitu kata Bung Karno.
Dengan John, negosiasi mulai mengarah ke titik terang. Berkaitan itu pula, John mengirim adiknya, Robert Kennedy, ke Jakarta. Bob Kennedy membawa sejumlah misi, diantaranya membebaskan Pope.
Konon ketika itu juga Amerika mengirim istri Allen Pope yang cantik. Perhitungannya, wanita cantik mampu meluluhkan hati Bung Karno. Ini asal mula beredar issue bahwa Bung Karno dirayu istri Allen Pope. Yang tidak banyak disebutkan orang, yaitu ibu dan saudara perempuan Allen Pope juga datang, memohon-mohon dengan tangisan minta belas kasihan Bung Karno.
Buat Bung Karno, pilot itu dibebaskan atau tidak, hasilnya sama saja. Tidak membuat korban-korban bom si pilot bisa hidup kembali. Jadi, kenapa tidak memanfaatkan saja, ketakutan Amerika yang ciut kalau pilot itu buka mulut?
Bung Karno memainkan kartu trufnya atas dasar apa yang dibutuhkan bangsa Indonesia pada waktu itu. Indonesia betul-betul sengsara dan kelaparan, jadi butuh uang dan nasi. Indonesia sedang bertempur melawan Belanda, untuk merebut Irian Barat, jadi butuh senjata, sejumlah perangkat perang dan armada tempur.
Permintaan Bung Karno itu tentu saja tidak disampaikan dengan cara mengemis. Tapi dengan cara yang menyeret Amerika, untuk membuat interpretasi diplomatik. Mau tidak mau, isyarat diplomatik Sukarno bikin Amerika harus bisa membaca yang tersirat di balik yang tersurat.
John Kennedy akhirnya paham. Indonesia butuh perangkat perang untuk merebut Irian Barat. Di antaranya armada tempur. Karena itu diajaknya Bung Karno mengunjungi pabrik pesawat Lockheed di Burbank, California. Di sana Bung Karno dibantu dalam pembelian 10 pesawat hercules tipe B, terdiri dari 8 cargo dan 2 tanker (yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya armada Hercules bagi AURI.
Bung Karno juga bisa membuat Amerika menghentikan embargo. Lalu menyuntik dana ke Indonesia. Juga beras 37.000 ton dan ratusan persenjataan perangkat perang. Kebutuhan itu semua memang sesuai dengan kondisi Indonesia saat itu.
Ternyata begini ini yang namanya negosiasi tingkat tinggi. Akhirnya Allen Pope dibebaskan secara diam-diam, oleh suatu misi rahasia di suatu subuh, Februari 1962. Negosiasi itu seluruhnya tentu makan biaya yang tidak sedikit. Siapa yang mesti membayar semua itu? Konon rekening Permesta yang harus membayar ganti rugi akibat negosiasi itu. Sempat terdengar selentingan, bahwa jalan by pass Cawang-Tanjung Priok, dan Hotel Indonesia di Bundaran HI Thamrin, adalah wujud dari ganti rugi itu. Benarkah demikian? Wallahualam.
Sayang, hubungan mesra Bung Karno dengan Amerika berakhir setelah Kennedy terbunuh tahun 1963. Dan kita tahu, ending dari semua itu, setelah CIA mendapatkan bonekanya bernama Soeharto.
Melihat Huruf Membaca Rubiandini
Mengikuti kasus dicokoknya Kepala SKK Migas, Rudi Rubiandini, di media on-line (termasuk dan apalagi berbagai tautan yang diunggah di facebook dan twitter), benar-benar dibutuhkan kejernihan berpikir dan kecerdasan tersendiri. Simpang-siur pemberitaan di media on-line, pada intinya terpecah menjadi dua blok. Yang mengapresiasi kerja KPK (juga MK waktu membubarkan BP Migas, serta kecurigaan pada SBY yang sebelumnya sebagai Mentambem, dan JW yang menteri ESDM, dan dua-duanya orang Partai Demokrat, dikaitkan pula dengan kebutuhan dana bagi partai ini). Di sisi lain, kubu yang berbeda, menuding KPK diperalat dengan mengorbankan Rudi Rubiandini dengan target yang (tetap saja sama), agar Blok Mahakam (justeru) tidak dipegang oleh Pertamina dan tetap dipegang perusahaan asing (yang ujung-ujungnya juga, para petinggi negara tetap bisa mengeruk duit dari sumberdaya alam, untuk kepentingan politik dan akhirnya, perut mereka juga).
Jadi, mana yang benar? Ini namanya perang urat-syaraf. Semua bisa punya alasan yang sangat canggih. Dan rakyat kecil, tetap saja lepas dari semua kepentingan itu. Semuanya tentu berpulang pada SBY selaku presiden. Baik pembentukan BP Migas dan kemudian SKK Migas, tentu saja tak mungkin tanpa ijin Presiden. Keputusan MK yang membekukan BP Migas, bukannya dilanjutkan dengan membenahi sistem pengelolaan sumber daya minyak kita itu, melainkan langsung mendirikan SKK Migas, yang satu sama lain tak berbeda dengan BP Migas (ini seperti ketika KPI melarang program "Empat Mata" kemudian Trans TV membuat "Bukan Empat Mata"). Bahkan, penunjukkan Rudi Rubiandini menjadi kepala SKK Migas, menunjukkan bahwa ada agenda yang harus tetap dijalankan soal bisnis minyak ini dengan segala sistemnya. SBY dan JW, seolah kali ini tangkas, langsung memberhentikan sementara, tetapi langsung pula mengangkat pengganti Rudi dengan alasan, SKK Migas harus terus jalan.
Beberapa komentar menteri, Hatta Radjasa, Dahlan Iskan, mengisyaratkan ada kubu-kubu kepentingan bertarung di sana. Termasuk tentunya menteri-menteri yang tidak berani berkomentar seperti Gita Wiryawan, Mari E. Pangestu.
Sementara itu, Rudi Rubiandini, menyatakan dirinya tidak melakukan tindak korupsi, ia mengatakan bisa jadi yang dilakukannya masuk dalam kategori gratifikasi. Dosen idealis dan teladan dari ITB itu, tak sebagaimana tersangka lainnya, masih bisa menjawab pertanyaan wartawan dengan senyum tersungging. Baginya mungkin, menerima gratifikasi adalah resiko jabatan, bukan kejahatan, dan berbeda dengan korupsi. Dahlan Iskan yang mengagumi otak Rudi, menyebut Rudi musuhnya banyak, karena ia berada di posisi vital. Kita tahu ke arah mana omongan Dahlan ini. Sementara, Mahfud MD di sisi lain menyebut, Rudi adalah musang berbulu ayam.
Ujung dari semua persoalan itu, membuat kita tak mendapatkan pencerahan apa-apa, justeru menjelang 68 tahun Indonesia Merdeka. Masalah Indonesia sangat kompleks, kata orang-orang pintar dan bodoh. Benarkah? Sesungguhnya tidak, sekiranya kita punya pemimpin yang mempunyai kejujuran dan ketulusan. Sayangnya memang, seperti kata Jefry Winter, ini negeri para maling.
Jadi? Ya, hati-hati saja membaca celotehan di media on-line, apalagi facebook dan twitter. Kebodohan dan keluguan kita bermedia on-line, sering menjadi sasaran empuk pembiasan-pembiasan informasi dari siapapun. Dan kita, sering tidak terlatih atau terdidik untuk melakukan cross-check, persis seperti kata Rhoma Irama, "Ya, itu kan saya baca di internet, kalau dari internet 'kan berarti akurat,..." Kita baru bisa melihat huruf, belum bisa membacanya.
Dongeng Tentang Pasukan Bambu Runcing
Syahdan menurut sahibul asmuniah, pada jaman dulu kala ketika perang kemerdekaan berkecamuk. Adalah Asmuni (almarhum, pelawak Srimulat), waktu itu di Jombang, adalah anggota tentara rakyat, yang turut serta dalam perjuangan perang kemerdekaan.
Asmuni selalu bertutur kejengkelannya soal pasukan Hisbullah. Pasukan ini, sangat lekat dengan kyai, dan agak klenik. Sebelum maju perang, tradisi mereka menyorongkan bambu runcing untuk diberi isim, doa, oleh kyai mereka. Demikian juga mereka diberi mantra agar sakti, tak tembus peluru, tak mempan dibacok pedang.
Lho kenapa Asmuni cs., tak menyukai pasukan yang religius ini? Konon kabarnya, setiap operasi militer yang bersifat rahasia, lebih sering gagal jika diikuti oleh pasukan Hisbullah itu. Kenapa? Karena yang mestinya operasi berjalan diam-diam, eh, begitu hendak tiba ke sasaran, anggota pasukan Hisbullah itu biasanya lantas teriak-teriak, bertakbir, "Allahu Akbar, Allahu Akbaaaarrrr,..."
Tentu saja, pihak musuh (yakni tentara Belanda) memberikan serangan balik, memberondong para pasukan Hisbullah dengan peluru timah panas. Dan gagallah operasi rahasia itu.
Karena kost saya di Slipi (Jakarta) bersebelahan dengan Rumah Asmuni, saya berkali-kali mendengar cerita ini dan tidak bosan-bosannya. Kadang saya iseng bertanya, "Setelah mendapat isim dari sang kyai dan mantra kesaktian itu, apa mereka benar sakti, tidak tembus peluru dan menang perang dengan bambu runcingnya?
"Ya, tidak, tetap saja mereka moik (mati)," sungut Asmuni, "dan kocar-kacirlah kami dikejar Belanda,...."
Asmuni selalu bertutur kejengkelannya soal pasukan Hisbullah. Pasukan ini, sangat lekat dengan kyai, dan agak klenik. Sebelum maju perang, tradisi mereka menyorongkan bambu runcing untuk diberi isim, doa, oleh kyai mereka. Demikian juga mereka diberi mantra agar sakti, tak tembus peluru, tak mempan dibacok pedang.
Lho kenapa Asmuni cs., tak menyukai pasukan yang religius ini? Konon kabarnya, setiap operasi militer yang bersifat rahasia, lebih sering gagal jika diikuti oleh pasukan Hisbullah itu. Kenapa? Karena yang mestinya operasi berjalan diam-diam, eh, begitu hendak tiba ke sasaran, anggota pasukan Hisbullah itu biasanya lantas teriak-teriak, bertakbir, "Allahu Akbar, Allahu Akbaaaarrrr,..."
Tentu saja, pihak musuh (yakni tentara Belanda) memberikan serangan balik, memberondong para pasukan Hisbullah dengan peluru timah panas. Dan gagallah operasi rahasia itu.
Karena kost saya di Slipi (Jakarta) bersebelahan dengan Rumah Asmuni, saya berkali-kali mendengar cerita ini dan tidak bosan-bosannya. Kadang saya iseng bertanya, "Setelah mendapat isim dari sang kyai dan mantra kesaktian itu, apa mereka benar sakti, tidak tembus peluru dan menang perang dengan bambu runcingnya?
"Ya, tidak, tetap saja mereka moik (mati)," sungut Asmuni, "dan kocar-kacirlah kami dikejar Belanda,...."
Udin, Wartawan yang Tewas Tanpa Ada Pembunuhnya?
Udin. Fuad Muhammad Syafruddin (lahir di Bantul, Yogyakarta, 18 Februari 1964) adalah wartawan Harian Bernas, Yogyakarta, sejak 1986.
Tanggal 13 Agustus 1996, Selasa malam (23.30), ia dianiaya pria tak dikenal di depan rumah kontrakannya, dusun Gelangan Samalo, Jalan Parangtritis Km 13 Yogyakarta. Udin, yang sejak malam penganiayaan, terus berada dalam keadaannya koma dan dirawat di RS Bethesda. Esok paginya, Udin menjalani operasi otak di rumah sakit tersebut. Namun parahnya sakit yang diderita (akibat pukulan batang besi di bagian kepala), Udin akhirnya meninggal pada Jumat, 16 Agustus 1996, pukul 16.50 WIB, pada usia 32 tahun.
Kasus pembunuhan Udin, hingga kini masih gelap. Kapolres Bantul datang dan pergi. Kapolda DIY, silih berganti. Tapi mereka semua hanya berjanji, dan tak ada langkah apapun. Sementara kita tahu, tidak mungkin ada manusia tewas terbunuh (bukti media adanya penganiayaan itu akurat berdasar visum medis), tanpa ada pembunuhnya.
Bukti ada, saksi ada, pengakuan dan pelakunya yang tak ada. Dan hukum tak bisa ditegakkan di Yogyakarta dalam kasus ini. Tujuhbelas tahun bukanlah waktu yang pendek.
Dalam hal menemukan pelaku pembunuhan non politik, biasanya polisi sangat canggih. Tapi banyak kasus pembunuhan politik, polisi lumpuh. Apakah pembunuhan Udin bermuatan politik? Dari sepak-terjang dan tulisan Udin, hal itu sangat jelas.
Apalagi berkait dengan proses pemilihan Bupati Bantul waktu itu, dan adanya tokoh bernama R. Noto Suwito (adik Soeharto, Presiden RI waktu itu), yang terlibat dalam pusaran arus berita-berita yang ditulis Udin.
Proses pengadilan kasus Udin, yang sudah dijalankan, lebih merupakan dagelan penguasa. Yogyakarta boleh mengaku sebagai daerah apa saja, tetapi dalam kasus Udin, Yogyakarta adalah daerah yang menyedihkan dalam hal penegakan hukum.
Untuk sekedar mengingatkan, dibawah adalah kronologi kasus pembunuhan Udin.
12 Agustus 1996 | Kediaman Udin sekitar pukul 22.00 WIB telah diawasi oleh dua orang tidak dikenal dengan kendaraan sepeda motor. Satu di antaranya sempat mendekat ke rumah Udin, mengamati keadaan dalam rumah melalui lubang kunci pintu depan rumah. Salah satu tetangga Udin, yang berada di warung bakmi yakni Ny. Ponikem, memperhatikan tingkah aneh lelaki tersebut. Ia kemudian mencoba mendekat. Tetapi saat ditanya, dan dibantu membangunkan pemilik rumah, lelaki tersebut cepat-cepat pergi. Sehingga Udin yang terlanjur keluar rumah, tidak berhasil menjumpai lelaki mencurigakan itu, yang menurut penuturan saksi ingin menemuinya.
13 Agustus 1996 | Selasa malam, sekitar pukul 23.30 WIB, Udin dianiaya lelaki tak dikenal, di rumahnya Jalan Parangtritis Km 13,5 Bantul, hingga luka parah dan tak sadarkan diri. Ia kemudian dibawa ke RSU Jebugan Bantul. Karena RS tak mampu menangani, Udin dilarikan ke RS Bethesda Yogyakarta. Peristiwa itu didahului dengan beberapa kejadian tidak biasa. Sebelumnya, sekitar pukul 21.00 WIB, di kantor harian BERNAS, Udin menemui seorang tamu yang sebelumnya ingin menemui Joko Mulyono (wartawan BERNAS untuk liputan Bantul). Lelaki tersebut mengaku sebagai Kaur Pemerintahan Desa Wirokerten Bantul, dan kedatangannya untuk urusan tanah. Tetapi setelah pertemuan singkat itu, Udin terlihat gelisah di kantor. Pukul 21.30 WIB, selesai menulis berita, Udin bergegas pulang ke Bantul dengan Honda Tiger 2000 warna merah hati. Belakangan orang yang ditemui Udin tersebut, adalah Hatta Sunanto (anggota DPRD Bantul, dan adik Sukrisno, Kaur Pemerintahan Desa Wirokerten Bantul), serta ditemani seorang calo tanah bernama Suwandi.
14 Agustus 1996 | Rabu pukul 08.00 WIB di RS Bethesda Yogyakarta, Udin menjalani operasi karena terjadi pendarahan hebat di kepala, akibat penganiayaan yang dialami Udin malam sebelumnya.
16 Agustus 1996 | Jumat pukul 16.58 WIB, tim medis RS Bethesda menyatakan Udin meninggal dunia, setelah tiga hari berjuang melawan maut tanpa pernah sadarkan diri. Malamnya, sekitar pukul 23.30 WIB, jenazah Udin disemayamkan sebentar di kantor Harian BERNAS, untuk mendapatkan penghormatan terakhir dari rekan-rekannya.
17 Agustus 1996 | Jenazah Udin dilepas dan dimakamkan di tempat pemakaman umum Trirenggo Bantul tepat pada saat bangsa Indonesia merayakan peringatan hari ulang tahun ke-51 kemerdekaan Republik Indonesia.
19 Agustus 1996 | Malam sekitar pukul 20.00 WIB, Serma Edy Wuryanto ditemani dua anggota Polres Bantul, berangkat dari Mapolres Bantul ke kediaman orangtua Udin di Gedongan, Trirenggo, Bantul. Mereka bermaksud meminjam sisa darah operasi Udin, yang tidak jadi ikut dikubur bersama jenazah Udin. Serma Edy Wuryanto mengatakan darah itu akan dipakai, untuk kepentingan pengusutan dengan cara supranatural (akan dilarung ke laut selatan). Siang sebelumnya, di tengah-tengah pawai pembangunan, dalam rangka peringatan HUT ke-51 Kemerdekaan RI di kabupaten Bantul, sejumlah warga Bantul turut menggelar pawai dukacita, sambil menggelar spanduk dan mengarak foto Udin.
23 Agustus 1996 | Dalam sebuah konperensi pers akbar di kantor Pemda Bantul, Bupati Bantul Kolonel Art. Sri Roso Sudarmo, menyatakan diri tidak terlibat dalam kasus ini. Sementara Kapolres Bantul, Letkol Pol Ade Subardan, mengatakan tidak ada dalang dalam kasus Udin, meski tersangka belum tertangkap. Ia juga sesumbar akan menangkap pelaku pembunuh Udin dalam waktu tiga hari setelah konferensi pers tersebut berlangung, sambil mengatakan biar Bupati Bantul tidur nyenyak.
26 Agustus 1996 | Sekitar pukul 09.00 WIB, Tempat Kejadian Perkara (TKP) di rumah Udin baru diberi police line, setelah 13 hari kejadian pembunuhan Udin berlalu. Di Jakarta, Kepala Staf Sosial Politik (Kassospol) ABRI, Letjen TNI Syarwan Hamid menegaskan, oknum ABRI yang terlibat dalam kasus Udin, akan ditindak tegas.
27 Agustus 1996 | Sekitar pukul 10.30 WIB, police-line di TKP rumah Udin, dicopot kembali oleh polisi. Dengan demikian, police line ini hanya berumur kurang lebih 25 jam setelah dipasang untuk kepentingan penyidikan.
2 September 1996 | Kapolda Jateng-DIY, Mayjen Pol Harimas AS., menyatakan pihak kepolisian sudah memiliki identitas lengkap pelaku kasus pembunuhan Udin.
3 September 1996 | Mantan Mendagri, Jenderal TNI (purn) Rudini mengatakan, sebaiknya Gubernur DIY Sri Paku Alam VIII, memanggil dan meminta keterangan Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo.
4 September 1996 | Marsiyem secara resmi menjadi klien Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta. Di kantor LBH Yogyakarta, Marsiyem mengatakan, selama ini dirinya dipojokkan polisi agar mengakui adanya masalah perselingkuhan dalam keluarganya.
5 September 1996 | Seorang seniman lukis, berhasil membuat sketsa wajah pembunuh Udin dari keterangan Marsiyem. Sketsa wajah itu menurut Marsiyem, 90 persen mendekati wajah asli sang pembunuh.
7 September 1996 | Menurut Sekwilda DIY, Drs Suprastowo, Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo sudah menghadap Gubernur DIY, dan melaporkan kasus Udin. Tapi dalam laporannya tidak menyinggung kematian Udin berkaitan dengan profesi atau tulisan-tulisannya.
9 September 1996 | Keluarga Udin mengkhawatirkan latar belakang kasus pembunuhan Udin akan dibelokkan ke masalah pribadi. Kapolwil DIY Kolonel Pol Darsono mengatakan polisi tetap lurus dalam mengadakan penyelidikan.
13 September 1996 | Ketua DPC PPP Bantul, dipanggil Komandan Kodim Bantul dan dicecar dengan pertanyaan seputar keterlibatan DPC PPP Bantul dalam upacara pemakaman Udin. Dandim Bantul mengatakan, acara pemakaman Udin sudah dipolitisir.
23 September 1996 | Gubernur DIY Sri Paku Alam VIII, mengizinkan pemeriksaan terhadap Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo. Di Jakarta, anggota Komisi II DPR RI dari FPP Ali Hardi Kiai Demak menanyakan penanganan kasus Udin kepada Mendagri Yogi S. Memet dalam rapat kerja DPR RI di Komisi II.
24 September 1996 | Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Yogyakarta mengirim surat ke PWI Pusat disertai lampiran temuan Tim Pencari Fakta (TPF) PWI Yogyakarta soal kasus Udin. Pengiriman berkas laporan TPF PWI Yogyakarta tersebut, dimaksudkan agar ditindak-lanjuti pengusutannya oleh Komnas HAM dan Mabes Polri.
25 September 1996 | Kapolwil DIY Kolonel Pol Darsono menegaskan siapapun yang terlibat dalam kasus pembunuhan Udin akan digebuk tanpa pandang bulu.
27 September 1996 | Kapolri Letjen Pol Dibyo Widodo di Jakarta mengatakan kasus pembunuhan Udin harus dibongkar. Dan ia menegaskan tidak akan ada pembelokan atas latar belakang terbunuhnya Udin ke masalah keluarga atau perselingkuhan.
21 Oktober 1996 | Dwi Sumaji alias Iwik, warga Kavling Panasan Triharjo Sleman dan sopir di CV Dymas Advertizing Sleman, diculik di perempatan Beran Sleman, kemudian dibawa ke Parangtritis. Di Hotel Queen of The South Parangtritis. Iwik disuruh mengaku sebagai pembunuh Udin oleh Franki (Serma Pol Edy Wuryanto) setelah sebelumnya di losmen Agung Parangtritis, Iwik dicekoki minuman keras hingga mabuk, disediakan perempuan, dan diberi janji-janji muluk soal pekerjaan, uang, dan jaminan hidup keluarganya. Sebelumnya ia dijebak oleh Franki dengan alasan diajak bisnis billboard.
24 Oktober 1996 | Pada tanggal ini (ketika masuk ke pemeriksaan tahap ke lima), Dwi Sumaji alias Iwik mencabut seluruh pengakuan dalam pemeriksaan tanggal 21, 22, 23, dan 24 Oktober 1996 (dalam 4 kali pemeriksaan sebelumnya). Pencabutan pengakuan sebagai pelaku pembunuh Udin itu ia lakukan karena merasa dirinya hanya korban rekayasa. Dan pengakuan yang dulu itu karena ia berada di bawah ancaman, tekanan dan paksaan Franki alias Serma Pol Edy Wuryanto.
26 Oktober 1996 | Ny Sunarti (istri Iwik) mengadu ke Komnas HAM dan Kapolri atas penangkapan suaminya.
5 November 1996 | Komnas HAM membuat kesimpulan penting -- setelah mengadakan investigasi lapangan -- yang menyatakan bahwa dalam proses penangkapan Iwik telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia, sebab dilakukan dengan cara-cara yang sangat tidak etis. Penyitaan barang bukti milik Iwik menurut Komnas HAM juga dilakukan secara spekulatif.
6 November 1996 | Kapolda DIY Kolonel Pol Mulyono Sulaiman membenarkan masalah peminjaman sisa darah Udin oleh Serma Pol Edy Wuryanto dan beberapa aparat Polres Bantul. Tetapi setelah sebagian dilarung di laut selatan, sisanya sudah dibuang di tempat sampah Mapolres Bantul, dan keberadaannya tak diketahui lagi.
20 November 1996 | Polda DIY menyerahkan berkas acara pemeriksaan (BAP) Iwik ke Kejaksaan Tinggi Yogyakarta. Berbagai kalangan mengkritik penyidik terlalu memaksakan kehendaknya untuk menyerahkan BAP Iwik yang tak sempurna ini.
25 November 1996 | Kejati DIY menyatakan BAP Iwik yang diserahkan Polda DIY tidak lengkap, dan meminta penyidik menyempurnakannya. (Selanjutnya BAP ini bolak-balik Polda DIY-Kejati DIY sebanyak 5 kali).
29 November 1996 | (Malam) - Rekonstruksi paksa yang menjadikan Iwik sebagai tersangka batal dilaksanakan. Alasannya waktu itu penonton terlalu banyak.
9 Desember 1996 | Polda DIY menggelar rekonstruksi kasus pembunuhan Udin di TKP dengan menghadirkan paksa Iwik. Tetapi Iwik berontak dan histeris saat ia dipaksa penyidik Polda DIY untuk memerankan diri sebagai pelaku pembunuhan Udin.
18 Desember 1996 | Iwik dilepas dari tahanan Polda DIY dan penahanannya ditangguhkan, mengingat masa penahannya telah habis dan pe- meriksaan atas dirinya dianggap selesai. Status Iwik masih tetap sebagai tersangka.
31 Desember 1996 | Marsiyem secara resmi mendaftarkan gugatan kasus pelarungan darah Udin ke PN Bantul. Gugatan ini diajukan Marsiyem mengingat terjadi kekisruhan atas nasib sisa darah Udin yang pernah di pinjam oleh Serma Pol Edy Wuryanto. Dalam kasus ini, Marsiyem didampingi kuasa hukum gabungan dari LBH Yogyakarta dan LPH Yogyakarta. Pihak yang digugat, tergugat I adalah Kapolri cq Kapolda DIY cq Kapolres Bantul. Sedang tergugat II adalah Serma Pol Edy Wuryanto.
22 Januari 1997 | Kasus gugatan kasus pelarungan darah Udin mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Bantul. Nilai gugatan seluruhnya adalah Rp 105.890.240. Dalam perkara ini, tergugat diwakili kuasa hukumya dari Diskum Polda DIY menolak upaya perdamaian yang ditawarkan Majelis Hakim. Sementara Hakim Sahlan Said SH yang semula diplot untuk memeriksa perkara ini ternyata kemudian mengundurkan diri.
10 Maret 1997 | Serma Pol Edy Wuryanto oleh Majelis Hakim ditolak sebagai saksi. Alasannya, Serma Edy Wuryanto adalah tergugat II dan keterangannya hanya akan dijadikan pelengkap kalau keterangan saksi lain dinilai kurang.
26 Maret 1997 | Pakar pidana dari Universitas Airlangga Prof Dr JE Sahettapy SH menilai pengusutan kasus Udin banyak direkayasa. Ia juga menilai motif yang selama ini diyakini polisi yaitu motif perselingkuhan terlalu dicari-cari.
15 April 1997 | BAP Iwik untuk yang terakhir kalinya diserahkan penyidik Polda DIY ke Kejati DIY. Pihak Kejati DIY menyatakan menerima BAP Iwik. Iwik berstatus tahanan kejaksaan.
21 April 1997 | Kepala Kejaksaan Tinggi DIY mengabulkan permohonan pe- nangguhan status penahanan Iwik. Iwik berstatus tahanan luar.
24 April 1997 | Majelis Hakim dalam perkara gugatan darah Udin memutuskan mengabulkan sebagian gugatan Marsiyem. Serma Pol Edy Wuryanto dinyatakan bersalah telah melakukan tindakan melawan hukum. Se-dangkan keterkaitan atasan Serma Edy Wuryanto dikesampingkan oleh hakim, dengan alasan tindakan Serma Edy Wuryanto adalah tindakan yang bersifat pribadi dan bukan atas perintah atasan yang ber-sangkutan.
20 Mei 1997 | Kejati DIY menyerahkan BAP Iwik ke Kejaksaan Negeri Bantul. Iwik masih tetap menikmati penangguhan penahanan. Nasib Iwik berada di tangan Kejaksaan Negeri Bantul yang akan menyusun berkas perkara dan dakwaannya.
15 Juli 1997 |Berkas perkara pemeriksaan (BAP) Iwik dilimpahkan ke PN Bantul. Tanggungjawab proses hukum Iwik sepenuhnya berrada di tangan Pengadilan Negeri Bantul.
23 Juli 1997 | Jauh-jauh hari, Kajati DIY Asrief Adam SH menyatakan Iwik bisa dituntut bebas apabila bukti yang terungkap di persidangan memberi kesimpulan Iwik tak bersalah.
29 Juli 1997 | Iwik mulai disidangkan dengan acara pemeriksaan terdakwa dan pembacaan surat dakwaan. Dakwaan primair, Iwik didakwa melakukan pembunuhan berencana terhadap Udin dengan motif perselingkuhan. Iwik diancam dengan hukuman mati.
5 Agustus 1997 | Iwik dan penasehat hukumnya membacakan eksepsi. Dalam eksepsinya, Iwik mengungkapkan dirinya hanya korban rekayasa orang bernama Franki alias Serma Pol Edy Wuryanto (Kanitserse Polres Bantul) untuk kepentingan bisnis politik dan melindungi Bupati Bantul.
19 Agustus 1997 | Eksepsi terdakwa dan penasehat hukumnya ditolak Majelis Hakim. Sidang dilanjutkan dengan pemeriksaan pokok perkara.
2 September 1997 | Marsiyem, saksi kunci dalam kasus pembunuhan Udin ini, dengan histeris menyatakan bahwa pelaku pembunuh Udin bukan Dwi Sumaji alias Iwik.
22 September 1997 | Saksi Sunarti (istri Iwik) menerangkan bahwa Iwik pada malam kejadian pembunuhan Udin tidur bersama dirinya di rumah. Sepulang kerja, Iwik tidak pernah pergi kemana-mana. Alibi ini didukung tetangga Iwik (Heri Karyono dan Gunarso Wibowo) yang mengatakan bertemu Iwik di teras rumah Iwik, tidak berselang lama dengan terjadinya pengaiayaan Udin di Bantul.
2 Oktober 1997 | Sidang mulai diteror oleh pendukung saksi Diharjo Purboko. Saksi ini memberikan pernyataan palsu di bawah sumpah sebagai sarjana hukum, padahal fakta menunjukkan ia adalah jebolan sebuah perguruan tinggi. Ia juga mengaku sebagai bos yang menemui Iwik di Hotel Queen of the South tanggal 21 Oktober 1996. Iwik menolak pengakuan Diharjo Purboko. Bos yang ditemuinya bukan Diharjo Purboko tapi bernama Jendra alias Ahmad Nizar, pengusaha asal Bogor dan kawan akrab Kapolda DIY Kolonel Pol Mulyono Sulaiman.
6 Oktober 1997 | Sidang diteror secara brutal oleh pendukung saksi Serma Pol Edy Wuryanto. Hakim memberikan peringatan dan mengusir keluar seorang pengunjung sidang pendukung saksi Edy Wuryanto. Iwik menolak kesaksian Serma Edy Wuryanto, dan ia mengatakan saksi ini berbohong.
20 Oktober 1997 |Iwik membeberkan kesaksiannya. Selain menyatakan korban rekayasa dan bisnis politik, ia hanya dipaksa menjalankan ske- nario rekayasa Franki alias Serma Pol Edy Wuryanto dengan alasan untuk melindungi kepentingan Bupati Bantul Sri Roso Sudarmo.
30 Oktober 1997 | Wakil Jaksa Agung Soedjono C Atmonegoro SH menegaskan jaksa tidak akan ragu menuntut bebas Iwik apabila tidak diperoleh bukti-bukti yang menguatkan dakwaan dalam persidangan.
3 November 1997 | Iwik dituntut bebas oleh Jaksa Penuntut Umum yang terdiri dari Amrin Naim SH, Yusrin Nichoriawan SH, Ahmad Yuwono SH, dan Hartoko Subiantoro SH. Pertimbangannya, dalam persidangan tidak diperoleh bukti dan keterangan yang menguatkan dakwaan jaksa bahwa Iwik adalah pembunuh Udin.
27 November 1997 | Iwik divonis bebas! Majelis Hakim pemeriksa perkara terdiri dari Ny Endang Sri Murwati SH, Ny Mikaela Warsito SH, dan Soeparno SH. Pertimbangannya, tidak ada bukti yang menguatkan Iwik adalah pembunuh Udin. Motif perselingkuhan yang dituduhkan selama ini berarti gugur. Selain itu, keterangan memberatkan dari Serma Pol Edy Wuryanto dalam persidangan dinyatakan tidak dapat dipakai sebagai alat bukti keterangan. Selanjutnya muncul tuntutan agar polisi mencari, mengungkap motif, dan menangkap pelaku pembunuhan Udin yang sebenarnya.
Tahun-tahun berikutnya, hanyalah parade omong kosong. Dan itu telah berjalan selama 17 tahun. Udin dianugerahi penghargaan Suardi Tasrif Award oleh Aliansi Jurnalistik Indonesia, untuk perjuangannya bagi kebebasan pers, pada 22 Juni 1997. Semenjak itu, setiap tahun AJI mengaugerahkan Udin Award kepada jurnalis atau sekelompok jurnalis, yang menjadi korban kekerasan karena komitmen dan konsistensinya dalam menegakan pers, demi kebenaran dan keadilan.
Langganan:
Postingan (Atom)
KARENA JOKOWI BERSAMA PRABOWO
Presiden Republik Indonesia, adalah CeO dari sebuah ‘perusahaan’ atau ‘lembaga’ yang mengelola 270-an juta jiwa manusia. Salah urus dan sala...
-
Catatan Tambahan: Tulisan ini sebenarnya saya tulis serius karena diminta oleh sebuah blog di Yogyakarta, yang bertagline; “Sedik...
-
UMAR KAYAM, lahir di Ngawi, Jawa Timur, 30 April 1932 dan meninggal di Jakarta, 16 Maret 2002 pada umur 69 tahun, seorang sosiolog, novel...